Manna, makanan ajaib yang disediakan secara supranatural di tengah kesulitan.
Kisah tentang manna adalah salah satu narasi paling mendasar dan memukau dalam tradisi Ibrahimi, berfungsi sebagai sumbu naratif yang menghubungkan pembebasan perbudakan di Mesir dengan janji Tanah Perjanjian. Ketika bangsa Israel, setelah melarikan diri di bawah kepemimpinan Musa, memasuki kegersangan Padang Gurun Sin, mereka dihadapkan pada ancaman eksistensial yang jauh lebih mendesak daripada pengejaran Firaun: kelaparan massal. Populasi yang diperkirakan berjumlah ribuan, jika tidak jutaan, membutuhkan sumber nutrisi yang stabil dan dapat diandalkan di lingkungan yang sama sekali tidak menyediakan sumber daya alam yang memadai. Keluhan mereka—sebuah manifestasi dari keputusasaan dan nostalgia yang salah arah terhadap 'periuk daging' Mesir—menjadi katalisator bagi intervensi ilahi yang unik dan berkelanjutan.
Manna, yang namanya sendiri berasal dari pertanyaan dalam bahasa Ibrani, *“Man Hu?”* yang berarti “Apa ini?”, bukanlah sekadar roti pengganti. Manna adalah sebuah mukjizat yang terstruktur dan teratur, sebuah sistem logistik yang bersifat supranatural, dirancang bukan hanya untuk mengisi perut, tetapi juga untuk menguji iman, mengajarkan kepatuhan, dan menanamkan ketergantungan total kepada penyedia ilahi mereka. Selama empat puluh tahun, setiap hari kecuali hari Sabat, manna jatuh bersama embun, menutupi tanah gurun seperti salju halus. Deskripsi tentang penampilannya yang menyerupai ketumbar, rasanya seperti kue madu, dan sifatnya yang cepat meleleh, telah menarik perhatian para teolog, sejarawan, dan ilmuwan selama ribuan tahun.
Artikel ini akan menyelami secara mendalam fenomena manna, dimulai dari konteks biblika dan aturan-aturan pengumpulannya yang ketat, menganalisis implikasi teologisnya, hingga menelusuri berbagai hipotesis ilmiah dan alamiah yang mencoba menjelaskan "roti dari surga" ini dalam kerangka fisik. Manna bukan hanya makanan, tetapi sebuah simbol abadi tentang pemeliharaan, ujian kesabaran, dan janji penebusan.
Peristiwa manna pertama kali didokumentasikan dalam Kitab Keluaran (Exodus) pasal 16, sekitar satu setengah bulan setelah keberangkatan dari Mesir. Israel telah meninggalkan oasis Elim dan berada di antara Elim dan Gunung Sinai. Di sana, kelelahan, rasa takut, dan kekurangan makanan menyebabkan bangsa itu meragukan kepemimpinan Musa dan, secara tidak langsung, kuasa Allah. Keluhan mereka di Padang Gurun Sin ini ditanggapi Tuhan dengan janji ganda: burung puyuh di sore hari (sebagai pemenuhan daging) dan roti dari surga di pagi hari. Manna adalah pemenuhan janji ‘roti’ tersebut, sebuah tanda bahwa Tuhan mendengar penderitaan umat-Nya.
Deskripsi manna sangat spesifik namun metaforis, menjadikannya subjek interpretasi yang luas. Kitab Keluaran menggambarkannya sebagai sesuatu yang "halus dan berbutir-butir, seperti embun beku di atas tanah." Warnanya disebut seperti tiram, atau putih, dan bentuknya seperti biji ketumbar. Yang paling khas adalah rasanya; digambarkan seperti wafer yang dibuat dengan madu atau minyak baru. Dalam Kitab Bilangan (Numbers 11:7-8), deskripsi diperluas, menyebutkan bahwa manna tampak seperti *bdellium* (sejenis getah resin yang transparan) dan bahwa orang-orang mengumpulkannya, menggilingnya dengan batu kilangan atau menumbuknya dalam lumpang, lalu memasaknya menjadi roti bundar atau membuatnya menjadi kue. Ini menunjukkan manna adalah zat padat, dapat diproses, dan sangat bergizi.
Penyediaan manna disalurkan melalui serangkaian aturan yang ketat, berfungsi sebagai disiplin rohani sekaligus praktis. Musa menetapkan bahwa setiap orang hanya boleh mengumpulkan satu *omer* (sekitar 2.2 liter, atau sekitar 1.6 kg) per kepala. Aturan ini sangat penting untuk mengajarkan kepercayaan dan mencegah ketamakan:
Pelanggaran terhadap aturan ini tercatat. Beberapa orang Israel, karena ketidakpercayaan atau keserakahan, mencoba menyimpan manna hingga esok pagi, dan seperti yang diperingatkan Musa, manna itu menjadi busuk, dipenuhi belatung, dan berbau. Sebaliknya, pada hari Sabat, beberapa orang keluar mencari manna meskipun diperingatkan, dan mereka tidak menemukan apa pun. Kejadian-kejadian ini berfungsi sebagai pengajaran langsung mengenai pentingnya mendengarkan dan mematuhi perintah ilahi.
Manna berfungsi sebagai makanan pokok Israel selama empat puluh tahun penuh, mulai dari Padang Gurun Sin hingga mereka tiba di perbatasan Kanaan. Kitab Yosua (Joshua 5:10-12) mencatat secara spesifik kapan manna itu berhenti. Hal ini terjadi segera setelah bangsa Israel merayakan Paskah pertama di Tanah Perjanjian dan mulai memakan hasil panen lokal. Begitu mereka memiliki akses ke hasil bumi Kanaan, manna berhenti, menandakan berakhirnya periode pemeliharaan supranatural di gurun dan dimulainya fase baru kemandirian yang didukung oleh sumber daya alam yang telah dijanjikan.
Jauh melampaui fungsinya sebagai nutrisi fisik, manna adalah sebuah sarana pedagogis ilahi. Dalam teologi Ibrahimi, kisah manna sarat akan makna profetik dan doktrinal, mengajarkan pelajaran tentang pemeliharaan, kesetiaan, dan identitas mesianik.
Seperti yang ditegaskan dalam Kitab Ulangan (Deuteronomy 8:3), Tuhan membiarkan Israel kelaparan dan kemudian memberi mereka manna, "untuk membuatmu mengerti bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Tuhan." Manna adalah pelajaran praktis bahwa hidup bergantung pada sumber daya ilahi, bukan semata-mata pada kemampuan manusia untuk mengumpulkan atau memproduksi. Kebutuhan untuk mengumpulkan manna setiap hari menanamkan siklus ketergantungan dan rasa syukur harian.
Sebagai pengingat yang nyata akan intervensi Tuhan, Musa memerintahkan sebagian manna untuk disimpan dalam bejana emas (atau guci) dan diletakkan di dalam Tabut Perjanjian, di hadapan Kesaksian. Guci manna ini, bersama dengan tongkat Harun yang bertunas dan lempeng Sepuluh Perintah, menjadi tiga relik suci yang disimpan dalam Ruang Mahakudus. Fungsi utama bejana ini adalah sebagai kesaksian bagi generasi mendatang tentang bagaimana Tuhan secara langsung memberi makan nenek moyang mereka di gurun. Ini adalah monumen fisik pemeliharaan ilahi.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus secara tegas menggunakan manna sebagai alegori untuk peran mesianik-Nya. Dalam Injil Yohanes pasal 6, setelah Ia memberi makan lima ribu orang, orang banyak membandingkan mukjizat tersebut dengan manna yang diberikan kepada Musa. Yesus menjawab dengan pernyataan yang sangat kuat, membedakan diri-Nya dari manna fisik:
Dalam konteks Kristen, manna menjadi prototipe atau bayangan (typology) dari Kristus. Manna adalah makanan yang menopang kehidupan fisik Israel di gurun; Kristus adalah Roti Kehidupan yang menopang kehidupan rohani abadi. Manna turun dari surga; Kristus turun dari Surga. Manna diberikan secara cuma-cuma; anugerah keselamatan diberikan secara cuma-cuma. Kontrasnya, manna hanya menopang sementara dan orang-orang yang memakannya tetap mati, sedangkan Roti Kehidupan (Kristus) menjanjikan kebangkitan dan hidup yang kekal.
Dalam tradisi apokaliptik dan eskatologis, manna juga memiliki makna masa depan. Kitab Wahyu (Revelation 2:17) menjanjikan kepada mereka yang menang: "Kepada dia yang menang, Aku akan memberinya manna yang tersembunyi." Manna tersembunyi ini sering diinterpretasikan sebagai janji untuk mendapatkan bagian dalam kemuliaan ilahi di surga, atau makanan spiritual yang disediakan di Eden yang dipulihkan, melampaui pemahaman manusia saat ini. Ini menghubungkan manna yang fana di gurun dengan makanan abadi yang kekal.
Meskipun sebagian besar teolog menekankan sifat supranatural manna, para penjelajah, ahli botani, dan sejarawan telah lama mencari penjelasan alamiah yang mungkin menjadi dasar fenomena ini, atau setidaknya memberikan petunjuk tentang apa yang mungkin menyerupai manna. Wilayah Gurun Sinai dan Semenanjung Arab diketahui menghasilkan zat-zat yang memiliki karakteristik yang mengejutkan mirip dengan deskripsi biblika.
Hipotesis ilmiah yang paling terkenal dan diterima secara luas berpusat pada getah atau eksudat yang diproduksi oleh pohon *Tamarix mannifera* (pohon Manna Tamarisk), yang tumbuh di lembah-lembah tertentu di Sinai, khususnya di Wadi Feiran. Pohon ini diserang oleh dua jenis serangga skala, *Trabutina mannipara* dan *Najacoccus serpentinus*. Serangga ini menyedot getah pohon dan mengeluarkan zat manis berupa cairan lengket, yang mengeras menjadi butiran-butiran kecil ketika suhu turun di malam hari.
Teori lain melibatkan jenis lumut kerak yang disebut *Lecanora esculenta* atau kadang-kadang disebut 'roti gurun.' Lumut kerak ini dapat tumbuh subur di iklim kering dan, ketika kering, dapat terlepas dari batu atau tanah. Angin kencang seringkali menerbangkan gumpalan lumut kerak ini dalam jumlah besar, menyebabkan mereka jatuh ke tanah seperti hujan.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa manna mungkin berasal dari eksudat gula yang dikeluarkan oleh tanaman lain, seperti semak onokis atau beberapa jenis gummi, meskipun ini kurang sesuai dengan deskripsi 'seperti embun beku'. Eksudat ini sering digunakan oleh suku-suku Badui sebagai suplemen makanan dan pemanis.
Pencarian ilmiah telah memberikan zat-zat di Padang Gurun Sinai yang secara fisik mirip dengan manna. Namun, tidak ada satu pun fenomena alam yang dapat menjelaskan aspek-aspek kunci dari manna biblika: 1) volumenya yang kolosal (cukup untuk jutaan orang), 2) periodisitasnya yang sempurna (berhenti pada Sabat dan berlipat ganda pada hari keenam), dan 3) durasinya yang tepat (40 tahun, berhenti tepat pada saat memasuki Kanaan). Dengan demikian, para teolog sering menyimpulkan bahwa sementara manna mungkin memiliki kesamaan fisik dengan produk gurun lokal, skala, waktu, dan sifat ajaib manna tetap menempatkannya dalam kategori intervensi ilahi yang unik.
Manna telah melampaui catatan sejarah agama untuk menjadi metafora universal bagi berkah tak terduga dan pemeliharaan ajaib. Jejaknya dapat ditemukan dalam hukum Yahudi, tradisi Islam, dan bahasa sehari-hari.
Dalam Yudaisme, manna memainkan peran penting dalam pemahaman tentang Sabat. Kisah manna merupakan landasan teologis untuk ketaatan Sabat, karena itu adalah demonstrasi pertama Tuhan tentang konsep istirahat mingguan setelah enam hari kerja, yang diterapkan sebelum Hukum Taurat diberikan di Gunung Sinai. Selain itu, praktik menyimpan dua roti (Challah) di meja Sabat secara tradisional merupakan peringatan atas porsi ganda manna yang dikumpulkan pada hari keenam.
Para rabi juga banyak berspekulasi mengenai sifat mistis manna. Mereka mengajarkan bahwa manna memiliki rasa yang berubah-ubah sesuai dengan selera orang yang memakannya—bagi anak-anak rasanya seperti susu, bagi orang tua seperti kue madu, dan bagi orang muda seperti roti. Ini menekankan sifat manna sebagai makanan yang sempurna, yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan individu, mencerminkan pemeliharaan Tuhan yang personal.
Kisah manna (disebut *Al-Man*) dan burung puyuh (*Salwa*) juga diceritakan dalam Al-Quran (Surah Al-Baqarah 2:57, dan Surah Taha 20:80). Dalam Islam, kisah ini merujuk pada pemeliharaan Allah (SWT) terhadap Bani Israil (Anak-anak Israel) setelah mereka dibebaskan dari Mesir. Ayat-ayat tersebut menekankan bahwa Allah menyediakan makanan yang "baik" dan "halal" bagi mereka, tetapi Bani Israil, karena tidak sabar dan ketidakpuasan, malah menuntut bawang, mentimun, dan makanan gurun yang lebih biasa.
Dalam konteks Islam, manna dan salwa sering dianggap sebagai simbol keberkahan yang diberikan kepada Bani Israil, dan penolakan mereka terhadap makanan surgawi ini dilihat sebagai contoh kurangnya rasa syukur dan keinginan mereka untuk kembali pada hal-hal duniawi yang fana, meskipun telah diberikan mukjizat yang superior.
Frasa "Manna dari Surga" (*Manna from Heaven*) telah menjadi idiom yang diterima secara global, menggambarkan sesuatu yang datang secara tak terduga dan membawa bantuan besar, seringkali dalam situasi putus asa. Penggunaan ini menunjukkan kekuatan naratif dari kisah manna, di mana ketersediaan tiba-tiba dari sumber daya penting mengubah bencana menjadi pemulihan. Frasa ini digunakan dalam konteks finansial, kesehatan, maupun politik.
Dalam beberapa tradisi kuno, manna sering dikaitkan dengan obat-obatan alami. Meskipun manna biblika adalah fenomena unik, zat-zat alami yang menyerupai manna (seperti Tamarix manna atau getah Fraxinus, yang dikenal sebagai Manna ash) digunakan dalam pengobatan tradisional sebagai pencahar ringan dan pemanis. Hal ini menimbulkan kebingungan historis antara manna supranatural dan produk botani yang kebetulan memiliki nama yang sama.
Dalam konteks modern, pencarian akan "manna" sering dikaitkan dengan pencarian solusi berkelanjutan untuk kelaparan global. Sebagaimana manna menyediakan makanan secara merata dan harian tanpa memandang status sosial, ia menjadi cita-cita untuk sistem distribusi makanan yang adil dan efisien di seluruh dunia.
Studi terhadap manna tidak lengkap tanpa mempertimbangkan secara rinci sistem disiplin yang diinstal melalui pemberiannya. Aturan-aturan ini bukan sekadar pedoman logistik; mereka adalah alat pengajaran yang dirancang untuk membentuk karakter kolektif bangsa Israel dari mentalitas budak menjadi bangsa yang beriman dan tertib.
Perintah bahwa setiap orang harus mengumpulkan satu omer (sekitar 1,6 kg) merupakan mekanisme anti-ketamakan yang sangat cerdik. Musa mencatat bahwa ketika orang-orang mengumpulkan manna, mereka yang mengumpulkan lebih banyak ternyata tidak kelebihan, dan mereka yang mengumpulkan lebih sedikit tidak kekurangan (Keluaran 16:18). Ini menunjukkan adanya mekanisme ajaib, yang melampaui jumlah fisik yang dikumpulkan, untuk memastikan distribusi yang adil dan merata. Tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa cemas dan persaingan, serta untuk memastikan bahwa anggota masyarakat yang lemah atau sakit—yang tidak mampu mengumpulkan sendiri—tetap mendapatkan jatah yang sama.
Kisah manna mengajarkan konsep *kesetaraan dalam ketergantungan*. Di gurun, kekayaan atau kekuatan fisik tidak menjamin makanan yang lebih banyak. Semua harus mengandalkan sumber yang sama, dan sumber itu membatasi akumulasi kekayaan material dalam bentuk makanan. Ini adalah dasar ekonomi moral yang menekankan kebutuhan atas surplus.
Fakta bahwa manna akan membusuk dalam waktu 24 jam adalah elemen kunci dalam disiplin ilahi. Jika manna bisa disimpan, orang Israel mungkin akan cenderung menimbun untuk berjaga-jaga, suatu perilaku yang mencerminkan rasa takut dan kurangnya iman. Pembusukan yang cepat memaksa mereka untuk melepaskan kekhawatiran tentang hari esok dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan hari ini. Ini adalah manifestasi literal dari ajaran yang kemudian diungkapkan dalam Perjanjian Baru: "Janganlah kuatir akan hari esok; karena hari esok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."
Disiplin ini juga mengajarkan ritme waktu yang diatur secara ilahi. Bangsa Israel harus bangun pagi-pagi untuk mengumpulkan sebelum panas matahari datang. Mereka harus bekerja untuk mendapatkan makanan, tetapi dalam batas waktu yang ditentukan. Manna menciptakan struktur hidup harian di tengah kekacauan perjalanan gurun.
Pengecualian satu-satunya dari aturan pembusukan adalah manna yang dikumpulkan pada hari Jumat (hari keenam). Penggandaan porsi ini bukan hanya penyediaan logistik untuk Sabat, tetapi juga mukjizat kedua yang menguatkan pemeliharaan Tuhan. Manna yang busuk selama enam hari dalam seminggu, tidak busuk pada hari ketujuh. Ini adalah konfirmasi bahwa Sabat adalah hari yang ditetapkan dan diberkati secara khusus. Ketaatan terhadap hari Sabat menjadi ujian utama kepercayaan mereka; apakah mereka percaya Tuhan akan menyediakan cukup pada hari Jumat untuk menopang mereka melalui Sabat tanpa bekerja?
Kegagalan beberapa orang untuk mematuhi aturan ini pada Sabat, dan kegagalan mereka menemukan manna, memperkuat pentingnya ketaatan. Ini menetapkan preseden kuat bagi Hukum Sabat yang akan segera mereka terima di Sinai. Manna berfungsi sebagai sekolah praktis selama beberapa minggu sebelum hukum tertulis diberikan.
Meskipun manna adalah fenomena mukjizat, teks-teks Alkitab memberikan detail yang cukup tentang bagaimana manna diproses dan dimakan, yang mengindikasikan bahwa ia memiliki sifat fisik tertentu, meskipun komposisinya unik.
Bangsa Israel hidup hanya dengan manna selama empat puluh tahun. Ini menunjukkan bahwa manna harus memiliki profil nutrisi yang sangat lengkap, yang mampu menopang kehidupan manusia dalam kondisi gurun yang keras, menyediakan karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral. Jika manna hanyalah Tamarix Manna (gula), bangsa Israel pasti akan menderita malnutrisi parah dan penyakit. Fakta bahwa mereka dapat bertahan hidup, berjalan, dan bertempur selama empat dekade adalah bukti bahwa manna adalah makanan yang ‘sempurna’.
Kitab Bilangan mencatat rasa bosan Israel terhadap makanan ini—mereka menyebutnya “makanan yang hambar” (*lekak*). Ini menyiratkan bahwa meskipun bergizi, konsumsi harian dari makanan yang sama selama puluhan tahun menyebabkan kelelahan diet, yang memicu keluhan mereka dan keinginan mereka untuk kembali ke makanan yang lebih bervariasi dari Mesir.
Penting untuk dicatat bahwa manna bukan hanya dimakan mentah. Bangsa Israel mengolahnya. Bilangan 11:8 menyebutkan dua metode utama:
Kapasitas manna untuk berfungsi sebagai pengganti tepung roti selama empat puluh tahun adalah aspek yang paling menantang untuk dijelaskan melalui lensa ilmiah alamiah, yang menegaskan sifat supranatural penyediaan ini.
Penyediaan manna harus dilihat dalam konteks ekologis Padang Gurun Sinai. Gurun adalah tempat kekosongan, ketiadaan sumber daya yang jelas, dan ujian batas kemampuan manusia. Manna secara radikal membalikkan logika gurun.
Gurun adalah panggung yang sempurna untuk mukjizat. Jika Israel menerima makanan berlimpah di lingkungan yang subur, mukjizat itu akan kehilangan kekuatannya. Di padang gurun, di mana setiap hari adalah perjuangan melawan kelaparan dan dehidrasi, manna menjadi tanda kehadiran Tuhan yang tidak bisa disangkal. Padang gurun berfungsi sebagai ruang kelas di mana Israel, yang baru dibebaskan dari ketergantungan pada otoritas Firaun, diajarkan ketergantungan total pada otoritas ilahi.
Konsep ‘ketergantungan’ ini sangat kuat. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, mereka harus melihat tanda fisik penyediaan Tuhan yang baru. Keteraturan ini mencegah mereka menjadi penyembah berhala yang mungkin akan mengaitkan makanan mereka dengan dewa kesuburan lokal yang mereka temui di Kanaan. Sumber makanan mereka adalah transenden, berasal dari 'surga', bukan dari tanah atau sungai Mesir.
Untuk memahami skala mukjizat manna, kita harus mempertimbangkan logistik yang terlibat. Jika diasumsikan populasi Israel adalah 2 juta orang (angka konservatif, banyak yang memperkirakan lebih), dan setiap orang membutuhkan 1,6 kg manna per hari, maka setiap hari Tuhan harus menyediakan sekitar 3,2 juta kilogram (3.200 ton) makanan. Dalam rentang 40 tahun, jumlah ini adalah jumlah astronomis. Belum lagi, manna harus jatuh dan menutupi area yang cukup luas (yaitu, di sekitar perkemahan) agar dapat dikumpulkan dalam waktu singkat sebelum meleleh.
Keberlanjutan dan ketepatan penyediaan ini—setiap hari, tanpa gagal, di lokasi yang berbeda saat mereka berpindah-pindah—membuat manna menjadi salah satu mukjizat terpanjang dalam sejarah agama, dan sangat sulit untuk dijelaskan dengan fenomena meteorologi atau botani tunggal.
Akhir dari manna di Kanaan adalah sama pentingnya dengan permulaannya. Kanaan adalah tanah yang 'berlimpah susu dan madu', sebuah lingkungan di mana manusia harus menanam, memanen, dan mengelola sumber daya. Ketika Israel makan hasil panen Kanaan (roti tidak beragi dari hasil tuaian), manna berhenti. Ini menandai transisi dari mode kehidupan mukjizat yang terus-menerus ke mode kehidupan berbasis perjanjian dan kerja keras. Mukjizat bukan lagi makanan utama, tetapi Hukum (Taurat) dan kerja keras di tanah yang subur. Pemeliharaan Tuhan kini bermanifestasi melalui siklus alam dan hasil panih yang diberikan melalui upaya manusia.
Transisi ini menegaskan bahwa manna adalah solusi temporer, spesifik untuk masa pengujian di gurun. Itu adalah pemeliharaan sementara yang mengantarkan mereka pada pemeliharaan permanen melalui kemakmuran Tanah Perjanjian.
Kisah manna tetap menjadi salah satu fondasi utama narasi monoteistik tentang hubungan antara Pencipta dan ciptaan. Sebagai makanan yang secara harfiah "turun dari surga," manna mewakili puncak pemeliharaan ilahi dalam menghadapi kehampaan. Ia adalah demonstrasi konkret bahwa Tuhan peduli terhadap kebutuhan fisik harian umat-Nya.
Baik dilihat dari lensa teologis sebagai bayangan profetik Roti Kehidupan (Kristus), atau dari perspektif historis sebagai fenomena unik yang melampaui penjelasan ilmiah konvensional, manna adalah sebuah kisah tentang disiplin, kesetaraan, dan kepercayaan tanpa batas. Aturan pengumpulannya yang ketat—omer harian dan Sabat ganda—mengajarkan bangsa Israel pelajaran dasar tentang pelepasan kecemasan dan pentingnya istirahat dan kepatuhan dalam ritme ilahi.
Meskipun kita tidak lagi melihat manna berjatuhan di tanah setiap pagi, warisannya tetap hidup dalam konsep 'rejeki nomplok' dan dalam penegasan spiritual bahwa sumber kehidupan sejati berasal dari penyediaan yang melampaui kemampuan kita sendiri. Manna adalah kesaksian abadi bahwa di tengah gurun terburuk sekalipun, keajaiban pemeliharaan masih mungkin terjadi bagi mereka yang bersedia untuk mengumpulkan, bersyukur, dan percaya, hari demi hari.