Alt: Representasi Konsep Makruf sebagai Kebaikan yang Dikenali, melambangkan fitrah dan standar moralitas universal.
Makruf (معروف) adalah salah satu pilar etika sosial dan moralitas universal yang memiliki resonansi mendalam dalam tatanan kehidupan masyarakat. Kata ini bukan sekadar merujuk pada 'kebaikan', melainkan kebaikan yang telah diakui, dikenali, dan diterima secara luas oleh akal sehat yang bersih (fitrah) dan ajaran agama. Dalam kompleksitas interaksi manusia, Makruf berfungsi sebagai kompas normatif, menentukan batas antara tindakan yang membangun dan tindakan yang merusak.
Pembahasan mengenai Makruf adalah pembahasan yang luas, mencakup dimensi linguistik, teologis, sosiologis, hingga implementasi praktis dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari ranah individu, keluarga, komunitas, hingga ekonomi global. Pemahaman yang komprehensif tentang Makruf sangat krusial, sebab ia adalah landasan bagi peradaban yang berkeadilan dan penuh kasih sayang. Artikel ini akan menggali makna fundamental Makruf, menelaah cakupannya dalam berbagai konteks kehidupan, dan menganalisis bagaimana ia menjadi mekanisme utama untuk menegakkan kebaikan di tengah masyarakat yang terus berubah.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman, kita harus terlebih dahulu membedah akar kata Makruf dan kontrasnya dengan lawan kata utamanya, Munkar. Pemisahan dualitas ini akan memperjelas peran Makruf sebagai standar etika yang dinamis, bukan sekadar daftar statis dari perintah dan larangan.
Secara leksikal, Makruf berasal dari akar kata Arab: *‘Arafa* (ع-ر-ف) yang berarti mengetahui, mengenal, atau mengakui. Kata turunan dari akar ini, Makruf, secara harfiah berarti "sesuatu yang dikenal" atau "sesuatu yang telah diakui." Pengakuan ini tidak hanya bersifat kognitif individual, tetapi juga kolektif dan normatif.
Makruf mengandung implikasi bahwa kebaikan hakiki bukanlah konsep asing yang diimpor dari luar kesadaran manusia. Sebaliknya, kebaikan adalah sesuatu yang secara intrinsik sudah terpatri dalam fitrah (naluri suci) manusia. Ketika seseorang melakukan atau menyaksikan perbuatan Makruf, batinnya akan merasa nyaman, tentram, dan membenarkan tindakan tersebut. Ini adalah 'pengakuan' yang bersifat universal, melampaui batas budaya tertentu. Kebaikan yang bersifat Makruf akan dikenali sebagai kebaikan di mana pun manusia berada, karena ia selaras dengan kebutuhan dasar jiwa dan akal sehat.
Selain pengakuan fitrah, Makruf juga merujuk pada praktik-praktik yang telah diakui dan dilegitimasi oleh Syariat (hukum agama) dan Uruf (kebiasaan lokal yang baik). Ketika hukum agama memerintahkan sesuatu, otomatis hal itu menjadi Makruf. Namun, dalam ruang lingkup yang lebih luas, jika sebuah tradisi atau norma sosial tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama dan memberikan manfaat nyata (maslahat) bagi publik, ia juga terangkat statusnya menjadi Makruf.
Makruf dengan demikian adalah sintesis sempurna antara:
Konsep Makruf tidak dapat dipisahkan dari pasangannya, Munkar (منكر), yang berarti "sesuatu yang ditolak," "sesuatu yang asing," atau "sesuatu yang diingkari." Jika Makruf adalah kebaikan yang dikenali dan diterima, Munkar adalah keburukan yang asing dan ditolak oleh akal sehat dan fitrah manusia.
Adanya dualitas Makruf dan Munkar menciptakan sebuah mekanisme pengawasan etis yang berkelanjutan dalam masyarakat. Munkar adalah segala bentuk kezaliman, ketidakadilan, penyimpangan moral, dan pelanggaran terhadap hak-hak dasar. Ia menciptakan kekacauan, penderitaan, dan menjauhkan manusia dari tujuan eksistensialnya. Perjuangan untuk menegakkan Makruf (*Amar Makruf*) sekaligus menghilangkan Munkar (*Nahi Munkar*) adalah inti dari misi kemanusiaan yang beradab.
Dalam kerangka agama, Makruf adalah terminologi kunci yang sering muncul dalam konteks penetapan hukum dan pembentukan komunitas ideal. Al-Qur'an menggunakan Makruf sebagai landasan hukum terutama yang berkaitan dengan hubungan sosial, keluarga, dan tanggung jawab publik.
Kewajiban 'menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran' (Amar Makruf Nahi Munkar) adalah perintah kolektif (fardhu kifayah) dan, dalam konteks tertentu, individu (fardhu ain) yang mendefinisikan identitas umat. Ayat-ayat Qur'an menegaskan bahwa umat yang terbaik adalah mereka yang memegang teguh prinsip ini.
Amar Makruf bukan sekadar aktivisme sosial, melainkan manifestasi iman yang tulus. Orang yang benar-benar beriman tidak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan atau kerusakan. Implementasi Amar Makruf harus didasarkan pada:
Para ulama klasik menetapkan hirarki dalam menghadapi Munkar, yang mencerminkan kebijaksanaan dalam menegakkan Makruf:
Tingkatan ini memastikan bahwa upaya menegakkan Makruf dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan menghindari anarki atau kekerasan yang kontraproduktif terhadap tujuan kebaikan itu sendiri.
Dalam transaksi dan interaksi sosial (muamalah), Makruf berfungsi sebagai kaidah interpretasi yang fleksibel. Jika terdapat kekosongan hukum atau ambiguitas dalam perjanjian, standar yang digunakan adalah Makruf—yakni apa yang dianggap wajar, adil, dan lazim dalam praktik bisnis yang baik di masyarakat tersebut.
Uruf (kebiasaan) yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat diakui sebagai sumber hukum sekunder. Misalnya, jika standar Makruf dalam sebuah pasar mewajibkan penjual memberikan garansi selama satu bulan, maka garansi tersebut dianggap sebagai bagian dari kontrak, meskipun tidak tertulis. Makruf memastikan bahwa perdagangan berlangsung secara transparan, non-eksploitatif, dan saling menguntungkan.
Salah satu aplikasi Makruf yang paling sering diulang-ulang dalam sumber teologis adalah konteks rumah tangga, dikenal sebagai *Mu'asyarah bi al-Makruf* (pergaulan atau interaksi dengan cara yang Makruf). Ini adalah prinsip fundamental yang mengatur hubungan suami-istri, orang tua-anak, dan bahkan hubungan pasca-perceraian.
Alt: Visualisasi Etika Sosial dan Keseimbangan dalam Makruf, menunjukkan interaksi harmonis yang dilindungi oleh lingkaran etika.
Mu'asyarah bi al-Makruf menuntut kedua belah pihak untuk memperlakukan pasangannya dengan kebaikan yang diakui secara sosial, emosional, dan material. Ini melampaui pemenuhan hak-hak minimum yang bersifat legalistik (seperti nafkah materi) dan memasuki wilayah etika kelembutan dan empati.
Penerapan Makruf dalam rumah tangga mencakup banyak hal, di antaranya:
Prinsip Makruf di sini sangat dinamis; standar 'kebaikan' dalam interaksi akan berbeda antara pasangan yang tinggal di desa dan pasangan yang tinggal di kota metropolitan, namun inti etikanya tetap sama: memastikan kesejahteraan psikologis dan fisik pasangan.
Paradigma Makruf mencapai puncaknya ketika hubungan pernikahan berakhir. Hukum perceraian dalam banyak sistem etika modern sering kali berfokus hanya pada pembagian aset. Namun, dalam konsep Makruf, etika interaksi harus tetap terjaga, bahkan setelah perpisahan.
Perintahnya jelas: "Tahanlah dengan cara yang Makruf, atau lepaskanlah dengan cara yang Makruf." Ini menekankan bahwa perpisahan harus dilakukan tanpa dendam, tanpa penipuan, dan tanpa merugikan pihak lain, terutama wanita dan anak-anak.
Implikasi Makruf dalam konteks perceraian meliputi:
Kegagalan dalam mempertahankan Makruf selama dan sesudah perceraian dianggap sebagai pelanggaran etika yang serius, karena ia menunjukkan kurangnya kontrol diri dan kegagalan dalam menghargai martabat manusia, bahkan ketika ikatan legal telah terputus.
Meluas dari ranah domestik, Makruf menjadi perekat yang menjaga kohesi sosial. Dalam konteks komunitas, Makruf adalah ekspresi dari solidaritas (ta’awun) dan saling menghormati (tasamuh).
Seorang pemimpin, baik dalam skala kecil (RT/RW) maupun besar (negara), harus menjalankan kepemimpinannya berdasarkan prinsip Makruf. Ini berarti kebijakannya harus:
Makruf menuntut agar sumber daya dan peluang didistribusikan sedemikian rupa sehingga setiap anggota masyarakat memiliki akses yang wajar terhadap kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan, keamanan). Ketika pemerintah gagal menyediakan ini, berarti ia telah melanggar Makruf dalam tata kelola.
Di zaman modern, medan penerapan Makruf meluas ke ruang siber. Internet dan media sosial menciptakan tantangan baru bagi etika Makruf. Kebaikan yang dikenali kini harus diterapkan dalam interaksi virtual.
Menyebarkan hoaks (berita bohong) atau ujaran kebencian adalah Munkar yang nyata. Makruf dalam berinteraksi digital menuntut:
Makruf menjadi filter moral terhadap tsunami informasi yang berpotensi merusak kohesi sosial dan menjatuhkan kehormatan individu.
Untuk benar-benar memahami kedalaman Makruf, kita perlu menganalisis penerapannya dalam berbagai situasi sehari-hari yang sering ambigu. Makruf adalah standar, bukan sekadar aturan tertulis. Dibutuhkan akal dan hati untuk mengidentifikasi Makruf dalam situasi yang spesifik.
Makruf mengharuskan penetapan harga yang wajar. Meskipun penjual berhak mendapat keuntungan, eksploitasi kebutuhan dasar masyarakat (misalnya, menimbun masker saat pandemi) adalah Munkar. Makruf menuntut keseimbangan antara kepentingan profit dan kesejahteraan konsumen.
Jika standar Makruf pasar menuntut kualitas tertentu (misalnya, masa kedaluwarsa yang panjang), penjual wajib memenuhinya. Menjual barang cacat tanpa pemberitahuan adalah Munkar, karena ia melanggar etika kejujuran yang diakui.
Makruf mewajibkan orang yang berhutang untuk berusaha semaksimal mungkin membayar tepat waktu, dan bagi pemberi hutang, untuk bersikap Makruf dalam penagihan—tidak menekan secara berlebihan, dan memberikan tenggat waktu jika peminjam sedang kesulitan.
Majikan harus memberikan gaji yang Makruf (layak) sesuai usaha dan beban kerja, tidak menunda pembayaran, dan menyediakan lingkungan kerja yang aman. Karyawan wajib bersikap Makruf dengan bekerja secara profesional dan jujur.
Iklan harus Makruf, artinya tidak mengandung kebohongan (ghisy), tidak memanipulasi emosi konsumen, dan tidak menampilkan hal-hal yang melanggar kesopanan publik.
Makruf menuntut individu dan perusahaan untuk menggunakan sumber daya alam secara bijak, menghindari pemborosan (israf) dan kerusakan lingkungan. Menjaga ekosistem adalah Makruf global.
Persaingan harus Makruf, dilakukan secara sehat dan profesional, tanpa menjatuhkan nama baik pesaing atau melakukan spionase bisnis yang tidak etis.
Investasi yang Makruf adalah investasi yang transparan, bebas dari unsur spekulatif berlebihan (gharar), dan tidak mendukung industri yang merusak moral atau kesehatan masyarakat.
Pembagian warisan harus dilakukan secara Makruf, adil sesuai ketentuan hukum, tanpa menunda hak ahli waris yang seharusnya segera diterima, dan dilakukan dengan musyawarah yang damai.
Memberikan harta dalam bentuk zakat atau sedekah harus dilakukan dengan Makruf, yaitu memilih harta terbaik yang dimiliki, memberikannya dengan ikhlas tanpa mengungkit-ungkit, dan menjaga martabat penerima.
Proses mencari pasangan harus dilakukan dengan Makruf, yaitu melalui cara yang terhormat, melibatkan wali, dan menjaga batasan interaksi selama proses perkenalan.
Makruf dalam berbakti kepada orang tua menuntut bukan hanya pemenuhan kebutuhan materi, tetapi juga kesabaran, kelembutan bicara (tidak membentak), dan mendahulukan kebutuhan mereka di atas kebutuhan pribadi.
Makruf mewajibkan kita tidak mengganggu tetangga dengan kebisingan, menjaga kebersihan lingkungan bersama, dan menawarkan bantuan saat mereka membutuhkan, bahkan jika mereka berbeda agama atau suku.
Makruf menuntut individu untuk menjaga aib (kekurangan/kesalahan) orang lain, kecuali jika membuka aib tersebut diperlukan untuk mencegah Munkar yang lebih besar (misalnya, pelaporan tindak kriminal).
Bertamu harus Makruf: memberi tahu tuan rumah terlebih dahulu, tidak berlama-lama hingga merepotkan, dan menghargai jamuan yang diberikan.
Mendidik anak harus Makruf, yaitu dengan kasih sayang, memberikan batasan yang jelas, mendidik sesuai tahapan usia, dan tidak menggunakan kekerasan fisik atau verbal yang berlebihan.
Makruf mewajibkan kita menjenguk orang sakit, mendoakan, dan tidak membebani mereka dengan pertanyaan atau kunjungan yang terlalu lama.
Nasihat harus Makruf. Diberikan secara rahasia (tidak di depan umum), menggunakan bahasa yang konstruktif, dan bertujuan untuk perbaikan, bukan mempermalukan.
Makruf menuntut upaya mediasi yang adil dan netral untuk menyelesaikan perselisihan antar pihak, dengan tujuan mengembalikan harmoni, bukan mencari pemenang atau pecundang.
Menyumbangkan waktu, tenaga, atau keahlian untuk kemaslahatan publik (misalnya bersih-bersih lingkungan, mengajar anak yatim) adalah bentuk Makruf yang tinggi.
Makruf dalam berpakaian adalah menyesuaikan diri dengan norma kesopanan lokal dan universal, menjaga kehormatan diri tanpa berlebihan (tabarruj) atau mengabaikan kebersihan.
Makruf adalah mengakui kebaikan orang lain dan mengucapkan terima kasih dengan tulus, karena menahan apresiasi adalah Munkar yang kecil namun merusak hubungan.
Memenuhi janji, meskipun non-formal, adalah Makruf. Melanggarnya tanpa alasan yang sah adalah Munkar.
Makruf menuntut agar kita tidak mengganggu hak pengguna jalan lain (tidak membuang sampah, tidak menghalangi, tidak menyebabkan bahaya).
Makruf dalam konteks majemuk adalah menghormati keyakinan orang lain, tidak mencela atau merendahkan praktik keagamaan mereka, selama hal tersebut tidak mengganggu kebaikan umum.
Pejabat wajib mengelola dana negara dengan Makruf, yaitu efisien, tanpa korupsi, dan dialokasikan untuk sektor-sektor yang paling mendesak bagi kesejahteraan rakyat.
Pelayanan publik harus Makruf: cepat, ramah, bebas pungli, dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Hukum harus ditegakkan secara Makruf, adil bagi semua tanpa memandang status sosial, dan proses hukum harus menghormati hak asasi manusia.
Warga negara wajib membayar pajak dengan Makruf (jujur), dan pemerintah wajib menggunakan pajak itu dengan Makruf (bertanggung jawab).
Makruf menuntut respons cepat, terkoordinasi, dan tanpa diskriminasi dalam penanganan korban bencana, serta transparansi dalam distribusi bantuan.
Pembangunan harus Makruf, mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial, dan memastikan adanya ruang terbuka hijau yang menjadi hak publik.
Pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang Makruf: berkualitas, terjangkau, dan membentuk karakter yang baik, bukan hanya transfer pengetahuan.
Hubungan antarnegara harus didasarkan pada Makruf, yaitu menghormati kedaulatan, mencari solusi damai, dan menghindari agresi atau eksploitasi negara lain.
Proses politik harus Makruf, yaitu inklusif, melibatkan musyawarah dengan pakar, dan menghindari populisme yang merusak stabilitas jangka panjang.
Negara wajib melindungi konsumen dari produk berbahaya atau praktik bisnis yang curang, memastikan Makruf ditegakkan di pasar.
Jurnalisme harus Makruf: melaporkan fakta secara akurat, imparsial, dan menghindari sensasionalisme yang dapat memecah belah masyarakat.
Setiap individu dan entitas wajib mengelola sampahnya dengan Makruf, melalui daur ulang, mengurangi limbah, dan tidak mencemari fasilitas umum.
Makruf menuntut promosi gaya hidup sehat, pencegahan penyakit, dan akses yang adil terhadap vaksinasi dan layanan kesehatan primer.
Menjaga warisan budaya dan sejarah adalah Makruf, karena ia adalah identitas kolektif yang harus diwariskan kepada generasi mendatang.
Dalam pertahanan, Makruf menuntut penggunaan kekuatan hanya untuk membela diri, meminimalkan korban sipil, dan mematuhi hukum humaniter internasional.
Menggunakan waktu dengan Makruf berarti menyeimbangkan antara ibadah, bekerja, beristirahat, dan interaksi sosial. Menyia-nyiakan waktu adalah Munkar kecil terhadap potensi diri.
Makruf menuntut kejujuran terhadap diri sendiri, mengakui kekurangan, dan berusaha untuk memperbaiki diri secara berkelanjutan (muhasabah).
Kontrol terhadap lisan (tidak bergosip, tidak mengumpat, tidak memaki) adalah Makruf fundamental yang mencegah perpecahan. Lisan yang baik adalah sedekah.
Makruf menuntut ketegasan dalam memegang prinsip moral dan etika, bahkan ketika hal itu tidak populer atau mendatangkan kerugian material.
Ketika berhasil, Makruf menuntut sikap rendah hati (tawadhu), mengakui peran pihak lain, dan menggunakan keberhasilan itu untuk membantu sesama, bukan untuk menyombongkan diri (ujub).
Makruf menuntut sikap sabar, mengambil pelajaran dari kegagalan, dan tidak menyalahkan takdir atau orang lain secara berlebihan.
Kebersihan fisik dan spiritual adalah Makruf. Kebersihan adalah bagian dari iman dan mencerminkan penghormatan terhadap diri sendiri dan lingkungan.
Makruf mewajibkan setiap orang untuk terus menuntut ilmu yang bermanfaat, baik ilmu agama maupun ilmu dunia, karena kebodohan adalah jalan menuju Munkar.
Makruf menuntut penggunaan harta pribadi tidak untuk kemewahan yang sia-sia, melainkan untuk investasi akhirat dan kesejahteraan keluarga.
Makruf adalah memilih menahan diri dan menolak godaan yang mengarah kepada Munkar, menunjukkan kekuatan kehendak bebas yang didasarkan pada kesadaran moral.
Makruf bukan sekadar ajaran moral yang kaku; ia adalah mekanisme keadilan yang adaptif. Karena ia didasarkan pada 'pengakuan' atau 'kebiasaan baik' yang berlaku, definisi Makruf dapat berevolusi seiring perkembangan zaman dan perubahan sosial, selama ia tetap berakar pada prinsip-prinsip etika universal yang ditetapkan oleh wahyu.
Ini adalah kebaikan-kebaikan yang tidak pernah berubah, seperti kejujuran, keadilan, menepati janji, dan larangan membunuh atau mencuri. Kebaikan ini bersifat transhistoris dan transkultural. Tidak ada masyarakat mana pun yang secara rasional menganggap membunuh orang tak bersalah sebagai 'Makruf'.
Ini adalah cara-cara pelaksanaan kebaikan yang dipengaruhi oleh budaya atau waktu. Contohnya, apa yang dianggap 'pakaian sopan' (Makruf) di satu wilayah mungkin berbeda di wilayah lain. Atau, cara bertransaksi (seperti penggunaan mata uang digital) adalah Makruf kontemporer, sementara seratus tahun lalu hal itu tidak dikenal. Selama Makruf relatif ini tidak melanggar Makruf absolut, ia diakui sebagai bagian dari Syariat yang fleksibel.
Kemampuan Makruf untuk beradaptasi inilah yang menjadikannya relevan dalam menghadapi modernitas. Ia memungkinkan masyarakat untuk berinovasi dan maju secara teknologi tanpa harus mengorbankan inti moralitas mereka.
Ketika Makruf diabaikan, masyarakat akan bergeser menuju dominasi Munkar. Dampak penyebaran Munkar sangat luas, meliputi:
Oleh karena itu, upaya Amar Makruf Nahi Munkar bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan sebuah kebutuhan sosiologis dan psikologis untuk menjaga keberlangsungan kehidupan manusia yang bermartabat.
Pada akhirnya, Makruf harus dimulai dari individu. Transformasi sosial tidak akan terjadi tanpa transformasi pribadi. Membangun kebiasaan Makruf dalam kehidupan sehari-hari adalah jihad (perjuangan) terbesar.
Penyucian jiwa adalah proses menghilangkan sifat-sifat Munkar (iri hati, dengki, sombong) dan menggantinya dengan sifat-sifat Makruf (sabar, syukur, tawadhu, ikhlas). Ini membutuhkan disiplin spiritual harian:
Dalam skala yang lebih luas, pembiasaan Makruf menciptakan efek riak (ripple effect). Senyum tulus di pagi hari bisa menjadi Makruf yang menyebar ke seluruh kantor; satu tindakan kejujuran kecil dapat menguatkan integritas sistem yang besar.
Pendidikan adalah kunci untuk menjamin Makruf tetap menjadi standar masyarakat. Pendidikan yang Makruf harus mengedepankan pembentukan karakter dan etika di atas sekadar perolehan nilai akademik.
Pendidikan Makruf mencakup:
Jika generasi muda dibesarkan dengan pemahaman mendalam tentang Makruf, mereka akan secara otomatis menolak Munkar struktural yang mungkin mereka temui di masa depan, dan menjadi agen perubahan yang positif.
Meskipun Makruf adalah istilah yang berakar kuat dalam tradisi agama tertentu, esensinya—yaitu kebaikan yang diakui akal sehat—adalah nilai kemanusiaan universal. Konsep ini menyediakan titik temu etis bagi berbagai budaya dan keyakinan.
Makruf mengingatkan kita bahwa, terlepas dari perbedaan ritual atau dogma, ada bahasa moralitas bersama yang kita semua pahami: keinginan untuk diperlakukan dengan adil, keinginan untuk hidup damai, dan kebutuhan untuk saling membantu. Makruf melintasi batas-batas, memungkinkan dialog dan kerja sama dalam proyek-proyek kemanusiaan bersama.
Sebagai kesimpulan, Makruf adalah konsep etika yang tak lekang oleh waktu dan bersifat dinamis. Ia adalah fondasi bagi kebahagiaan individu, keharmonisan rumah tangga (*Mu'asyarah bi al-Makruf*), dan keadilan sosial (*Amar Makruf Nahi Munkar*). Menginternalisasi dan mengimplementasikan Makruf dalam setiap nafas kehidupan adalah upaya berkelanjutan yang menentukan kualitas peradaban kita.
Pencarian Makruf adalah pencarian untuk menjadi manusia yang utuh, yang tindakannya selaras dengan fitrah, akal, dan wahyu. Ini adalah tugas suci yang harus dipikul oleh setiap individu yang mendambakan kehidupan yang bermakna dan masyarakat yang berkah.