Manten: Mengukir Janji Abadi dalam Bingkai Adat Nusantara

Pernikahan, atau yang akrab disebut prosesi manten, adalah puncak dari perjalanan cinta yang diakui secara sosial, spiritual, dan adat. Di Indonesia, upacara manten bukan sekadar ikatan legal, melainkan perpaduan rumit antara ritual sakral, filosofi mendalam, dan harapan turun-temurun. Setiap detail, mulai dari pemilihan tanggal hingga lambaian kain kembar mayang, mengandung doa dan makna yang membentuk fondasi rumah tangga yang diharapkan langgeng: sakinah, mawaddah, warahmah.

Artikel ini akan menyelami secara rinci berbagai aspek dari persiapan hingga pelaksanaan upacara manten agung, khususnya dalam konteks adat Jawa dan Sunda yang kaya akan simbolisme, tanpa melupakan esensi dari tradisi lain di Nusantara. Memahami seluk-beluk tradisi manten adalah menghargai kekayaan budaya dan menghormati leluhur.

Cincin dan Ornamen Manten Ikatan Suci Manten

Gambar: Representasi Cincin dan Ikatan Manten

I. Pra-Upacara Manten: Mempersiapkan Jiwa dan Raga

Tahapan persiapan manten adalah masa krusial yang menentukan kesuksesan upacara dan harmoni rumah tangga. Proses ini melibatkan negosiasi keluarga, perhitungan weton (dalam adat Jawa), dan serangkaian ritual penyucian yang bertujuan mempersiapkan kedua calon manten secara lahir dan batin.

A. Lamaran dan Penentuan Hari Baik

Lamaran adalah kunjungan resmi keluarga calon manten pria ke kediaman calon manten wanita. Di sini, niat baik disampaikan dan biasanya disepakati pula tanggal pernikahan. Penentuan hari baik (weton dalam tradisi Jawa) merupakan langkah yang sangat diperhatikan, demi memastikan keberkahan dan kelanggengan bagi pasangan manten baru. Perhitungan weton ini melibatkan ahli spiritual atau sesepuh yang memahami ilmu penanggalan Jawa. Keputusan ini sering kali menjadi titik fokus utama, di mana kedua keluarga harus mencapai mufakat yang harmonis mengenai waktu pelaksanaan ijab dan resepsi manten.

B. Siraman: Ritual Penyucian Manten

Siraman, yang berarti ‘mandi’, adalah ritual penyucian diri yang dilaksanakan sehari sebelum hari-H. Filosofinya adalah membersihkan calon manten dari segala kotoran spiritual dan fisik. Prosesi ini biasanya dilakukan di kediaman masing-masing calon manten, melambangkan pemisahan dan persiapan untuk kehidupan yang baru. Air yang digunakan dalam siraman memiliki komposisi khusus, diambil dari tujuh sumber mata air yang berbeda, melambangkan pertolongan dari tujuh arah dan tujuh pitulungan (pertolongan).

Perlengkapan Siraman untuk calon manten:

Orang yang menyiram (sebayu) adalah sesepuh atau orang tua yang dihormati, berjumlah ganjil (tujuh atau sembilan orang), melambangkan harapan agar calon manten mendapatkan berkah dan nasihat bijak dari yang lebih tua. Setiap guyuran air siraman membawa doa khusus untuk keselamatan dan kebahagiaan manten.

C. Midodareni: Malam Bidadari

Midodareni adalah malam terakhir bagi calon manten wanita sebagai lajang. Namanya berasal dari kata widodari (bidadari), yang bermakna pada malam itu, calon manten wanita harus tampil cantik dan suci layaknya bidadari. Calon manten pria tidak diperbolehkan bertemu, hanya diizinkan di teras rumah.

Pada malam Midodareni, keluarga manten pria membawa berbagai hantaran, yang disebut Seserahan atau Paningset. Isi paningset ini sangat simbolis, meliputi:

  1. Pakaian Lengkap: Melambangkan pemenuhan kebutuhan lahir dan batin.
  2. Perhiasan Emas: Melambangkan kemapanan dan cahaya kehidupan.
  3. Buah-buahan dan Makanan Tradisional: Terutama Wajik dan Jenang yang lengket, melambangkan harapan agar hubungan manten tetap erat dan lengket.
  4. Daun Sirih dan Kapur Sirih: Melambangkan harapan akan keselamatan dan doa restu.

Calon manten wanita akan menerima nasihat dari ibunya (panggih pinangantin) dan disaksikan oleh kerabat dekat, memperkuat mentalnya untuk menyongsong hari besar sebagai seorang manten sejati. Ini adalah malam renungan yang hening dan penuh makna, di mana segala persiapan fisik dan spiritual mencapai puncaknya menjelang ijab kabul. Persiapan ini sangat mendalam, memadukan elemen spiritual dan material untuk kesiapan sang calon manten.

Kekuatan tradisi manten terletak pada detail simbolis ini. Setiap langkah memastikan bahwa pasangan tidak hanya siap secara emosional, tetapi juga terikat pada nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pendahulu. Ritual-ritual ini berfungsi sebagai benteng spiritual bagi calon manten.

II. Ijab Kabul dan Panggih Manten: Puncak Sakral

Hari pernikahan adalah hari dilaksanakannya Ijab Kabul (akad nikah) dan Upacara Panggih (pertemuan). Ijab Kabul adalah bagian terpenting dari prosesi manten secara agama dan hukum, sementara Panggih adalah puncak dari segala tradisi adat yang telah dipersiapkan.

A. Ijab Kabul: Pengucapan Janji Suci

Ijab Kabul adalah momen penyerahan dan penerimaan janji. Calon manten pria mengucapkan janji suci (sighat taklik) di hadapan penghulu, saksi, dan wali dari manten wanita. Kesakralan Ijab Kabul tidak dapat digantikan oleh ritual adat manapun. Setelah Ijab, pasangan resmi menyandang status sebagai suami istri, atau secara adat, menjadi pasangan manten yang utuh.

Prosesi ijab ini harus dilakukan dengan khidmat dan tenang. Keberhasilan pengucapan janji diyakini membawa keberkahan dan kelancaran untuk seluruh rangkaian acara manten selanjutnya. Di beberapa daerah, setelah ijab, dilakukan tukar cincin sebagai simbol ikatan abadi, sebuah penanda resmi bahwa dua jiwa kini telah menjadi satu dalam bingkai pernikahan manten.

B. Upacara Panggih: Pertemuan Manten

Panggih (bertemu) adalah inti dari upacara adat manten Jawa. Ini adalah kali pertama pasangan manten yang telah sah suami istri ini bertemu setelah menjalani masa pingitan dan ritual penyucian. Upacara ini kaya akan simbolisme permohonan restu, kerendahan hati, dan pembagian tugas dalam rumah tangga.

Tahapan Panggih Manten yang detail:

  1. Balangan Gantal (Melempar Sirih): Kedua manten saling melempar gantal (gulungan daun sirih berisi kapur sirih, gambir, dan pinang) yang diikat benang putih. Ini melambangkan pelemparan godaan dan niat buruk satu sama lain. Tujuh lemparan sering dilakukan, merujuk pada tujuh penolong.
  2. Ngidak Endhog (Menginjak Telur): Manten pria menginjak telur ayam mentah hingga pecah. Manten wanita kemudian membersihkan kaki manten pria dengan air kembang. Pecahnya telur melambangkan kesuburan dan pecahnya keperawanan/keperjakaan, sementara ritual membersihkan kaki melambangkan bakti seorang istri.
  3. Wiji Dadi (Benih Kehidupan): Prosesi ini menunjukkan kesiapan pasangan manten untuk memulai rumah tangga dan memiliki keturunan.
  4. Sindur: Ibu manten wanita menyampirkan kain sindur di bahu kedua manten, dan ayah mengiringi mereka menuju pelaminan. Sindur berwarna merah dan putih melambangkan keberanian dan kesucian dalam menempuh hidup baru.
  5. Timbangan (Duduk di Pangkuan): Kedua manten duduk di pangkuan ayah manten wanita. Ayah akan berkata, "Beratnya sama," melambangkan kasih sayang orang tua yang adil dan seimbang terhadap menantu dan anak kandungnya.
  6. Kacar-Kucur (Curah Rezeki): Manten pria menyerahkan kantong berisi biji-bijian, uang receh, dan rempah-rempah kepada manten wanita. Ini melambangkan tanggung jawab suami mencari nafkah dan kesiapan istri mengelola rezeki. Ini adalah momen yang sangat visual dalam upacara manten.
  7. Dulangan (Saling Suap): Kedua manten saling menyuapi nasi kuning atau nasi tumpeng tiga kali. Ini melambangkan janji untuk saling membantu dan berbagi dalam suka dan duka. Nasi yang disuapkan adalah nasi suci yang telah didoakan.
  8. Sungkem: Pasangan manten bersimpuh dan mencium lutut kedua orang tua (baik dari pihak wanita maupun pria) sebagai tanda hormat, memohon restu, dan meminta maaf atas segala kesalahan. Ini adalah momen yang penuh haru dan inti dari bakti seorang anak kepada orang tua sebelum memasuki dunia baru sebagai pasangan manten.

Seluruh rangkaian Panggih ini dirancang untuk mengajarkan filosofi kehidupan rumah tangga kepada pasangan manten, menekankan pentingnya kerjasama, kesetiaan, dan penghormatan. Tanpa Panggih, upacara manten adat dianggap tidak lengkap, karena Panggih adalah manifestasi visual dari janji yang telah diucapkan saat Ijab Kabul.

Rangkaian Melati dan Keris Bunga Melati Manten

Gambar: Ornamen Melati dan Keris dalam Busana Manten

III. Busana dan Riasan Manten: Mahakarya Seni dan Simbolisme

Busana dan riasan yang dikenakan oleh pasangan manten adalah salah satu elemen paling mencolok dalam pernikahan tradisional. Setiap lipatan kain, setiap garis riasan, dan setiap untaian bunga memiliki makna filosofis yang dalam, bukan hanya sekadar estetika. Busana manten berfungsi sebagai representasi visual dari status baru dan harapan luhur.

A. Riasan Paes Ageng (Manten Jawa)

Riasan Paes Ageng, khususnya dari Yogyakarta atau Solo, adalah riasan pengantin yang paling ikonik. Bagian terpenting adalah lukisan hitam di dahi (paes). Paes dahi ini memiliki beberapa bagian kunci:

Seluruh riasan ini harus dilakukan oleh perias (juru rias) yang memiliki keahlian dan seringkali memiliki garis keturunan spiritual, karena diyakini riasan manten ini harus 'hidup' dan mengeluarkan aura pengantin (pangling).

B. Busana dan Aksesori Manten

Busana yang dikenakan pasangan manten sangat bervariasi tergantung adat, namun semuanya menuntut kekhidmatan dan kemewahan yang sarat makna. Busana manten Jawa sering menggunakan bludru hitam, disulam benang emas, dan dipadukan dengan kain batik Sido Mukti atau Sido Luhur, yang bermakna kemuliaan dan kesejahteraan.

Aksesori Manten Wanita:

  1. Cunduk Mentul: Tujuh atau sembilan hiasan kepala, melambangkan jumlah pitulungan (pertolongan) atau tujuh hari dalam seminggu.
  2. Rangkaian Melati: Bunga melati diurai panjang (ronce) yang menutupi rambut hingga bahu. Melambangkan kesucian, keharuman, dan kesetiaan abadi sang manten.
  3. Kalung Sungsang: Kalung yang dipakai terbalik, memiliki filosofi bahwa hidup harus dijalani dengan pandangan yang terbalik dari yang biasa, yaitu lebih mengutamakan spiritualitas dan moralitas.
  4. Sabuk dan Selendang: Digunakan untuk menopang busana, melambangkan kekuatan dan perlindungan bagi manten.

Aksesori Manten Pria:

  1. Keris: Diselipkan di belakang pinggang, melambangkan perlindungan dan kejantanan seorang pemimpin rumah tangga. Keris ini sering dihiasi ronce melati.
  2. Blangkon atau Kuluk: Penutup kepala yang melambangkan pikiran yang jernih dan kesiapan memimpin.
  3. Batik Motif Khusus: Harus serasi dengan manten wanita, seringkali dengan motif yang sama-sama melambangkan kemakmuran dan kehormatan.

Kekuatan busana manten ini bukan hanya pada kemewahannya, tetapi pada pesan filosofis yang dibawa, menjadikan setiap pasangan manten sebagai raja dan ratu sehari yang membawa misi luhur.

IV. Filosofi Mendalam di Balik Setiap Detail Manten

Upacara manten Nusantara, khususnya Jawa dan Sunda, adalah sebuah kitab kehidupan yang dipertontonkan melalui simbol. Pemahaman filosofis ini sangat penting bagi pasangan manten agar mereka dapat menghayati janji pernikahan secara menyeluruh. Pengulangan ritual dan simbol memastikan bahwa makna suci pernikahan manten tertanam kuat.

A. Simbolisme Air dan Penyucian

Dalam Siraman manten, penggunaan air dari tujuh sumber bukanlah kebetulan. Angka tujuh (pitu) dalam bahasa Jawa bermakna pitulungan, yaitu pertolongan atau bantuan. Ini adalah doa universal agar pasangan manten selalu mendapat pertolongan dan perlindungan dari Tuhan dalam setiap aspek kehidupan rumah tangga mereka. Air itu sendiri melambangkan awal kehidupan, kesuburan, dan kesucian. Sebelum manten melangkah ke jenjang pernikahan, mereka harus benar-benar bersih, bukan hanya dari debu, tetapi dari segala pikiran negatif dan masa lalu yang mungkin menghalangi kebahagiaan mereka sebagai pasangan manten.

Ritual pecah kendi setelah siraman oleh ibu manten wanita juga sangat bermakna. Kendi dipecahkan sambil mengucapkan, "Wis pecah pamore," yang berarti auranya sudah pecah, siap menjadi seorang istri. Ini menegaskan transisi status dari seorang gadis menjadi seorang manten yang akan memulai babak baru yang penuh tanggung jawab.

Filosofi penyucian ini terus berlanjut hingga hari Panggih. Bahkan air yang digunakan manten wanita untuk membasuh kaki manten pria saat Ngidak Endhog pun adalah air suci yang diperkaya dengan bunga-bunga setaman. Tindakan ini melambangkan bakti yang tulus dan kesiapan istri dalam mendukung dan membersihkan segala rintangan yang mungkin dihadapi suaminya sebagai kepala rumah tangga manten.

B. Filosofi Ikatan dan Harapan

Ikatan dalam upacara manten diwujudkan melalui berbagai benda, seperti benang putih yang mengikat gantal saat Balangan Gantal, atau lilitan kain Sindur. Benang putih melambangkan ikatan yang suci, tak ternoda, dan harapan akan tali pernikahan manten yang tidak mudah putus. Daun sirih, yang digunakan dalam banyak ritual manten, melambangkan pertemuan yang harmonis. Sirih selalu bertemu ruasnya, begitupun harapan agar kedua manten selalu menemukan titik temu dan kesepakatan dalam setiap permasalahan.

Prosesi Kacar-Kucur adalah pelajaran ekonomi rumah tangga yang diungkapkan secara visual. Manten pria menyerahkan segala rezekinya kepada manten wanita, yang kemudian menerima dan menyimpan rezeki itu di atas selembar kain putih. Ini menggarisbawahi peran suami sebagai pencari nafkah dan peran istri sebagai bendahara rumah tangga manten. Tidak boleh ada satu biji pun yang tercecer, melambangkan pengelolaan rezeki yang cermat dan hemat, demi kemakmuran pasangan manten.

Adapun ritual Dulangan (saling suap) melengkapi ajaran ini. Saling menyuapi nasi tumpeng menunjukkan janji untuk saling merawat dan memenuhi kebutuhan satu sama lain, terutama saat susah maupun senang. Pasangan manten belajar bahwa kebersamaan adalah kunci utama dalam menjalani biduk rumah tangga.

C. Busana dan Simbol Kepemimpinan Manten

Busana manten tidak hanya indah, tetapi juga memproyeksikan peran. Keris yang diselipkan oleh manten pria adalah simbol kepemimpinan, tanggung jawab, dan kesiapan melindungi. Namun, keris tersebut dihiasi ronce melati yang panjang dan menjuntai (kalung usus-usus), yang melambangkan bahwa kekuatan dan kepemimpinan harus diimbangi dengan kelembutan, keharuman, dan kesucian hati. Seorang manten pria harus memimpin dengan hati yang suci, bukan dengan kekerasan.

Sementara itu, manten wanita, dengan riasan Paes Ageng yang rumit dan Cunduk Mentul yang bertengger di atas kepala, merepresentasikan keagungan dan kecerdasan seorang istri yang akan menjadi tiang negara (rumah tangga). Ia dihormati sebagai Ratu Sehari, namun beban filosofisnya adalah menjadi ratu yang bijaksana, lembut, dan penuh bakti.

Transisi menjadi manten adalah transisi dari masa remaja ke kedewasaan penuh, di mana semua tindakan kini memiliki konsekuensi ganda yang melibatkan keluarga besar dan keturunan. Oleh karena itu, ritual manten harus dilakukan dengan sangat serius dan penuh penghayatan.

Setiap rangkaian ini, dari Siraman hingga Sungkem, adalah janji yang berulang kali diucapkan tanpa kata-kata, melainkan melalui tindakan simbolis. Ini memastikan bahwa pondasi pernikahan manten dibangun di atas dasar yang kokoh, dihormati oleh leluhur, dan direstui oleh masyarakat. Penyelenggaraan manten yang khidmat adalah harapan akan kehidupan yang penuh berkah dan langgeng.

V. Variasi dan Nuansa Tradisi Manten di Berbagai Daerah

Meskipun Jawa dan Sunda sering menjadi tolok ukur, tradisi manten di Nusantara sangat beragam. Setiap daerah memiliki kekhasan yang menambahkan lapisan kekayaan pada definisi upacara pernikahan manten.

A. Manten Adat Sunda (Sawer dan Huap Lingkup)

Pernikahan manten Sunda memiliki ciri khas yang lebih ekspresif dan ceria, meskipun tetap sakral. Setelah Ijab Kabul, upacara Panggih Sunda mencakup beberapa ritual unik:

  1. Meupeuskeun Endog (Memecahkan Telur): Mirip Ngidak Endhog, melambangkan kesiapan manten wanita melayani suami.
  2. Nincak Kawali (Menginjak Baja): Calon manten pria menginjak baja panas, melambangkan kekuatan dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan rumah tangga.
  3. Sawer: Pasangan manten dilempari uang receh, permen, dan beras yang dicampur kunyit. Ini melambangkan berbagi rezeki dan harapan kemakmuran bagi kedua manten dan hadirin.
  4. Huap Lingkup (Saling Suap): Keluarga manten wanita berebut untuk menyuapi nasi kepada pasangan manten baru. Ini melambangkan kasih sayang keluarga yang tak terbagi, namun kini harus fokus pada pasangan manten itu sendiri.

Busana manten Sunda sering didominasi warna putih atau pastel, dengan Siger (mahkota) yang megah untuk manten wanita. Kesederhanaan dan keakraban menjadi ciri khas penting dalam prosesi manten Sunda.

B. Manten Adat Minang (Baralek)

Pernikahan manten Minangkabau (Sumatera Barat) sangat kental dengan peran matrilineal. Upacara disebut Baralek Gadang. Salah satu tahapan yang paling membedakan adalah Manjapuik Marapulai (menjemput pengantin pria).

Di Minangkabau, keluarga manten wanita (pihak Bundo Kanduang) yang menjemput manten pria. Manten pria diarak dengan iringan musik tradisional, dijamu, dan diberi gelar adat. Pemberian gelar ini melambangkan pengakuan resmi keluarga besar terhadap status baru manten pria sebagai pemimpin yang dihormati dalam lingkungannya. Busana manten Minang sangat khas dengan suntiang yang besar dan megah, melambangkan kebesaran dan status sosial.

Penting untuk dicatat bahwa dalam tradisi manten Minang, segala biaya dan urusan pernikahan cenderung ditanggung oleh pihak wanita, mencerminkan sistem garis keturunan ibu yang sangat kuat.

C. Manten Adat Bali (Mekala-kalaan)

Prosesi manten Bali, dikenal sebagai Pawedalan atau Mekala-kalaan, melibatkan serangkaian ritual yang berfokus pada keseimbangan alam semesta (Tri Hita Karana). Tujuannya adalah menyucikan pasangan manten dari unsur negatif dan mempersiapkan mereka menjalani Grhasta Asrama (kehidupan berumah tangga).

Ritual penting manten Bali meliputi:

Busana manten Bali sangat indah dengan penggunaan kain songket, ikat pinggang prada emas, dan hiasan kepala bunga Kamboja serta mahkota. Setiap tahapan dalam manten Bali melibatkan sesajen yang sangat detail, menunjukkan penghormatan yang tinggi terhadap alam dan spiritualitas.

Keanekaragaman tradisi manten ini menunjukkan betapa kayanya Indonesia dalam memaknai janji pernikahan. Meskipun berbeda cara, intinya sama: mempersiapkan pasangan manten untuk kehidupan yang penuh tanggung jawab, cinta, dan restu dari Tuhan serta leluhur.

VI. Tanggung Jawab Pasca-Manten: Kehidupan Rumah Tangga Sejati

Menjadi pasangan manten yang telah melewati semua ritual adat dan janji suci bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan sesungguhnya. Filosofi yang diajarkan dalam ritual manten harus diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari.

A. Mempertahankan Sakinah, Mawaddah, Warahmah

Tujuan utama dari pernikahan manten adalah mencapai sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta kasih yang tumbuh), dan warahmah (kasih sayang yang tidak lekang dimakan waktu). Sakinah adalah pondasi yang harus dijaga oleh pasangan manten. Ketenangan hanya bisa dicapai melalui komunikasi yang jujur, penghormatan terhadap peran masing-masing, dan kesediaan untuk saling memaafkan.

Mawaddah adalah cinta yang dinamis, yang harus dipupuk setiap hari. Ritual Dulangan mengajarkan bahwa membagi dan merawat adalah manifestasi dari mawaddah. Sementara warahmah adalah tingkat cinta tertinggi, yang memungkinkan pasangan manten tetap bersama meskipun diuji oleh usia dan kesulitan ekonomi. Ritual Sungkem mengajarkan pentingnya restu orang tua sebagai sumber rahmat yang akan menguatkan warahmah.

B. Melestarikan Filosofi Manten dalam Keluarga Baru

Benda-benda simbolis dari upacara manten seringkali disimpan dan menjadi pusaka keluarga, mengingatkan pasangan pada janji suci mereka. Misalnya, koin dan biji-bijian dari Kacar-Kucur dapat disimpan sebagai simbol rezeki yang harus selalu dikelola dengan baik. Batik Sido Mukti yang dipakai saat Panggih menjadi pengingat akan harapan kemuliaan.

Pasangan manten baru memiliki tanggung jawab untuk mewariskan nilai-nilai ini kepada keturunan mereka. Anak-anak yang lahir dari ikatan manten ini diharapkan tumbuh dengan pemahaman akan pentingnya adat, spiritualitas, dan bakti kepada orang tua dan leluhur.

VII. Menguatkan Makna Manten dalam Era Modern

Di tengah modernisasi dan globalisasi, tantangan terbesar bagi pasangan manten masa kini adalah bagaimana mengintegrasikan kekayaan tradisi dengan tuntutan kehidupan kontemporer. Upacara manten tradisional memang memakan waktu dan biaya, namun esensi spiritualnya tetap relevan.

A. Relevansi Ritual Manten

Banyak pasangan manten modern memilih untuk menyederhanakan ritual adat. Namun, mereka tetap mempertahankan inti dari Siraman, Panggih, dan Sungkem. Misalnya, Siraman mungkin tidak lagi menggunakan tujuh sumber air secara harfiah, tetapi tetap menggunakan air bunga setaman, mempertahankan makna penyucian. Panggih mungkin dipersingkat, tetapi Balangan Gantal dan Sungkem hampir selalu dipertahankan karena makna filosofisnya yang terlalu penting untuk dihilangkan.

Keputusan untuk tetap melibatkan ritual manten adalah bentuk penghormatan dan pengakuan bahwa sebuah pernikahan harus memiliki fondasi yang kuat, tidak hanya legalitas semata. Tradisi manten memberikan landasan moral dan etika yang diperlukan di tengah gejolak kehidupan modern.

B. Warisan Busana Manten

Busana manten tradisional terus berevolusi, namun esensinya tetap. Desainer kontemporer sering memadukan pakem (aturan baku) riasan Paes Ageng dengan sentuhan modern pada bahan kebaya atau jas, menciptakan estetika yang memukau tanpa mengurangi nilai sakralnya. Pasangan manten saat ini bangga mengenakan busana adat yang megah, menjadikannya pernyataan budaya yang kuat.

Menggunakan busana manten tradisional di tengah acara yang modern menunjukkan komitmen pasangan manten untuk menjaga identitas budaya mereka, bahkan ketika mereka memasuki kehidupan yang serba cepat. Ini adalah cara elegan untuk mengatakan bahwa mereka menghargai akar mereka sambil merangkul masa depan.

Pesta pernikahan manten modern mungkin dipenuhi dengan teknologi dan hiburan canggih, tetapi inti dari acara tersebut, yaitu Ijab dan Panggih, harus tetap berpusat pada kekhidmatan dan penghayatan makna. Inilah yang membedakan pernikahan manten adat Nusantara dari pernikahan lainnya di dunia.

VIII. Penekanan Lanjutan pada Makna Simbolis Manten

Untuk memahami sepenuhnya upacara manten, kita perlu mengulang dan menekankan kembali beberapa simbol yang sering luput dari perhatian, namun memiliki beban filosofis terbesar dalam membentuk mentalitas pasangan manten.

A. Kekuatan Doa dalam Sesajen Manten

Sesajen atau hantaran dalam upacara manten, terutama dalam tradisi Jawa dan Sunda, bukanlah persembahan tanpa makna. Setiap jenis makanan, buah, atau barang yang disertakan membawa doa. Contohnya, Tumpeng Robyong, tumpeng yang dihiasi sayuran dan telur, melambangkan kemakmuran dan siklus kehidupan yang seimbang. Setiap lauk pauk, dari ayam ingkung hingga gudeg, memiliki makna harapan agar rumah tangga manten senantiasa dikaruniai kelimpahan.

Pentingnya ritual menata sesajen ini mengajarkan bahwa persiapan untuk menjadi seorang manten harus dilakukan dengan teliti dan penuh niat baik. Niat baik ini, diwujudkan dalam detail sesajen, diyakini akan menarik energi positif dan restu alam semesta untuk pasangan manten.

B. Peran Orang Tua dan Sungkem Manten yang Abadi

Ritual Sungkem adalah salah satu bagian yang paling menyentuh hati dan filosofis dalam seluruh prosesi manten. Sungkem dilakukan oleh kedua manten kepada empat orang tua (ayah dan ibu dari kedua belah pihak). Gerakan bersimpuh, mencium lutut, dan memohon doa restu, adalah pengakuan abadi akan hutang budi dan kasih sayang yang tak terbalas dari orang tua.

Ayah manten wanita, melalui Timbangan, telah menyerahkan putrinya dengan ikhlas. Ibu manten, melalui Sindur, telah membimbing pasangan manten menuju pelaminan. Sungkem adalah janji pasangan manten untuk tidak melupakan akar mereka, dan untuk selalu menghormati orang tua, bahkan setelah mereka telah membentuk keluarga baru. Restu orang tua dianggap sebagai kunci utama menuju kebahagiaan manten yang hakiki.

Keseluruhan siklus upacara manten adalah sebuah perjalanan dari penyucian diri (Siraman), penyerahan janji (Ijab), penyatuan visi (Panggih), hingga pengukuhan spiritual dan sosial (Sungkem dan Resepsi). Masing-masing tahap memastikan bahwa pasangan manten tidak hanya menikah secara fisik, tetapi juga secara spiritual dan sosial. Warisan budaya ini adalah harta tak ternilai yang harus terus dipelihara oleh setiap generasi manten di Indonesia.

Dengan demikian, kata manten tidak hanya merujuk pada pasangan pengantin, tetapi juga merangkum seluruh spektrum ritual, doa, harapan, dan filosofi yang membentuk fondasi pernikahan Indonesia yang agung dan abadi. Setiap pasangan manten adalah penerus warisan agung ini.