Kisah Mangir Wanabaya, Adipati dari Mangir, bukan sekadar catatan kaki dalam kronik sejarah Jawa. Ia adalah simpul tragedi yang mendefinisikan peralihan kekuasaan, dari warisan Majapahit yang memudar menuju puncak kejayaan dinasti Mataram. Nama Mangir selamanya terukir sebagai simbol perlawanan spiritual dan politik yang pada akhirnya harus menyerah, bukan oleh pedang, melainkan oleh strategi pernikahan dan pusaka kekuasaan yang tak tertandingi.
Untuk memahami sepenuhnya peran Mangir, kita harus menilik kembali masa-masa ketika kekuasaan Jawa masih terombang-ambing. Setelah runtuhnya Majapahit, Demak sempat menjadi sentra Islam pertama di Jawa. Namun, gejolak politik memindahkan pusat gravitasi ke Pajang, di bawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya. Dari rahim Pajang inilah, bibit Mataram ditanam oleh seorang panglima cerdik yang kelak dikenal sebagai Panembahan Senopati. Senopati, dengan ambisi dan dukungan spiritualnya, tengah merajut benang-benang kedaulatan yang baru, namun jalannya terhalang oleh kantong-kantong kekuasaan lama yang menolak tunduk, dan di antara semua penentang itu, Mangir adalah yang paling keras kepala, paling spiritual, dan paling berbahaya.
Mataram, sebagai entitas politik yang baru muncul, memerlukan legitimasi ganda: militer dan spiritual. Secara militer, Panembahan Senopati mampu menundukkan banyak wilayah melalui ekspansi agresif. Namun, kekuasaan di Jawa kuno tidaklah lengkap tanpa adanya *wahyu* atau restu ilahi. Di mata banyak adipati dan rakyat, Mataram masih dianggap sebagai pendatang baru yang harus membuktikan diri. Sementara itu, Mangir, yang berkedudukan di wilayah yang kini dikenal dekat dengan Bantul dan Yogyakarta, mewarisi legitimasi yang sangat kuno. Mangir Wanabaya diklaim sebagai keturunan langsung dari Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Garis keturunan ini memberikan Mangir otoritas spiritual yang setara, bahkan mungkin melebihi, yang dimiliki Senopati di mata para tetua dan kaum santri lama.
Kekuatan Mangir tidak hanya terletak pada silsilah, tetapi juga pada pusaka yang ia miliki: sebuah tombak yang legendaris, Kiai Baru Klinthing. Pusaka ini bukan sekadar senjata; ia adalah penjelmaan kekuatan spiritual yang konon mampu menangkis bala tentara Mataram. Keberadaan pusaka ini, ditambah dengan posisi Mangir yang strategis di lembah-lembah subur, menjadikannya duri yang sangat menyakitkan bagi Mataram. Selama Mangir berdiri tegak, klaim Senopati atas seluruh tanah Jawa Tengah bagian selatan akan selalu diragukan. Mataram harus menaklukkan Mangir, tetapi perang terbuka berisiko besar. Pasukan Mataram mungkin menang, tetapi jika kemenangan itu didapatkan dengan pertumpahan darah yang hebat, *wahyu* Mataram akan ternoda. Senopati, seorang ahli strategi ulung, menyadari bahwa peperangan politik ini harus dimenangkan melalui kecerdasan, bukan kekerasan murni.
Mangir mewakili warisan Majapahit yang menolak diintegrasikan. Perlawanan Mangir adalah perlawanan kultural. Ia menganggap Mataram, yang baru berdiri, sebagai pemberontak terhadap tatanan yang lebih tua. Rasa bangga dan keyakinan spiritual Mangir membuat negosiasi langsung hampir mustahil. Ia melihat dirinya sebagai penjaga tradisi, sementara Senopati dilihat sebagai penguasa baru yang ambisius. Kiai Baru Klinthing berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan, sebuah artefak yang memancarkan aura tak terkalahkan, membuat para prajurit Mataram gentar hanya dengan mendengar namanya. Upaya penyerangan ke Mangir selalu berakhir dengan kegagalan, atau setidaknya, kerugian besar di pihak Mataram. Hal ini mendorong Senopati untuk mencari solusi yang paling Jawa: menggunakan hati dan tipu daya, yang sering kali lebih tajam daripada mata tombak.
Keris atau pusaka seringkali menjadi penanda legitimasi dan kekuatan spiritual, pusat dari konflik antara Mangir dan Mataram.
Melihat jalan buntu dalam konfrontasi militer, Panembahan Senopati menyusun rencana yang sangat pribadi dan berisiko: menaklukkan Mangir melalui ikatan darah. Ia memanggil putrinya yang cerdas dan rupawan, Rara Pembayun. Tugas yang diemban Rara Pembayun sungguh berat: menyamar, masuk ke wilayah Mangir, dan membuat Ki Ageng Mangir jatuh cinta padanya. Jika misi ini berhasil, Mangir akan menjadi menantu Senopati, dan secara otomatis, Mataram akan mendapatkan legitimasi atas Mangir tanpa perlu menumpahkan darah satu pun prajurit.
Rara Pembayun menerima tugas itu dengan penuh kepatuhan dan kesadaran akan risiko. Bersama dengan beberapa abdi kepercayaan, ia menyamar sebagai seorang penari keliling, atau mungkin seorang pedagang yang tersesat, meninggalkan kemewahan istana Mataram demi kehidupan pengembaraan. Kedatangan Rara Pembayun di Mangir haruslah tampak alami, seolah-olah takdir yang mempertemukan mereka. Dalam tradisi Jawa, kecantikan luar harus dibarengi dengan kehalusan budi (trah) dan kepiawaian dalam seni. Rara Pembayun, sebagai putri raja, menguasai semua itu. Kehadirannya yang memancarkan aura ningrat, meski dalam pakaian sederhana, menarik perhatian Mangir.
Ki Ageng Mangir adalah seorang ksatria yang hidup dalam isolasi spiritual, fokus pada pertahanan wilayahnya dan pemeliharaan pusaka. Hatinya, yang keras terhadap ambisi politik Mataram, ternyata lunak terhadap keindahan dan kelembutan Rara Pembayun. Pertemuan mereka berkembang menjadi romansa yang cepat, yang puncaknya adalah pernikahan. Mangir, tanpa menyadari latar belakang Rara Pembayun yang sebenarnya, merasa telah menemukan pendamping hidup yang sempurna, yang akan melengkapi kekuasaan spiritualnya.
Pernikahan ini adalah kemenangan Senopati yang senyap. Secara adat, setelah menikah, Rara Pembayun mengungkapkan jati dirinya. Bayangkan keterkejutan dan dilema Mangir. Ia kini dihadapkan pada pilihan yang mustahil: melanjutkan perlawanan terhadap Mataram, yang berarti ia harus melawan istrinya sendiri dan melanggar sumpah pernikahan suci, atau menerima takdir dan tunduk kepada Senopati, yang berarti mengkhianati seluruh perjuangan dan garis keturunan Majapahit yang ia junjung tinggi. Dalam konteks Jawa, ikatan pernikahan adalah ikatan suci yang mengikat dua keluarga, dua wangsa. Mangir kini terikat oleh darah dengan musuh bebuyutannya.
Strategi Mataram melampaui medan perang. Ia menembus benteng pertahanan paling kuat, yaitu hati seorang ksatria yang dijaga oleh warisan leluhur. Mangir terjebak antara kesetiaan pada masa lalu dan ikatan suci pada masa kini.
Keputusan Mangir adalah refleksi dari nilai-nilai *kesatriaan* dan *kawicaksanan* (kebijaksanaan) Jawa. Ia memilih untuk menunda konflik, mempertimbangkan kembali posisinya, dan mengambil langkah yang paling sulit: melakukan perjalanan ke Mataram untuk menghadap mertuanya, Panembahan Senopati.
Perjalanan Mangir ke Kotagede, pusat Mataram, bukanlah perjalanan biasa. Itu adalah prosesi politik dan spiritual yang syarat makna. Mangir tidak datang sebagai seorang Adipati yang tunduk tanpa syarat. Ia datang membawa pusaka kebanggaannya, Kiai Baru Klinthing, sebagai simbol bahwa ia masih memegang otoritas, meski kini ia terikat oleh pernikahan. Tombak itu diyakini memiliki kekuatan untuk membuat Mangir tidak dapat dibunuh oleh musuhnya.
Kedatangan Mangir disambut dengan upacara formal yang megah di istana. Senopati, sebagai penguasa yang baru dan mertua yang licik, menyambut Mangir dengan penuh kehormatan lahiriah, namun dengan niat politik yang tajam. Inti dari kunjungan ini adalah ritual *sungkem*, yaitu penghormatan bersujud yang dilakukan oleh seorang menantu kepada mertuanya, dan secara politis, oleh seorang bawahan kepada penguasanya.
Persoalan muncul pada ritual *sungkem*. Jika Mangir bersujud, ia mengakui Senopati sebagai penguasa sah, secara de facto dan de jure, dan Mangir akan kehilangan kedaulatan Mangir. Jika ia menolak, ia melanggar etika Jawa yang paling mendasar terhadap mertuanya, yang akan memicu konflik baru. Mangir memutuskan untuk bersujud, namun ia menempatkan Kiai Baru Klinthing di depannya, sebuah gerakan simbolis yang menyatakan, "Saya bersujud sebagai menantu, bukan sebagai taklukkan yang menyerahkan pusaka."
Di sinilah tragedi Mangir mencapai puncaknya. Ada beberapa versi sejarah yang menjelaskan momen kematian Mangir:
Apapun versi pastinya, intinya sama: Mangir menemui ajalnya pada saat ia seharusnya menerima pengakuan dan pengampunan. Ia mati di dalam istana, di hadapan penguasa Mataram, pada puncak ritual pengakuan. Tindakan Senopati ini, meski tampak brutal dan melanggar kehormatan, dilihat dalam konteks politik Jawa kuno sebagai kebutuhan yang mutlak. Mangir, sebagai keturunan Majapahit dan pemilik pusaka kuat, tidak bisa dibiarkan hidup sebagai pesaing. Ia harus dieliminasi, dan kematiannya harus berfungsi sebagai legalisasi kekuasaan Mataram.
Kematian Mangir membawa konsekuensi ganda yang sangat penting bagi Mataram. Pertama, secara fisik dan politik, wilayah Mangir kini sepenuhnya diintegrasikan ke dalam Mataram tanpa perlawanan yang berkelanjutan. Kedua, yang jauh lebih krusial, kematian Mangir memberikan legitimasi spiritual yang dicari Senopati.
Untuk menenangkan roh Mangir dan menunjukkan bahwa Mataram telah 'menyerap' kekuatan Mangir, Senopati mengeluarkan perintah yang simbolis dan mendalam. Tubuh Mangir dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Kotagede, namun dengan posisi yang unik. Makamnya diposisikan di luar tembok utama kompleks, dengan batu nisannya menempel pada dinding. Ini melambangkan bahwa Mangir, walau mati, diakui sebagai bagian dari keluarga (menantu), tetapi ia tetaplah seorang pemberontak yang datang dari luar (terpisah oleh tembok). Simbolisme ini luar biasa kuat: Mataram telah menaklukkan pemberontak, mengakui darah Majapahit, dan menggunakannya untuk memperkuat takhtanya sendiri.
Integrasi wilayah dan darah Mangir ke dalam Mataram diabadikan melalui simbolisme arsitektural pada kompleks makam raja-raja.
Kisah Mangir adalah lensa untuk memahami filosofi kekuasaan Jawa. Dalam pandangan Jawa, seorang penguasa sejati harus memiliki *wahyu* (mandat ilahi) yang bersifat monolitik. Konflik antara Senopati dan Mangir bukanlah sekadar perebutan teritori, melainkan perebutan *wahyu*. Selama dua pusat spiritual itu ada, kekuasaan Senopati akan terbelah.
Kematian Mangir, terutama dengan cara yang begitu dramatis dan publik, mengirimkan pesan yang jelas. Senopati adalah penguasa yang tak terhindarkan, yang bahkan mampu menundukkan musuh spiritual terkuatnya. Kekejaman dalam pembunuhan Mangir, meskipun tragis, berfungsi sebagai alat politik untuk mengukuhkan kekuasaan absolut. Ini adalah contoh sempurna dari konsep Kawicaksananing Prabu (kebijaksanaan raja), di mana tindakan yang brutal sekalipun dapat dibenarkan jika tujuannya adalah untuk mewujudkan stabilitas dan *kesejahteraan* (ketertiban kosmis) di seluruh wilayah kekuasaan.
Mangir, di sisi lain, mewakili idealisme ksatria yang gagal memahami realitas politik baru. Ia terlalu terikat pada kehormatan dan spiritualitas Majapahit kuno. Ketika ia bersujud, ia mencoba melakukan *Manunggaling Kawula Gusti* (penyatuan abdi dengan Tuhan/Raja) secara harfiah. Ia datang untuk menyerahkan dirinya, tetapi Mataram menuntut lebih dari sekadar penyerahan; Mataram menuntut kehancuran simbolis dari warisan Mangir agar kekuasaan Mataram dapat berdiri tegak tanpa keraguan.
Mangir mewariskan dualitas yang terus hidup dalam budaya Jawa: pemberontakan yang mulia melawan kekuasaan yang sah. Ia adalah pahlawan bagi mereka yang merindukan masa lalu yang agung dan korban dari proses konsolidasi kekuasaan yang kejam. Dalam konteks narasi sejarah Mataram, Mangir harus gugur agar Mataram dapat lahir sepenuhnya sebagai kerajaan adidaya.
Kisah Mangir menjadi salah satu babak paling emosional dan sering diceritakan ulang dalam Babad Tanah Jawi. Dalam babad tersebut, Mangir digambarkan dengan penuh simpati, tetapi kematiannya disajikan sebagai takdir yang harus diterima demi keutuhan Jawa. Transformasi naratif ini penting; Mataram tidak hanya menaklukkan Mangir, tetapi juga mengambil alih narasinya, menjadikannya bagian dari epik kebesaran Mataram itu sendiri.
Tombak Kiai Baru Klinthing juga memiliki nasib simbolis setelah kematian Mangir. Pusaka ini tidak dihancurkan, melainkan diintegrasikan ke dalam koleksi pusaka Mataram. Dalam tradisi Jawa, pusaka memiliki roh dan kekuatan yang independen. Dengan menguasai pusaka Mangir, Mataram tidak hanya merampas senjata, tetapi juga menyerap roh perlawanan dan keberuntungan (yoni) yang terkandung di dalamnya. Ini adalah penegasan bahwa semua kekuatan, termasuk yang memberontak, pada akhirnya harus bermuara pada pusat kekuasaan tunggal di Mataram.
Kisah Mangir Wanabaya, dengan segala kompleksitasnya, adalah studi mendalam tentang bagaimana kekuasaan dibangun. Ia adalah pengingat bahwa di balik megahnya dinasti, sering kali terdapat tragedi pribadi, pengkhianatan yang dingin, dan perhitungan politik yang mengesampingkan kehormatan demi ambisi abadi. Mangir adalah harga yang harus dibayar oleh Jawa untuk menyatukan diri di bawah satu takhta Mataram.
***
Untuk benar-benar memahami tragedi Mangir, kita harus masuk lebih dalam ke struktur sosial dan antropologi Jawa pada masa transisi. Periode ini adalah periode ketidakpastian, di mana konsep loyalitas terpecah antara warisan lama (Majapahit/Demak/Pajang) dan faksi baru (Mataram). Mangir mewakili tipe Adipati yang otonom, yang merasa memiliki hak ilahi untuk mengelola wilayahnya tanpa intervensi pusat.
Di masa itu, pusaka tidak hanya dipandang sebagai benda magis, tetapi sebagai manifestasi fisik dari *wahyu*. Kiai Baru Klinthing milik Mangir, dengan segala mitos dan kekuatannya, menantang hegemoni pusaka utama Mataram. Senopati sadar bahwa pusaka Mangir adalah magnet bagi Adipati lain yang tidak puas. Selama pusaka itu berdiri tegak di Mangir, potensi pemberontakan selalu ada. Dengan menghilangkan Mangir dan menyita atau menetralisir pusakanya, Senopati secara efektif menghapus pusat alternatif bagi loyalitas regional.
Kisah ini juga menunjukkan keunggulan Mataram dalam diplomasi budaya. Senopati tidak menyerang benteng. Ia mengirim putri, simbol kehidupan, keindahan, dan darah murni, untuk meruntuhkan benteng pertahanan paling pribadi Mangir—kepercayaannya. Ini adalah bentuk penaklukan yang paling halus, di mana musuh diubah menjadi keluarga, hanya untuk dihancurkan setelah ikatan darah tercipta. Strategi ini memastikan bahwa, bahkan setelah kematiannya, keturunan Mangir dan Rara Pembayun akan mengalirkan darah Majapahit yang sah ke dalam silsilah Mataram, memperkuat klaim dinasti tersebut sebagai penerus sejati kerajaan Jawa.
Dalam pandangan Jawa yang menekankan harmoni kosmik, meskipun Mangir mati secara tragis, kematiannya di tangan raja (mertua) dianggap sebagai *gugur* (jatuh) yang pada akhirnya mengarah pada ketertiban yang lebih besar. Mangir tidak mati sia-sia. Kematiannya menandai akhir dari era para Adipati independen dan awal dari kerajaan yang terpusat. Ia menjadi korban yang diperlukan untuk ritual suci pendirian kerajaan. Ia adalah tumbal politik yang darahnya menyuburkan tanah Mataram, memastikan bahwa fondasi kerajaan baru itu kokoh dan tak tergoyahkan.
Para sejarawan sering berdebat mengenai moralitas tindakan Senopati. Namun, dalam konteks kekuasaan pra-modern, moralitas sering kali disubordinasikan pada kebutuhan politik untuk *stabilitas*. Senopati tidak bisa membiarkan Mangir hidup karena ia adalah simbol ketidakpatuhan yang memiliki legitimasi. Jika Mangir diampuni dan dibiarkan berkuasa di Mangir, ia akan menjadi preseden buruk. Oleh karena itu, kematiannya, meskipun menyakitkan bagi Rara Pembayun dan rakyat Mangir, adalah tindakan *raison d'état* (alasan negara) yang paling kejam, tetapi efektif.
***
Warisan Mangir terus bergema. Wilayah Mangir hingga kini masih memiliki aura khusus, sering dikaitkan dengan kekuatan spiritual dan perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan pusat. Dalam seni pertunjukan tradisional, seperti Ketoprak, kisah Mangir Wanabaya selalu menjadi drama yang populer, menawarkan kesempatan bagi penonton untuk merenungkan tema pengkhianatan, cinta yang tragis, dan harga kekuasaan.
Dalam karya sastra modern, Mangir sering direinterpretasi, tidak hanya sebagai pemberontak yang kalah, tetapi sebagai martir yang melawan sentralisasi kekuasaan yang merusak. Para penulis kontemporer menggunakan kisahnya untuk mengkritik struktur kekuasaan yang kejam, menyoroti bagaimana tokoh-tokoh idealis dihancurkan oleh mesin politik. Rara Pembayun juga mendapat porsi perhatian baru; ia dilihat sebagai agen yang terperangkap dalam permainan ayahnya, seorang wanita yang harus memilih antara cinta dan kesetiaan pada keluarganya, yang pada akhirnya membawa kehancuran pada suaminya.
Kesetiaan Rara Pembayun, dalam kacamata modern, adalah dilema yang mendalam. Ia menjalankan misi ayahnya, berhasil menaklukkan Mangir, tetapi ia sungguh-sungguh mencintai suaminya. Keputusannya untuk membawa Mangir menghadap Senopati mungkin didasarkan pada harapan naif bahwa ikatan darah akan lebih kuat daripada ambisi politik. Kegagalan harapannya ini menjadikan Rara Pembayun sebagai figur tragis yang sama pentingnya dengan Mangir.
Pelajaran terpenting dari kisah Mangir adalah bahwa pendirian sebuah dinasti besar sering kali memerlukan pengorbanan yang tak terbayangkan. Mangir adalah pengorbanan itu. Ia adalah darah yang menyegel kontrak kekuasaan Mataram, memastikan bahwa takhta Senopati, dan keturunannya yang kelak menjadi Sultan di Yogyakarta dan Surakarta, memiliki dasar yang tak hanya kuat secara militer, tetapi juga terkonsolidasi secara spiritual dan silsilah.
Tragedi Mangir, yang tersusun rapi oleh strategi Senopati, menjadi cetak biru bagi penaklukan wilayah-wilayah lain. Mataram belajar bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk mengintegrasikan musuh, bukan hanya menghancurkannya. Dengan kematian Mangir, Mataram memakan Mangir, menjadikan wilayahnya, pusakanya, dan darahnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari dirinya sendiri.
Setelah kematian Mangir, Mataram memasuki masa keemasan. Panembahan Senopati berhasil meletakkan fondasi kokoh untuk kerajaan yang akan mendominasi Jawa Tengah selama berabad-abad. Namun, setiap raja Mataram yang berikutnya selalu membawa bayangan Mangir dalam ingatan kolektif. Kisah ini adalah pengingat konstan akan harga yang harus dibayar untuk persatuan dan sentralisasi kekuasaan. Mangir, sang pewaris yang menolak tunduk, kini terbaring di samping mertuanya, terkunci dalam tembok yang sama. Ia adalah batas, ia adalah menantu, ia adalah musuh yang telah diserap.
Mangir Wanabaya bukan hanya legenda masa lalu. Ia adalah sebuah monumen atas kompleksitas budaya Jawa, di mana kekejaman politik bersembunyi di balik ritual kesopanan, dan di mana cinta keluarga dijadikan senjata paling mematikan. Kisahnya mengajarkan bahwa dalam perebutan *wahyu*, tidak ada yang namanya belas kasihan abadi, hanya perhitungan abadi.
Kisah Mangir Wanabaya, dengan segala romantismenya yang kelam dan intrik politiknya yang dingin, tetap menjadi salah satu narasi inti yang membentuk identitas Jawa hingga hari ini, sebuah tragedi yang mengukuhkan takhta.
Periode kebangkitan Mataram adalah masa kritis dalam sistem feodal Jawa. Sebelum Senopati, kekuasaan sering terfragmentasi, di mana adipati-adipati regional memiliki otonomi yang luas, seringkali hanya membayar upeti simbolis kepada penguasa pusat (Pajang). Mangir adalah representasi sempurna dari struktur feodal yang lama ini—seorang adipati yang menguasai sumber daya, memiliki tentara sendiri, dan yang lebih penting, mengklaim legitimasi spiritual yang independen dari pusat. Penaklukkan Mangir bukan sekadar menambah wilayah, tetapi mendefinisikan ulang hubungan antara pusat dan daerah.
Dalam etika perang Jawa, terdapat aturan tak tertulis mengenai bagaimana seorang raja harus bertindak. Kemenangan harus dicapai dengan cara yang menunjukkan superioritas moral dan spiritual sang pemenang. Jika Senopati menghancurkan Mangir melalui pengepungan berdarah, ia mungkin menang militer, tetapi akan kehilangan moralitas di mata para ulama dan rakyat. Oleh karena itu, penggunaan strategi pernikahan dan pembunuhan pribadi selama ritual adalah tindakan yang, meskipun licik, secara politik dianggap 'bersih' karena mencegah perang sipil yang lebih luas.
Mangir, ketika ia menerima Rara Pembayun, telah secara tidak langsung mengakhiri haknya untuk berperang. Ia memilih ikatan pribadi di atas ikatan politik. Dalam pandangan Mataram, ini adalah bukti bahwa Mangir, pada dasarnya, mengakui keunggulan *wahyu* Mataram. Senopati hanya perlu memberikan 'dorongan' terakhir agar proses integrasi spiritual ini sempurna. Batu gilang, tempat kepala Mangir dibenturkan, bukan sekadar batu; ia adalah simbol kedaulatan Mataram. Membunuh Mangir di atas batu itu adalah pernyataan bahwa Mangir telah 'diserap' oleh takhta itu sendiri, selamanya menjadi bagian dari fondasi Mataram.
Peristiwa ini menjadi preseden yang menakutkan bagi adipati lainnya. Pesannya jelas: perlawanan hanya akan menghasilkan kehancuran, dan bahkan kedekatan melalui ikatan keluarga tidak akan menjamin keselamatan jika ia mengancam kedaulatan pusat. Hal ini mempercepat proses Mataramisasi, di mana banyak adipati lain kemudian memilih untuk tunduk tanpa syarat, menyadari bahwa strategi Panembahan Senopati tidak dapat dikalahkan baik di medan tempur maupun di ranah diplomasi pernikahan.
Kiai Baru Klinthing perlu dibahas lebih detail karena ia adalah inti material dari perlawanan Mangir. Legenda pusaka ini berakar dalam mitologi Jawa yang dalam, sering dikaitkan dengan kesaktian luar biasa, seperti mampu berbicara, atau kebal terhadap senjata Mataram lainnya. Dalam beberapa versi cerita, tombak ini adalah penjelmaan naga, simbol air dan kesuburan, yang juga merupakan elemen penting dalam kekuasaan Jawa (karena Jawa adalah masyarakat agraris).
Pusaka Mangir adalah jiwa dari Mangir. Selama tombak itu berada di sana, wilayah Mangir memiliki identitas yang kuat, menolak Mataram. Ketika Mangir membawanya ke Mataram, ia secara tidak sadar membawa seluruh roh perlawanan Mangir ke hadapan Senopati. Ironisnya, tombak itu tidak melindungi Mangir dari kematian, karena kematiannya bukanlah disebabkan oleh senjata Mataram lain, melainkan oleh kekerasan langsung dari tangan Senopati yang memegang kendali atas Batu Gilang, pusaka takhta yang lebih unggul.
Tindakan Senopati adalah sintesis kekuatan: ia menggunakan kekuatan pusaka takhta (Batu Gilang) untuk mengalahkan kekuatan pusaka daerah (Kiai Baru Klinthing), yang dipegang oleh Mangir. Dengan demikian, kekuasaan Mataram secara absolut ditegaskan: semua kekuatan spiritual di Jawa, baik yang dipegang oleh pusaka atau oleh silsilah, harus tunduk pada Mataram. Kiai Baru Klinthing, setelah diserahkan atau disita, kemudian dihormati dan disimpan oleh Mataram, menandakan bahwa kini, roh perlawanan itu telah melayani kepentingan penguasa baru.
Mataram sering digambarkan sebagai kerajaan yang menjunjung tinggi etika dan budaya Jawa, namun kisah Mangir menunjukkan sisi pragmatis dan kejam dari pendiriannya. Senopati adalah seorang pendiri dinasti yang memahami bahwa untuk membangun imperium, ia harus memutuskan hubungan emosional dan menghancurkan semua musuh potensial, bahkan jika musuh itu telah menjadi keluarganya sendiri.
Kisah ini adalah kontras abadi antara idealisme Mangir dan realisme Senopati. Mangir bertindak berdasarkan kehormatan pribadi dan tradisi lama; ia percaya pada kekuatan pusaka dan darahnya. Senopati bertindak berdasarkan realitas politik, di mana hanya ada satu matahari yang boleh bersinar di cakrawala Jawa. Dengan menghancurkan Mangir, Senopati memastikan Mataram menjadi satu-satunya matahari, yang sinarnya tidak akan pernah tertandingi lagi oleh bintang-bintang kecil di daerah.
Implikasi sosial dari kisah ini meluas hingga ke struktur desa dan pola pikir rakyat jelata. Mereka melihat bahwa perlawanan, tidak peduli seberapa mulia asalnya, akan selalu dikalahkan oleh kekuasaan pusat yang memiliki *wahyu* yang lebih besar. Hal ini menanamkan budaya *ewuh pekewuh* (rasa sungkan dan hormat berlebihan) terhadap kekuasaan, sebuah ciri khas masyarakat Jawa yang bertahan lama. Kematian Mangir mengajarkan kepatuhan melalui teror yang halus.
Rara Pembayun adalah salah satu karakter wanita paling kompleks dalam babad Jawa. Ia bukan sekadar alat, tetapi seorang putri raja yang terlatih dalam seni politik. Misi yang ia jalankan menunjukkan bahwa wanita di lingkungan istana Jawa memiliki peran yang signifikan dalam permainan kekuasaan, seringkali sebagai agen rahasia yang paling efektif.
Sebagai putri Panembahan Senopati, Pembayun memiliki *trah* (darah bangsawan) yang menuntut loyalitas pada ayah dan dinasti. Pernikahannya dengan Mangir, meskipun didasari oleh cinta sejati dari pihak Mangir, bagi Pembayun sendiri, adalah pengorbanan yang disucikan oleh tujuan politik. Ketika ia mengungkapkan identitasnya, ia secara efektif memaksa Mangir untuk memilih: cinta seorang putri Mataram atau kedaulatan Mangir.
Tragedi Pembayun adalah kenyataan bahwa ia menyaksikan langsung kehancuran Mangir di tangan ayahnya. Ia mencintai pria yang ayahnya bunuh demi kekuasaan. Meskipun babad tidak banyak mencatat protes kerasnya, dapat dibayangkan trauma dan konflik batin yang ia alami. Namun, dalam sistem patriarkal feodal, loyalitas terhadap ayah (raja/dinasti) harus melebihi loyalitas terhadap suami yang dianggap musuh negara.
Pembayun, dengan demikian, menjadi simbol pengorbanan pribadi demi keutuhan dinasti. Ia melahirkan keturunan yang membawa darah Majapahit (melalui Mangir) dan Mataram (melalui dirinya dan Senopati), secara literal menyatukan kedua wangsa itu dalam satu silsilah. Tugasnya selesai, tetapi dengan harga yang mengerikan. Ia memastikan bahwa darah keturunan pemberontak kini mengalir dalam urat nadi para penguasa Mataram di masa depan, ironi sejarah yang sempurna.
Mangir Wanabaya, meskipun dikalahkan, adalah faktor penting yang memungkinkan Mataram mencapai kebesarannya. Tanpa konflik dan resolusi tragis ini, legitimasi Mataram akan terus dipertanyakan. Kontribusi Mangir dapat dirangkum dalam beberapa poin:
Kisah Mangir Wanabaya adalah sebuah epos, bukan hanya tentang perang dan strategi, tetapi tentang filosofi kekuasaan Jawa yang kompleks, di mana batas antara kejam dan bijaksana menjadi sangat kabur, dan di mana cinta dan pengkhianatan berjalan beriringan dalam mengukir sejarah sebuah bangsa.
Mangir tetap menjadi ikon yang abadi, bisikan perlawanan yang terdengar dari balik tembok pemakaman raja-raja, mengingatkan setiap penguasa akan fondasi berdarah yang menopang kemegahan takhta Mataram.
Dalam refleksi akhir, drama Mangir Wanabaya adalah cerminan dari seluruh sejarah Nusantara di masa transisi. Ini adalah pertarungan antara tradisi lokal yang kuat melawan gelombang sentralisasi yang didorong oleh kekuatan baru dan spiritualitas yang berbeda. Mangir berusaha mempertahankan otonomi; Senopati berjuang untuk kesatuan. Pada akhirnya, kesatuan menang, tetapi meninggalkan luka yang mendalam. Penggambaran Mangir sebagai individu yang idealis namun rentan membuatnya resonansi dengan setiap era yang menghadapi perubahan dramatis. Kisahnya menjadi pengingat bahwa bahkan di bawah naungan dinasti yang paling stabil sekalipun, kisah perlawanan dan tragedi pribadi selalu ada, tersimpan rapi di bawah batu gilangan kekuasaan.
Kekuatan narasi Mangir terletak pada kemampuannya untuk mengajukan pertanyaan abadi: Apa harga sebuah kedaulatan? Apakah kekejaman dapat dibenarkan demi ketertiban yang lebih besar? Jawaban yang diberikan oleh Panembahan Senopati, melalui tragedi di istana Kotagede, membentuk lanskap politik dan spiritual Jawa hingga ke masa depan yang jauh, sebuah warisan yang dibangun di atas darah seorang menantu yang jatuh cinta pada jebakan politik yang cantik.
Kita, para pembaca sejarah ini, adalah saksi bisu dari akhir tragis seorang ksatria yang, meski kalah dalam hidup, abadi dalam ingatan sebagai penjaga terakhir kehormatan Majapahit yang menolak bertekuk lutut sepenuhnya di hadapan fajar Mataram yang baru.
***