Malanutrisi, sering kali disederhanakan sebagai kondisi kekurangan makan, adalah spektrum penyakit yang jauh lebih kompleks dan mencakup berbagai bentuk ketidakseimbangan gizi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikannya sebagai defisiensi, kelebihan, atau ketidakseimbangan energi, protein, dan/atau nutrisi lainnya. Ini bukanlah masalah tunggal, melainkan sebuah payung besar yang mencakup dua kutub ekstrem: kekurangan gizi (undernutrition) dan kelebihan gizi (overnutrition), serta defisiensi mikronutrien.
Fenomena malanutrisi merupakan salah satu tantangan kesehatan masyarakat global yang paling persisten, menghambat perkembangan ekonomi, sosial, dan fisik miliaran individu di seluruh dunia. Malanutrisi tidak hanya memengaruhi negara-negara miskin, tetapi juga menjadi isu krusial di negara berpenghasilan tinggi, di mana kelebihan berat badan dan obesitas telah mencapai tingkat epidemi.
Malanutrisi adalah ketidakseimbangan, baik kekurangan (kiri) maupun kelebihan (kanan) nutrisi.
Awalnya, fokus penanggulangan malanutrisi hanya tertuju pada kelaparan dan defisiensi protein-energi (PEM), yang terlihat jelas pada anak-anak di negara berkembang. Namun, pada abad ke-21, muncul konsep Beban Ganda Malanutrisi (Double Burden of Malnutrition). Konsep ini mengakui bahwa suatu negara, bahkan dalam satu rumah tangga yang sama, dapat menghadapi kekurangan gizi (seperti stunting pada anak) dan kelebihan gizi (seperti obesitas pada orang tua) secara simultan. Hal ini mencerminkan transisi nutrisi global yang cepat akibat urbanisasi, perubahan pola makan (diet tinggi gula, garam, dan lemak), serta kurangnya aktivitas fisik.
Memahami malanutrisi memerlukan pendekatan multidisiplin, melibatkan sektor kesehatan, pertanian, pendidikan, dan ekonomi. Ini bukan sekadar masalah makanan yang tersedia, tetapi juga mencakup akses, sanitasi, praktik pengasuhan, dan kualitas air minum.
Malanutrisi terbagi menjadi beberapa kategori utama yang memerlukan strategi intervensi yang berbeda. Klasifikasi ini membantu para profesional kesehatan dan pembuat kebijakan untuk menargetkan penyebab spesifik yang mendasari kondisi tersebut.
Kekurangan gizi adalah kondisi ketika seseorang tidak mendapatkan cukup energi atau nutrisi. Pada anak-anak, ini diukur melalui tiga indikator utama yang saling terkait dan mencerminkan berbagai tingkat keparahan dan durasi kekurangan gizi:
Stunting didefinisikan sebagai tinggi badan yang terlalu rendah untuk usia, mencerminkan kegagalan pertumbuhan jangka panjang atau kronis. Kondisi ini biasanya terjadi akibat paparan gizi buruk yang berulang sejak periode 1000 hari pertama kehidupan (dari konsepsi hingga usia dua tahun). Dampak stunting jauh melampaui fisik; ia menyebabkan kerusakan kognitif yang tidak dapat dipulihkan, mengurangi kapasitas belajar, dan pada akhirnya, menurunkan produktivitas ekonomi di masa dewasa. Stunting adalah indikator kemiskinan dan ketidaksetaraan yang paling mencolok.
Wasting (kurus) didefinisikan sebagai berat badan yang terlalu rendah untuk tinggi badan. Ini adalah indikator kekurangan gizi akut atau baru-baru ini yang parah, sering kali dipicu oleh penyakit akut (seperti diare parah) atau kekurangan pangan yang mendadak. Wasting parah (Severe Acute Malnutrition/SAM) adalah kondisi yang mengancam jiwa dan memerlukan perawatan medis segera, biasanya melalui program terapi gizi berbasis komunitas atau rumah sakit.
Underweight didefinisikan sebagai berat badan yang terlalu rendah untuk usia. Ini mencerminkan kombinasi stunting dan wasting. Meskipun merupakan indikator yang berguna, WHO kini lebih menekankan pada stunting dan wasting karena keduanya memberikan informasi yang lebih spesifik mengenai durasi (kronis vs. akut) dari masalah kekurangan gizi.
Defisiensi mikronutrien, atau yang sering disebut "Kelaparan Tersembunyi" (Hidden Hunger), terjadi ketika seseorang mengonsumsi cukup kalori tetapi kekurangan vitamin dan mineral penting yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil. Kekurangan ini sering kali tidak menunjukkan gejala yang jelas pada tahap awal, tetapi secara diam-diam merusak sistem kekebalan tubuh, perkembangan otak, dan fungsi organ.
Kelebihan gizi terjadi ketika asupan kalori, lemak, atau nutrisi tertentu terlalu tinggi, mengakibatkan kelebihan berat badan dan obesitas. Obesitas didefinisikan menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) di atas batas yang ditentukan. Obesitas bukan hanya masalah estetika; ini adalah faktor risiko utama untuk serangkaian Penyakit Tidak Menular (PTM) kronis.
Penting untuk dicatat bahwa seseorang bisa mengalami obesitas dan defisiensi mikronutrien secara bersamaan. Fenomena ini terjadi ketika pola makan didominasi oleh makanan padat energi namun miskin nutrisi esensial.
Malanutrisi bukanlah hasil dari satu masalah, melainkan puncak gunung es dari interaksi kompleks antara faktor lingkungan, sosial, ekonomi, dan kesehatan. UNICEF menyajikan kerangka kerja yang membagi penyebab malanutrisi menjadi tiga tingkatan: segera (immediate), mendasar (underlying), dan akar masalah (basic).
Ini adalah penyebab yang secara langsung memicu malanutrisi pada individu:
Penyebab ini berada di tingkat rumah tangga dan komunitas, memengaruhi kemampuan keluarga untuk menyediakan perawatan dan kesehatan yang baik:
Ketahanan pangan didefinisikan bukan hanya sebagai ketersediaan makanan, tetapi juga akses fisik dan ekonomi terhadap makanan yang aman dan bergizi. Kemiskinan sering kali memaksa keluarga untuk memilih makanan yang murah, padat energi (kalori), tetapi miskin mikronutrien, yang berkontribusi pada obesitas pada orang dewasa dan stunting pada anak.
Akses terbatas terhadap air bersih, sanitasi yang memadai, dan praktik kebersihan (WASH - Water, Sanitation, Hygiene) berkorelasi kuat dengan tingginya tingkat penyakit infeksi, khususnya diare. Di lingkungan yang buruk, anak-anak terpapar patogen yang menyebabkan enteropati lingkungan (environmental enteropathy), yaitu kerusakan kronis pada usus yang menghambat penyerapan nutrisi, meskipun mereka telah mengonsumsi makanan yang baik.
Kurangnya akses ke layanan kesehatan primer yang berkualitas, imunisasi yang tidak lengkap, dan kurangnya pemantauan pertumbuhan preventif (Posyandu atau Puskesmas) berarti kondisi gizi buruk atau penyakit infeksi tidak terdeteksi dan diobati sejak dini.
Ini adalah faktor-faktor sosial-politik dan ekonomi skala besar:
Malanutrisi adalah masalah transgenerasi, yang berarti kondisi gizi buruk pada satu generasi akan memengaruhi kesehatan, kemampuan, dan potensi ekonomi generasi berikutnya. Dampak terparah terjadi selama periode kritis 1000 hari pertama, tetapi risiko dan konsekuensinya terus berlanjut hingga usia lanjut.
Gizi ibu saat hamil menentukan kesehatan janin. Kekurangan gizi pada ibu hamil menyebabkan Keterbatasan Pertumbuhan Intrauterin (IUGR), yang menghasilkan bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Bayi BBLR memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami stunting dan penyakit kronis (seperti diabetes dan hipertensi) di masa depan, sebuah fenomena yang dijelaskan oleh teori 'Origins of Health and Disease' (DOHaD).
Setelah lahir, kegagalan pemberian ASI eksklusif dan MPASI yang tidak tepat menjadi pintu masuk bagi kekurangan gizi akut. Periode ini adalah waktu pembentukan struktural dan fungsional otak, dan kekurangan nutrisi, terutama zat besi dan yodium, menyebabkan defisit kognitif permanen.
Anak stunting menunjukkan skor tes IQ yang lebih rendah, kesulitan berkonsentrasi di sekolah, dan peningkatan risiko putus sekolah. Hal ini menciptakan lingkaran setan kemiskinan; anak yang kurang gizi menjadi dewasa dengan produktivitas rendah dan penghasilan yang terbatas, yang pada gilirannya kesulitan menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak mereka sendiri.
Gizi buruk secara signifikan menekan sistem kekebalan tubuh. Anak yang kekurangan gizi lebih rentan terhadap infeksi dan mengalami pemulihan yang lebih lambat. Ini menciptakan siklus penyakit-malanutrisi yang berbahaya, di mana setiap episode sakit memperburuk status gizi, dan status gizi yang buruk memperburuk keparahan penyakit.
Malanutrisi di masa lalu dan di masa sekarang memengaruhi produktivitas ekonomi negara:
Stunting, hasil dari malanutrisi kronis, menghambat potensi fisik dan kognitif.
Pada populasi lansia, malanutrisi sering kali berupa kurang gizi dan sarkopenia (kehilangan massa otot) akibat penurunan nafsu makan (anoreksia lansia), masalah gigi, isolasi sosial, dan penyakit kronis. Kurang gizi pada lansia meningkatkan risiko jatuh, memperlambat pemulihan dari penyakit atau operasi, dan menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Diagnosis malanutrisi memerlukan serangkaian alat dan indikator yang berbeda, tergantung pada tipe malanutrisi dan kelompok usia yang diteliti. Pengukuran yang akurat sangat penting untuk menentukan prevalensi, memantau kemajuan intervensi, dan mengidentifikasi individu yang memerlukan perawatan segera.
Antropometri adalah metode standar untuk menilai status gizi fisik, terutama pada anak di bawah lima tahun. Pengukuran ini didasarkan pada perbandingan dengan standar pertumbuhan WHO:
Ambang batas untuk mendefinisikan kekurangan gizi biasanya ditetapkan pada -2 deviasi standar (SD) dari median standar rujukan WHO.
Pada dewasa, penilaian status gizi menggunakan:
Kelaparan tersembunyi memerlukan diagnosis melalui tes darah atau urin yang mengukur konsentrasi vitamin dan mineral spesifik, seperti serum feritin (zat besi), retinol (Vitamin A), atau yodium dalam urin. Pengukuran ini lebih invasif tetapi memberikan gambaran yang tepat mengenai cadangan nutrisi tubuh.
Badan-badan internasional seperti PBB dan WHO menggunakan data prevalensi stunting, wasting, dan obesitas untuk memantau kemajuan menuju Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya Target 2.2 yang bertujuan mengakhiri segala bentuk malanutrisi.
Mengatasi malanutrisi membutuhkan intervensi berlapis yang mencakup tindakan gizi spesifik (direct) dan tindakan gizi sensitif (indirect). Strategi ini harus dilakukan di tingkat rumah tangga, komunitas, dan kebijakan nasional.
Intervensi ini langsung menargetkan penyebab kekurangan gizi biologis:
Anak dengan Gizi Buruk Akut Parah (SAM) diobati melalui program terapeutik terstruktur. Perawatan ini sering menggunakan:
Fortifikasi adalah penambahan vitamin atau mineral esensial ke dalam makanan pokok yang dikonsumsi secara luas (seperti penambahan yodium pada garam, zat besi pada tepung, atau Vitamin A pada minyak). Ini adalah strategi berbiaya rendah dan berdampak luas untuk mengatasi kelaparan tersembunyi pada populasi umum.
Intervensi sensitif mengatasi akar masalah dan penyebab mendasar malanutrisi:
Program harus beralih dari sekadar meningkatkan kuantitas pangan (produksi kalori) menjadi meningkatkan kualitas dan keragaman pangan. Ini termasuk dukungan untuk kebun rumah tangga, produksi pangan bergizi (biofortifikasi), dan edukasi tentang pengolahan pascapanen untuk meminimalkan kehilangan nutrisi.
Investasi dalam infrastruktur air bersih dan sanitasi adalah intervensi gizi paling kritis, karena secara langsung mengurangi insiden penyakit diare dan enteropati lingkungan. Program promosi kebersihan, seperti mencuci tangan, juga harus diintegrasikan dengan program gizi.
Transfer tunai bersyarat (Conditional Cash Transfers/CCT) dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga, memungkinkan keluarga membeli makanan bergizi, asalkan program ini dikaitkan dengan persyaratan kunjungan ke klinik gizi atau Posyandu. Pemberdayaan perempuan juga krusial, karena peningkatan kontrol wanita atas sumber daya sering kali berkorelasi langsung dengan perbaikan status gizi anak-anak.
Intervensi gizi memerlukan pendekatan yang berakar pada ketahanan pangan dan kesehatan lingkungan.
Meskipun kemajuan telah dicapai dalam mengurangi kekurangan gizi di beberapa wilayah, tantangan baru dan berulang terus menghambat upaya global untuk mencapai nol malanutrisi.
Tantangan terbesar saat ini adalah pengelolaan Beban Ganda Malanutrisi. Negara-negara tidak lagi memiliki waktu untuk mengatasi kekurangan gizi sebelum mereka harus menghadapi obesitas dan PTM. Strategi harus dirancang untuk menanggulangi kedua kutub ekstrem secara simultan, misalnya melalui regulasi makanan olahan, promosi aktivitas fisik, dan edukasi nutrisi sejak dini.
Pemerintah di seluruh dunia menghadapi tekanan dari industri makanan olahan. Kebijakan seperti pajak gula, pelabelan nutrisi yang jelas (misalnya, Nutri-Score), dan pembatasan iklan makanan yang menargetkan anak-anak adalah langkah-langkah krusial untuk menciptakan lingkungan makanan yang lebih sehat.
Perubahan iklim memperburuk malanutrisi melalui beberapa mekanisme:
Untuk berhasil, penanggulangan malanutrisi tidak bisa hanya menjadi tugas Kementerian Kesehatan. Ini memerlukan koordinasi multisectoral yang kuat dan akuntabilitas dari semua pihak, termasuk pertanian, pendidikan, keuangan, dan perlindungan sosial. Pendekatan ini harus memastikan bahwa keputusan di satu sektor (misalnya, kebijakan harga pangan) tidak secara tidak sengaja merusak upaya di sektor lain (misalnya, kesehatan anak).
Malanutrisi adalah indikator kegagalan sistem. Ini menunjukkan bahwa masyarakat belum berhasil menyediakan kebutuhan dasar – makanan bergizi, air bersih, sanitasi, dan perawatan kesehatan – secara adil kepada semua warganya. Mengakhiri malanutrisi adalah kunci untuk membuka potensi penuh kemanusiaan.
Kesimpulannya, menghadapi malanutrisi menuntut komitmen jangka panjang, bukan hanya bantuan darurat. Hal ini melibatkan investasi cerdas dalam periode kritis 1000 hari, memperkuat sistem pangan agar tahan terhadap perubahan iklim, dan menerapkan kebijakan yang mendorong pilihan diet sehat bagi semua lapisan masyarakat. Hanya dengan mengatasi setiap bentuk malanutrisi—dari stunting hingga obesitas—barulah kita dapat membangun populasi yang lebih sehat, lebih produktif, dan lebih tangguh.
Meskipun kini fokus meluas ke semua bentuk malanutrisi, bentuk klasik kekurangan Protein Energi Malnutrition (PEM) tetap relevan di daerah miskin. PEM diklasifikasikan menjadi dua sindrom klinis utama: Kwashiorkor dan Marasmus. Pemahaman mendalam tentang keduanya sangat penting dalam penatalaksanaan klinis.
Kwashiorkor seringkali terjadi pada anak yang disapih lebih awal dan dietnya didominasi oleh karbohidrat dengan sangat sedikit protein. Ciri khasnya adalah adanya edema (pembengkakan) yang menyembunyikan kekurangan berat badan sejati, perubahan warna rambut menjadi kemerahan atau pirang, kulit bersisik (dermatosis), dan hati yang membesar (hepatomegali). Edema disebabkan oleh penurunan sintesis protein albumin di hati. Meskipun mungkin terlihat gemuk karena bengkak, anak Kwashiorkor menderita kegagalan organ dan memerlukan intervensi medis segera.
Marasmus adalah hasil dari kekurangan energi dan protein yang parah dan berkepanjangan. Anak-anak Marasmus terlihat kurus kering (cachectic), kulit dan tulang terlihat jelas, dan mereka sangat kekurangan massa otot dan lemak subkutan. Meskipun mereka tidak mengalami edema, anak Marasmus juga menghadapi risiko infeksi yang tinggi dan gangguan metabolisme serius. Perawatan Marasmus berfokus pada rehidrasi yang hati-hati dan peningkatan kalori dan protein secara bertahap untuk mencegah sindrom refeeding.
Ketika anak yang kekurangan gizi parah mulai diberi makan kembali, risiko terbesar adalah Sindrom Refeeding. Ini adalah pergeseran cairan dan elektrolit yang berpotensi fatal, terutama fosfat, yang terjadi ketika metabolisme beralih dari katabolisme (pemecahan) ke anabolisme (pembangunan). Pengelolaan sindrom ini memerlukan pemantauan ketat terhadap elektrolit serum dan pemberian suplemen mineral, menekankan perlunya fase stabilisasi yang hati-hati sebelum memasuki fase pemulihan gizi yang cepat.
Biofortifikasi adalah inovasi gizi sensitif yang melibatkan pemuliaan tanaman untuk meningkatkan kandungan mikronutriennya. Contoh sukses meliputi ubi jalar yang diperkaya dengan Vitamin A, beras yang diperkaya dengan zat besi, dan gandum yang diperkaya dengan seng. Keuntungan biofortifikasi adalah ia memanfaatkan kebiasaan makan tradisional dan mencapai populasi pedesaan yang sulit dijangkau oleh program suplemen atau fortifikasi komersial.
Intervensi gizi seringkali gagal jika tidak disertai dengan perubahan perilaku. Bahkan jika makanan bergizi tersedia, pengetahuan yang kurang (misalnya, tentang kapan memulai MPASI, atau pentingnya mencuci tangan) dapat menggagalkan semua upaya. Strategi komunikasi perubahan perilaku (BCC) menggunakan media massa, kelompok pendukung ibu, dan petugas kesehatan komunitas untuk mempromosikan praktik gizi yang optimal, termasuk:
Terdapat hubungan timbal balik yang signifikan antara kesehatan mental dan status gizi. Kurang gizi pada anak dapat menyebabkan gangguan perkembangan perilaku dan mental. Sebaliknya, gangguan kesehatan mental pada orang dewasa, seperti depresi dan kecemasan, sering kali mengganggu nafsu makan, menyebabkan kurang gizi pada lansia atau, sebaliknya, berkontribusi pada pola makan berlebihan (emotional eating) yang memicu obesitas. Pendekatan holistik kini mulai mengintegrasikan dukungan psikososial ke dalam program pemulihan gizi.
Salah satu pilar utama pencegahan malanutrisi adalah perlindungan terhadap ASI. Regulasi pemasaran pengganti ASI (susu formula) yang ketat, sesuai dengan Kode Internasional WHO, sangat penting. Praktik pemasaran yang agresif dapat merusak kepercayaan ibu terhadap kemampuan mereka menyusui dan menyebabkan penggunaan susu formula yang tidak aman (sering kali dicampur dengan air yang tidak bersih atau diencerkan berlebihan karena keterbatasan ekonomi), yang meningkatkan risiko diare dan kurang gizi.
Teknologi digital mulai memainkan peran vital. Aplikasi seluler dapat digunakan oleh petugas kesehatan komunitas untuk mencatat pengukuran antropometri, memberikan umpan balik pertumbuhan secara real-time, dan mengidentifikasi anak yang berisiko sebelum kondisi mereka memburuk. Penggunaan citra satelit dan analitik data besar juga membantu memprediksi daerah yang akan mengalami kerawanan pangan akibat kekeringan, memungkinkan intervensi pencegahan dilakukan lebih cepat.