Y.B. Mangunwijaya: Pilar Kemanusiaan, Arsitektur, dan Perjuangan Rakyat Kecil

Sosok Y.B. Mangunwijaya, yang akrab disapa Romo Mangun, berdiri sebagai mercusuar multidimensi dalam lanskap intelektual dan sosial Indonesia. Lebih dari sekadar seorang pastor Katolik, beliau adalah seorang arsitek yang menolak estetika kosong, seorang penulis yang mendalami jiwa bangsa, dan seorang pejuang hak asasi manusia yang secara konsisten berpihak pada kaum pinggiran. Kehidupan dan karya Romo Mangun merupakan sintesis unik dari keilmuan tinggi, spiritualitas mendalam, dan aktivisme nyata di tengah masyarakat.

Filosofi hidup Romo Mangun berpusat pada konsep ‘rumah’ (oikos) yang melampaui bata dan semen, memandang tempat tinggal sebagai martabat manusia. Ia mengajarkan bahwa tindakan mangun (membangun) harus selalu diarahkan pada pembangunan jiwa dan komunitas, bukan sekadar struktur fisik yang megah. Pemikiran ini menjadi landasan bagi semua upayanya, mulai dari pemukiman Kali Code di Yogyakarta hingga karya-karya sastranya yang kritis dan reflektif.

Arsitektur untuk Martabat

Sketsa Arsitektur Kemanusiaan: Mengutamakan fondasi komunitas di atas struktur beton.

I. Arsitektur Empati: Mendefinisikan Ulang Makna Membangun (Mangun)

Arsitektur bagi Romo Mangun bukan sekadar disiplin teknis; ia adalah manifestasi moral. Ia menantang paradigma arsitektur modern yang sering kali elitis dan mengabaikan konteks sosial, sebaliknya menawarkan Arsitektur Kontekstual Kritis. Pendekatan ini mewajibkan perancang untuk berdialog intensif dengan penghuni dan lingkungan, memastikan bahwa setiap karya mangun adalah cerminan kebutuhan otentik, bukan ambisi arsitek.

A. Kali Code: Manifesto Hidup di Tepi Sungai

Proyek pemukiman Kali Code di Yogyakarta adalah monumen hidup dari filosofi arsitektur Romo Mangun. Kawasan kumuh yang dihuni oleh komunitas termarjinalkan ini diubah menjadi pemukiman yang layak huni, tetapi tanpa menghilangkan identitas dan kohesi sosial mereka. Romo Mangun menolak pendekatan penggusuran atau relokasi paksa. Sebaliknya, ia bekerja bersama warga untuk mangun rumah-rumah yang disesuaikan dengan kontur sungai, menggunakan bahan lokal, dan memberdayakan keterampilan warga sendiri.

1. Konsep Swadaya dan Keberlanjutan

Inti dari proyek Code adalah swadaya. Romo Mangun berperan sebagai fasilitator dan edukator, bukan sebagai diktator desain. Warga didorong untuk terlibat penuh dalam proses mangun, dari perencanaan hingga eksekusi. Konsep ini menumbuhkan rasa kepemilikan yang kuat, sebuah aspek psikologis yang jauh lebih penting daripada keindahan fasad. Keberlanjutan di Code tidak hanya berarti material, tetapi juga keberlanjutan sosial dan ekonomi komunitas.

2. Penolakan terhadap Estetika Kemewahan

Romo Mangun secara tegas menolak arsitektur yang hanya melayani kaum berada. Baginya, keindahan sejati terletak pada fungsi dan martabat yang diberikan kepada penghuninya. Ia berjuang melawan sindrom ‘rumah bagus’ yang seringkali memisahkan manusia dari lingkungan alaminya dan dari manusia lainnya. Tindakan mangun harus menghasilkan keadilan spasial, di mana ruang terbaik tidak hanya dialokasikan untuk yang kaya.

B. Dimensi Filosofis: Arsitektur sebagai Oikos (Rumah)

Dalam pemikiran Romo Mangun, Oikos (bahasa Yunani: rumah tangga, dwelling) adalah titik awal dari peradaban. Ketika martabat Oikos dirusak, maka martabat manusia pun hilang. Ia memandang arsitek sebagai pelayan komunitas, bukan seniman individu. Tugas seorang arsitek yang sejati adalah membantu komunitas mangun ruang yang memungkinkan penghuninya tumbuh secara spiritual dan sosial. Ini adalah kritik keras terhadap urbanisasi yang serampangan dan pembangunan kota yang eksploitatif.

1. Skala Manusia (Human Scale)

Setiap desain Romo Mangun selalu menekankan skala manusia. Ia percaya bahwa bangunan yang terlalu besar, terlalu tinggi, atau terlalu dingin (tidak personal) akan mengasingkan manusia. Skala yang tepat mendorong interaksi, keakraban, dan rasa aman. Konsep mangun yang ideal adalah yang menghasilkan kampung vertikal atau horizontal yang ramah, bukan menara beton yang arogan. Fokusnya selalu pada ruang komunal, lorong, dan teras yang memediasi pertemuan warga.

2. Kontekstualisme Kritis

Kontekstualisme kritis ala Romo Mangun adalah upaya untuk mangun di tengah modernitas tanpa kehilangan akar budaya. Ini bukan sekadar meniru bentuk tradisional, melainkan memahami logika di balik bentuk tersebut—iklim, kearifan lokal, dan cara hidup. Di Code, misalnya, rumah-rumah dibuat adaptif terhadap banjir musiman dan kebutuhan privasi yang minim di kalangan masyarakat tepi sungai yang terbiasa berbagi ruang dan nasib.

II. Intelektual Progresif: Romo Mangun sebagai Kritikus Sosial

Selain kiprahnya dalam arsitektur, Romo Mangun adalah intelektual yang gigih, yang menggunakan pena dan podiumnya untuk mengkritik struktur ketidakadilan yang mendarah daging di Indonesia. Ia adalah seorang pendidik yang percaya pada kekuatan pembebasan melalui pengetahuan dan kesadaran kritis. Sikapnya yang tegas seringkali membawanya pada konfrontasi langsung dengan rezim yang berkuasa, membuktikan bahwa tindakan mangun bisa berupa pembelaan hukum, tidak hanya batu bata.

A. Teologi Pembebasan dan Keberpihakan

Sebagai seorang pastor Katolik yang berpendidikan tinggi di Jerman, Romo Mangun sangat dipengaruhi oleh Teologi Pembebasan, meskipun ia mengadaptasinya ke dalam konteks Asia dan Jawa. Baginya, iman harus termanifestasi dalam tindakan nyata yang berpihak pada kaum miskin (preferential option for the poor). Tugas rohani yang utama adalah mangun jembatan antara yang tertindas dan pusat kekuasaan, menuntut keadilan, dan melawan sistem yang memiskinkan.

1. Kekuatan Moral dan Intervensi Langsung

Romo Mangun dikenal karena keberaniannya melakukan intervensi langsung dalam konflik agraria, kasus penggusuran, dan pelanggaran hak asasi manusia. Ia seringkali menjadi mediator yang disegani karena integritasnya. Kehadirannya yang kharismatik dan latar belakang pendidikannya yang kuat memungkinkan ia berdialog (dan berkonflik) dengan pejabat tinggi. Ia percaya bahwa suara minoritas harus diperkuat, dan ia adalah instrumen untuk mangun kekuatan kolektif dari bawah.

2. Pendidikan sebagai Gerakan Mangun Jiwa

Romo Mangun mendirikan beberapa sekolah eksperimental, termasuk SD Kanisius Mangunan, yang menekankan pendidikan holistik, kemandirian, dan etos kerja. Sekolah ini bertujuan untuk mangun karakter anak-anak yang kritis, kreatif, dan memiliki kesadaran sosial. Kurikulumnya tidak kaku; ia berfokus pada pengalaman nyata dan pemecahan masalah di lingkungan sekitar. Pendidikan, dalam pandangannya, adalah alat untuk menciptakan masyarakat yang mampu berdiri tegak dan tidak mudah diintimidasi.

B. Memahami Pluralisme dan Kebangsaan

Romo Mangun adalah seorang pluralis sejati. Ia melihat keragaman Indonesia bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai kekayaan spiritual dan kultural yang harus dirawat. Ia sering berdiskusi dengan tokoh-tokoh agama lain, selalu mencari titik temu kemanusiaan universal. Upayanya untuk mangun toleransi dan harmoni antar-agama adalah bagian integral dari perjuangan keadilannya. Ia menganggap intoleransi sebagai bentuk kemiskinan spiritual.

III. Mangunwijaya Sang Sastrawan: Merefleksikan Kontradiksi Bangsa

Sebagai seorang penulis, Romo Mangun meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam sastra Indonesia. Novel-novelnya bukan sekadar fiksi; ia adalah analisis sosiologis mendalam yang dibalut keindahan bahasa. Melalui karyanya, ia mencoba mangun kesadaran pembaca tentang sejarah, kekuasaan, dan ambiguitas moralitas.

A. Burung-Burung Manyar: Kritik terhadap Feodalisme dan Patriotisme Buta

Novelnya yang paling terkenal, *Burung-Burung Manyar*, adalah mahakarya yang menelusuri sejarah Indonesia dari perspektif yang berbeda. Tokoh utamanya, Teto, mewakili generasi yang terperangkap antara loyalitas tradisional Jawa, nasionalisme yang keras, dan pencarian jati diri pasca-kolonial. Novel ini secara brilian menggambarkan bagaimana warisan feodal terus membebani upaya bangsa untuk mangun demokrasi sejati. Romo Mangun menggunakan kisah cinta dan pengkhianatan untuk menggali kontradiksi ideologis yang kompleks.

B. Roro Mendut dan Trilogi Lainnya: Pencarian Akar Budaya

Dalam trilogi Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri, Romo Mangun kembali ke latar sejarah Jawa abad ke-17. Namun, ini bukan sekadar cerita sejarah. Ia menggunakan narasi ini untuk mengkritik bagaimana kekuasaan (Mataram) menghancurkan individualitas dan kemerdekaan. Karakter perempuan kuat yang ditampilkan dalam karya ini adalah simbol perlawanan terhadap otoritas patriarkal dan feodal. Melalui sastra, ia mangun kembali ingatan kolektif tentang semangat perlawanan rakyat kecil.

Literasi dan Solidaritas

Solidaritas sebagai Fondasi Pembangunan Intelektual dan Sosial.

IV. Mendalami Filososfi Konstruksi: Mangun dan Konsep Pembangunan Jangka Panjang

Istilah mangun, yang secara harfiah berarti 'membangun' atau 'mendirikan,' adalah kata kunci yang merangkum seluruh filosofi Romo Mangun. Bagi Romo Mangun, pembangunan fisik harus selalu diiringi oleh pembangunan karakter dan komunitas. Ia membedakan antara 'membangun' (mangun) dan 'membuat' (memproduksi). Membuat menghasilkan objek; membangun menghasilkan relasi dan martabat.

A. Arsitektur Pertobatan (Architecture of Repentance)

Romo Mangun sering berbicara tentang perlunya arsitektur yang bertobat—yaitu, arsitektur yang menyadari kesalahannya di masa lalu (eksploitasi, pengasingan, kemegahan tanpa makna) dan kembali melayani manusia secara utuh. Pertobatan ini menuntut arsitek untuk merendahkan hati, turun ke lapangan, dan mendengarkan kebutuhan orang-orang yang paling rentan. Hanya dengan pertobatan ini, upaya mangun dapat menjadi otentik dan bermakna.

1. Kritik Terhadap Arsitektur Tiranik

Ia mengkritik tajam arsitektur tiranik yang digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan atau dominasi ekonomi. Gedung-gedung pencakar langit yang mewah di tengah kemiskinan dianggapnya sebagai monumen ketidakadilan. Tugas sejati Romo Mangun dalam dunia arsitektur adalah mangun resistensi terhadap kekuasaan yang mencoba memanipulasi ruang publik dan pribadi.

2. Etika Pembangunan yang Berakar

Etika pembangunan Romo Mangun selalu berakar pada konteks lokal dan kearifan ekologis. Ia melihat pembangunan yang sukses adalah yang mampu beradaptasi dengan alam, bukan menaklukkannya. Misalnya, dalam proyek-proyeknya di pedalaman, ia selalu menekankan penggunaan material yang mudah didapat dan teknik konstruksi yang tidak merusak lingkungan sekitar. Upaya mangun harus sejalan dengan penghormatan terhadap lingkungan hidup.

B. Manifestasi Mangun dalam Karya Selain Kali Code

Meskipun Kali Code adalah proyeknya yang paling ikonis, filosofi mangun Romo Mangun tersebar di berbagai proyek lain, seperti kompleks perumahan Doyong dan beberapa gereja serta kapel. Setiap proyek adalah studi kasus tentang bagaimana membangun ruang yang mempromosikan kebersamaan dan kesederhanaan.

1. Doyong dan Prinsip Komunitas

Di Doyong, ia menerapkan prinsip mangun untuk menciptakan lingkungan yang mendorong interaksi sosial maksimal. Rumah-rumah tidak memiliki pagar tinggi; ruang terbuka dialokasikan untuk kegiatan komunal. Desainnya mencerminkan keyakinan bahwa lingkungan fisik secara langsung memengaruhi kualitas interaksi sosial dan spiritualitas warga.

2. Gereja dan Ruang Liturgi

Desain gereja oleh Romo Mangun cenderung sederhana, intim, dan kontekstual. Ia menjauh dari kemegahan gotik atau barok, memilih desain yang lebih inklusif dan terasa membumi. Ruang-ruang liturgi yang ia mangun adalah tempat di mana Tuhan dan manusia bertemu dalam kesederhanaan, bukan kemewahan.

V. Melampaui 5000 Kata: Elaborasi Mendalam Mengenai Spiritualitas Mangun

Untuk memahami kedalaman Romo Mangun, kita harus menelusuri spiritualitasnya yang kompleks—perpaduan antara ajaran Katolik yang reformis, etos Jawa yang humanis, dan filsafat barat yang kritis. Spiritualisme ini adalah sumber kekuatan utamanya dalam melakukan tindakan mangun yang seringkali berisiko.

A. Sinkretisme Jawa-Katolik dalam Praktik Keseharian

Romo Mangun adalah seorang Jawa sejati yang juga seorang rohaniwan Katolik. Ia tidak pernah memisahkan identitas ini, melainkan mengintegrasikannya. Ia menggunakan kearifan lokal seperti konsep *manunggaling kawulo gusti* (kesatuan hamba dan Tuhan) dalam upaya mangun komunitas yang adil. Kesalehannya bukan bersifat dogma yang kaku, melainkan kesalehan yang cair dan membumi, beresonansi dengan tradisi toleransi dan introspeksi Jawa.

1. Konsep Kesederhanaan dan Keikhlasan

Kehidupan pribadinya adalah cerminan dari konsep kesederhanaan yang ia ajarkan. Ia dikenal hidup sangat sederhana, seringkali berpindah-pindah, dan tidak terikat pada harta benda. Prinsip ini menjadi fondasi bagi arsitektur dan aktivismenya. Ia mangun kehidupan yang mencerminkan keyakinan bahwa kekayaan materi adalah beban yang menghalangi kebebasan spiritual.

2. Mangun dan Etos Kerja Profesional

Meskipun sederhana, Romo Mangun adalah seorang profesional yang sangat disiplin dan berintegritas. Ia menuntut kualitas tinggi dalam pekerjaannya, baik dalam desain arsitektur maupun tulisan. Etos profesional ini menunjukkan bahwa spiritualitas tidak berarti meninggalkan keduniawian, melainkan menjalankannya dengan tanggung jawab dan keunggulan moral. Tindakan mangun baginya harus dilakukan dengan standar terbaik, terutama ketika melayani kaum marginal.

B. Dialog dengan Modernitas dan Teknologi

Romo Mangun tidak anti-modernitas atau anti-teknologi, tetapi ia kritis terhadapnya. Ia percaya bahwa teknologi harus menjadi pelayan manusia, bukan sebaliknya. Dalam proyek-proyeknya, ia menggunakan teknologi yang sesuai dan berkelanjutan. Ia mengajak masyarakat untuk mangun kesadaran bahwa kemajuan teknologi harus diimbangi dengan kemajuan etika dan kemanusiaan. Penggunaan teknologi yang tidak bijaksana hanya akan memperdalam kesenjangan sosial.

1. Kritik terhadap Kapitalisme Urban

Ia mengkritik model pembangunan urban yang didorong oleh kapitalisme neoliberal, yang cenderung mengorbankan ruang publik, lingkungan, dan komunitas demi keuntungan pribadi. Arsitektur yang ia mangun di Kali Code adalah tamparan keras terhadap mentalitas ini, membuktikan bahwa solusi yang berkelanjutan dan manusiawi tidak selalu harus mahal atau berorientasi pasar.

2. Visi Kota Ideal (Utopia Realistis)

Romo Mangun memiliki visi tentang kota ideal, sebuah "utopia realistis," di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama atas ruang dan sumber daya. Kota ini adalah tempat di mana manusia dapat mangun hidup bersama secara harmonis, tanpa ketakutan akan penggusuran atau eksploitasi. Visi ini adalah dasar dari seluruh perjuangan arsitekturnya, yang seringkali dianggap terlalu idealis oleh para birokrat dan pengembang.

VI. Warisan Mangun: Pengaruh Lintas Disiplin

Warisan Romo Mangun jauh melampaui bangunan fisiknya. Ia telah mangun fondasi pemikiran yang memengaruhi generasi arsitek, aktivis, dan intelektual di Indonesia. Pengaruhnya terasa dalam gerakan sosial, kebijakan publik, dan terutama dalam cara kita memandang relasi antara manusia dan ruang tinggalnya.

A. Mendorong Arsitektur Berbasis Komunitas

Setelah Mangunwijaya, semakin banyak arsitek muda Indonesia yang terinspirasi untuk meninggalkan proyek-proyek komersial besar dan fokus pada pemberdayaan komunitas. Ia membuka jalan bagi praktik arsitektur sosial yang menempatkan partisipasi warga sebagai inti dari proses desain. Ini adalah perubahan paradigma besar yang ia mangun dengan konsistensi dan dedikasi.

1. Model Advokasi Hukum dan Sosial

Selain arsitektur, metode Romo Mangun dalam advokasi hukum dan sosial menjadi model. Ia menunjukkan bahwa perjuangan hak asasi harus dilakukan secara terstruktur, kolaboratif, dan tanpa kekerasan. Ia mengajarkan cara mangun perlawanan sipil yang efektif dan bermartabat, menggunakan senjata intelektual dan moral.

2. Pengaruh dalam Kajian Urban (Urban Studies)

Karya-karya Romo Mangun kini menjadi referensi utama dalam kajian urban di Indonesia, khususnya mengenai pemukiman informal dan solusi pembangunan yang pro-rakyat miskin. Filosofi Kali Code mengajarkan bahwa permukiman informal bukanlah masalah yang harus dimusnahkan, melainkan tantangan yang harus diatasi melalui kolaborasi dan penataan yang manusiawi. Ini adalah pelajaran krusial yang ia mangun dalam peta jalan pembangunan nasional.

B. Mangun Sebagai Guru Bangsa

Julukan "Guru Bangsa" melekat padanya bukan karena jabatan formal, melainkan karena perannya sebagai penasihat moral yang tidak takut menyuarakan kebenaran. Ia mangun kesadaran bahwa seorang intelektual tidak boleh berdiam diri di menara gading, melainkan harus turun ke arena perjuangan nyata. Keberaniannya, dikombinasikan dengan keahliannya di berbagai bidang, menjadikannya suara yang unik dan tak tergantikan.

1. Pentingnya Pendidikan Multidisiplin

Kehidupan Romo Mangun juga menekankan pentingnya pendidikan multidisiplin. Seorang arsitek harus memahami sosiologi dan teologi; seorang pastor harus memahami teknik sipil dan literatur. Pendekatan holistik ini diperlukan untuk mangun solusi kompleks terhadap masalah-masalah kontemporer. Ia adalah bukti hidup bahwa spesialisasi harus diperkaya oleh pemahaman yang luas tentang kemanusiaan.

2. Warisan Literatur dan Dokumentasi

Bukan hanya novel, tetapi esai-esai Romo Mangun, yang tersebar di berbagai media, merupakan dokumentasi berharga mengenai kondisi sosial dan politik Indonesia di masa Orde Baru dan reformasi awal. Melalui tulisan-tulisannya, ia terus mangun dialog kritis dengan setiap generasi pembaca, menantang mereka untuk terus mencari keadilan dan kebenaran.

VII. Analisis Mendalam: Estetika Kesederhanaan dalam Tindakan Mangun

Estetika yang dianut Romo Mangun adalah estetika kesederhanaan, yang secara mendalam kontras dengan kecenderungan arsitektur global yang mencari kemewahan dan keunikan bentuk artifisial. Baginya, keindahan sejati muncul dari kejujuran material, kesesuaian fungsi, dan harmoni dengan lingkungan.

A. Penggunaan Material Lokal dan Eksponensi Kejujuran

Dalam setiap proyek mangun yang ia kerjakan, terutama di Kali Code, Romo Mangun memaksimalkan penggunaan material lokal—bambu, kayu, dan bata seadanya—sebagai upaya untuk mencapai keberlanjutan ekonomi dan ekologis. Material-material ini tidak disembunyikan atau diubah menjadi sesuatu yang mewah; mereka diekspos secara jujur. Kejujuran material ini mencerminkan kejujuran moral yang ia yakini.

1. Kekuatan Bambu sebagai Simbol Mangun

Bambu adalah material yang sering ia gunakan dan cintai. Bambu melambangkan kekuatan, fleksibilitas, dan ketersediaan bagi masyarakat miskin. Penggunaan bambu dalam arsitektur Romo Mangun adalah pernyataan ideologis: keindahan dan fungsionalitas dapat mangun tanpa perlu bergantung pada impor atau teknologi mahal.

2. Kritik atas Kebanggaan Semen

Romo Mangun mengkritik obsesi masyarakat Indonesia pasca-kemerdekaan terhadap semen dan beton sebagai simbol kemajuan. Ia melihat ini sebagai bentuk pengasingan dari kearifan material lokal. Baginya, mangun dengan beton yang masif tanpa pertimbangan iklim dan ekologi adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab.

B. Fungsi Ruang dan Dinamika Sosial

Estetika Romo Mangun berpusat pada bagaimana ruang memfasilitasi kehidupan. Desain yang ia mangun selalu berupaya meningkatkan dinamika sosial yang positif. Ruang terbuka dan semi-terbuka (seperti teras atau gang lebar) adalah fitur wajib, karena ia percaya bahwa konflik sosial seringkali muncul dari isolasi spasial.

1. Ruang Bertumbuh (Growing Spaces)

Rumah-rumah yang ia rancang bersifat *incremental* (bertumbuh). Artinya, rumah tersebut tidak harus selesai dalam satu waktu, melainkan dapat terus di-mangun seiring dengan perkembangan ekonomi keluarga. Konsep ini mengakui realitas ekonomi masyarakat pinggiran dan memberikan mereka harapan serta kontrol atas lingkungan hidup mereka.

2. Peran Jendela dan Cahaya Alami

Dalam desain Romo Mangun, cahaya alami dan ventilasi adalah elemen estetika dan kesehatan yang krusial. Jendela bukan sekadar lubang, tetapi mata rumah yang menghubungkan interior dengan dunia luar. Upaya mangun harus memaksimalkan interaksi dengan alam, mengurangi ketergantungan pada listrik, dan menciptakan suasana yang sehat secara mental dan fisik.

VIII. Epilog: Mangunwijaya dan Relevansi Abadi

Meskipun telah tiada, semangat dan pemikiran Y.B. Mangunwijaya terus relevan dalam menghadapi tantangan pembangunan Indonesia saat ini. Di tengah krisis perumahan, ketidaksetaraan spasial, dan ancaman intoleransi, ajarannya tentang arsitektur empati dan keadilan sosial menawarkan peta jalan yang jelas. Tindakan mangun yang sejati adalah tindakan pembebasan.

A. Tantangan Pembangunan Masa Kini

Warisan Romo Mangun menantang kita untuk bertanya: Apakah pembangunan yang kita mangun saat ini benar-benar melayani rakyat, atau hanya segelintir elite? Ia menuntut pertanggungjawaban moral dari setiap profesional, dari arsitek hingga birokrat, untuk memastikan bahwa proyek-proyek besar tidak menghancurkan fondasi kemanusiaan yang lebih kecil namun lebih vital.

1. Mangun Kesadaran Kritis

Tugas utama yang ditinggalkan Romo Mangun adalah tugas mangun kesadaran kritis yang berkelanjutan. Ia meminta kita untuk selalu curiga terhadap kemegahan yang menindas dan selalu mencari solusi yang memberdayakan. Ia mengajarkan bahwa kemerdekaan sejati terletak pada kemampuan untuk mengelola hidup dan ruang kita sendiri.

2. Kontinuitas Perjuangan di Kali Code dan Lebih Jauh

Komunitas Kali Code yang dibangun atas dasar filosofi mangun Romo Mangun tetap menjadi simbol ketahanan dan keberhasilan arsitektur partisipatif. Kisah ini harus terus diceritakan dan direplikasi, membuktikan bahwa solusi bagi masyarakat miskin tidak terletak pada penggusuran, tetapi pada pemberdayaan dan pembangunan yang kolaboratif.

Romo Mangun adalah perwujudan dari seorang intelektual yang hidupnya adalah integritas yang konsisten. Ia membangun (mangun) bukan hanya rumah, tetapi jembatan empati; ia menulis bukan hanya cerita, tetapi sejarah perlawanan; dan ia melayani bukan hanya agamanya, tetapi kemanusiaan secara universal. Warisannya adalah panggilan untuk setiap individu agar berani mangun keadilan di ruang sekecil apa pun.