Ilustrasi: Kompas etika yang memandu melalui penerapan maksim.
Dalam bentangan luas filsafat, etika, dan pengambilan keputusan sehari-hari, terdapat sebuah konsep yang berfungsi sebagai jangkar bagi perilaku rasional dan konsisten: maksim. Kata ini, yang berasal dari bahasa Latin maximus (terbesar), bukanlah sekadar nasihat biasa atau kutipan yang menarik. Ia adalah pernyataan prinsip yang paling mendasar, sebuah aturan subjektif yang diadopsi oleh individu untuk mengatur tindakan mereka dalam situasi tertentu.
Memahami maksim adalah memahami kerangka dasar di mana moralitas dan identitas personal dibangun. Artikel ini akan melakukan eksplorasi ekstensif, menggali kedalaman maksim dari sudut pandang historis, filosofis, linguistik, dan aplikasinya dalam membentuk kehidupan yang berprinsip. Kita akan melihat bagaimana maksim bukan hanya deskriptif tentang apa yang kita lakukan, tetapi preskriptif tentang apa yang seharusnya kita lakukan, menjadikannya kunci utama dalam pemikiran etis yang serius.
Definisi paling sederhana dari maksim adalah: sebuah prinsip subjektif tindakan. Ini adalah aturan atau resep yang diterapkan seseorang pada dirinya sendiri ketika memutuskan untuk bertindak. Berbeda dengan hukum moral, yang bersifat universal dan objektif, maksim adalah prinsip pribadi yang dipegang oleh seorang agen (pelaku) dalam konteks situasi yang dihadapi. Ia menjawab pertanyaan: "Aturan apa yang saya ikuti saat ini?"
Contoh maksim pribadi bisa sangat bervariasi:
Perbedaan antara maksim dan pepatah (proverb) sangat krusial. Pepatah seringkali bersifat umum dan observasional ("Air tenang menghanyutkan"), sementara maksim bersifat instruktif dan berfokus pada kemauan (will) individu ("Saya akan bertindak X dalam keadaan Y"). Maksim adalah pernyataan tentang niat dan prinsip yang mendasari tindakan.
Dalam konteks etika, terutama yang dipengaruhi oleh filsafat deontologis, maksim memegang peran sentral sebagai unit dasar evaluasi moral. Sebuah tindakan tidak dinilai dari konsekuensinya (seperti dalam utilitarianisme), melainkan dari prinsip (maksim) yang melandasinya. Jika prinsipnya benar, tindakan yang dihasilkan dianggap benar, terlepas dari hasil yang mungkin tidak terduga.
Penekanan pada maksim ini memaksa kita untuk melihat jauh ke dalam motivasi internal. Ketika kita bertindak, kita tidak hanya menghasilkan sebuah gerakan fisik, tetapi kita juga menegaskan sebuah prinsip. Maksim adalah ekspresi sadar dari kehendak yang membentuk tindakan. Tanpa prinsip yang diakui, tindakan hanyalah impuls acak. Dengan maksim, tindakan menjadi manifestasi dari karakter yang terstruktur.
Pembahasan mengenai maksim tidak akan lengkap tanpa merujuk pada filsuf besar Immanuel Kant, yang menjadikan maksim sebagai poros utama dalam sistem etika deontologisnya. Bagi Kant, maksim adalah jembatan antara kehendak subjektif dan hukum moral objektif.
Kant berpendapat bahwa tindakan yang memiliki nilai moral harus didorong oleh rasa kewajiban (duty), bukan sekadar kecenderungan atau keinginan pribadi. Untuk menentukan apakah sebuah maksim itu bermoral, kita harus mengujinya melalui Imperatif Kategoris—hukum moral universal yang harus dipatuhi tanpa syarat.
Formulasi pertama dari Imperatif Kategoris, yang paling relevan dengan maksim, adalah:
"Bertindaklah hanya berdasarkan maksim yang dapat engkau kehendaki menjadi hukum universal."
Ini adalah uji universalitas. Sebelum kita bertindak berdasarkan sebuah maksim pribadi (misalnya, "Saya akan berbohong untuk keluar dari masalah"), kita harus bertanya: "Bagaimana jika semua orang, di setiap waktu, bertindak berdasarkan maksim yang sama ini? Apakah masyarakat masih dapat berfungsi?"
Menurut Kant, ada dua cara utama maksim gagal dalam uji universalitas:
Ini terjadi ketika maksim, jika diuniversalkan, akan menghancurkan sistem itu sendiri. Contoh klasik adalah maksim untuk membuat janji palsu ketika membutuhkan uang. Jika semua orang universal menggunakan maksim ini, maka konsep "janji" itu sendiri akan kehilangan maknanya dan menjadi mustahil secara rasional. Tidak ada lagi yang akan percaya pada janji, sehingga maksim tersebut tidak dapat dikonsepkan sebagai hukum universal.
Ini terjadi ketika maksim dapat dikonsepkan sebagai hukum universal, tetapi kita tidak dapat secara rasional menginginkan dunia di mana ia menjadi hukum. Contohnya adalah maksim untuk tidak pernah membantu orang lain yang membutuhkan. Kita bisa membayangkan dunia yang sangat individualistis (ia konsisten secara konseptual), tetapi sebagai makhluk rasional yang menyadari bahwa kita sendiri mungkin memerlukan bantuan di masa depan, kita tidak dapat secara rasional menginginkan dunia di mana tidak ada yang pernah membantu.
Melalui proses pengujian ini, Kant menunjukkan bahwa maksim adalah inti dari moralitas. Moralitas yang sejati tidak memerlukan daftar panjang aturan; ia hanya memerlukan satu prinsip panduan—Imperatif Kategoris—yang memastikan bahwa setiap maksim yang kita adopsi dapat hidup berdampingan dengan kehendak bebas dan rasional semua manusia lainnya. Maksim adalah cara kita menginternalisasi dan mengaplikasikan hukum moral yang lebih besar.
Di luar filsafat murni, maksim juga memainkan peran penting dalam psikologi kognitif dan pengambilan keputusan. Maksim yang telah diinternalisasi bertindak sebagai filter kognitif. Ketika dihadapkan pada situasi yang ambigu, seseorang tidak perlu memulai analisis etis dari awal. Sebaliknya, mereka menyaring opsi melalui maksim yang telah mereka pilih.
Misalnya, seseorang dengan maksim "Prioritaskan integritas di atas keuntungan jangka pendek" akan secara otomatis menolak peluang bisnis yang melibatkan praktik yang meragukan, bahkan sebelum menghitung potensi keuntungannya. Maksim ini memotong kebisingan dilema, memungkinkan keputusan yang cepat dan konsisten dengan identitas diri.
Aristoteles mengajarkan bahwa kebajikan (virtue) adalah kebiasaan yang diperoleh melalui tindakan berulang. Ketika kita terus-menerus memilih maksim yang baik dan bertindak sesuai dengannya, maksim tersebut berhenti menjadi keputusan sadar dan mulai membentuk karakter. Karakter kemudian menjadi gudang maksim yang baik, yang secara otomatis mengarahkan kita menuju tindakan yang benar.
Jika seseorang secara teratur memilih maksim kesabaran, mereka menjadi sabar. Jika mereka memilih maksim keberanian, mereka menjadi berani. Oleh karena itu, pemilihan maksim yang disengaja adalah praktik utama dalam pembangunan diri dan etika kebajikan. Kegagalan moral seringkali terjadi bukan karena kurangnya pengetahuan tentang apa yang benar, tetapi karena adopsi maksim yang lemah atau egois.
Proses ini memerlukan refleksi diri yang berkelanjutan. Individu harus terus-menerus menguji maksim mereka terhadap pengalaman dan prinsip moral universal. Apakah maksim saya benar-benar melayani kebaikan tertinggi, atau hanya melayani kepentingan egois? Ini adalah pertanyaan Kantian dan juga Aristotelian yang harus diajukan secara terus-menerus.
Konsep maksim meluas jauh melampaui seminar filsafat. Ia hadir di hampir setiap disiplin ilmu yang menuntut kepatuhan pada prinsip inti.
Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang tindakannya dapat diprediksi karena mereka didasarkan pada maksim yang jelas. Dalam dunia korporat atau politik, maksim bertindak sebagai pernyataan misi pribadi dan profesional.
Contoh maksim kepemimpinan:
Ketika maksim seorang pemimpin diketahui dan konsisten, hal itu menciptakan kepercayaan dan stabilitas. Karyawan dan pengikut dapat memahami motif di balik keputusan, bahkan yang sulit, karena mereka memahami maksim dasar yang memandu sang pemimpin.
Dalam seni dan sastra, maksim sering muncul sebagai aforisma atau epigram. Penulis abad ke-17, seperti François de La Rochefoucauld, terkenal karena karyanya Maximes, yang menyajikan observasi tajam dan seringkali sinis tentang sifat manusia.
"Kita seringkali lebih malu untuk menunjukkan diri kita bahagia daripada untuk menunjukkan diri kita baik."
Maksim semacam ini tidak dimaksudkan untuk menjadi prinsip moral (seperti Kantian), melainkan sebagai observasi mendalam tentang psikologi sosial. Ia berfungsi untuk memadatkan kebenaran yang kompleks ke dalam bentuk yang mudah diingat dan dipikirkan, merangsang refleksi pembaca tentang motivasi tersembunyi mereka.
Hukum dan kebijakan publik dibangun di atas serangkaian maksim. Prinsip dasar hukum, seperti Nulla poena sine lege (Tidak ada hukuman tanpa undang-undang), adalah maksim yang memandu sistem peradilan. Dalam konteks ini, maksim memastikan keadilan prosedural dan prediktabilitas. Mereka adalah prinsip-prinsip yang tidak dapat diganggu gugat yang menopang seluruh kerangka kerja legislatif dan yudikatif.
Kebijakan publik juga sering didasarkan pada maksim yang mendasar, seperti "Utamakan kepentingan terbaik anak" atau "Pajak harus progresif dan adil." Diskusi kebijakan seringkali merupakan pertarungan antara maksim yang bersaing—misalnya, maksim kebebasan individu versus maksim keamanan kolektif.
Jika maksim adalah kompas moral, bagaimana kita memastikan bahwa kompas kita telah dikalibrasi dengan benar? Proses pembangunan maksim yang etis dan fungsional adalah latihan seumur hidup dalam refleksi filosofis.
Langkah pertama adalah kejujuran radikal. Identifikasi maksim yang sudah Anda gunakan, bahkan jika Anda belum memberinya label. Kapan Anda memilih kenyamanan di atas kebenaran? Kapan Anda mengutamakan persetujuan sosial di atas hati nurani Anda? Tuliskan maksim yang Anda gunakan saat ini, yang mungkin tidak selalu Anda sadari.
Contoh maksim implisit yang buruk: "Ketika dihadapkan pada ketidaknyamanan, saya akan menipu sedikit agar terhindar dari rasa malu." Mengidentifikasi maksim ini memungkinkan kita untuk menguji dan memperbaikinya.
Ambil setiap maksim dan terapkan uji Kantian. Bisakah Anda secara rasional menghendaki bahwa maksim ini menjadi hukum yang diikuti oleh setiap orang, sepanjang waktu? Jika universalitas maksim Anda menghancurkan konsep yang ia coba manfaatkan, maka itu adalah maksim yang tidak bermoral.
Uji ini bukan tentang konsekuensi praktis (apakah itu akan membuat hidup Anda sulit), tetapi tentang konsistensi logis dan etis. Moralitas, menurut Kant, tidak dapat menoleransi kontradiksi internal. Maksim harus harmonis dengan rasionalitas universal.
Gantikan maksim negatif atau egois dengan formulasi yang positif dan proaktif. Alih-alih: "Jangan pernah memulai percakapan dengan orang asing karena itu merepotkan," ganti dengan: "Saya akan selalu berusaha menemukan koneksi kemanusiaan dalam interaksi sosial sehari-hari, betapapun singkatnya."
Formulasi maksim yang jelas dan positif memudahkan internalisasi dan tindakan. Ia harus spesifik namun dapat diterapkan secara luas, memberikan panduan yang solid tanpa menjadi terlalu kaku.
Maksim yang tidak dipraktikkan hanyalah slogan. Komitmen terhadap maksim berarti secara sadar memilihnya berulang kali, terutama ketika ada godaan untuk melanggarnya. Inilah saat di mana maksim bertransisi dari prinsip kognitif menjadi bagian integral dari karakter. Setiap pengulangan memperkuat jalur neural dan menjadikan tindakan moral lebih otomatis dan kurang menuntut secara emosional.
Untuk menghargai keunikan maksim, penting untuk membedakannya dari konsep-konsep serupa yang sering digunakan secara bergantian.
Aforisma adalah pernyataan yang ringkas tentang kebenaran umum atau observasi. Ia bersifat deskriptif. Contoh: "Kesombongan mendahului kehancuran." Maksim, sebaliknya, bersifat preskriptif; ia adalah perintah yang ditujukan kepada diri sendiri. Maksim: "Saya akan selalu menahan diri dari kesombongan, bahkan setelah kemenangan besar." Aforisma mengamati dunia; maksim mengarahkan kehendak.
Slogan (atau motto) adalah frasa singkat yang dirancang untuk menarik perhatian atau mewakili tujuan kelompok (misalnya, "Just Do It"). Slogan sangat berorientasi pada eksternal dan tujuan persuasif. Meskipun sebuah maksim dapat menjadi slogan (jika diuniversalkan), maksim sejati adalah internal, ditujukan pada kehendak individu, dan dimaksudkan untuk panduan moral yang mendalam, bukan pemasaran.
Ini adalah yang paling dekat, tetapi ada perbedaan nuansa. Prinsip seringkali lebih luas dan mungkin bersifat objektif (misalnya, Prinsip Archimedes). Maksim adalah aplikasi subjektif dari sebuah prinsip. Misalnya, Prinsip: "Semua manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sarana semata" (Hukum Moral Kantian). Maksim Pribadi yang diturunkan: "Saya akan selalu memastikan bawahan saya memahami tujuan besar pekerjaan mereka, bukan sekadar melihat mereka sebagai alat produksi." Maksim adalah cara Prinsip diwujudkan dalam tindakan konkret.
Sejarah dipenuhi dengan maksim yang, baik secara eksplisit atau implisit, memandu tokoh-tokoh besar dan gerakan filosofis.
Filsafat Stoa kuno, yang sangat berpengaruh dalam panduan hidup praktis, dapat diringkas dalam beberapa maksim inti. Salah satu yang paling kuat adalah: "Hanya fokus pada apa yang ada dalam kendali Anda."
Ini adalah maksim yang memisahkan kehendak dari konsekuensi eksternal. Seorang Stoa mengadopsi maksim bahwa penderitaan berasal dari keinginan untuk mengendalikan hal-hal yang tidak dapat dikendalikan (cuaca, tindakan orang lain, nasib). Dengan mematuhi maksim ini, individu mencapai ataraxia (ketenangan pikiran). Setiap tindakan dan reaksi Stoa adalah pengujian atas maksim sentral ini—apakah tindakan saya didasarkan pada keinginan untuk mengendalikan hal eksternal (salah), atau pada reaksi internal saya (benar)?
Banyak ajaran agama memberikan maksim yang jelas tentang bagaimana hidup yang saleh. Aturan Emas ("Perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan") adalah maksim universal yang berakar pada uji universalitas. Jika saya mengadopsi maksim untuk memperlakukan orang lain dengan hormat, saya secara bersamaan menghendaki bahwa orang lain juga mengadopsi maksim yang sama terhadap saya. Maksim ini bersifat timbal balik dan konsisten secara moral.
Niccolò Machiavelli menawarkan serangkaian maksim yang sangat berbeda, berpusat pada realitas politik kekuasaan. Meskipun sering dianggap amoral, maksim Machiavelli, seperti "Lebih aman ditakuti daripada dicintai," adalah prinsip subjektif yang diadopsi oleh penguasa untuk mencapai tujuan spesifik (mempertahankan kekuasaan).
Dari sudut pandang Kantian, maksim ini tidak akan lulus uji universalitas karena ia memperlakukan orang lain (rakyat) semata-mata sebagai sarana untuk tujuan (kekuasaan Pangeran). Namun, dalam konteks etika politik Machiavelli, maksim ini adalah prinsip panduan yang konsisten dengan tujuannya. Ini menunjukkan bahwa maksim tidak secara inheren bermoral; moralitasnya ditentukan oleh kemampuan kehendak untuk menguniversalkan maksim tersebut.
Di era informasi dan kompleksitas yang tinggi, penerapan maksim menghadapi tantangan unik. Keputusan seringkali kabur, dan garis antara benar dan salah tidak jelas.
Di masa lalu, keputusan seringkali didasarkan pada kurangnya informasi. Saat ini, kita menderita karena kelebihan informasi. Maksim harus cukup kuat untuk memotong kebisingan informasi yang bertentangan. Misalnya, maksim "Saya akan memverifikasi setiap sumber sebelum menyebarkan informasi" menjadi krusial untuk menjaga integritas di era media sosial.
Saat kita mendelegasikan keputusan kepada AI, kita menghadapi tantangan untuk mengkodifikasi maksim etis. Algoritma harus didasarkan pada serangkaian maksim yang telah diuji universalitasnya. Misalnya, dalam mobil otonom, maksim dasar yang mengatur keputusan tabrakan (siapa yang harus diselamatkan) harus disepakati secara filosofis dan diimplementasikan. Kegagalan untuk menetapkan maksim yang jelas dalam AI dapat menyebabkan hasil yang kacau atau tidak etis.
Sangat penting untuk membedakan antara maksim yang fundamental (prinsip moral inti) dan maksim yang bersifat operasional (aturan praktis). Sementara maksim moral harus tetap teguh ("Jangan Berbohong"), maksim operasional harus fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi. Misalnya, maksim "Selalu balas email dalam 24 jam" mungkin perlu dimodifikasi selama keadaan darurat. Kemampuan untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan maksim mana yang bersifat absolut dan mana yang kondisional adalah tanda kematangan etis.
Pada tingkat yang paling mendalam, perenungan tentang maksim adalah latihan eksistensial. Ia memaksa kita untuk menghadapi pertanyaan tentang siapa diri kita dan apa yang kita perjuangkan.
Mengadopsi sebuah maksim pada dasarnya adalah membuat janji pada diri sendiri. Ini adalah penegasan otonomi dan kehendak bebas. Ketika kita memilih maksim, kita memilih identitas kita. Kegagalan untuk mematuhi maksim yang telah kita pilih bukan hanya kegagalan tindakan, tetapi pengkhianatan terhadap janji diri. Inilah mengapa pelanggaran maksim yang diinternalisasi seringkali menimbulkan rasa bersalah moral yang mendalam.
Kehidupan yang bermakna bukanlah kehidupan yang ditandai oleh kesenangan sementara, melainkan oleh koherensi dan konsistensi. Maksim memberikan koherensi ini. Mereka memastikan bahwa tindakan yang dilakukan pada hari Senin konsisten dengan tindakan pada hari Jumat, dan bahwa keputusan hari ini dibangun di atas fondasi nilai-nilai yang ditetapkan kemarin.
Individu yang gagal menetapkan maksim yang jelas seringkali merasa hidup mereka terfragmentasi dan tanpa arah, karena setiap keputusan diambil dalam isolasi, tanpa rujukan pada prinsip yang lebih besar. Sebaliknya, kehidupan yang didasarkan pada maksim yang teruji menciptakan narasi yang kuat, di mana setiap pilihan berkontribusi pada pencapaian tujuan tertinggi: menjadi agen moral yang rasional dan konsisten.
Mungkin paradoks terbesar dari maksim (terutama dalam konteks Kantian) adalah bahwa prinsip-prinsip yang kaku ini sebenarnya adalah sumber kebebasan sejati. Kebebasan bukan berarti bertindak tanpa aturan; itu adalah tindakan berdasarkan aturan yang kita berikan pada diri kita sendiri, setelah memastikan bahwa aturan tersebut sesuai untuk setiap makhluk rasional.
Ketika kita bertindak berdasarkan maksim yang gagal dalam uji universalitas, kita sebenarnya tunduk pada keinginan atau kecenderungan sesaat (hukum alam internal kita). Ketika kita bertindak berdasarkan maksim yang universal, kita adalah pembuat hukum moral bagi diri kita sendiri dan alam semesta rasional—ini, bagi Kant, adalah kebebasan tertinggi.
Eksplorasi mendalam ini menunjukkan bahwa maksim adalah lebih dari sekadar ungkapan filosofis; ia adalah mesin penggerak etika, jembatan antara teori dan praktik. Dari Immanuel Kant yang menggunakannya sebagai landasan untuk moralitas universal, hingga individu sehari-hari yang menggunakannya untuk menavigasi dilema moral, maksim adalah kunci untuk hidup yang berprinsip.
Kekuatan maksim terletak pada singkatnya, tetapi bobotnya terletak pada konsistensi. Jika kita ingin membangun kehidupan yang kokoh, di mana tindakan kita mencerminkan nilai-nilai tertinggi kita, kita harus secara sadar memilih, menguji, dan berkomitmen pada maksim pribadi kita.
Tantangan terakhir adalah menjamin bahwa setiap maksim yang kita pegang dapat dibayangkan dan dikehendaki sebagai prinsip universal, menjadikannya bukan hanya aturan pribadi, tetapi kontribusi kecil kita terhadap masyarakat rasional yang lebih baik.
Maksim, dalam esensinya, adalah penegasan martabat kemanusiaan—kemampuan kita untuk hidup tidak hanya berdasarkan naluri, tetapi berdasarkan prinsip yang dipilih secara rasional dan diuji secara etis.
Meskipun peran maksim sangat penting, kita juga harus mengakui nuansa dan batasan yang melekat pada konsep tersebut. Filsuf post-Kantian sering menunjuk pada masalah kerumitan dunia nyata yang sulit ditangkap oleh formulasi maksim yang sederhana.
Kritik utama terhadap etika maksim, terutama dalam kerangka Kantian, adalah masalah bagaimana merumuskan maksim yang cukup spesifik. Sebuah tindakan dapat dijelaskan oleh beberapa maksim yang berbeda, dan moralitasnya mungkin berubah tergantung pada formulasi mana yang kita pilih. Misalnya, apakah maksim saya adalah "Saya akan berbohong" atau "Saya akan berbohong untuk menyelamatkan nyawa tak bersalah"? Formulasi kedua, meskipun masih melibatkan kebohongan, lebih spesifik dan mungkin lebih mudah untuk lolos dari uji universalitas (dalam konteks dilema ekstrem).
Oleh karena itu, keahlian etis yang sejati adalah seni untuk mengidentifikasi maksim yang paling akurat dan paling relevan yang sebenarnya mendorong kehendak kita. Ini membutuhkan kejujuran diri yang brutal; kita tidak boleh "mempercantik" maksim kita untuk membuat tindakan yang buruk terlihat baik.
Situasi dilema moral yang paling sulit terjadi ketika dua maksim yang tampaknya sama-sama valid dan universal bertabrakan. Misalnya, maksim "Saya harus melindungi orang yang tidak bersalah" berkonflik dengan maksim "Saya tidak boleh berbohong." Jika penjahat bertanya di mana korban bersembunyi, mematuhi maksim kejujuran akan melanggar maksim perlindungan.
Dalam kasus seperti ini, beberapa pemikir berpendapat bahwa kita harus mencari maksim yang lebih tinggi atau mengandalkan intuisi moral, sementara yang lain berpendapat bahwa konflik tersebut menunjukkan bahwa salah satu maksim, dalam konteks ekstrem ini, tidak dapat dipertahankan secara universal. Solusinya sering melibatkan pembentukan hirarki maksim, di mana maksim yang melindungi kehidupan dan kebebasan mendahului maksim yang mengatur interaksi sosial yang lebih sederhana.
Kembali ke Stoikisme, maksim mereka tidak hanya pasif. Mereka juga memiliki maksim yang proaktif mengenai tindakan. Salah satu maksim proaktif terbesar adalah Sympatheia—gagasan keterkaitan kosmik. Maksim ini mengajarkan bahwa "Saya akan bertindak demi kebaikan komunitas karena saya adalah bagian integral darinya, dan kebaikan mereka adalah kebaikan saya."
Ini membalikkan maksim egois dengan memasukkan kesejahteraan orang lain ke dalam definisi diri. Ketika seseorang bertindak berdasarkan maksim Sympatheia, mereka tidak lagi melihat tindakan altruistik sebagai pengorbanan, tetapi sebagai pemenuhan diri yang rasional. Maksim semacam itu menunjukkan bagaimana prinsip panduan dapat menyelaraskan kebutuhan individu dengan tuntutan moral kolektif.
Agar maksim tetap relevan dan kuat, praktik refleksi rutin sangat diperlukan. Ini adalah praktik kuno yang diadopsi oleh para filsuf, dari Marcus Aurelius hingga modern. Refleksi maksim melibatkan pertanyaan-pertanyaan berikut:
Latihan ini mengubah maksim dari konsep abstrak menjadi alat yang dinamis, yang terus-menerus disesuaikan dan diperkuat. Hidup tanpa refleksi maksim adalah hidup yang rentan terhadap inersia moral dan kemauan orang lain.
Seiring kita menua dan peran kita dalam masyarakat berubah, maksim yang kita adopsi juga harus berkembang. Maksim seorang mahasiswa yang berfokus pada ketekunan akademis harus bergeser menjadi maksim seorang orang tua yang berfokus pada kasih sayang dan teladan, atau maksim seorang pemimpin yang berfokus pada keadilan distributif. Evolusi ini adalah bukti dari sifat maksim yang adaptif, meskipun fondasi moralnya harus tetap tak tergoyahkan.
Pusat dari keseluruhan diskusi ini adalah konsep otonomi moral. Untuk menjadi otonom—untuk memerintah diri sendiri—seseorang harus bertindak berdasarkan hukum yang mereka berikan kepada diri mereka sendiri. Maksim adalah ekspresi tertulis dari hukum diri ini. Seseorang yang tidak memiliki maksim yang jelas, atau yang maksimnya secara diam-diam dicuri dari keinginan eksternal (tekanan sosial, iklan, ketakutan), bukanlah individu yang otonom. Mereka adalah budak dari kecenderungan.
Tindakan yang paling bebas, oleh karena itu, adalah tindakan yang dimotivasi murni oleh penghormatan terhadap maksim yang rasional dan universal. Hal ini menuntut keberanian intelektual dan emosional untuk menolak jalan termudah dan sebaliknya, memilih jalan yang paling berprinsip.
Jika kita ingin memaknai kebebasan yang kita miliki, kita harus memperlakukan pemilihan dan pelaksanaan maksim kita dengan serius. Ini adalah tugas terberat, tetapi juga yang paling mulia, yang dapat dilakukan oleh seorang makhluk rasional.
Memilih maksim adalah memilih takdir etis kita. Ini adalah fondasi dari setiap bangunan moral yang pernah ada.
Dengan demikian, mari kita teruskan pencarian kita untuk menemukan, menguji, dan menjunjung tinggi maksim yang paling agung—prinsip-prinsip yang, ketika diuniversalkan, tidak hanya memungkinkan kita untuk hidup dengan diri kita sendiri tetapi juga memungkinkan umat manusia untuk hidup bersama dalam harmoni dan keadilan yang berkelanjutan. Maksim adalah cetak biru untuk kebaikan universal.
***