Dalam pusaran kehidupan modern yang didominasi oleh kecepatan, efisiensi, dan tuntutan instan, konsep Mañana (diucapkan ‘manyana’) sering kali disalahpahami sebagai sinonim belaka untuk penundaan atau kemalasan. Namun, bagi jutaan orang di berbagai budaya, terutama di Amerika Latin dan Spanyol, Manana adalah sebuah filosofi waktu yang jauh lebih dalam, sebuah lensa kultural yang menawarkan perspektif alternatif terhadap stres dan produktivitas. Artikel ini akan menyelami akar konsep Manana, menganalisis kontrasnya dengan budaya linier Barat, dan mencari tahu bagaimana filosofi penundaan yang terukur ini dapat menjadi kunci menuju keseimbangan mental di era yang serba terburu-buru.
*Ilustrasi fleksibilitas waktu Mañana.
Secara harfiah dalam bahasa Spanyol, Mañana memiliki dua arti utama: 'besok' dan 'pagi'. Namun, ketika digunakan dalam konteks sosial dan interaksi sehari-hari, maknanya meluas menjadi 'nanti', 'kemudian', atau 'waktu lain di masa depan yang tidak ditentukan'. Inilah yang membedakan Manana dari kata "besok" dalam budaya Anglo-Saxon.
Dalam budaya Monokronik (seperti Jerman, Amerika Utara, atau Skandinavia), 'besok' berarti tepat pada hari berikutnya. Dalam budaya Polikronik (seperti Meksiko, Spanyol, atau Brasil), 'Mañana' menandakan fleksibilitas; hal itu akan dilakukan ketika kondisi sosial, emosional, atau fisik paling memungkinkan, atau ketika hubungan interpersonal telah diprioritaskan. Ini adalah pengakuan bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai jadwal linier yang kaku.
Di negara-negara yang menganut filosofi Manana, ada pemahaman kolektif bahwa menunda suatu tugas hingga waktu yang lebih tepat bukanlah kegagalan moral atau kekurangan etos kerja, melainkan mekanisme adaptasi yang sehat. Tugas tersebut tidak hilang, hanya saja penanganannya diserahkan kepada diri masa depan yang lebih siap. Ini secara signifikan mengurangi tekanan akut yang dirasakan oleh individu dalam budaya yang terobsesi pada kedisiplinan waktu (time urgency).
Budaya yang mengedepankan Manana secara inheren menolak gagasan bahwa setiap detik harus dimanfaatkan untuk mencapai efisiensi maksimal. Sebaliknya, waktu dipandang sebagai sumber daya yang melimpah, tidak terbatas dan tidak harus dipecah menjadi unit-unit yang harus diisi dengan kegiatan produktif tanpa henti. Fleksibilitas ini memungkinkan adanya ruang bernapas untuk interaksi sosial yang mendalam, menikmati momen kini, dan merawat kesejahteraan mental.
Antropolog Edward T. Hall mempopulerkan kerangka kerja untuk memahami perbedaan budaya dalam mengelola waktu, membaginya menjadi Monokronik (M-Time) dan Polikronik (P-Time). Pemahaman Manana terletak kokoh dalam spektrum P-Time, dan kontrasnya sangat instruktif untuk memahami bagaimana waktu memengaruhi identitas dan interaksi sosial.
M-Time melihat waktu sebagai garis lurus (linier) yang bergerak maju, seperti aliran sungai yang tidak dapat kembali. Dalam kerangka ini:
Dalam budaya M-Time, penundaan adalah kegagalan; keterlambatan adalah ketidakhormatan. Ada tekanan konstan untuk bertindak sekarang karena "tidak ada waktu selain saat ini" (carpe diem). Budaya ini menghasilkan inovasi dan kecepatan eksekusi yang tinggi, tetapi sering kali juga menghasilkan tingkat kecemasan (anxiety) dan stres yang tinggi terkait tenggat waktu.
P-Time melihat waktu sebagai siklus atau kolam yang fleksibel. Waktu ada, dan meskipun tugas itu penting, tugas itu dapat menunggu jika ada hal lain yang lebih mendesak dalam konteks sosial atau emosional. Dalam kerangka ini:
Manana adalah ekspresi sempurna dari P-Time. Ketika seseorang berkata, "Kita akan melakukannya manana," itu mungkin berarti "Minggu depan," atau "Ketika saya selesai berbicara dengan Bibi Rosa," atau "Setelah cuaca mendingin." Ini adalah penerimaan bahwa kehidupan mengalir berdasarkan kebutuhan manusia, bukan berdasarkan kalender digital.
Konsep Manana menantang tirani jam. Itu mengingatkan kita bahwa meskipun produktivitas adalah penting, koneksi dan ketenangan mental adalah fondasi yang memungkinkan produktivitas berkelanjutan.
Penting untuk menarik garis tegas antara Manana yang bijaksana dan prokrastinasi patologis yang didorong oleh kecemasan. Prokrastinasi seringkali merupakan mekanisme emosional untuk menghindari perasaan negatif—rasa takut gagal, kesempurnaan, atau ketidakmampuan—yang terkait dengan tugas tersebut. Sebaliknya, Manana yang diterapkan secara kultural adalah penundaan yang disengaja, didorong oleh prioritas yang berbeda, bukan oleh ketakutan.
Psikologi modern mendefinisikan prokrastinasi sebagai kegagalan regulasi diri, di mana seseorang memilih untuk melakukan aktivitas yang memberikan kepuasan instan (seperti berselancar di media sosial) meskipun tahu bahwa hal itu akan merugikan tujuan jangka panjang. Individu yang prokrastinasi sejati merasa bersalah, malu, dan semakin cemas saat tenggat waktu mendekat. Mereka menderita dampak negatif dari penundaan tersebut.
Dalam konteks Manana, penundaan tugas kantor karena harus mendengarkan masalah seorang anggota keluarga atau karena menikmati istirahat makan siang yang santai bukanlah kegagalan regulasi diri. Ini adalah regulasi nilai. Nilai koneksi sosial, kesehatan mental, dan momen kini diprioritaskan di atas nilai efisiensi kerja. Tidak ada rasa bersalah, karena kerangka budaya mendukung penundaan tersebut.
Hal ini menciptakan siklus mental yang lebih sehat. Ketika tugas ditunda, tekanan mental untuk segera menyelesaikannya berkurang, memungkinkan pikiran bawah sadar untuk memproses masalah tersebut. Seringkali, penundaan ini menghasilkan solusi yang lebih kreatif atau eksekusi yang lebih baik, karena tugas tersebut dilakukan ketika energi dan fokus berada pada puncaknya, bukan karena paksaan jam.
Filosofi Manana secara tidak langsung merayakan konsep inkubasi. Otak manusia memerlukan periode inaktivitas atau pengalihan untuk memproses informasi kompleks. Dalam budaya yang menuntut tindakan segera, waktu inkubasi ini sering dihilangkan. Manana memberikan izin untuk istirahat mental, mempercayai bahwa solusi akan datang pada waktunya, besok pagi, atau lusa. Ini adalah pengakuan atas kecerdasan intuitif yang sering terhambat oleh ketergesaan logis.
Jika budaya M-Time berpegang pada semboyan "Jangan tunda sampai besok apa yang bisa Anda lakukan hari ini," budaya P-Time mungkin menjawab, "Mengapa membuat diri Anda lelah hari ini jika besok Anda mungkin memiliki ide yang lebih baik atau energi yang lebih banyak?"
Ketika dua budaya waktu yang berlawanan—M-Time dan P-Time—bertemu dalam lingkungan bisnis global, terjadi gesekan yang signifikan. Pihak M-Time sering menuduh mitra P-Time mereka tidak profesional atau tidak dapat diandalkan, sementara pihak P-Time merasa mitra M-Time mereka dingin, tidak manusiawi, dan terlalu fokus pada hasil daripada hubungan.
Dalam negosiasi bisnis di budaya Manana, tenggat waktu jarang sekali mutlak. Jika tenggat waktu yang ditetapkan adalah hari Jumat, ini sering dipandang sebagai target yang ideal, bukan batas yang tidak bisa dilanggar. Jika pada hari Kamis sore ada kesempatan untuk memperkuat hubungan dengan klien melalui makan malam yang panjang, makan malam itu akan diprioritaskan, bahkan jika itu berarti pekerjaan diselesaikan pada hari Senin.
Kesabaran dan pembangunan hubungan (relationship building) adalah mata uang yang lebih berharga daripada kecepatan. Kesuksesan bisnis dalam budaya Manana sangat bergantung pada kepercayaan dan komitmen pribadi, bukan hanya kepatuhan pada kontrak. Jika hubungan itu kuat, keterlambatan akan dimaafkan; jika hubungan itu lemah, bahkan pengiriman tepat waktu pun terasa hampa.
Manajemen proyek yang diilhami oleh Manana adalah manajemen proyek yang fleksibel dan adaptif. Berbeda dengan model air terjun (Waterfall) yang kaku, model ini menyerupai metodologi Agile—namun dengan fokus yang lebih kuat pada ketersediaan manusiawi. Dalam P-Time, sumber daya utama bukanlah waktu, melainkan perhatian penuh dan kualitas interaksi.
Seorang manajer proyek M-Time akan merasa frustrasi jika jadwal rapat berubah tanpa pemberitahuan atau jika rapat dimulai terlambat 20 menit. Seorang manajer proyek P-Time akan memahami bahwa 20 menit terlambat adalah bagian dari proses yang memungkinkan rekan kerja menyelesaikan interaksi pribadi penting yang terjadi tepat sebelum rapat, memastikan mereka hadir dengan pikiran yang lebih tenang dan fokus.
Penerapan Manana memiliki implikasi etika dan sosial yang luas. Pada intinya, Manana adalah etika yang menempatkan manusia di atas mesin; kebutuhan emosional di atas kewajiban mekanis. Ini menuntut kita untuk mempertimbangkan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan oleh obsesi global terhadap kecepatan.
*Menemukan titik keseimbangan antara urgensi dan Manana.
Dalam masyarakat yang sangat berorientasi pada hasil, seringkali ada tekanan implisit untuk selalu sibuk, selalu merespons, dan selalu mengejar. Manana menawarkan pembebasan dari tirani ini. Ini adalah hak untuk tidak terburu-buru, hak untuk menikmati makanan tanpa memeriksa email, hak untuk memberikan perhatian penuh kepada orang yang berbicara, daripada terus-menerus melihat jam.
Bagi banyak budaya P-Time, terburu-buru dianggap tidak sopan atau bahkan tidak efisien, karena terburu-buru sering menyebabkan kesalahan dan melewatkan detail penting, terutama dalam interaksi sosial. Manana adalah bentuk ketahanan sosial terhadap tekanan globalisasi yang menginginkan semua interaksi dilakukan secara instan.
Para kritikus sering mengaitkan budaya Manana dengan inefisiensi birokrasi dan keterbelakangan ekonomi di beberapa negara P-Time. Mereka berargumen bahwa penundaan yang berlebihan menghambat infrastruktur dan investasi. Ini adalah perdebatan yang valid, tetapi penting untuk memisahkan kebiasaan kultural dari kegagalan struktural pemerintah.
Meskipun benar bahwa Manana dapat menciptakan gesekan dalam sistem yang membutuhkan kepatuhan waktu yang kaku (seperti transportasi umum atau rantai pasokan global), ini tidak berarti filosofi tersebut tidak memiliki nilai. Tantangannya adalah menemukan Manana yang fungsional—sebuah sistem di mana kesabaran dan hubungan dihargai, tetapi tenggat waktu yang penting bagi keselamatan publik atau kesehatan finansial tetap dihormati. Ini memerlukan negosiasi nilai, bukan penolakan total terhadap salah satu sistem waktu.
Bagaimana individu yang hidup dalam masyarakat M-Time yang didorong oleh jadwal dapat mengintegrasikan kebijaksanaan Manana tanpa mengorbankan karier atau komitmen mereka?
Bukan berarti menunda semua hal sampai Anda benar-benar terlambat, tetapi memilih secara sadar tugas mana yang dapat dan harus menunggu demi kualitas hidup Anda. Ini adalah tiga langkah untuk Manana terukur:
Dengan mempraktikkan Manana terukur, kita mendapatkan manfaat fleksibilitas P-Time (pengurangan stres, fokus pada hubungan) sambil tetap menghormati struktur M-Time (memenuhi komitmen profesional).
Dalam budaya M-Time, waktu kosong (downtime) sering dianggap sebagai kegagalan dalam efisiensi. Dalam budaya Manana, waktu kosong adalah waktu yang produktif—waktu untuk refleksi, waktu untuk menikmati, waktu untuk memulihkan. Salah satu tantangan terbesar bagi individu M-Time yang mencoba menerapkan Manana adalah belajar untuk merasa nyaman dengan tidak melakukan apa-apa.
Aktivitas yang dianggap "Manana" meliputi: berjalan-jalan tanpa tujuan, menikmati makanan secara perlahan tanpa gangguan, tidur siang, atau terlibat dalam percakapan yang panjang dan mendalam yang tidak memiliki tujuan selain koneksi.
Era digital telah memperkuat budaya M-Time. Pemberitahuan instan, ekspektasi balasan email dalam hitungan jam, dan tekanan untuk selalu ‘tersedia’ telah membuat ruang untuk Manana semakin sempit. Namun, paradoksnya, justru dalam lingkungan hiperkoneksi ini, filosofi Manana menjadi semakin penting sebagai alat pertahanan diri.
Digitalisasi memaksa kita ke dalam jadwal linier yang ketat, menciptakan siklus respons dan reaksi yang tak terhindarkan. Manana menuntut kita untuk membangun batasan yang bersifat Polikronik: batas yang fleksibel, tetapi tegas.
Di masa depan, di mana kecerdasan buatan (AI) akan menangani semua tugas yang memerlukan kecepatan dan efisiensi, nilai-nilai manusia akan bergeser ke area yang tidak dapat diotomatisasi: empati, koneksi mendalam, dan kreativitas yang muncul dari refleksi. Semua kualitas ini berakar pada kesabaran, inti dari Manana.
Individu dan perusahaan yang dapat menerapkan ritme Manana—yaitu, melambat untuk mendengarkan, memprioritaskan kualitas hubungan jangka panjang di atas keuntungan triwulanan jangka pendek—akan memiliki keunggulan kompetitif dalam membangun kepercayaan dan loyalitas sejati.
Pengaruh filosofi waktu pada kesehatan fisik dan mental adalah subjek studi yang luas. Budaya yang didorong oleh urgensi (M-Time) sering menunjukkan tingkat masalah kesehatan yang berhubungan dengan stres yang lebih tinggi, seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan kecemasan umum.
Manana memungkinkan adanya waktu luang yang tidak terstruktur. Dalam budaya M-Time, waktu luang pun harus produktif (misalnya, berolahraga untuk meningkatkan kesehatan atau mengambil kursus online untuk meningkatkan keterampilan). Dalam budaya P-Time, waktu luang adalah waktu untuk tidak memiliki tujuan. Waktu luang yang tidak terstruktur ini adalah anti-stres yang kuat, memungkinkan sistem saraf untuk keluar dari mode 'perjuangan atau lari' (fight or flight) yang dipicu oleh tenggat waktu konstan.
Penelitian menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan dalam keadaan tenang dan reflektif (seperti yang didorong oleh Manana) meningkatkan fungsi kognitif, daya ingat, dan kapasitas untuk memecahkan masalah yang kompleks. Dengan membebaskan diri dari tekanan waktu, kita memberi otak kesempatan untuk mengonsolidasikan informasi dan membentuk jalur saraf baru.
Ketika dihadapkan pada keputusan besar, budaya M-Time cenderung menuntut respons cepat. Namun, Manana mengajarkan bahwa keputusan terbaik jarang dibuat di bawah tekanan. Dengan mengizinkan waktu untuk "dingin" (seperti yang diisyaratkan oleh Manana), kita memungkinkan emosi awal mereda dan membiarkan akal sehat dan intuisi masuk. Ini adalah pengambilan keputusan yang didasarkan pada kebijaksanaan yang terakumulasi, bukan hanya pada data yang tergesa-gesa.
Pengambilan keputusan Manana melibatkan konsultasi dengan jaringan sosial (keluarga, teman, mentor) dan membiarkan masalah berputar-putar di benak selama beberapa jam atau hari. Hal ini meningkatkan peluang untuk membuat keputusan yang terintegrasi dan berkelanjutan, bukan sekadar solusi cepat.
Bagi mereka yang bukan penutur asli atau tidak terbiasa dengan budaya P-Time, memahami kapan Manana benar-benar berarti ‘besok’ dan kapan berarti ‘suatu saat nanti’ adalah tantangan. Kita dapat membagi interpretasi Manana menjadi tiga kategori, tergantung konteks sosial dan urgensinya:
Ini terjadi dalam konteks di mana ada janji yang jelas dan terstruktur, seperti janji medis atau penerbangan. Meskipun masih mungkin ada sedikit kelonggaran waktu (keterlambatan 5-10 menit sering dimaafkan), dalam kasus ini, Manana benar-benar berarti keesokan harinya.
Ini adalah Manana yang paling umum dan paling membingungkan bagi M-Time. Digunakan untuk janji sosial, tugas yang diberikan dalam percakapan informal, atau janji yang terkait dengan layanan birokrasi. Ini berarti ‘nanti, setelah saya selesai dengan apa pun yang lebih penting sekarang, atau ketika energi saya kembali’. Waktu penyelesaiannya ditentukan oleh variabel manusia, bukan oleh jam.
Dalam kasus yang jarang terjadi, Manana bisa menjadi cara sopan untuk mengatakan ‘tidak’. Jika permintaan atau tugas ditanggapi dengan Manana secara terus-menerus tanpa adanya tindakan, itu seringkali berarti tugas tersebut tidak pernah menjadi prioritas dan tidak akan pernah dilakukan. Ini adalah penolakan yang tidak konfrontatif, menjaga keharmonisan sosial.
Kunci untuk menavigasi ‘Tiga Manana’ adalah komunikasi. Daripada menuntut kepastian, fokuslah pada pemahaman prioritas yang mendasari penundaan tersebut. Tanyakan, "Apakah ada yang bisa saya bantu agar ini berjalan lebih lancar?" alih-alih, "Mengapa ini belum selesai?"
Dalam krisis iklim, pandemi, dan tekanan sosial yang meningkat, masyarakat global berada di titik balik. Model yang berorientasi pada kecepatan, pertumbuhan tak terbatas, dan efisiensi tanpa batas telah menunjukkan kerapuhannya.
Filosofi Manana menawarkan solusi yang berasal dari kebijaksanaan kuno. Solusinya bukanlah menghentikan semua aktivitas, melainkan menetapkan kecepatan yang berkelanjutan. Ini adalah kecepatan di mana manusia dapat beroperasi tanpa membakar habis sumber daya mental, emosional, dan lingkungan.
Manana, pada akhirnya, adalah tentang kepercayaan. Kepercayaan pada diri sendiri bahwa Anda akan memiliki kemampuan untuk mengatasi tugas besok. Kepercayaan pada dunia bahwa peluang tidak akan hilang jika Anda beristirahat sebentar. Dan yang paling penting, kepercayaan bahwa nilai diri Anda diukur dari kualitas interaksi dan kedalaman hidup Anda, bukan dari jumlah item yang Anda centang pada daftar tugas harian Anda.
Menerapkan Manana dalam hidup adalah tindakan radikal di abad ke-21. Itu berarti menolak tuntutan masyarakat untuk selalu terburu-buru dan memilih untuk hidup dengan irama yang lebih sadar, menghargai setiap 'sekarang' dan menyerahkan 'besok' pada waktu yang lebih tepat. Seni menunda yang seimbang ini adalah jalan menuju ketenangan yang berkelanjutan.