Panduan Komprehensif Mandi Besar (Ghusl): Syarat, Rukun, dan Kesempurnaan Thaharah
Konsep Thaharah (Kebersihan Spiritual)
Dalam syariat Islam, kebersihan merupakan pilar fundamental yang tidak terpisahkan dari ibadah. Konsep ini melampaui kebersihan fisik semata, menjangkau dimensi spiritual yang disebut thaharah. Salah satu bentuk thaharah yang paling penting dan wajib dilaksanakan pada kondisi tertentu adalah mandi besar atau yang dikenal dengan istilah Ghusl. Ghusl adalah ritual membersihkan seluruh tubuh dengan air suci dan mensucikan, sebagai syarat sah untuk melaksanakan shalat, menyentuh mushaf Al-Qur'an, dan berbagai ibadah lainnya.
Kajian mengenai mandi besar menempati posisi sentral dalam ilmu fiqih. Pemahaman yang benar dan pelaksanaan yang sesuai dengan tuntunan syariat akan menentukan diterima atau tidaknya ibadah wajib seorang muslim. Artikel ini akan mengupas tuntas segala aspek Ghusl, mulai dari sebab-sebab yang mewajibkannya, rukun (intinya), sunnah-sunnah penyempurna, hingga pembahasan mendalam mengenai kondisi-kondisi khusus yang sering menimbulkan keraguan.
I. Kedudukan dan Dasar Hukum Mandi Besar
Mandi besar memiliki kedudukan hukum fardhu 'ain (wajib bagi setiap individu) apabila telah terpenuhi salah satu sebab yang mewajibkannya. Tujuannya adalah menghilangkan hadats besar, yaitu kondisi ketidaksucian spiritual yang menghalangi seseorang dari melakukan ibadah tertentu.
Dalil Syar’i tentang Kewajiban Ghusl
Kewajiban mandi besar didasarkan pada dalil yang kokoh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surah Al-Ma'idah ayat 6: "...Dan jika kamu junub, maka mandilah..."
Ayat ini memberikan perintah yang jelas dan tegas mengenai kewajiban mandi bagi mereka yang berada dalam kondisi junub. Selain itu, banyak hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan secara rinci tata cara dan sebab-sebab Ghusl, memperjelas implementasi praktis dari perintah Ilahi tersebut. Kesepakatan para ulama (ijma’) juga menegaskan bahwa mandi besar adalah syarat mutlak untuk kembali suci dari hadats besar.
Perbedaan antara Hadats Besar dan Hadats Kecil
Penting untuk membedakan antara hadats besar dan hadats kecil karena keduanya membutuhkan cara penyucian yang berbeda:
- Hadats Kecil: Dihilangkan dengan wudhu (misalnya setelah buang air, buang angin, atau tidur nyenyak).
- Hadats Besar: Dihilangkan dengan Ghusl (mandi besar). Selama dalam hadats besar, wudhu saja tidak cukup untuk menghilangkan ketidaksucian tersebut. Seseorang yang junub, misalnya, tidak sah wudhunya tanpa didahului dengan mandi besar terlebih dahulu.
II. Sebab-Sebab yang Mewajibkan Mandi Besar (Asbab al-Ghusl)
Ada enam kondisi utama yang mewajibkan seseorang melaksanakan mandi besar. Lima kondisi berlaku umum bagi pria dan wanita, sementara satu kondisi khusus wanita.
1. Keluar Mani (Inzal al-Mani)
Keluarnya air mani, baik dalam keadaan terjaga maupun tidur (mimpi basah/ihtilam), mewajibkan Ghusl. Ini berlaku meskipun air mani keluar tanpa sengaja atau karena syahwat yang kuat. Syarat wajibnya mandi adalah keluarnya mani disertai rasa nikmat atau syahwat. Jika seseorang ragu apakah cairan yang keluar adalah mani atau madzi (cairan pra-ejakulasi), ia harus merujuk pada ciri-ciri khas mani (kental, bau seperti adonan, dan keluar dengan syahwat). Jika tidak ada ciri-ciri khas, umumnya dianggap madzi, yang hanya mewajibkan wudhu.
2. Berhubungan Suami Istri (Jima’)
Bertemunya dua khitan (masuknya kepala penis ke dalam vagina atau anus), meskipun tidak terjadi ejakulasi (keluarnya mani), telah mewajibkan Ghusl bagi kedua belah pihak. Ini didasarkan pada sabda Nabi: "Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi." Kewajiban ini berlaku seketika setelah perbuatan tersebut selesai.
3. Haid (Menstruasi)
Ketika darah haid berhenti total, wanita wajib melaksanakan Ghusl untuk dapat kembali beribadah. Batas waktu terhentinya darah adalah kunci. Wanita harus memastikan darah telah benar-benar berhenti, yang biasanya ditandai dengan keluarnya cairan bening (al-qashshah al-baydha’) atau kekeringan total (jufuf) di tempat darah keluar. Jika keraguan masih ada, menunggu hingga kekeringan sempurna adalah yang paling aman.
Pembahasan mengenai haid sangat mendalam. Fiqih menetapkan minimal haid satu hari satu malam dan maksimal 15 hari 15 malam (menurut mazhab Syafi'i). Jika darah berhenti sebelum masa maksimal, Ghusl wajib dilakukan segera. Jika darah terus mengalir melebihi batas maksimal, darah tersebut dianggap istihadhah (darah penyakit), dan wanita wajib mandi sekali, kemudian setelah itu hanya berwudhu setiap kali shalat.
4. Nifas (Darah Pasca Melahirkan)
Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Sama seperti haid, ketika darah nifas berhenti, Ghusl diwajibkan. Mayoritas ulama menetapkan batas maksimal nifas adalah 40 hari. Jika darah berhenti pada hari ke-30, misalnya, maka Ghusl harus segera dilakukan. Jika darah terus mengalir melewati 40 atau 60 hari (tergantung mazhab), ia dianggap istihadhah, dan tata cara penyuciannya sama seperti kasus istihadhah.
5. Melahirkan (Wiladah)
Sebagian ulama (terutama Mazhab Syafi’i) berpendapat bahwa melahirkan, meskipun tidak diikuti oleh keluarnya darah nifas (misalnya bayi lahir kering), tetap mewajibkan Ghusl. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa proses melahirkan itu sendiri sudah dianggap sebagai hadats besar.
6. Meninggal Dunia (Kecuali Syahid)
Memandikan jenazah muslim adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif) bagi komunitas muslim yang hidup. Jenazah harus dimandikan kecuali mereka yang gugur di medan perang (syahid), karena para syuhada’ dikuburkan dalam keadaan berlumuran darah tanpa dimandikan. Proses memandikan jenazah adalah Ghusl, yang pelaksanaannya memiliki tata cara khusus yang bertujuan membersihkan dan mensucikan jenazah sebelum dikebumikan.
III. Rukun Mandi Besar (Rukun al-Ghusl)
Rukun Ghusl adalah inti sari dari mandi yang tanpanya mandi tersebut dianggap tidak sah. Berbeda dengan tata cara sunnah yang menyempurnakan, rukun harus dipenuhi. Rukun mandi besar terdiri dari dua hal fundamental, meskipun beberapa mazhab menambahkan satu rukun lagi.
Rukun 1: Niat (An-Niyyah)
Niat adalah membulatkan tekad di dalam hati bahwa mandi yang dilakukan bertujuan untuk menghilangkan hadats besar (janabah, haid, atau nifas) agar diperbolehkan melakukan ibadah.
Jika seseorang lupa niat, atau niatnya hanya untuk menyegarkan diri padahal ia dalam kondisi junub, maka mandi tersebut tidak sah secara syariat, dan ia masih dalam keadaan hadats besar.
Rukun 2: Meratakan Air ke Seluruh Tubuh (Ta’mim al-Ma’)
Air suci dan mensucikan harus sampai ke seluruh permukaan kulit dan rambut. Ini termasuk bagian-bagian tubuh yang sulit dijangkau.
- Rambut dan Kulit Kepala: Air harus benar-benar menyentuh kulit kepala. Bagi wanita dengan rambut yang sangat tebal, jika ikatan rambutnya menghalangi sampainya air ke akar rambut, sebagian ulama mewajibkan ikatan tersebut dilepas. Namun, menurut pandangan yang lebih mudah (seperti dalam Mazhab Syafi’i), cukup dengan mengguyur kepala secara menyeluruh dan memastikan air meresap hingga ke akar rambut.
- Lipatan Tubuh: Termasuk ketiak, pusar, sela-sela jari kaki dan tangan, belakang telinga, dan bagian kemaluan (terutama kulit yang tertutup saat jongkok).
- Area yang Sulit Dijangkau: Untuk memastikan air mengenai punggung dan kaki dengan sempurna, menggosok tubuh (dalk) sangat dianjurkan.
Seringkali, bagian yang terlewat adalah bagian bawah rambut yang dikepang atau bagian lipatan kulit yang terlalu rapat. Muslim harus berhati-hati untuk memastikan tidak ada satu titik pun di tubuh yang kering saat Ghusl selesai dilakukan.
IV. Tata Cara Mandi Sempurna Sesuai Sunnah Nabi
Mandi besar sah hanya dengan memenuhi dua rukun di atas. Namun, untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dan mengikuti teladan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, disunnahkan untuk melakukan langkah-langkah tambahan yang dikenal sebagai sunnah-sunnah ghusl.
Urutan Langkah yang Dianjurkan dalam Syariat
Langkah-Langkah Sunnah Ghusl:
1. Membaca Basmalah dan Niat (Permulaan Ibadah)
Mengucapkan 'Bismillahirrahmannirrahim' sebelum memulai dan menetapkan niat di dalam hati.
2. Mencuci Kedua Telapak Tangan (Tiga Kali)
Membersihkan kedua telapak tangan sebagai langkah awal, karena tangan sering menjadi alat untuk membersihkan bagian tubuh lainnya.
3. Membersihkan Kemaluan dan Kotoran (Istinja')
Menggunakan tangan kiri untuk membersihkan seluruh sisa kotoran atau najis yang mungkin menempel di kemaluan dan sekitarnya. Ini disebut Istinja' atau Izalah al-Khabats (menghilangkan najis).
4. Mencuci Tangan Kiri dengan Tanah atau Sabun
Setelah membersihkan kemaluan, tangan kiri yang digunakan dicuci hingga bersih, disunnahkan menggunakan sabun atau benda yang memiliki daya pembersih (dahulu menggunakan tanah atau abu) untuk menghilangkan bau dan sisa-sisa kotoran.
5. Berwudhu Sempurna (Wudhu Qabla Ghusl)
Melaksanakan wudhu seperti wudhu untuk shalat. Namun, disunnahkan untuk menunda mencuci kedua kaki sampai akhir proses mandi, terutama jika mandi dilakukan di tempat yang airnya tergenang (seperti bak mandi). Wudhu ini bertujuan untuk membersihkan anggota wudhu secara terpisah dari seluruh tubuh.
6. Mengguyur Kepala (Tiga Kali)
Membasuh kepala tiga kali sambil menyela-nyela (menggosok) pangkal rambut dengan jari-jari tangan untuk memastikan air mencapai kulit kepala. Ini penting bagi pria dan wanita.
7. Mengguyur Seluruh Tubuh (Dimulai dari Kanan)
Mengguyur bagian tubuh sebelah kanan terlebih dahulu, kemudian bagian sebelah kiri. Ini adalah prinsip umum dalam kebersihan sunnah. Pastikan air mengalir sempurna dari pundak hingga ujung kaki.
8. Menggosok Tubuh (Ad-Dalk)
Menggosok seluruh tubuh, baik dengan tangan maupun kain, untuk memastikan air merata dan menghilangkan kotoran yang menempel. Dalam Mazhab Maliki, menggosok tubuh (dalk) bahkan diangkat menjadi rukun Ghusl, menunjukkan betapa pentingnya hal ini untuk mencapai kesucian yang sempurna.
9. Mencuci Kedua Kaki (Penutup)
Jika kaki belum dicuci saat wudhu di awal (karena kondisi tempat mandi), maka mencuci kedua kaki adalah langkah terakhir.
V. Mandi-Mandi Sunnah dan Keutamaannya
Selain mandi wajib, ada beberapa Ghusl yang hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Meskipun tidak menghilangkan hadats besar, mandi ini dianjurkan untuk tujuan kebersihan, estetika, dan persiapan spiritual memasuki waktu ibadah yang agung.
1. Mandi Hari Jum’at
Ini adalah mandi sunnah yang paling ditekankan. Rasulullah bersabda: "Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, dan membersihkan diri semaksimal mungkin, dan memakai wangi-wangian yang ia miliki, kemudian berangkat menuju shalat, dan tidak memisahkan dua orang, kemudian ia shalat sesuai kemampuan, maka akan diampuni dosa-dosanya antara Jum’at itu dan Jum’at berikutnya." Waktu terbaik untuk mandi Jum’at adalah sesaat sebelum berangkat ke masjid.
2. Mandi Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha)
Mandi ini dianjurkan sebelum berangkat shalat Id. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kebersihan dan keindahan dalam menyambut hari kemenangan umat Islam. Waktunya dimulai sejak terbit fajar pada hari Id.
3. Mandi Saat Ihram
Bagi jamaah haji atau umrah, dianjurkan mandi sebelum memasuki status Ihram (baik saat di miqat atau sebelum memulai niat Ihram). Ghusl ini dilakukan untuk mempersiapkan tubuh secara fisik dan spiritual untuk memulai perjalanan ibadah besar.
4. Mandi Setelah Memandikan Jenazah
Meskipun tidak diwajibkan oleh semua ulama, disunnahkan bagi orang yang telah selesai memandikan jenazah untuk mandi. Ini adalah anjuran untuk membersihkan diri dari kemungkinan najis yang mungkin menempel.
VI. Analisis Fiqih Mendalam Mengenai Kondisi Khusus
Mandi besar sering kali melibatkan situasi-situasi kompleks yang memerlukan penjelasan fiqih yang lebih rinci. Pemahaman akan perbedaan antara mani, madzi, dan wadi, serta kondisi wanita, sangat penting untuk menentukan jenis thaharah yang harus dilakukan.
A. Mengenal Tiga Cairan Kelamin: Mani, Madzi, dan Wadi
Hanya mani (sperma atau ovum) yang mewajibkan Ghusl. Dua cairan lainnya hanya mewajibkan istinja' dan wudhu.
Mani (Sperma/Ovum):
Cairan kental, keluar dengan dorongan syahwat yang kuat (atau saat ihtilam), setelah keluar biasanya diikuti oleh rasa lemas. Ciri khasnya baunya mirip adonan roti atau pelepah kurma. Hukumnya suci (tidak najis), tetapi mewajibkan Ghusl.
Madzi (Cairan Pra-ejakulasi):
Cairan bening, tipis, lengket, keluar saat syahwat mulai terangsang tetapi belum mencapai puncak. Hukumnya najis ringan dan hanya mewajibkan mencuci kemaluan (istinja') serta berwudhu. Madzi tidak mewajibkan Ghusl.
Wadi (Cairan Putih):
Cairan kental, berwarna putih keruh, biasanya keluar setelah buang air kecil (urine) atau saat kelelahan. Hukumnya najis dan hanya mewajibkan istinja' serta wudhu. Wadi tidak mewajibkan Ghusl.B. Keraguan Setelah Bangun Tidur (Ihtilam)
Jika seseorang bangun tidur dan menemukan bekas basah (kelembapan) di pakaian atau tubuhnya, ada tiga kemungkinan:
- Jika yakin itu mani, wajib Ghusl, meskipun ia tidak ingat bermimpi basah.
- Jika yakin itu bukan mani (misalnya keringat atau madzi), tidak wajib Ghusl.
- Jika ragu-ragu antara mani atau madzi, maka ia tidak diwajibkan Ghusl, tetapi dianjurkan untuk mandi sebagai bentuk kehati-hatian (ihtiyat). Sebagian ulama berpendapat ia harus melihat ciri-cirinya; jika tidak ada ciri mani, maka tidak wajib mandi.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya tentang wanita yang melihat kelembapan tetapi tidak ingat mimpi basah, beliau menjawab: "Ia harus mandi." Ini menunjukkan bahwa penemuan cairan yang diduga mani adalah indikasi kuat kewajiban Ghusl, terlepas dari ingatan mimpi.
C. Wanita Haid dan Kewajiban Mandi
Kewajiban Ghusl bagi wanita yang selesai haid memiliki detail yang harus diperhatikan:
- Memastikan Penuh Berhenti: Jika darah berhenti di malam hari, wanita wajib mandi sebelum masuk waktu shalat berikutnya. Misalnya, darah berhenti jam 4 pagi, ia harus mandi sebelum terbit matahari agar bisa shalat Shubuh.
- Menggunakan Wangi-wangian: Disunnahkan bagi wanita yang mandi haid untuk menggunakan kapas atau kain yang diberi wangi-wangian (misalnya misk) dan mengusapkannya pada tempat keluarnya darah, untuk menghilangkan bau yang tidak sedap.
- Sufrah dan Kudrah (Kuning dan Keruh): Cairan berwarna kuning atau keruh yang keluar setelah masa haid berakhir tidak dianggap sebagai haid. Wanita tidak perlu menunggunya berhenti untuk mandi. Seorang istri Rasulullah berkata: "Kami tidak menganggap apa-apa terhadap cairan kekuningan dan keruh setelah bersuci."
VII. Kesalahan Umum dalam Melaksanakan Mandi Besar
Meskipun terlihat sederhana, banyak kaum muslimin yang melakukan kesalahan-kesalahan mendasar yang dapat mengurangi kesahihan atau kesempurnaan Ghusl mereka.
1. Melupakan Niat (Rukun Pertama)
Kesalahan terbesar adalah mandi seperti mandi biasa tanpa meniatkan Ghusl untuk menghilangkan hadats besar. Ghusl yang tanpa niat di hati tidak sah, dan hadats besar tetap melekat, meskipun seluruh tubuh sudah basah kuyup.
2. Tidak Meratakan Air pada Seluruh Tubuh
Seringkali bagian tubuh seperti pangkal telinga, pusar yang dalam, sela-sela jari kaki, atau bagian bawah kuku yang panjang, terlewat. Jika ada bagian tubuh sekecil lubang jarum yang tidak tersentuh air, maka Ghusl tidak sah. Ini menuntut kehati-hatian dan penggunaan gerakan menggosok (dalk).
3. Menganggap Sabun dan Sampo sebagai Rukun
Penggunaan sabun dan sampo bertujuan untuk membersihkan kotoran (najis dan khabats), dan itu dianjurkan. Namun, yang merupakan rukun adalah air murni. Ghusl sah menggunakan air saja, asalkan air tersebut sampai merata. Sabun dan sampo adalah pelengkap kebersihan, bukan rukun.
4. Mandi Langsung Tanpa Wudhu Pendahuluan
Meskipun Ghusl yang sah (memenuhi rukun) otomatis mencakup wudhu (yakni, seseorang yang selesai Ghusl boleh langsung shalat tanpa wudhu lagi, selama ia tidak melakukan pembatal wudhu lainnya), meninggalkan wudhu di awal adalah meninggalkan sunnah utama yang dicontohkan Rasulullah.
5. Berlebihan dalam Menggunakan Air (Israf)
Mandi besar adalah ibadah yang harus dilakukan dengan air secukupnya. Rasulullah mandi wajib hanya dengan satu sha' air (sekitar 2,5 hingga 3 liter). Berlebihan dalam menggunakan air (israf), meskipun Ghuslnya sah, adalah perbuatan yang tidak disukai dalam Islam.
VIII. Aspek Spiritual dan Filosofi Thaharah
Mandi besar bukan sekadar ritual fisik; ia adalah cerminan dari kebutuhan mendasar manusia untuk kembali kepada fitrah yang suci. Filosofi di balik Ghusl menunjukkan hubungan erat antara kebersihan fisik dan kesiapan spiritual.
Kesatuan Thaharah Jasmani dan Rohani
Thaharah al-Batin (Pembersihan Batin)
Ketika seseorang dalam keadaan hadats besar, ia dilarang menyentuh Al-Qur'an atau shalat. Larangan ini bukan karena tubuhnya kotor secara harfiah, melainkan karena kondisi spiritualnya sedang tidak suci. Ghusl berfungsi sebagai pintu gerbang untuk kembali terhubung dengan Allah.
Saat kita membersihkan kotoran fisik, seharusnya disertai dengan niat untuk membersihkan hati dari sifat-sifat buruk (dengki, sombong, riya). Air yang mengalir di tubuh diharapkan mampu membasuh dosa-dosa kecil yang mungkin telah dilakukan, sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa wudhu dan Ghusl dapat menggugurkan dosa-dosa kecil dari anggota badan yang dibasuh.
Disiplin Diri dan Kesadaran Ibadah
Kewajiban mandi besar mengajarkan disiplin waktu dan kesadaran akan status diri. Seseorang yang junub atau haid harus segera melaksanakan Ghusl begitu kondisi tersebut berakhir, demi mengejar waktu shalat. Disiplin ini melatih seorang muslim untuk selalu siap siaga dalam keadaan suci, yang merupakan manifestasi dari keseriusan dalam beribadah.
IX. Tanya Jawab Fiqih Lanjutan (Mandi Besar)
Berikut adalah beberapa pertanyaan umum dan mendalam terkait pelaksanaan Ghusl.
Apakah Mandi Wajib Sah Jika Dilakukan di Kolam Renang atau Laut?
Ya, Ghusl tetap sah. Air laut atau air kolam yang suci dan mensucikan (tidak najis) dapat digunakan. Syaratnya tetap dua rukun terpenuhi: niat dan meratakan air. Jika seseorang niat Ghusl dan seluruh tubuhnya tenggelam sepenuhnya di dalam air yang suci (dan ia menggosok-gosok tubuhnya sedikit), Ghuslnya sah, meskipun tidak menggunakan gayung.
Bagaimana Jika Ada Luka atau Perban?
Jika seseorang memiliki luka yang tidak boleh terkena air, ia harus melakukan Ghusl secara normal pada anggota tubuh yang sehat. Pada bagian luka atau perban, jika memungkinkan untuk dibasuh sedikit, ia membasuhnya. Jika tidak mungkin, ia cukup mengusap (mengusapkan tangan basah di atas perban/luka). Setelah itu, ia melengkapinya dengan Tayammum untuk anggota badan yang tidak bisa tersentuh air, meskipun ulama berbeda pendapat apakah Tayammum ini diperlukan. Namun, menjamak (menggabungkan) Ghusl dengan Tayammum pada kasus darurat adalah panduan yang paling aman.
Apakah Rambut Wanita Harus Dibuka Kepangannya?
Dalam kasus Ghusl Janabah (setelah jima’ atau keluar mani), mayoritas ulama (seperti Mazhab Syafi’i dan Hanafi) berpendapat bahwa tidak wajib bagi wanita untuk membuka kepangannya, asalkan ia memastikan air sampai ke pangkal rambut dan membasahi kulit kepala. Namun, untuk Ghusl Haid dan Nifas, kehati-hatian yang paling utama adalah membuka kepangan agar air benar-benar merata, mengingat hadats ini bersifat lebih besar dan lebih lama durasinya.
Hukum Mandi Wajib Setelah Shalat Subuh
Jika seseorang dalam keadaan junub dan belum sempat mandi hingga waktu shalat Shubuh tiba, ia wajib Ghusl secepatnya. Jika ia sengaja menunda mandi hingga shalat Shubuh terlewat, ia berdosa karena menunda shalat, tetapi kewajiban shalatnya tetap harus diqadha’ (dilaksanakan setelahnya) dan Ghuslnya harus tetap dilakukan. Jika ia mandi segera setelah terbit fajar dan shalat Shubuh, shalatnya sah, namun ia dihukumi berdosa jika penundaan mandi itu menyebabkan shalat Shubuh terlambat dari waktunya.
Apakah Keluar Cairan Setelah Mandi (Mani Susulan)?
Jika seseorang telah Ghusl dan kemudian keluar cairan (diduga mani) lagi, apakah wajib mengulang Ghusl?
- Jika cairan itu keluar setelah kencing: Sebagian ulama berpendapat tidak wajib mengulang Ghusl karena kencing yang mendahului keluarnya mani susulan berfungsi membersihkan saluran kemih, dan mani yang keluar adalah sisa yang sudah tidak disertai syahwat. Hanya wajib wudhu.
- Jika cairan itu keluar tanpa kencing: Jika cairan keluar disertai syahwat baru, wajib mengulang Ghusl. Jika keluar tanpa syahwat baru dan merupakan sisa dari hadats sebelumnya, dianjurkan mandi, namun kewajiban utamanya adalah berwudhu dan membersihkan najisnya.
X. Penutup: Menguatkan Komitmen Thaharah
Mandi besar (Ghusl) adalah pintu gerbang menuju ibadah yang sah. Pemahaman akan rukun, tata cara sunnah, dan kondisi-kondisi khusus adalah kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah. Dengan melaksanakan Ghusl secara benar, kita tidak hanya memenuhi kewajiban fiqih, tetapi juga menegaskan kembali komitmen kita terhadap kesucian menyeluruh yang disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Semoga kajian mendalam ini membantu setiap pembaca untuk melaksanakan Ghusl dengan kesempurnaan, sehingga setiap ibadah yang dilaksanakan menjadi sah dan diterima di sisi-Nya.