Majene, sebuah kabupaten yang menjadi bagian vital dari Provinsi Sulawesi Barat, adalah permata tersembunyi yang menawarkan perpaduan harmonis antara kekayaan maritim, lanskap pegunungan yang menawan, dan kedalaman budaya Suku Mandar yang legendaris. Terletak di pesisir barat Pulau Sulawesi, Majene tidak sekadar menyajikan panorama alam yang eksotis, tetapi juga menjadi saksi bisu sejarah panjang peradaban Mandar yang identik dengan jiwa pelaut ulung dan tradisi bahari yang kuat. Kabupaten ini memainkan peran sentral dalam peta kebudayaan dan perekonomian Sulawesi Barat, menjadikannya destinasi yang wajib dieksplorasi secara mendalam.
Eksotisme Majene terpancar dari garis pantainya yang panjang, di mana ombak Samudra Makassar berulang kali membelai pasirnya. Namun, identitas sejati Majene terletak pada masyarakatnya. Suku Mandar, mayoritas penduduk di sini, dikenal sebagai pewaris tradisi pelayaran yang agung, terlihat dari perahu ikonik mereka, Sandeq, yang menjadi simbol kecepatan dan ketangguhan. Artikel ini akan membawa pembaca menelusuri setiap aspek dari Majene, mulai dari konfigurasi geografisnya, sejarah yang membentuk karakternya, keindahan alam yang memukau, hingga detil-detil halus dari kehidupan sosial, budaya, dan kulinernya yang unik.
Kapal Sandeq, simbol kebudayaan maritim Suku Mandar di Majene.
Kabupaten Majene terletak di antara 2°45’ – 3°30’ Lintang Selatan dan 118°45’ – 119°20’ Bujur Timur. Lokasi ini menempatkannya pada posisi strategis di jalur perairan penting, menjadikannya pusat interaksi sosial-ekonomi di wilayah barat Sulawesi. Secara administratif, Majene berbatasan langsung dengan laut di sisi barat, memberikan akses langsung ke Selat Makassar.
Majene memiliki topografi yang bervariasi, didominasi oleh dataran rendah di sepanjang pantai dan kawasan perbukitan hingga pegunungan di bagian timur. Dataran rendah ini, terutama di Kecamatan Banggae dan Pamboang, adalah pusat permukiman dan kegiatan ekonomi. Sementara itu, kawasan pegunungan yang meliputi sebagian Malunda dan Ulumanda memiliki peran penting sebagai daerah tangkapan air dan penyangga ekosistem hutan.
Tipe iklim di Majene adalah tropis muson, yang dicirikan oleh dua musim utama: musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan cenderung tinggi pada periode November hingga April. Suhu rata-rata harian berkisar antara 23°C hingga 33°C. Kondisi iklim ini sangat mendukung sektor pertanian dan perkebunan, meskipun tantangan seperti erosi dan banjir lokal sering terjadi di daerah aliran sungai yang curam.
Sejak restrukturisasi wilayah, Majene saat ini terbagi menjadi delapan kecamatan. Pembagian administratif ini merefleksikan keragaman geografis dan kepadatan penduduk yang berbeda, mulai dari pusat kota yang padat hingga wilayah pedalaman yang masih mempertahankan nuansa tradisional. Delapan kecamatan tersebut meliputi:
Kecamatan Banggae dan Banggae Timur adalah pusat pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi pintu gerbang utama ke Kabupaten Majene. Di sinilah denyut nadi kehidupan modern bercampur dengan tradisi maritim Mandar.
Mengingat lokasinya di wilayah pesisir dan dekat dengan jalur seismik, Majene memiliki potensi kerawanan terhadap beberapa bencana alam, terutama gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor di kawasan perbukitan. Kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap mitigasi bencana merupakan aspek krusial dalam pembangunan wilayah ini, khususnya pasca pengalaman bencana besar di Sulawesi Barat.
Sejarah Majene tidak dapat dipisahkan dari sejarah peradaban Suku Mandar. Mandar bukanlah sebuah kerajaan tunggal, melainkan sebuah konfederasi kerajaan-kerajaan kecil, yang dikenal sebagai Pitu Ba'bana Binanga (Tujuh Kerajaan Pesisir) dan Pitu Ulunna Salu (Tujuh Kerajaan Hulu Sungai). Majene, dalam konteks sejarahnya, erat kaitannya dengan kerajaan-kerajaan pesisir ini, khususnya Kerajaan Banggae dan Pamboang.
Sebelum pembentukan republik, wilayah Majene modern adalah tempat berdirinya kerajaan-kerajaan Mandar yang memiliki kedaulatan maritim yang kuat. Kerajaan Banggae, yang merupakan salah satu dari Pitu Ba’bana Binanga, adalah entitas yang paling berpengaruh di wilayah ini. Kerajaan ini dikenal karena kemampuan navigasi dan perdagangan lautnya yang luas, membentang hingga ke Kalimantan dan Jawa.
Kerajaan Mandar menerapkan sistem pemerintahan yang berbasis adat yang disebut Ade' Pitu. Sistem ini mengatur tata kelola masyarakat, hukum, dan hubungan antarkerajaan. Kekuatan Mandar sebagai kekuatan maritim tidak hanya ditopang oleh armada pelayaran mereka tetapi juga oleh jaringan perdagangan yang terstruktur. Mereka menjadi pengekspor utama komoditas laut, terutama ikan kering dan ikan terbang.
Islamisasi di Majene, seperti di sebagian besar Sulawesi, terjadi pada abad ke-17. Penyebarannya tidak melalui jalur konflik, melainkan melalui jalur perdagangan dan perkawinan antar-elite kerajaan. Islam diterima dengan damai dan diintegrasikan ke dalam nilai-nilai adat Mandar, menghasilkan sinkretisme budaya yang unik yang masih terlihat hingga kini.
Ketika Belanda mulai menancapkan pengaruhnya di Sulawesi pada abad ke-19, kerajaan-kerajaan Mandar menunjukkan perlawanan sengit, khususnya terkait monopoli perdagangan. Majene, dengan garis pantainya yang terbuka, sering menjadi arena pertempuran maritim dan blokade. Meskipun akhirnya tunduk di bawah kontrol Hindia Belanda, semangat kemandirian dan identitas Mandar tidak pernah padam, diwariskan melalui tradisi lisan dan kesenian.
Majene resmi menjadi kabupaten pada era kemerdekaan Indonesia. Wilayahnya merupakan pecahan dari Provinsi Sulawesi Selatan (sebelum pembentukan Sulawesi Barat). Penentuan Majene sebagai salah satu kabupaten di Sulawesi Barat didasarkan pada kekayaan sejarahnya sebagai pusat kebudayaan Mandar dan perannya yang signifikan dalam perekonomian lokal. Penetapan Banggae sebagai ibu kota mencerminkan pentingnya peran historis Banggae sebagai pusat kerajaan maritim.
Majene menawarkan kekayaan pariwisata yang didominasi oleh keindahan lautnya yang jernih, tebing-tebing karang yang dramatis, serta hamparan sawah dan perbukitan hijau di kawasan pedalaman. Sektor pariwisata menjadi salah satu pilar utama yang terus dikembangkan untuk menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Pantai Dato, yang terletak di Kecamatan Sendana, adalah primadona pariwisata Majene. Keunikan pantai ini bukan hanya pada pasir putihnya yang lembut, tetapi juga pada formasi tebing karang tinggi yang menjulang gagah di sisi pantai. Tebing ini tidak hanya menyediakan pemandangan dramatis namun juga menjadi titik pandang ideal untuk menikmati matahari terbenam di Selat Makassar.
Keunikan geologis Pantai Dato terletak pada dua bagian utama: Pantai Dato Bawah, yang berupa cekungan pasir putih landai ideal untuk berenang; dan Pantai Dato Atas, yang merupakan area tebing karang kapur yang kokoh. Wisatawan sering melakukan pendakian singkat ke puncak tebing untuk menyaksikan panorama laut lepas yang biru. Kontras antara batu karang yang keras, air laut yang bening, dan vegetasi hijau menciptakan komposisi visual yang luar biasa.
Selain Dato, Majene memiliki serangkaian pantai lain yang tak kalah menarik, masing-masing dengan karakter khasnya:
Potensi terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut di perairan Majene masih sangat besar. Pemerintah lokal berupaya keras untuk mempromosikan pariwisata bahari yang berkelanjutan, meminimalkan kerusakan ekosistem sambil tetap memberikan pengalaman menyelam dan snorkeling yang tak terlupakan.
Beralih dari pantai, kawasan timur Majene yang berbukit menawarkan lanskap yang berbeda. Kecamatan Ulumanda dan Tubo Sendana, yang terletak di dataran tinggi, menyimpan beberapa air terjun dan kawasan hutan yang sejuk. Air terjun yang mengalir dari pegunungan ke sungai-sungai kecil Majene merupakan sumber air bersih vital bagi masyarakat. Ekowisata berbasis masyarakat mulai dikembangkan di wilayah ini, memungkinkan wisatawan merasakan kehidupan pedalaman Mandar yang otentik.
Jalur-jalur trekking di Ulumanda juga menawarkan kesempatan untuk melihat flora dan fauna endemik Sulawesi, menjadikannya surga bagi penggemar botani dan ornitologi. Pengembangan infrastruktur di kawasan ini dilakukan secara hati-hati untuk menjaga keseimbangan antara aksesibilitas dan konservasi lingkungan alami.
Majene adalah salah satu benteng utama kebudayaan Mandar. Kebudayaan ini tidak hanya diwujudkan dalam ritual, tetapi juga meresap dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari cara berpakaian, arsitektur, hingga pandangan hidup. Suku Mandar memiliki filosofi hidup yang kuat, didasarkan pada nilai-nilai gotong royong, keberanian (terutama di laut), dan penghormatan terhadap leluhur.
Ikon paling terkenal dari Mandar adalah Sandeq, perahu bercadik tradisional yang dikenal sebagai salah satu perahu tercepat di dunia. Sandeq bukan sekadar alat transportasi atau penangkap ikan, melainkan perwujudan jiwa Mandar.
Pembangunan Sandeq adalah sebuah ritual tersendiri. Setiap bagian, mulai dari pemilihan kayu (biasanya kayu Ulin atau Bitti), proses pemahatan lambung, hingga pemasangan cadik (sambat) dan layar, melibatkan upacara adat dan perhitungan yang teliti. Bentuk Sandeq yang ramping, layar segitiga, dan cadik yang berfungsi sebagai penstabil memungkinkan perahu ini mencapai kecepatan luar biasa, bahkan mampu menahan gelombang tinggi Selat Makassar.
Setiap tahun, Lomba Sandeq Race diadakan, menjadi daya tarik utama yang merayakan warisan maritim ini. Perlombaan ini menguji keterampilan pelaut Mandar, mulai dari navigasi, penguasaan angin, hingga ketangkasan dalam mengendalikan layar. Lomba ini bukan hanya ajang kompetisi, tetapi juga ritual penguatan identitas kolektif.
Boyang adalah sebutan untuk rumah adat Mandar. Rumah ini berbentuk rumah panggung yang dibangun dengan material kayu, mencerminkan adaptasi terhadap iklim tropis dan potensi banjir. Filosofi pembangunan Boyang sangat mendalam, di mana setiap tiang, tangga, dan ruangan memiliki makna simbolis terkait dengan hierarki sosial, kepercayaan, dan perlindungan.
Ciri khas Boyang adalah atapnya yang curam dan penggunaan ornamen ukiran yang sederhana namun elegan. Ruangan di dalamnya terbagi menjadi area publik (untuk menerima tamu) dan area privat (kamar tidur). Yang menarik, konstruksi Boyang dibangun tanpa menggunakan paku, melainkan menggunakan sistem pasak dan ikatan, menunjukkan kecanggihan teknik pertukangan tradisional Mandar. Boyang yang masih terawat baik dapat ditemukan di beberapa desa tradisional di sekitar Majene, khususnya di wilayah Pamboang.
Representasi Rumah Adat Boyang Mandar, dengan struktur panggung yang khas.
Seni pertunjukan Mandar kaya akan nilai historis. Salah satu tarian yang paling terkenal adalah Tari Pattudu, tarian penyambutan yang penuh keanggunan. Alat musik tradisional yang mendominasi adalah rebana (dipengaruhi budaya Islam) dan Calong, alat musik petik yang mirip kecapi. Kesenian ini sering dipentaskan dalam upacara-upacara besar, termasuk pernikahan (Mappacing) dan ritual panen.
Upacara adat pernikahan Mandar sangat detail dan memakan waktu berhari-hari. Prosesi dimulai dari peminangan, pemberian mahar (biasanya berupa benda berharga atau tanah), hingga prosesi adat Mappacing (mensucikan diri) bagi calon pengantin. Setiap tahapan diiringi dengan doa dan nyanyian tradisional yang berfungsi sebagai penguat ikatan sosial dan spiritual.
Ekonomi Majene didominasi oleh dua sektor utama: perikanan (maritim) dan pertanian. Kedua sektor ini saling melengkapi, membentuk basis mata pencaharian mayoritas penduduk.
Sebagai masyarakat maritim, perikanan adalah sektor unggulan Majene. Majene terkenal sebagai salah satu produsen utama Ikan Terbang (Exocoetidae), yang telurnya menjadi komoditas ekspor bernilai tinggi. Penangkapan ikan terbang dilakukan secara tradisional menggunakan perahu Sandeq dan teknik jaring khusus.
Selain ikan terbang, Majene juga menghasilkan cakalang, tuna, dan berbagai jenis ikan demersal lainnya. Industri pengolahan ikan, mulai dari pengasinan, pengeringan, hingga pembuatan olahan modern, menjadi kegiatan ekonomi penting di sepanjang pesisir. Pelabuhan perikanan di Majene juga berfungsi sebagai titik distribusi regional untuk hasil laut dari wilayah sekitarnya.
Pengembangan budidaya rumput laut juga menunjukkan potensi besar, memanfaatkan perairan pantai yang dangkal dan kaya nutrisi. Inisiatif pemerintah lokal berfokus pada peningkatan teknologi penangkapan ikan yang berkelanjutan untuk menghindari eksploitasi berlebihan.
Meskipun pesisir mendominasi, sektor pertanian di wilayah perbukitan Majene juga subur. Komoditas unggulan meliputi:
Majene juga dikenal dengan sub-sektor pertanian pangan, seperti padi sawah dan jagung. Ketersediaan air dari pegunungan memastikan irigasi yang memadai untuk sawah di dataran rendah, mendukung ketahanan pangan lokal.
Pusat kota Majene (Kecamatan Banggae) berfungsi sebagai pusat perdagangan regional. Pasar-pasar tradisional menjadi jantung transaksi, menghubungkan hasil bumi dari pedalaman dengan hasil laut dari pesisir. Perkembangan sektor jasa, terutama pendidikan dan kesehatan, juga terus meningkat, ditandai dengan berdirinya perguruan tinggi dan fasilitas kesehatan regional yang melayani Majene dan kabupaten sekitarnya.
Transformasi ekonomi Majene saat ini mengarah pada diversifikasi, memanfaatkan potensi pariwisata dan pengembangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Produk-produk kerajinan Mandar, seperti tenun Sarung Sutra Mandar dan miniatur perahu Sandeq, mulai merambah pasar yang lebih luas.
Kuliner Mandar adalah cerminan dari budaya maritim dan pertanian mereka. Rasanya didominasi oleh perpaduan asam, pedas, dan gurih, dengan bahan utama yang selalu segar dari laut atau ladang.
Jepa adalah makanan pokok khas Mandar, terbuat dari parutan singkong yang dipanggang tanpa minyak di atas piring tanah liat (panggangang). Teksturnya agak kering dan kenyal, mirip tortilla atau crepe tebal. Jepa hampir selalu dinikmati bersama Bau Peapi.
Bau Peapi secara harfiah berarti "ikan berapi" (pedas). Ini adalah sup atau gulai ikan (biasanya tuna atau cakalang) yang dimasak dengan bumbu kuning kaya kunyit, cabai, dan asam belimbing wuluh (cambah). Rasa asam yang kuat dari belimbing wuluh adalah ciri khas Bau Peapi, memberikan kesegaran yang kontras dengan rasa gurih ikan segar. Gabungan Jepa yang tawar dan Bau Peapi yang pedas-asam adalah representasi sempurna dari cita rasa Mandar.
Ilustrasi kuliner Mandar: Jepa (singkong panggang) dan Bau Peapi (gulai ikan pedas asam).
Selain kekayaan budaya dan alam, Majene juga berupaya keras memposisikan dirinya sebagai pusat pengembangan sumber daya manusia (SDM) di Sulawesi Barat. Keberadaan institusi pendidikan tinggi memainkan peranan kunci dalam mewujudkan visi ini.
Majene dikenal sebagai kota pelajar di Sulawesi Barat berkat keberadaan Universitas Sulawesi Barat (UNSULBAR), yang merupakan salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di provinsi ini. UNSULBAR menjadi magnet bagi pelajar dari berbagai daerah, mendorong pertumbuhan sektor pendukung seperti jasa kos dan perdagangan.
Perguruan tinggi ini tidak hanya fokus pada ilmu umum, tetapi juga mengembangkan program studi yang relevan dengan potensi lokal, seperti teknologi kelautan, perikanan, dan ilmu sosial budaya Mandar. Kontribusi UNSULBAR terlihat dalam penelitian dan pengabdian masyarakat yang bertujuan mengangkat potensi Majene, dari pengembangan pariwisata berkelanjutan hingga inovasi produk perikanan.
Pembangunan infrastruktur di Majene terus digalakkan, terutama di sektor jalan dan jembatan yang menghubungkan delapan kecamatan. Peningkatan aksesibilitas ini sangat vital untuk mobilisasi komoditas pertanian dari pedalaman ke pusat kota dan pelabuhan.
Fasilitas kesehatan juga mengalami peningkatan. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Majene berperan sebagai pusat rujukan regional. Peningkatan kualitas layanan kesehatan ini penting mengingat tantangan kesehatan masyarakat, khususnya di wilayah pesisir.
Fokus pembangunan Majene tidak hanya pada fisik, tetapi juga pada kualitas SDM. Program pelatihan keterampilan, khususnya yang terkait dengan industri kreatif (tenun, ukiran kayu) dan digitalisasi UMKM, menjadi prioritas. Tujuannya adalah menciptakan tenaga kerja yang siap bersaing dan mampu mengolah sumber daya alam lokal menjadi produk bernilai tambah tinggi.
Sebagai wilayah yang sangat bergantung pada laut dan sumber daya alam, Majene menghadapi tantangan besar terkait konservasi lingkungan dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Hutan mangrove di sekitar muara sungai dan pantai Majene memiliki peran ganda: sebagai penyangga abrasi dan sebagai habitat bagi berbagai jenis biota laut (kepiting, udang, dan ikan kecil). Upaya konservasi melibatkan penanaman kembali mangrove yang rusak dan edukasi masyarakat mengenai pentingnya menjaga ekosistem pesisir.
Isu terumbu karang juga menjadi perhatian. Praktik penangkapan ikan yang merusak di masa lalu telah mengurangi luasan terumbu karang di beberapa titik. Komunitas lokal bersama akademisi dan pemerintah kini aktif dalam program transplantasi karang dan pembentukan zona konservasi laut yang dilindungi.
Pengalaman gempa bumi telah meningkatkan kesadaran Majene akan pentingnya mitigasi bencana. Program edukasi publik, pembangunan infrastruktur tahan gempa, dan sistem peringatan dini tsunami merupakan investasi jangka panjang yang krusial. Tata ruang kota Majene juga mulai mempertimbangkan jalur evakuasi dan zona aman, terutama di kawasan pesisir padat penduduk.
Meskipun budaya Mandar sangat kuat, Majene juga menghadapi tantangan dalam mempertahankan tradisi di tengah arus globalisasi dan modernisasi. Upaya dilakukan melalui revitalisasi seni tradisional, pengajaran bahasa Mandar di sekolah-sekolah, dan dukungan terhadap seniman dan budayawan lokal. Festival Sandeq Race dan festival budaya lainnya menjadi sarana vital untuk melestarikan warisan leluhur dan memperkenalkannya kepada generasi muda.
Majene adalah representasi microcosm dari Sulawesi Barat: wilayah yang kaya akan sejarah maritim, dipeluk oleh keindahan alam yang berlimpah, dan didiami oleh masyarakat yang memegang teguh adat istiadatnya. Dari hembusan angin laut di Pantai Dato, hingga aroma rempah pada Bau Peapi yang khas, Majene menawarkan pengalaman yang otentik dan mendalam.
Jiwa pelaut Mandar yang tercermin pada kapal Sandeq bukan hanya peninggalan masa lalu, tetapi terus menjadi inspirasi bagi masyarakat Majene untuk menghadapi masa depan dengan ketangguhan, keberanian, dan kemampuan untuk berlayar di tengah tantangan yang tak terduga. Majene hari ini adalah perpaduan dinamis antara tradisi yang dihormati dan aspirasi modern yang cerah.
Kunjungan ke Majene adalah perjalanan untuk memahami bahwa Sulawesi Barat bukan hanya tentang gunung atau tambang, melainkan juga tentang laut, perahu layar, dan kisah-kisah legendaris para pelaut ulung yang telah mewarnai peta nusantara selama berabad-abad.
Oleh karena itu, Majene bukan hanya sekadar titik di peta, melainkan sebuah narasi abadi tentang persatuan antara manusia, laut, dan budaya yang terus hidup dan berkembang.
Untuk memahami Majene secara komprehensif, penting untuk menguraikan karakteristik masing-masing dari delapan kecamatan yang membentuknya. Setiap kecamatan memiliki spesialisasi dan tantangan yang unik, yang berkontribusi pada keragaman Kabupaten Majene secara keseluruhan.
Kecamatan Banggae dan Banggae Timur: Ini adalah area yang paling padat dan terurbanisasi. Banggae merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, dan pendidikan. Di sini, terjadi pertemuan antara tradisi Mandar yang diwakili oleh kompleks rumah adat lama dan denyut kehidupan modern. Tantangan utama di wilayah ini adalah pengelolaan sampah, kepadatan lalu lintas, dan pengembangan ruang terbuka hijau yang memadai. Pengembangan infrastruktur difokuskan pada perluasan jalan dan peningkatan fasilitas publik. Kawasan pelabuhan di Banggae Timur menjadi pusat bongkar muat barang dan lalu lintas perahu nelayan.
Kecamatan Pamboang: Secara historis, Pamboang adalah salah satu kerajaan penting dalam konfederasi Mandar. Pamboang hari ini dikenal sebagai wilayah yang masih kental dengan tradisi. Banyak situs sejarah dan makam raja-raja Mandar berada di wilayah ini. Ekonominya didukung oleh perikanan dan pertanian. Pamboang berperan sebagai jembatan antara Majene Utara dan pusat kota, serta menjadi lokasi potensial untuk pengembangan pariwisata sejarah dan budaya.
Kecamatan Sendana dan Tubo Sendana: Sendana terkenal karena Pantai Dato yang ikonik. Secara geografis, wilayah ini menawarkan perpaduan sempurna antara pantai, bukit, dan sawah. Tubo Sendana, yang merupakan pemekaran, memiliki topografi yang lebih berbukit dan fokus pada pertanian komoditas perkebunan seperti kakao. Pengembangan di sini sangat memperhatikan konservasi alam, karena kawasan ini rentan terhadap erosi.
Kecamatan Malunda dan Tammerodo Sendana: Wilayah ini terletak di bagian utara Majene. Malunda dikenal dengan hasil pertaniannya yang melimpah dan memiliki garis pantai yang panjang namun lebih terjal dibandingkan Sendana. Akses ke wilayah ini terus ditingkatkan untuk memudahkan distribusi hasil bumi. Tammerodo Sendana adalah area yang relatif baru, fokus pengembangannya adalah pada potensi agrikultur dan pemanfaatan sumber daya alam secara bijak.
Kecamatan Ulumanda: Ini adalah wilayah paling pedalaman dan pegunungan di Majene. Ulumanda adalah paru-paru kabupaten, dengan hutan lebat dan daerah tangkapan air utama. Suku Mandar di Ulumanda memiliki kekhasan dialek dan adat yang sedikit berbeda dari Mandar pesisir. Aksesibilitas masih menjadi tantangan utama, namun potensi ekowisata, kopi, dan hasil hutan non-kayu sangat besar. Pembangunan di Ulumanda menekankan pada pemberdayaan masyarakat adat dan konservasi hutan primer.
Sistem adat Mandar memiliki peran signifikan dalam pengelolaan sumber daya alam, sebuah konsep yang kini dikenal sebagai kearifan lokal. Salah satu contoh yang paling menonjol adalah konsep Passiaq dan Sipakatau Sipakainga.
Passiaq merujuk pada prinsip gotong royong dan kesetaraan. Dalam konteks maritim, ini terlihat dalam penangkapan ikan. Ketika nelayan mendapatkan hasil tangkapan besar, pembagiannya sering kali melibatkan unsur keadilan sosial, memastikan bahwa bahkan anggota masyarakat yang kurang beruntung pun mendapatkan bagian. Prinsip ini menjaga keharmonisan sosial dan mencegah kesenjangan ekonomi yang terlalu lebar.
Sipakatau Sipakainga berarti memanusiakan manusia dan saling mengingatkan. Prinsip ini diterapkan dalam penggunaan sumber daya alam. Ada aturan tak tertulis (ade') yang mengatur kapan boleh menangkap ikan dan jenis peralatan apa yang diizinkan, yang secara efektif berfungsi sebagai sistem konservasi tradisional, mencegah eksploitasi berlebihan sebelum ada regulasi modern dari pemerintah.
Pada lahan pertanian, sistem adat mengatur tata cara pembagian air irigasi dan waktu tanam, memastikan bahwa semua petani mendapatkan manfaat yang adil. Kearifan lokal ini menjadi aset penting Majene dalam menghadapi tantangan pembangunan berkelanjutan di abad ke-21.
Bahasa Mandar (Basa Mandar) adalah bagian integral dari identitas Majene. Bahasa ini memiliki beberapa dialek sesuai wilayah kerajaan asalnya, namun secara umum dapat dipahami oleh seluruh penutur Mandar. Basa Mandar menggunakan aksara tradisional Lontaraq, meskipun kini penggunaan aksara Latin lebih dominan.
Sastra Mandar sangat kaya, terutama dalam bentuk puisi lisan dan naskah kuno yang disebut Sureq. Sureq mencakup berbagai subjek, mulai dari hukum adat, silsilah kerajaan, hingga kisah heroik para pelaut. Salah satu warisan sastra yang paling penting adalah puisi Tendeq, yang sering dinyanyikan oleh para pelaut Sandeq, berisi nasihat, pujian terhadap keindahan alam, dan semangat kepahlawanan.
Upaya pelestarian bahasa dan sastra ini dilakukan melalui kurikulum sekolah lokal dan melalui inisiatif komunitas untuk mendokumentasikan dan menerjemahkan Sureq-sureq yang tersisa, memastikan bahwa kekayaan intelektual leluhur Mandar tidak hilang ditelan zaman.
Meskipun mayoritas masyarakat Majene adalah Muslim yang taat, masih terdapat elemen-elemen kepercayaan pra-Islam yang terintegrasi dalam ritual sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan laut dan pertanian. Kepercayaan ini sering disebut panngadakang (tradisi).
Misalnya, ada ritual khusus sebelum peluncuran perahu Sandeq baru (Mammanu'-manu'), di mana perahu diberi sesajen dan didoakan agar pelayaran aman dan tangkapan melimpah. Ritual ini melibatkan penghormatan terhadap roh penjaga laut. Demikian pula dalam pertanian, ada ritual kesuburan dan ritual panen yang dilakukan sebagai bentuk syukur dan permohonan agar bumi tetap produktif.
Kepercayaan ini menunjukkan hubungan yang mendalam dan harmonis antara masyarakat Mandar dan lingkungan alam mereka, di mana laut dan tanah tidak dilihat hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai entitas yang harus dihormati.
Saat ini, Majene berada di persimpangan jalan antara mempertahankan tradisi dan menyambut modernitas. Infrastruktur digital mulai merambah, memungkinkan UMKM Majene memasarkan produk Jepa, Bau Peapi, dan Sarung Mandar ke seluruh Indonesia bahkan dunia. Anak-anak muda Mandar mulai menggunakan platform media sosial untuk mempromosikan pariwisata Majene, seperti keindahan tersembunyi di Ulumanda atau ketangguhan para peserta Sandeq Race.
Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan teknologi tanpa mengikis nilai-nilai lokal. Misalnya, dalam festival budaya, sentuhan modern seperti drone untuk dokumentasi digunakan, namun inti dari ritual tetap dilaksanakan sesuai pakem adat yang telah diwariskan turun-temurun. Inilah jalan Majene: membangun masa depan dengan tetap berpijak pada warisan yang kokoh.
Kajian mendalam mengenai Majene menunjukkan bahwa kabupaten ini adalah laboratorium budaya yang aktif, sebuah tempat di mana laut, sejarah, dan harapan masa depan bertemu dalam balutan keindahan alam Sulawesi Barat yang memukau. Eksplorasi Majene menawarkan lebih dari sekadar pemandangan, ia menawarkan pemahaman akan sebuah peradaban maritim yang masih bernafas kuat.
Dengan potensi alam yang luar biasa dan identitas kultural yang unik, Majene siap untuk memainkan peran yang lebih besar di kancah nasional, baik sebagai pusat penelitian bahari, destinasi ekowisata budaya, maupun sebagai penjaga tradisi Sandeq yang merupakan warisan bahari Indonesia yang tak ternilai harganya. Majene adalah kebanggaan Mandar, kebanggaan Sulawesi Barat.