Manikebu: Manifestasi Kebebasan dalam Pusaran Ideologi Kebudayaan Indonesia

Di tengah riuhnya gejolak politik dan ideologi pada paruh pertama dekade 1960-an, sebuah deklarasi singkat, namun fundamental, muncul sebagai benteng pertahanan bagi kebebasan berekspresi dan kemanusiaan universal. Deklarasi ini dikenal dengan sebutan Manikebu, akronim dari Manifesto Kebudayaan. Lebih dari sekadar dokumen tertulis, Manikebu adalah penolakan tegas terhadap dominasi ideologi tunggal dalam dunia seni dan budaya Indonesia, sebuah penolakan yang berujung pada kontroversi masif, pelarangan negara, dan konsekuensi historis yang mengubah peta kebudayaan nasional secara drastis.

Memahami Manikebu berarti menelusuri secara cermat konteks politik saat itu, khususnya masa Demokrasi Terpimpin, di mana negara cenderung mengintegrasikan seluruh aspek kehidupan, termasuk kebudayaan, di bawah payung komando revolusi. Dalam kondisi inilah, Manikebu hadir sebagai teriakan seniman dan budayawan yang mendambakan otonomi artistik, sebuah kebutuhan esensial yang mereka yakini tidak boleh terbelenggu oleh kepentingan partai atau doktrin politik manapun.

I. Latar Belakang Geopolitik dan Kultur Tahun 1960-an

Awal dekade 60-an di Indonesia ditandai dengan intensifikasi persaingan ideologi global yang meresap ke dalam struktur domestik. Tiga kekuatan utama (Nasionalisme, Agama, Komunisme) atau yang dikenal sebagai Nasakom, membentuk lanskap politik yang sangat dinamis. Dalam arena kebudayaan, dominasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi sayap kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), semakin menguat. Lekra mempromosikan doktrin Realisme Sosialis dan konsep "Seni untuk Rakyat," menuntut agar seni berfungsi sebagai alat agitasi dan pendidikan revolusioner.

Bagi Lekra, kebudayaan bukan hanya sekadar ekspresi individu, melainkan merupakan medan pertempuran ideologis untuk memajukan cita-cita sosialisme. Seniman yang tidak sejalan dengan garis partai atau yang dianggap terlalu 'individualis' atau 'abstrak' dicap sebagai borjuis, liberal, atau bahkan kontra-revolusioner. Iklim ini menciptakan tekanan luar biasa bagi budayawan yang percaya pada nilai-nilai humanisme universal, kebebasan individu, dan eksplorasi artistik yang melampaui batas-batas politik praktis.

Manifesto Sebagai Reaksi Kultural

Munculnya Manikebu pada tahun 1963 adalah reaksi langsung terhadap penyeragaman dan hegemoni ideologi yang dipaksakan. Budayawan dan seniman yang khawatir bahwa kebebasan kreativitas mereka akan sepenuhnya terkikis oleh dogmatisme politik merasa perlu untuk menegaskan kembali posisi mereka. Mereka berpendapat bahwa kebudayaan harus berdiri di atas kepentingan sesaat politik, dan bahwa martabat manusia adalah sumber utama segala kreativitas.

Kelompok yang merumuskan dan mendukung Manikebu sebagian besar terdiri dari budayawan yang memiliki latar belakang pendidikan dan pemikiran yang berakar pada tradisi Barat, humanisme, dan eksistensialisme, seperti H.B. Jassin, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, dan Trisno Sumardjo. Mereka melihat bahwa Revolusi Indonesia haruslah diarahkan pada pembebasan manusia seutuhnya, bukan sekadar pergantian kekuasaan yang diikuti oleh pemasungan ekspresi.

Manifesto Kebudayaan Kebebasan dan Kemanusiaan

Visualisasi sebuah dokumen kebebasan ekspresi, simbol dari Manifes Kebudayaan (Manikebu).

II. Deklarasi dan Inti Filosofis Manikebu

Manikebu secara resmi dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1963. Deklarasi ini muncul dari kebutuhan mendesak untuk mendefinisikan kembali posisi kebudayaan dalam pusaran Revolusi. Pada dasarnya, dokumen ini sangat pendek namun padat, menggarisbawahi beberapa poin penting yang secara diametral bertentangan dengan doktrin kebudayaan yang dipromosikan oleh kelompok kiri saat itu.

A. Prinsip Kemanusiaan Universal

Inti dari Manikebu adalah penegasan terhadap humanisme universal. Manikebu menegaskan bahwa kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi manusia. Budayawan yang mendukung Manikebu memandang manusia sebagai entitas bebas yang memiliki martabat independen, lepas dari sekat kelas, ras, atau afiliasi politik. Mereka percaya bahwa nilai-nilai kebudayaan yang luhur haruslah bersifat universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia, dan tidak hanya terbatas pada interpretasi revolusioner suatu kelompok tertentu. Konsep ini secara terang-terangan menentang prinsip Realisme Sosialis, yang menempatkan kepentingan kelas proletar sebagai satu-satunya tolok ukur kebenaran artistik.

Para pendukung Manikebu berargumen bahwa karya seni yang baik tidak dapat dibatasi hanya pada realitas sosial yang sempit. Eksplorasi spiritual, emosional, dan metafisik—yang sering diabaikan atau bahkan dikecam oleh Lekra—dianggap sebagai bagian integral dari hakikat manusia yang perlu diungkapkan melalui seni. Ini adalah penekanan pada individu sebagai pusat dari penciptaan, bukan kolektivitas yang didikte oleh struktur politik.

B. Otonomi Kebudayaan

Poin krusial lainnya adalah penegasan bahwa kebudayaan tidak boleh menjadi alat (an instrument) dari politik manapun. Manikebu menuntut otonomi penuh bagi budayawan untuk berkarya tanpa intervensi ideologis dari partai atau negara. Mereka ingin memisahkan fungsi seni sebagai penciptaan keindahan dan makna dari fungsi agitasi politik. Dalam pandangan Manikebu, ketika seni dipaksa untuk melayani ideologi tertentu, ia kehilangan kejujurannya dan berubah menjadi propaganda, yang pada akhirnya merendahkan kualitas seni itu sendiri.

Penolakan terhadap instrumentalitas ini menjadi titik gesekan terbesar. Di era Demokrasi Terpimpin, Sukarno sendiri mendorong seniman untuk menjadi 'Pelopor Revolusi'. Budayawan Manikebu, meskipun mendukung Revolusi dalam konteks kemerdekaan nasional, menolak mentah-mentah ide bahwa kreativitas mereka harus tunduk pada Garis Partai atau Garis Komando Revolusi. Mereka melihat seni sebagai ekspresi spiritual yang melampaui garis-garis tersebut.

Manikebu, dalam esensinya, mencoba mempertahankan ruang netral bagi kebebasan berpikir. Ini bukan sekadar perdebatan estetik antara Realisme dan Abstraksi, melainkan perdebatan mendasar tentang hakikat manusia dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi. Mereka memperjuangkan hak untuk menjadi seniman tanpa harus menjadi propagandis.

III. Pergulatan Ideologis dan Kontroversi Manikebu

Setelah deklarasinya, Manikebu segera memicu badai kontroversi. Kelompok Lekra, yang telah memegang kendali atas narasi kebudayaan revolusioner, melihat Manikebu sebagai ancaman eksistensial terhadap proyek ideologis mereka. Lekra melancarkan serangan balasan yang sangat terorganisir dan agresif, memanfaatkan media massa dan posisi politik mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan.

A. Serangan Lekra: Tuduhan Humanisme Universal Abstrak

Kritik utama dari Lekra terhadap Manikebu adalah tuduhan bahwa Manikebu mengusung "Humanisme Universal Abstrak". Menurut Lekra, konsep kemanusiaan universal yang diusung oleh Manikebu adalah konsep kosong, tanpa akar, dan tidak relevan dengan perjuangan konkret rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan imperialisme dan feodalisme.

Lekra berargumen bahwa humanisme yang murni dan benar adalah humanisme yang berpihak, yaitu humanisme yang membela kaum tertindas (proletar dan petani). Jika Manikebu berbicara tentang manusia secara umum, bagi Lekra, ini hanyalah cara kaum borjuis intelektual untuk menghindari tanggung jawab sosial dan politik. Mereka menuduh pendukung Manikebu sebagai antek-antek neo-kolonialisme, karena ideologi humanisme universal sering dikaitkan dengan pemikiran liberal Barat.

Intensitas serangan ini tidak hanya terbatas pada perdebatan editorial. Budayawan pendukung Manikebu mulai menghadapi penghinaan publik, pemboikotan karya, dan tekanan sosial yang signifikan. Tekanan ini semakin diperkuat oleh slogan-slogan revolusioner yang mendominasi ruang publik, yang secara efektif mengisolasi para pendukung Manikebu.

B. Perdebatan dalam Media Massa

Surat kabar dan majalah pada masa itu menjadi arena pertempuran sengit. Kolom-kolom dipenuhi dengan polemik antara Lekra dan pendukung Manikebu. Sementara Lekra menggunakan istilah-istilah Marxis dan retorika perjuangan kelas, Manikebu mencoba mempertahankan narasi yang lebih berfokus pada kebebasan fundamental dan nilai-nilai seni yang abadi.

Salah satu poin perdebatan paling panas adalah mengenai fungsi sastra. Lekra menuntut karya yang jelas-jelas menggambarkan penderitaan rakyat dan memajukan semangat revolusi (Realism Sosialis). Sebaliknya, pendukung Manikebu, seperti Goenawan Mohamad, menekankan pentingnya lirik, eksplorasi batin, dan hak seniman untuk tidak terikat pada skema politik. Bagi Lekra, karya yang terlalu fokus pada aspek pribadi atau estetik formal adalah penghianatan terhadap revolusi.

Perdebatan ini dengan cepat meninggalkan ranah diskusi intelektual dan bergerak menuju penghakiman moral dan politik. Siapa pun yang menentang Lekra atau ideologi yang didukungnya dianggap tidak sejalan dengan cita-cita besar Revolusi Indonesia, sebuah tuduhan yang sangat berbahaya pada masa Demokrasi Terpimpin yang otoriter.

Kebebasan vs Belenggu

Perjuangan Manikebu untuk membebaskan seni dari belenggu ideologi politik.

IV. Intervensi Politik dan Pelarangan Negara

Kontroversi Manikebu tidak bertahan lama sebagai debat kebudayaan semata. Karena Lekra memiliki pengaruh politik yang kuat dalam lingkaran kekuasaan Sukarno, dan karena semangat Manikebu dianggap bertentangan dengan semangat sentralistik Nasakom dan Demokrasi Terpimpin, isu ini segera diangkat ke tingkat tertinggi pemerintahan.

A. Sikap Sukarno dan 'Mentaliteit' Manikebu

Presiden Sukarno, sebagai Pemimpin Besar Revolusi, memiliki pandangan yang jelas mengenai kebudayaan: kebudayaan haruslah melayani revolusi. Sukarno sangat sensitif terhadap ideologi yang berbau 'liberalisme' Barat atau yang dianggap dapat memecah belah persatuan di bawah payung Nasakom. Ketika ia melihat bahwa Manikebu bersikeras pada kebebasan individu dan humanisme universal—yang oleh Lekra didefinisikan sebagai liberalisme borjuis—Sukarno mengambil sikap menentang.

Sukarno melihat Manikebu sebagai manifestasi dari mentaliteit (mentalitas) yang tidak sejalan dengan jiwa gotong royong dan semangat kolektif revolusi Indonesia. Dalam beberapa pidatonya, ia mengkritik keras fenomena ‘kebudayaan bebas’ yang dianggapnya mengancam pembangunan karakter bangsa yang sedang giat-giatnya diarahkan oleh negara.

Dukungan Lekra terhadap Sukarno, melalui program ‘Turun ke Bawah’ dan kampanye anti-imperialisme kebudayaan, berhasil meyakinkan pemimpin negara bahwa Manikebu adalah benih-benih kontra-revolusioner yang harus dimusnahkan.

B. Dekret Pelarangan Resmi

Puncak dari konflik ini adalah pelarangan resmi Manikebu oleh pemerintah. Pada bulan Mei 1964, Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden yang melarang keberadaan dan segala kegiatan yang berhubungan dengan Manifesto Kebudayaan. Pelarangan ini bukan sekadar tindakan administratif; ini adalah pukulan telak yang secara efektif membungkam oposisi kultural.

Pelarangan Manikebu memiliki implikasi serius. Ia secara sah membenarkan dominasi Lekra dalam arena kebudayaan dan memberikan legitimasi bagi Lekra untuk memburu dan menyingkirkan budayawan yang pernah menandatangani atau mendukung Manikebu. Seniman dan penulis yang terkait dengan Manikebu dicap sebagai 'Musuh Kebudayaan Revolusi' dan seringkali diasingkan dari lembaga-lembaga kebudayaan resmi, penerbitan, hingga pekerjaan.

Periode setelah pelarangan ini menjadi era paling represif dalam sejarah kebudayaan modern Indonesia, di mana kreativitas dipaksa untuk berjalan di atas rel tunggal ideologi politik. Kebebasan ekspresi dihukum, dan standar artistik sering kali digantikan oleh kesetiaan politik. Perdebatan ideologis yang sehat berubah menjadi puritanisme ideologis yang menakutkan.

V. Dampak dan Konsekuensi Jangka Panjang

Meskipun Manikebu hanya berumur singkat—sekitar delapan bulan sejak deklarasinya hingga pelarangannya—dampaknya terhadap sejarah kebudayaan Indonesia sangat mendalam dan berjangka panjang. Manikebu menjadi penanda garis pemisah yang tajam, membagi budayawan menjadi dua kubu yang saling bermusuhan, sebuah polarisasi yang tragisnya menemukan titik kulminasi setelah peristiwa G30S.

A. Setelah Pelarangan: Isolasi dan Pembungkaman

Setelah 1964, para pendukung manikebu berada dalam posisi yang sangat rentan. Banyak dari mereka kehilangan platform untuk publikasi dan ekspresi. Institusi-institusi pendidikan dan seni didominasi oleh pendukung Lekra, membuat para 'manikebuan' terpinggirkan. Hal ini memaksa banyak seniman untuk menarik diri, sementara yang lain terus berjuang secara diam-diam.

Namun, di luar Jakarta, di berbagai daerah, semangat Manikebu secara tidak langsung dihidupkan kembali melalui komunitas-komunitas kecil yang menolak dikte Lekra. Mereka mempertahankan kebebasan artistik dalam skala lokal, meskipun dengan risiko tinggi. Periode ini membuktikan bahwa hasrat untuk berekspresi secara bebas adalah naluri fundamental yang sulit dipadamkan oleh dekret politik.

B. Peristiwa 1965 dan Balik Arah Kebudayaan

Peristiwa 1965, yang diikuti dengan pembantaian dan pembersihan massal terhadap anggota dan simpatisan PKI dan organisasi afiliasinya (termasuk Lekra), secara drastis membalikkan keadaan. Mereka yang sebelumnya dicap sebagai kontra-revolusioner karena mendukung Manikebu tiba-tiba menemukan diri mereka berada di sisi yang 'benar' dalam rezim Orde Baru yang baru berkuasa.

Paradoks historis ini menempatkan para pendukung Manikebu—yang sebelumnya memperjuangkan kebebasan dari intervensi negara—menjadi tokoh sentral dalam pembangunan kebudayaan Orde Baru. Mereka mengisi kekosongan institusional dan naratif yang ditinggalkan oleh Lekra yang kini dilarang. Humanisme universal yang mereka perjuangkan kembali menemukan tempatnya, meskipun seringkali ditafsirkan ulang agar sejalan dengan ideologi pembangunan Orde Baru.

Meskipun demikian, semangat inti dari Manikebu, yaitu penolakan terhadap instrumentalitas politik dalam seni, tetap menjadi prinsip penting bagi banyak budayawan pasca-1965. Mereka telah menyaksikan secara langsung bahaya dari seni yang sepenuhnya ditunggangi oleh kekuasaan dan ideologi totaliter.

VI. Analisis Mendalam Mengenai Humanisme Manikebu

Untuk memahami sepenuhnya signifikansi Manikebu, perlu dilakukan analisis filosofis terhadap konsep humanisme yang mereka usung. Manikebu tidak hanya merespons Lekra, tetapi juga mencoba mendefinisikan identitas kultural Indonesia yang terbuka, pluralistik, dan terhubung dengan dialog global.

A. Kontras dengan Humanisme Marxis

Humanisme yang dianut oleh pendukung Manikebu seringkali memiliki akar dalam filsafat Barat pasca-Perang Dunia II, di mana penekanan pada eksistensi individu, kebebasan memilih, dan pertanggungjawaban personal sangat kuat. Ini sangat berbeda dengan humanisme Marxis yang diusung oleh Lekra, yang melihat manusia hanya dapat mencapai potensi penuhnya melalui perjuangan kelas kolektif dan penghapusan penindasan struktural.

Manikebu menekankan ‘manusia’ sebagai sebuah kategori transenden yang abadi, sementara Lekra menekankan ‘manusia yang berjuang’ dalam konteks sejarah material. Bagi Manikebu, masalah seni adalah masalah hati nurani dan kualitas estetik; bagi Lekra, masalah seni adalah masalah kesetiaan ideologis dan keberpihakan kelas.

Perbedaan mendasar ini menciptakan tembok pemisah yang hampir mustahil untuk dijembatani. Ketika Lekra menyerukan "Turun ke Bawah" untuk menyerap realitas rakyat, pendukung Manikebu menyerukan "Naik ke Atas" untuk mencapai kualitas estetik tertinggi dan mengeksplorasi kedalaman jiwa manusia, yang mereka yakini sama pentingnya dengan realitas sosial di permukaan.

B. Manikebu dan Kritik terhadap Totalitarianisme

Dalam konteks global tahun 1960-an, Manikebu dapat dilihat sebagai bagian dari tren intelektual yang mengkritik totalitarianisme, baik dari sayap kanan maupun kiri. Para budayawan Manikebu, melalui penegasan mereka terhadap hak individu dan penolakan terhadap diktat ideologis, secara implisit mengkritik sistem yang menuntut kepatuhan total. Mereka memperjuangkan hak untuk berbeda, hak untuk menjadi seniman yang skeptis, dan hak untuk menjelajahi ambiguitas kehidupan, hal-hal yang tidak diizinkan dalam kerangka Realisme Sosialis yang hitam-putih.

Jika Lekra ingin membangun 'Budaya Baru' yang seragam dan revolusioner, Manikebu ingin mempertahankan 'Tradisi Kebudayaan' yang memungkinkan keragaman, dialog, dan kebebasan berpikir. Ini adalah perjuangan antara keseragaman yang dikendalikan negara melawan pluralitas yang didorong oleh individu.

VII. Warisan Abadi Manifesto Kebudayaan

Meskipun Manikebu dilarang, warisan pemikirannya jauh melampaui masa hidupnya yang singkat. Konsep yang diperjuangkan oleh para budayawan Manikebu terus membentuk wacana kebudayaan Indonesia hingga hari ini, terutama dalam hal definisi peran seniman dalam masyarakat dan hubungan antara seni dan kekuasaan.

A. Fondasi Pluralisme Kebudayaan

Manikebu memberikan landasan historis bagi penegasan pluralisme di Indonesia. Ia mengajarkan bahwa negara yang sehat tidak boleh memihak pada satu aliran seni atau ideologi budaya. Manikebu menjadi titik referensi ketika seniman di era-era berikutnya menghadapi tekanan untuk menyesuaikan karya mereka dengan agenda politik tertentu, termasuk selama masa Orde Baru dan reformasi.

Semangat Manikebu adalah pengakuan bahwa kebudayaan yang kaya dan dinamis hanya dapat tumbuh dalam iklim kebebasan, di mana perbedaan pandangan tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai sumber daya kreatif. Warisan ini menjadi pilar etika bagi para kritikus dan seniman yang ingin menjaga integritas artistik mereka.

B. Pengaruh terhadap Generasi Selanjutnya

Generasi penulis dan seniman setelah 1965, yang tumbuh dalam bayang-bayang peristiwa tersebut, menyerap pelajaran pahit dari Manikebu dan Lekra. Mereka menyadari betapa berbahayanya polarisasi ekstrem dan pentingnya mempertahankan jarak kritis dari kekuasaan. Manikebu menjadi simbol perlawanan kebudayaan yang gagal pada masanya, namun berhasil memberikan pelajaran moral yang kuat.

Manikebu mewakili sebuah keberanian kolektif sekelompok intelektual yang berani menantang arus utama politik yang berkuasa dengan senjata ide. Mereka mempertaruhkan karier dan keamanan mereka demi sebuah prinsip yang mereka yakini universal: hak asasi manusia dan kebebasan untuk berkreasi harus dijunjung tinggi, bahkan di tengah gejolak revolusioner.

Kisah tentang manikebu adalah kisah tentang betapa rapuhnya kebebasan ekspresi dalam masyarakat yang didominasi oleh ideologi. Ia berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa ketika politik mencoba mendikte estetik, korban pertamanya adalah kebenaran dan kemanusiaan.

VIII. Analisis Kritis Terhadap Kritik Manikebu

Meskipun Lekra berhasil memenangkan pertempuran ideologis dan politik di tahun 1964, kritik mereka terhadap Manikebu perlu dievaluasi secara kritis dari perspektif sejarah dan filosofi kebudayaan. Kritik Lekra, meskipun sarat dengan retorika perjuangan kelas, seringkali gagal memahami atau secara sengaja menyimpangkan tujuan Manikebu.

A. Misinterpretasi Terhadap 'Abstraksi'

Kritik Lekra menargetkan Manikebu sebagai gerakan yang mendukung seni 'abstrak' atau 'formalistik' yang tidak dapat dipahami oleh rakyat jelata. Dalam pandangan Lekra, seni haruslah realis dan mudah dicerna, berfungsi sebagai cermin dan pemandu kehidupan rakyat.

Namun, Manikebu tidak pernah secara eksplisit menolak seni realis; mereka menolak tuntutan bahwa seni harus *hanya* realis dan politis. Manikebu memperjuangkan spektrum penuh ekspresi. Kritik Lekra menunjukkan adanya ketakutan mendalam terhadap kompleksitas dan keragaman dalam seni. Mereka memaksakan kejelasan pesan di atas kedalaman makna, sebuah ciri khas dari ideologi yang ingin mengontrol interpretasi realitas.

Dalam sejarah seni global, banyak gerakan avant-garde yang dituduh abstrak dan borjuis pada masanya, namun kemudian diakui sebagai inovasi penting. Lekra, melalui serangan terhadap 'formalisme', menunjukkan sikap anti-intelektual dan anti-inovasi yang ekstrem, yang sayangnya menjadi norma dalam budaya mereka saat itu.

B. Kegagalan Memahami Otonomi Estetik

Lekra gagal memahami konsep otonomi estetik. Bagi mereka, tidak ada yang netral; segalanya adalah politik. Jika seniman mengklaim netralitas, itu berarti mereka secara implisit mendukung status quo atau imperialisme. Logika ini menghancurkan kemungkinan adanya kritik yang datang dari perspektif moral atau spiritual, yang merupakan sumber utama bagi pendukung manikebu.

Ketika Lekra menuduh Manikebu sebagai gerakan yang ‘tidak berpihak’, Manikebu sebenarnya berpihak: berpihak pada martabat kemanusiaan dan kebebasan berpikir. Ini adalah keberpihakan yang lebih mendasar daripada keberpihakan pada partai atau kelas sosial. Kegagalan Lekra untuk mengakui jenis keberpihakan ini adalah bukti dari sempitnya kerangka berpikir totaliter yang mereka anut.

Perjuangan Manikebu adalah peringatan bahwa keberpihakan moral dan keberpihakan politik adalah dua hal yang berbeda, dan bahwa seniman harus memiliki hak untuk memilih keberpihakan mana yang akan mereka gunakan sebagai pedoman karya mereka.

IX. Manikebu dalam Konteks Historiografi Kebudayaan

Dalam studi sejarah kebudayaan Indonesia, Manikebu menempati posisi yang sangat unik. Ia adalah momen singkat di mana resistensi terhadap politik budaya yang dominan dideklarasikan secara terbuka, menjadi simbol perlawanan terakhir sebelum pembungkaman total.

A. Narasi Sejarah Orde Baru

Selama era Orde Baru, Manikebu seringkali diangkat sebagai narasi heroik. Para pendukungnya diposisikan sebagai pahlawan yang melawan dominasi Komunisme dalam kebudayaan. Narasi ini, meskipun membantu budayawan Manikebu mendapatkan kembali posisi mereka, juga mengandung bahaya simplifikasi. Orde Baru mengabaikan fakta bahwa Manikebu pada dasarnya adalah gerakan yang menolak segala bentuk campur tangan politik, termasuk campur tangan yang kemudian dilakukan oleh rezim Orde Baru sendiri.

Oleh karena itu, peninjauan kembali Manikebu harus dilakukan secara kritis, memisahkan semangat aslinya—yaitu kebebasan dari segala kekuasaan politik—dari instrumentalitas yang mungkin diterapkan oleh rezim Orde Baru yang berupaya membersihkan sejarah dari pengaruh kiri.

B. Relevansi dalam Era Reformasi

Setelah Reformasi, isu Manikebu kembali menjadi relevan dalam diskusi tentang bagaimana seharusnya kebudayaan nasional dijalankan. Dalam era demokrasi terbuka, ancaman terhadap kebebasan artistik tidak lagi datang hanya dari ideologi tunggal negara, melainkan dari fundamentalisme agama, tekanan pasar, atau polarisasi sosial yang baru.

Pesan inti Manikebu mengenai pentingnya kebebasan individu, pluralitas ide, dan penolakan terhadap pemaksaan ideologi apa pun tetap menjadi pedoman etis yang kuat. Keberanian para penandatangan Manikebu untuk menantang kekuasaan yang represif tetap menjadi inspirasi bagi generasi seniman muda untuk mempertahankan integritas dan otonomi mereka di hadapan berbagai bentuk tekanan kontemporer.

Manikebu bukan hanya cerita tentang masa lalu yang dramatis, melainkan sebuah studi kasus abadi tentang benturan antara Seni (sebagai ekspresi batin) dan Kekuasaan (sebagai alat kontrol sosial). Selama seniman masih menghadapi godaan untuk menjadi propagandis atau tekanan untuk mengikuti arus massa, semangat yang terkandung dalam manikebu akan terus relevan dan dibutuhkan.

X. Telaah Mendalam Terhadap Tokoh Kunci Manikebu

Manifesto Kebudayaan tidak akan pernah lahir tanpa dedikasi dan keberanian beberapa individu kunci. Menggali latar belakang mereka membantu kita memahami mengapa mereka begitu teguh dalam mempertahankan prinsip-prinsip universalisme di tengah badai politik yang ekstrem.

A. H.B. Jassin: Moralitas dan Kritik Sastra

H.B. Jassin, sang 'Paus Sastra Indonesia', adalah salah satu figur sentral dalam Manikebu. Bagi Jassin, kualitas karya sastra adalah yang utama, dan kualitas ini tidak boleh dinilai berdasarkan seberapa baik ia melayani partai atau ideologi. Jassin dikenal karena etika kritiknya yang kuat, selalu menekankan kejujuran batin pengarang dan integritas karya. Ketika Lekra menuntut kesetiaan politik, Jassin menuntut kesetiaan pada seni itu sendiri.

Keterlibatannya dalam Manikebu adalah perpanjangan dari prinsip kritiknya: bahwa sastra harus bebas dari belenggu. Jassin berjuang untuk menjaga sastra sebagai entitas otonom yang bisa mengkritik dan merayakan kehidupan manusia tanpa izin dari otoritas politik. Keputusan Jassin untuk menandatangani Manikebu, meskipun berisiko tinggi, adalah sebuah tindakan moral yang mendefinisikan karier kritikusnya.

B. Goenawan Mohamad: Penyair dan Intelektual

Goenawan Mohamad, yang saat itu masih seorang intelektual muda, membawa nuansa filosofis yang mendalam ke dalam Manikebu. Karyanya yang liris dan introspektif secara inheren menentang tuntutan realisme sosialis yang kering. Melalui esai dan puisinya, ia memperjuangkan hak atas subyektivitas, keraguan, dan eksplorasi metafisik.

Goenawan melihat bahwa ketika seni dipaksa untuk menjadi alat, ia kehilangan kemampuannya untuk menawarkan kritik yang paling mendalam: kritik terhadap kondisi manusia itu sendiri. Keterlibatannya adalah perwujudan dari resistensi intelektual terhadap simplifikasi, ia bersikeras bahwa revolusi harus membebaskan pikiran, bukan memenjarakannya dalam dogma.

C. Wiratmo Soekito: Jembatan Ideologis

Wiratmo Soekito, yang seringkali bertindak sebagai penghubung antara berbagai faksi budayawan, juga memainkan peran penting. Ia dan tokoh lain, seperti A. Teeuw (meskipun tidak menandatangani), memberikan landasan teoretis bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang melampaui konflik sesaat politik. Mereka menyediakan argumen yang kuat mengapa universalisme bukan berarti anti-nasionalisme, melainkan penegasan bahwa identitas Indonesia harus dibangun di atas nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi.

Keberadaan tokoh-tokoh ini membuktikan bahwa Manikebu bukanlah sekadar kelompok seniman yang frustrasi, melainkan sebuah gerakan pemikiran yang solid, berakar pada keyakinan filosofis yang kuat bahwa kebudayaan adalah wilayah suci yang harus dijaga dari kontaminasi kekuasaan temporal.

XI. Refleksi Etika dan Estetika Manikebu

Secara etika, Manikebu mengajukan pertanyaan mendasar: Apakah integritas artistik lebih penting daripada kesuksesan revolusi politik? Para pendukung Manikebu menjawab ya, karena mereka percaya bahwa sebuah revolusi yang mengorbankan integritas artistik dan kebebasan individu pada akhirnya akan menjadi revolusi yang tidak manusiawi.

Secara estetika, Manikebu adalah pembela keragaman bentuk. Mereka mendukung hak seniman untuk memilih gaya apa pun—realisme, surealisme, abstraksi, atau eksperimental—selama itu adalah ekspresi yang jujur dari jiwa pencipta. Mereka menolak dogmatisme formalistik Lekra, yang pada akhirnya memiskinkan kancah seni Indonesia dengan membatasi bentuk yang diizinkan.

Dalam sejarah kebudayaan, konflik antara Manikebu dan Lekra adalah contoh klasik dari benturan antara otonomi seni dan instrumentalitas ideologi. Manikebu menang dalam ranah etika—prinsip kebebasan mereka diakui sebagai nilai fundamental—meskipun mereka kalah telak dalam arena politik praktis.

Warisan manikebu adalah ajakan untuk selalu waspada. Waspada terhadap godaan kekuasaan yang ingin mendikte kreativitas, waspada terhadap simplifikasi ideologi yang mematikan keragaman, dan waspada terhadap segala upaya yang mencoba menghilangkan hak seniman untuk berdiri sebagai individu yang bebas, merdeka, dan bertanggung jawab atas suara batinnya sendiri.

Manifes Kebudayaan, meskipun sebuah fragmen sejarah yang berumur pendek, telah mengukir dirinya ke dalam memori kolektif bangsa sebagai pengingat abadi akan biaya yang harus dibayar demi mempertahankan kebebasan berpikir dan berekspresi.

Di masa kini, ketika informasi dan narasi begitu mudah dikontrol dan dimanipulasi, pemikiran yang terkandung dalam Manikebu menawarkan relevansi yang tak lekang oleh waktu. Ia mengajarkan generasi baru untuk mempertanyakan otoritas, menjaga jarak kritis dari retorika kekuasaan, dan yang terpenting, untuk selalu menempatkan martabat kemanusiaan di atas segala kepentingan politik, sebuah filosofi yang terus bergema di lorong-lorong sejarah kebudayaan Indonesia.

Manikebu mengajukan visi tentang kebudayaan Indonesia yang tidak takut untuk melihat ke luar, yang siap berdialog dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, sambil tetap berakar kuat pada kearifan lokal. Ini adalah visi yang menolak isolasionisme dan ideologi tunggal, sebuah visi yang merayakan kompleksitas manusia dan keragaman ekspresi artistik.

Perjuangan untuk otonomi kebudayaan yang dilakukan oleh para pendukung Manikebu adalah fondasi bagi pluralisme kontemporer. Mereka mengingatkan bahwa kebebasan berkesenian bukan hanya hak bagi seniman, tetapi merupakan prasyarat mutlak bagi perkembangan peradaban yang beradab dan matang. Kegagalan mereka di masa lalu menjadi kemenangan prinsip di masa depan.

Pada akhirnya, dokumen singkat yang dilarang pada tahun 1964 ini terus menjadi sumber inspirasi. Manikebu adalah simbol bahwa perlawanan kultural, meskipun seringkali sunyi dan terpinggirkan, memiliki kekuatan moral yang lebih besar dan lebih tahan lama daripada kekuasaan politik yang sementara. Sejarah kebudayaan Indonesia harus selalu mengingat episode dramatis ini untuk memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak akan pernah lagi dikorbankan demi kepentingan ideologi apapun.

Pelajaran dari Manikebu, yang berdiri tegak melawan badai politik, adalah bahwa kebudayaan sejati haruslah independen, humanis, dan selalu menghargai individu. Inilah inti warisan Manifes Kebudayaan yang terus hidup dan relevan dalam setiap diskusi mengenai peran seni dan intelektualitas dalam masyarakat yang demokratis dan terbuka. Manikebu adalah pengingat bahwa seni sejati adalah seni yang bebas.