Di kedalaman khazanah budaya Nusantara, terdapat nama-nama yang bukan sekadar identitas, melainkan gerbang menuju pemahaman yang lebih dalam tentang alam, spiritualitas, dan sejarah. Salah satu nama yang menyimpan resonansi misterius dan kekuatan primordial adalah "Mak Itam". Secara literal, nama ini diterjemahkan sebagai "Ibu Hitam" atau "Wanita Kegelapan," namun dalam konteks mitologi dan sosiologi Indonesia, Mak Itam jauh melampaui deskripsi harfiah warna kulit atau kegelapan fisik. Ia adalah arketipe, sebuah simpul naratif yang menghubungkan masa lalu yang samar dengan kesadaran kolektif masa kini.
Sosok Mak Itam sering kali muncul dalam berbagai dialek dan konteks geografis, mulai dari legenda penjaga laut di pesisir Jawa, entitas spiritual yang menjaga rahasia hutan hujan di Kalimantan, hingga perwujudan kearifan lokal dalam praktik pengobatan tradisional di Sumatera. Kehadirannya tidak pernah bersifat tunggal; ia adalah polifonik, berbicara melalui cerita rakyat, mantra, tarian, dan bahkan pola batik kuno. Eksplorasi mengenai Mak Itam memerlukan pemahaman bahwa "hitam" di sini tidak identik dengan kejahatan atau kesedihan, melainkan merujuk pada kedalaman, kesuburan tanah, misteri yang tak tersentuh, dan kekuatan dasar yang mengatur siklus kehidupan dan kematian.
Tulisan ini bertujuan membongkar lapisan-lapisan makna yang melingkupi Mak Itam, menelusuri akar historis yang mungkin terlupakan, menganalisis perannya dalam keragaman mitologi kepulauan, dan menilai bagaimana arketipe kuno ini terus relevan dalam menghadapi tantangan modern. Kita akan melihat bagaimana Mak Itam mewakili kekuatan feminis yang independen dan sering kali menakutkan, yang menolak dibatasi oleh struktur patriarki yang dominan dalam masyarakat feudal. Ia adalah suara alam liar, penjaga batas, dan perwujudan kekuatan yang tidak dapat ditaklukkan.
Untuk memahami kedalaman Mak Itam, kita harus menelusuri bagaimana konsep ini berakar dalam bahasa-bahasa Austronesia yang membentuk Nusantara. Frasa "Mak Itam" sering kali dianggap sebagai gabungan bahasa Melayu umum. Namun, konotasinya diperkuat oleh berbagai dialek regional yang memberikan bobot tambahan pada kata 'hitam' (itam, etam, cemeng, ireng).
Dalam banyak tradisi spiritual Asia Tenggara, warna hitam tidak hanya berarti ketiadaan cahaya, tetapi juga melambangkan asal mula, kesempurnaan, atau kekuatan tertinggi yang melampaui dualitas. Hitam adalah warna Dewa Siwa sebagai Mahakala (waktu agung), warna Ka’bah yang melambangkan pusat bumi, dan warna tanah subur yang menjanjikan kehidupan. Oleh karena itu, sosok Mak Itam—Ibu Kegelapan—sering dikaitkan dengan:
Di wilayah Pesisir Melayu, istilah "Itam" kadang digunakan untuk menunjuk kepada kapal-kapal dagang yang dicat hitam atau sosok pelaut yang sangat tangguh dan dihormati. Konteks ini membawa kita pada kemungkinan bahwa Mak Itam dulunya adalah gelar kehormatan bagi seorang pemimpin perempuan maritim atau penguasa pelabuhan yang memiliki otoritas besar dalam jalur rempah-rempah kuno. Otoritas ini, yang sering kali didasarkan pada kekayaan, pengetahuan navigasi, atau kemampuan spiritual, membuatnya menjadi sosok yang disegani dan ditakuti.
Periode kolonial memberikan lapisan interpretasi yang lebih gelap pada nama Mak Itam. Di beberapa catatan VOC, istilah serupa digunakan untuk merujuk pada populasi yang tidak terintegrasi atau budak yang dibawa dari Afrika atau India Selatan. Dalam konteks ini, "Mak Itam" bisa jadi merupakan julukan yang diberikan oleh penjajah untuk memisahkan atau merendahkan wanita pribumi yang memiliki posisi sosial yang kuat, atau wanita yang secara fisik menonjol karena warna kulitnya yang sangat gelap, yang pada gilirannya sering dikaitkan dengan kekuatan magis yang resisten terhadap pengaruh asing.
Namun, dalam budaya perlawanan, julukan yang merendahkan ini sering kali diubah menjadi simbol kekuatan. Mak Itam menjadi kode rahasia bagi para pemberontak; ia adalah entitas pelindung yang akan membutakan mata penjajah. Transformasi semantik ini menunjukkan bagaimana sosok Mak Itam berevolusi dari dewi alamiah menjadi ikon perlawanan sosiopolitik, terus hidup dalam lagu-lagu perjuangan dan pantun rahasia.
Di Jawa, istilah 'Mbok Ireng' (Ibu Hitam) atau 'Nyai Cemeng' memiliki korelasi yang jelas, merujuk pada sosok penjaga keraton atau petapa wanita yang sangat kuat. Sementara di Borneo, 'Mak Etam' sering terkait dengan entitas hutan yang menjaga pantangan dan ritual adat. Konsistensi dalam menghubungkan sosok ibu/wanita kuat dengan warna gelap menunjukkan pola arketipal yang mendalam melintasi ribuan pulau, bukan sekadar kebetulan linguistik.
Peran Mak Itam paling menonjol dalam narasi mitologis, di mana ia berfungsi sebagai penyeimbang, entitas penjaga, atau manifestasi fisik dari hukum alam yang keras dan tak terhindarkan. Kehadirannya hampir selalu disertai dengan aura misteri dan penghormatan yang mendalam.
Salah satu kaitan paling terkenal adalah hubungannya dengan mitologi Pantai Selatan Jawa, yang didominasi oleh sosok Nyai Roro Kidul. Mak Itam sering diposisikan sebagai "tangan kanan" atau bahkan aspek yang lebih tua dan lebih purba dari Ratu Pantai Selatan. Jika Nyai Roro Kidul mewakili kecantikan, kekuasaan, dan gelombang yang mengancam, Mak Itam mewakili kedalaman samudra yang gelap, palung tak berdasar, dan kekuatan yang menjaga pintu gerbang spiritual. Ia adalah manifestasi dari Segara Kidul yang paling dingin dan paling tua.
Dalam beberapa versi legenda, Mak Itam adalah penjaga jiwa yang diambil ombak. Ia tidak hanya bertugas mengambil nyawa, tetapi juga memastikan bahwa roh tersebut kembali ke siklus alam. Ritual-ritual persembahan tertentu yang dilakukan di pesisir selatan, yang melibatkan benda-benda berwarna gelap atau hasil bumi dari tanah yang subur, secara implisit ditujukan kepada Mak Itam sebagai kekuatan yang menstabilkan murka laut.
Hubungan ini menegaskan peran Mak Itam sebagai arketipe anima mundi—jiwa dunia—yang memegang keseimbangan antara yang terlihat dan yang tersembunyi. Kekuasaannya tidak bergantung pada kemewahan kerajaan atau harta duniawi, melainkan pada pemahaman mendalam tentang kosmos.
Bergeser ke wilayah pedalaman, terutama di Sumatera dan Kalimantan, Mak Itam mengambil peran sebagai penjaga hutan atau roh pelindung yang terkait dengan tambang mineral yang gelap (batu bara, bijih besi) dan pohon-pohon besar yang berusia ribuan tahun. Di sini, ia dikenal dengan variasi nama, tetapi fungsinya tetap sama: memastikan bahwa eksploitasi alam tidak melanggar batas-batas yang telah ditetapkan oleh leluhur.
Masyarakat adat sering menceritakan kisah Mak Itam (atau varian lokal seperti ‘Induk Etam’) kepada para penebang hutan atau penambang sebagai peringatan. Pelanggaran terhadap hutan adat, penebangan pohon yang dianggap keramat (seringkali memiliki ciri gelap), atau pengambilan mineral tanpa izin ritual akan memicu murka Mak Itam, yang dapat berbentuk penyakit misterius, kesulitan navigasi di sungai, atau kegagalan panen. Konsep ini adalah mekanisme budaya yang efektif untuk menegakkan konservasi lingkungan sebelum istilah "lingkungan" modern dikenal.
Ia adalah kekuatan yang memerintahkan rasa hormat terhadap gelapnya lumpur gambut yang subur, gelapnya biji kopi yang berharga, dan gelapnya malam yang membawa mimpi dan wahyu. Dia mewakili pengetahuan esoteris yang diturunkan secara matrilineal, sebuah kontras kuat terhadap pengetahuan formal yang sering didominasi oleh laki-laki.
Dalam beberapa praktik pengobatan suku Dayak atau Minangkabau kuno, Mak Itam dipanggil dalam ritual yang menggunakan media berwarna hitam, seperti arang dari kayu tertentu, ramuan yang difermentasi hingga gelap, atau tanah liat hitam. Tujuan pemanggilan ini adalah untuk menyerap energi negatif (penyakit) ke dalam media hitam tersebut, kemudian mengembalikannya ke bumi, wilayah kekuasaan Mak Itam, untuk dinetralkan. Ini adalah manifestasi praktis dari kepercayaan bahwa kegelapan memiliki kapasitas regeneratif yang unik.
Dalam analisis yang lebih luas, Mak Itam dapat dipandang sebagai arketipe psikologis dan kultural yang kompleks. Ia adalah representasi dari kekuatan perempuan yang tidak dilembutkan atau dikomodifikasi. Ia berdiri sebagai antitesis terhadap arketipe perempuan ideal (seperti bidadari atau putri raja) yang pasif atau bergantung pada hero laki-laki.
Mak Itam selalu digambarkan sebagai sosok yang keras, bijaksana, dan menuntut. Keputusannya bersifat final, mencerminkan hukum alam yang tidak dapat dinegosiasikan (seperti gravitasi atau siklus musim). Ia melambangkan kematangan emosional dan spiritual yang hanya dapat dicapai melalui penderitaan atau pengalaman mendalam.
Psikolog kultural sering melihat sosok ini sebagai personifikasi dari shadow self (diri bayangan) kolektif Nusantara—aspek yang ditolak, namun sangat kuat, dari identitas budaya. Jika kita sebagai bangsa cenderung menghargai kehalusan dan kesopanan (putih/terang), Mak Itam mengingatkan kita pada sisi primal, jujur, dan sering kali kejam dari eksistensi, yang harus diterima agar keseimbangan spiritual tercapai.
Dia adalah nenek moyang yang menghukum, namun juga nenek moyang yang memberikan perlindungan terkuat. Perlindungannya datang dari pemahaman bahwa untuk bertahan hidup, seseorang harus mampu menghadapi 'kegelapan' dunia, baik di luar maupun di dalam diri.
Sosok Mak Itam sering diangkat dalam kesenian kontemporer Indonesia, terutama dalam teater dan sastra feminis. Dalam konteks modern, ia ditafsirkan sebagai simbol perlawanan terhadap standar kecantikan Eurosentris dan patriarki. Seniman menggunakan figur Mak Itam untuk merayakan keindahan yang gelap, kuat, dan non-konvensional, memberikan suara kepada wanita yang tersisih atau dianggap "berbahaya" oleh norma masyarakat.
Dalam beberapa pertunjukan tari kontemporer Jawa, gerakan yang diinspirasi oleh Mak Itam didominasi oleh postur yang rendah ke tanah, gerakan yang kuat, dan tatapan mata yang tajam, berbeda dengan kelembutan tari klasik keraton. Ini adalah upaya untuk menyalurkan energi bumi yang mentah, sebuah pernyataan bahwa kekuatan tidak selalu harus tampil dalam keanggunan, tetapi dapat ditemukan dalam kekokohan.
Dalam dunia batik dan tenun, motif 'itam' tertentu, yang menggunakan indigo yang sangat pekat atau pewarna alam yang menghasilkan warna hitam legam, sering dikaitkan dengan kekuatan magis. Memakai kain dengan motif Mak Itam adalah tindakan perlindungan, dipercaya dapat menangkal bala dan memperkuat aura pemakainya.
Kisah Mak Itam adalah perwujudan filosofi Nusantara mengenai dualitas dan kesatuan. Dalam filsafat Jawa (seperti Sangkan Paraning Dumadi), Mak Itam mencerminkan prinsip kembali ke asal, di mana semua bentuk dan warna akhirnya larut menjadi kekosongan yang berisi segalanya.
Hitam seringkali diasosiasikan dengan Sunyata (kekosongan) dalam Buddhisme dan Hinduisme yang bercampur di Jawa kuno. Kekosongan ini bukanlah ketiadaan, melainkan potensi tak terbatas. Mak Itam, sebagai ‘Ibu Kegelapan,’ adalah wadah di mana potensi ini bersemayam. Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kemegahan yang mencolok, melainkan pada keheningan dan kerahasiaan yang dalam.
Dalam praktik meditasi dan kebatinan, para praktisi sering mencari ‘kegelapan sejati’ (seperti saat berada di dalam gua atau di bawah pohon keramat pada malam hari) untuk mendapatkan wahyu. Mak Itam adalah penjaga pintu masuk menuju ruang sakral ini. Untuk bertemu dengannya, seseorang harus meninggalkan ego dan ilusi duniawi, yang diwakili oleh cahaya dan warna.
Filosofi ini sangat mendasar bagi sistem kepercayaan yang menolak eksklusivitas. Mak Itam menerima semua yang ditolak oleh masyarakat—yang buruk rupa, yang sakit, yang dikucilkan—dan menawarkan mereka kekuatan baru yang terlahir dari titik nadir.
Dalam banyak tradisi agraris, Mak Itam dikaitkan erat dengan ritual ndhut (memanggil hujan). Hujan yang subur seringkali membawa awan yang hitam pekat. Sosok Mak Itam dipanggil sebagai dewi yang mengendalikan awan-awan ini. Ritual ini mencakup tarian dengan pakaian hitam, pengolesan tanah liat hitam ke tubuh, dan pembakaran dupa yang menghasilkan asap hitam tebal yang mengepul ke langit.
Keterkaitan ini menunjukkan bahwa Mak Itam adalah esensi dari air yang memberi kehidupan, sebuah kontradiksi yang indah: kegelapan yang menghasilkan kesuburan. Jika Mak Itam menahan diri, tanah menjadi kering; jika ia bermurah hati, bumi akan menghasilkan kelimpahan. Oleh karena itu, ia dihormati bukan hanya sebagai roh, tetapi sebagai regulator iklim yang vital bagi kelangsungan hidup komunitas.
Etika berinteraksi dengan Mak Itam dalam tradisi lisan selalu ditekankan pada ketulusan dan penghormatan, bukan rasa takut yang neurotik. Ia menuntut kejujuran dan pemenuhan janji. Melanggar kesepakatan dengannya dianggap sebagai pelanggaran kosmis yang paling serius, karena ia adalah entitas yang memegang catatan abadi (karma) dari semua tindakan manusia yang terkait dengan alam dan leluhur.
Meskipun Mak Itam adalah sosok mitologis yang besar, resonansinya terasa kuat dalam benda-benda sehari-hari, ritual kecil, dan kerajinan tangan yang membentuk identitas budaya lokal. Perannya meluas dari ranah spiritual ke praktik sosial dan ekonomi.
Dalam seni batik, terutama gaya pedalangan atau batik kuno dari Jawa Tengah (seperti Cirebon atau Solo), penggunaan warna hitam pekat yang dihasilkan dari percampuran indigo dan soga atau bahan alami lainnya sangat dihormati. Warna hitam ini, yang sering disebut biru tua kehitaman atau wedel, melambangkan keabadian dan otoritas. Motif-motif tertentu yang didominasi oleh warna ini—seperti parang rusak atau semen rama—dipercaya menyimpan kekuatan penjaga yang disebut-sebut berasal dari arketipe Mak Itam.
Proses pembuatan pewarna hitam ini sendiri bersifat ritualistik. Pewarna alami memerlukan fermentasi dan perendaman yang lama, proses yang analog dengan kelahiran kekuatan dari kedalaman. Para pengrajin tua seringkali memanggil energi perlindungan sebelum proses pencelupan warna hitam, memastikan bahwa kain tersebut tidak hanya indah secara visual tetapi juga memiliki kekuatan spiritual.
Dalam konteks pengobatan dan kuliner tradisional, makanan yang berwarna gelap seringkali dikaitkan dengan vitalitas dan kekuatan Mak Itam. Contoh paling jelas adalah beras ketan hitam, yang diyakini memiliki energi penyembuh dan penguat stamina. Begitu pula dengan jamu yang menggunakan rempah-rempah yang direbus hingga menghasilkan cairan hitam kental. Konsumsi bahan-bahan ini adalah cara untuk menyerap kekuatan 'itam' bumi ke dalam tubuh.
Pada jamu tradisional, sosok Mak Itam dapat dipanggil sebagai entitas yang memastikan kekuatan ramuan tersebut mencapai potensi maksimalnya. Ia adalah sang apoteker agung yang mengetahui semua rahasia akar dan daun yang tumbuh di kegelapan hutan yang lembap. Resep-resep kuno yang paling mujarab sering kali dijaga oleh perempuan tua (Mak atau Emak) yang merupakan pewaris langsung dari kearifan Mak Itam.
Secara praktis, Mak Itam juga dihormati sebagai penjaga batas rumah dan desa. Di banyak tempat, ritual penanaman jimat (seperti batu hitam atau bambu hitam) di sudut-sudut properti ditujukan untuk memanggil perlindungan Mak Itam agar tidak ada energi buruk (yang disimbolkan sebagai warna putih/cahaya yang berlebihan) yang masuk. Perlindungan ini bersifat pasif namun mutlak, menciptakan medan energi yang menyerap ancaman tanpa perlu pertempuran terbuka.
Dalam masyarakat yang sangat menjunjung tinggi tata krama dan harmoni, Mak Itam adalah pengingat bahwa di balik wajah yang tersenyum harus ada kekuatan tak terlihat yang siap menegakkan keadilan. Ia adalah penjaga keadilan yang adil dan tidak memihak, yang hanya merespons kejujuran niat.
Di tengah modernisasi, globalisasi, dan dominasi budaya pop, sosok Mak Itam menghadapi tantangan untuk tetap relevan. Namun, justru dalam kekacauan dan ketidakpastian zaman modern, kebutuhan terhadap arketipe seperti Mak Itam semakin mendesak.
Salah satu tantangan terbesar adalah komersialisasi. Banyak cerita rakyat dan ritual yang berkaitan dengan Mak Itam telah diubah menjadi komoditas wisata atau konten hiburan yang dangkal, menghilangkan kedalaman filosofisnya. Mak Itam yang tadinya merupakan simbol ketulusan alam, kini terkadang direduksi menjadi hantu menakutkan atau objek mistik yang dijual tanpa pemahaman.
Namun, para penjaga tradisi terus berupaya menjaga kemurnian kisah ini. Mereka menekankan bahwa kekuatan Mak Itam hanya dapat diakses melalui ritual yang benar dan niat yang tulus, tidak dapat dibeli atau diakuisisi secara instan. Ini adalah perlawanan kultural terhadap spiritualitas serba cepat, menekankan bahwa kearifan sejati memerlukan waktu dan kedalaman (seperti kegelapan yang sabar).
Dalam wacana ekofeminisme Indonesia, Mak Itam menemukan tempat baru yang kuat. Ia menjadi personifikasi dari Ibu Pertiwi yang terluka akibat eksploitasi lingkungan. Ketika hutan dibakar dan tambang dieksploitasi, kemarahan Mak Itam diinterpretasikan sebagai bencana alam yang tidak terhindarkan—banjir bandang, tanah longsor, atau wabah penyakit. Sosok ini memberikan narasi yang kuat untuk gerakan lingkungan, mengingatkan bahwa alam memiliki batas kesabaran yang jika dilanggar, akan memicu reaksi keras.
Aktivis perempuan yang berjuang mempertahankan tanah adat seringkali mengidentifikasi diri mereka dengan kekuatan Mak Itam—yaitu kekuatan yang berasal dari tanah dan memiliki otoritas moral yang tak terbantahkan. Mereka adalah wajah kontemporer dari ‘Ibu Kegelapan’ yang bangkit membela warisan primordial.
Dalam dekade terakhir, ada peningkatan penggunaan arketipe Mak Itam dalam film horor dan fiksi spekulatif. Walaupun sering disimplifikasi, representasi ini setidaknya menjaga nama tersebut tetap hidup. Interpretasi yang lebih matang mencoba menggali bukan hanya horornya, tetapi juga kesedihan dan keadilan yang dibawanya. Mak Itam menjadi cerminan dari trauma sejarah yang belum terselesaikan di Indonesia.
Mak Itam adalah lebih dari sekadar legenda; ia adalah arketipe yang hidup, sebuah sistem referensi yang kompleks mengenai bagaimana masyarakat Nusantara berinteraksi dengan yang tak terlihat, dengan alam, dan dengan kekuatan feminin yang independen. Ia mengajarkan kita bahwa kegelapan bukanlah akhir, melainkan sumber; bukan kelemahan, melainkan reservoir kekuatan yang tak terhingga.
Dari palung samudra terdalam hingga akar pohon purba di hutan hujan, Mak Itam terus menjalankan perannya sebagai penjaga batas dan regulator kosmis. Penghormatan terhadapnya adalah pengakuan atas perlunya keseimbangan: menerima sisi gelap diri dan dunia sebagai prasyarat mutlak untuk mencapai pencerahan dan ketenangan sejati. Selama tanah Nusantara masih subur, selama ombak laut selatan masih berdesir, Mak Itam akan terus bersemayam, arketipe abadi yang suaranya terdengar dalam keheningan malam yang pekat, menuntut kearifan dan hormat dari setiap generasi.
Pemahaman yang mendalam tentang Mak Itam adalah kunci untuk membuka pintu menuju spiritualitas yang otentik dan berakar pada tanah air, sebuah spiritualitas yang mengakui bahwa keindahan dan kekuatan sejati seringkali ditemukan dalam bayangan yang kita takuti, di balik tirai kegelapan yang melindungi rahasia paling berharga dari kehidupan itu sendiri. Kekuatan ‘Itam’ adalah kekuatan yang tak terhindarkan, dan warisannya adalah pelajaran abadi bagi kita semua.
Dalam setiap tarikan napas dan hembusan angin malam di kepulauan tropis, kita dapat merasakan resonansi dari kekuatan kuno ini. Mak Itam bukan hanya entitas yang ada di masa lalu, melainkan manifestasi dari memori genetik yang tertanam dalam psikhe kolektif. Ia adalah suara yang mengingatkan bahwa siklus alam harus dihormati; kelahiran dan kematian, terang dan gelap, semuanya adalah bagian dari anyaman eksistensi yang dijalin oleh sosok yang paling bijaksana, yang paling purba, yaitu Mak Itam.
Penting untuk dicatat bagaimana sosok ini melayani fungsi sosiologis yang krusial. Dalam masyarakat yang rentan terhadap bencana alam dan ketidakpastian ekonomi, Mak Itam memberikan kerangka kerja untuk menjelaskan peristiwa yang tidak terduga. Bencana bukanlah nasib buruk semata, tetapi konsekuensi logis dari ketidakseimbangan yang disebabkan oleh keserakahan manusia. Dengan mempersonifikasikan keadilan alam dalam sosok feminin yang tegas, budaya memberikan saluran emosional dan ritualistik untuk mengatasi trauma dan membangun kembali etika komunal yang lebih berkelanjutan.
Kisah-kisah tentang Mak Itam selalu dilengkapi dengan detail yang kaya akan simbolisme. Misalnya, di daerah pedalaman Jawa Barat, ia sering digambarkan memiliki rambut yang panjang dan lebat, hitam seperti malam tanpa bintang, yang melambangkan hutan tak tersentuh. Matanya, meski gelap, memancarkan cahaya yang mematikan namun penuh kearifan. Postur tubuhnya yang besar dan kokoh menunjukkan ketidakmampuannya untuk dirobohkan oleh waktu atau oleh musuh. Ini adalah visualisasi dari ide bahwa pengetahuan yang paling berharga adalah pengetahuan yang paling sulit diakses, tersembunyi dalam kegelapan yang hanya bisa diterangi oleh cahaya batin.
Pengaruh Mak Itam bahkan merambah ke sistem kekerabatan dan matrilineal di beberapa suku. Wanita yang menjadi kepala keluarga atau pemegang warisan spiritual sering kali diposisikan sebagai "pewaris" energi Mak Itam. Mereka memiliki hak untuk membuat keputusan akhir dalam masalah adat dan ritual, hak yang diberikan bukan karena status sosial buatan, tetapi karena kedekatan mereka dengan energi bumi dan leluhur. Dengan demikian, Mak Itam berfungsi sebagai pembenar spiritual bagi kekuatan perempuan di ranah sosial.
Kekuatan naratif Mak Itam juga terletak pada kemampuannya menyerap berbagai pengaruh tanpa kehilangan esensinya. Meskipun Indonesia telah melewati periode Hindu-Buddha, Islamisasi, dan Kristenisasi, sosok Mak Itam tetap utuh. Ia diserap ke dalam panteon lokal sebagai jin, danyang, atau wali, tetapi esensinya sebagai penjaga alam yang gelap dan primal tetap tidak berubah. Adaptabilitas ini adalah ciri khas dari arketipe yang benar-benar kuat—ia mampu berbicara dalam bahasa spiritual apa pun, selama inti pesannya, yaitu hormat terhadap bumi, tetap terjaga.
Di masa depan, ketika isu perubahan iklim dan krisis ekologi semakin mendominasi, narasi Mak Itam akan semakin penting. Ia adalah narasi yang dibutuhkan dunia modern untuk mengingatkan kita bahwa eksploitasi yang tak terkendali memiliki konsekuensi yang dikendalikan oleh kekuatan yang jauh lebih besar dari teknologi manusia. Mak Itam adalah wajah dari Gaia Nusantara, dewi bumi yang menuntut pertanggungjawaban. Mengabaikannya berarti mengabaikan peringatan yang paling purba dan paling tulus yang ditawarkan oleh budaya kita sendiri.
Maka, mari kita renungkan kembali makna kegelapan. Ia bukanlah ketiadaan, tetapi kesiapan. Ia adalah tempat di mana benih disiapkan untuk tumbuh, di mana istirahat menghasilkan kekuatan, dan di mana rahasia masa lalu melindungi masa depan. Di balik nama sederhana "Mak Itam" tersembunyi seluruh kosmos kearifan yang menunggu untuk dihormati dan dipelajari kembali, memastikan bahwa kekuatan abadi Nusantara akan terus mengalir, sekuat dan sedalam lautan yang gelap.
Pengakuan terhadap Mak Itam adalah langkah menuju pemulihan hubungan yang rusak dengan alam. Itu adalah janji untuk menghargai setiap inci tanah, setiap teguk air, dan setiap tarikan napas yang diberikan oleh Ibu Pertiwi. Kekuatannya, yang terwujud dalam warna hitam pekat yang menyerap dan menyimpan, adalah cermin bagi jiwa kita sendiri: penuh bayangan, penuh misteri, dan pada akhirnya, tak terbatas dalam potensi.
...Dan ketika kita menelaah lebih jauh ke dalam mitos pendirian kerajaan-kerajaan kuno di Jawa dan Sumatera, seringkali ditemukan bahwa pendiri laki-laki, raja atau pahlawan, harus terlebih dahulu mencari restu atau menaklukkan entitas spiritual perempuan yang kuat. Entitas ini, meskipun tidak selalu dinamai Mak Itam secara eksplisit, memiliki atribut yang sama: berkaitan dengan kegelapan, air atau bumi, dan memiliki otoritas sebelum datangnya peradaban baru. Kemenangan atas sosok ini seringkali digambarkan sebagai asimilasi, bukan penghancuran. Raja yang bijaksana tidak membunuh ‘Ibu Kegelapan,’ melainkan menjadikannya penasihat atau penjaga, mengakui bahwa kekuasaan duniawi hanya sementara, sementara otoritas spiritual yang dipegang oleh Mak Itam adalah abadi dan tak tertandingi.
Mak Itam, dalam konteks ini, menjadi representasi dari Tanah Leluhur itu sendiri. Tanah ini tidak hanya memberikan sumber daya material, tetapi juga merupakan gudang memori kolektif. Setiap batu, setiap pohon, setiap sungai, menyimpan jejak roh-roh yang telah mendahului kita. Dan Mak Itam adalah pustakawan spiritual dari semua memori tersebut. Tugasnya adalah memastikan bahwa warisan ini tidak diabaikan. Ini menjelaskan mengapa pelanggaran adat sangat dimurkai olehnya; karena melanggar adat sama dengan merobek halaman dari kitab suci sejarah yang ia jaga dengan cermat.
Perluasan konsep ini membawa kita ke seni bela diri tradisional (Pencak Silat) di beberapa wilayah. Gerakan yang keras, tiba-tiba, dan yang memanfaatkan gravitasi secara maksimal seringkali dikaitkan dengan energi bumi. Praktisi yang mahir dalam aliran ini terkadang memanggil roh penjaga yang dikenal memiliki sifat 'itam' untuk memberikan kekokohan dan daya tahan yang luar biasa. Ini adalah aplikasi nyata dari arketipe Mak Itam dalam disiplin fisik, mengubah kekuatan spiritual menjadi ketangguhan jasmani yang tak tertembus.
Mak Itam juga mengajarkan pelajaran penting tentang penerimaan takdir dan keniscayaan. Dalam hidup, tidak semua hal dapat diubah atau dikendalikan oleh usaha keras (yang disimbolkan oleh terang dan siang hari). Ada aspek-aspek kehidupan—kehilangan, kesedihan, akhir—yang harus diterima. Dengan menerima otoritas Mak Itam, masyarakat belajar untuk menghormati proses alami kehancuran dan kelahiran kembali. Kematian bukanlah kekalahan, melainkan kembali ke pangkuan Mak Itam, siap untuk siklus berikutnya.
Kisah ini, yang merentang dari mitologi kuno hingga perlawanan modern terhadap eksploitasi, menegaskan posisi Mak Itam sebagai salah satu arketipe paling penting dan paling kompleks di Nusantara. Ia menantang kita untuk melihat melampaui permukaan dan merangkul misteri yang mendalam. Ia adalah Ibu yang keras, namun adil, yang memastikan bahwa meskipun kita hidup di bawah cahaya, kita tidak pernah lupa dari mana kita berasal: dari kegelapan yang subur, dari kekuatan Mak Itam yang abadi.