Majasi, atau yang sering disebut gaya bahasa, adalah inti dari kemampuan manusia untuk tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi juga menciptakan resonansi emosional dan kedalaman makna. Dalam dunia sastra, retorika, hingga komunikasi sehari-hari, majasi berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan pikiran rasional dengan imajinasi kreatif. Tanpa majasi, bahasa akan menjadi datar, mekanis, dan kehilangan kemampuan untuk membangkitkan keindahan, pertentangan, atau penekanan yang diperlukan untuk memengaruhi audiens secara signifikan.
Kajian mengenai majasi tidak hanya terbatas pada identifikasi jenis-jenisnya—seperti metafora, personifikasi, atau hiperbola—tetapi juga melibatkan pemahaman mendalam tentang bagaimana mekanisme kognitif bekerja saat kita menerjemahkan makna literal menjadi makna figuratif. Artikel komprehensif ini akan membedah majasi dari akarnya, mengklasifikasikan variannya dengan presisi tinggi, dan menelusuri peran vitalnya dalam membentuk budaya dan pemikiran linguistik, khususnya dalam konteks kekayaan bahasa Indonesia.
Secara etimologi, konsep majasi sangat erat kaitannya dengan ‘perubahan’ atau ‘pengalihan’ makna. Majasi merujuk pada pemakaian kata-kata yang menyimpang dari makna denotatif (sebenarnya) untuk mendapatkan efek tertentu, baik itu penekanan, perbandingan, atau kontras. Dalam tradisi retorika klasik, majasi merupakan salah satu pilar utama yang menentukan efektivitas sebuah pidato atau tulisan. Ia adalah alat utama seorang orator atau sastrawan untuk mencapai *elocutio* (gaya bahasa) yang memukau.
Penting untuk dipahami bahwa majasi bukanlah sekadar ornamen bahasa, melainkan produk dari proses berpikir yang kompleks. Ketika seseorang menggunakan majasi, ia meminta pendengar atau pembaca untuk melakukan lompatan kognitif. Misalnya, saat kita mengatakan "Dia adalah singa di medan pertempuran," kita tidak berharap audiens membayangkan manusia berbulu, melainkan mengalihkan atribut kekuatan, keberanian, dan kegagahan singa kepada subjek manusia tersebut. Proses transfer atribut inilah yang menjadi jantung dari hampir semua bentuk majasi, terutama majasi perbandingan.
Fungsi-fungsi utama majasi dapat dikelompokkan menjadi beberapa poin penting, yang semuanya berkontribusi pada efektivitas komunikasi:
Seiring berjalannya waktu, kajian terhadap majasi terus berkembang, melintasi batas-batas linguistik murni menuju psikolinguistik. Para ahli kini mempelajari bagaimana penggunaan majasi yang tepat dapat memengaruhi persuasi, memori jangka panjang, dan bahkan pembentukan identitas kolektif suatu kelompok.
Secara tradisional, para ahli bahasa mengklasifikasikan majasi ke dalam empat kelompok besar berdasarkan cara pergeseran makna terjadi: Majasi Perbandingan (kiasan), Majasi Pertentangan (kontras), Majasi Sindiran (ironi), dan Majasi Penegasan (penekanan). Pembagian ini membantu kita memahami niat retoris di balik setiap pilihan kata figuratif.
Gambar 1: Mekanisme dasar majasi perbandingan.
Kelompok ini adalah yang paling umum dan fundamental. Majasi perbandingan mengalihkan makna melalui penyerupaan antara dua entitas yang berbeda. Pergeseran ini menciptakan kejutan estetik dan kedalaman visual dalam deskripsi. Jenis-jenis majasi perbandingan mencakup spektrum yang luas, dari perbandingan eksplisit hingga implisit.
Metafora adalah puncak dari majasi perbandingan implisit. Ia tidak menggunakan kata penghubung seperti 'bagai', 'seperti', atau 'laksana'. Metafora menyajikan satu hal sebagai hal lainnya, mengklaim identitas antara dua entitas yang sebenarnya berbeda. Kekuatan metafora terletak pada kemampuannya menyajikan abstraksi sebagai kenyataan. Contoh klasik: "Perpustakaan adalah jantung universitas." Dalam konteks ini, perpustakaan *bukan* seperti jantung, melainkan *adalah* jantung—sumber kehidupan dan pusat vitalitas akademik.
Kajian mendalam tentang metafora dalam bahasa Indonesia menunjukkan betapa eratnya ia terjalin dalam idiom sehari-hari, sering kali tanpa disadari. Misalnya, frasa "harga membumbung tinggi" adalah metafora yang telah terlebur dan menjadi konvensional, kehilangan kejutan aslinya namun mempertahankan daya ekspresifnya. Penemuan metafora yang baru dan segar adalah tanda kejeniusan sastrawan.
Berbeda dengan metafora, simile menggunakan kata-kata penanda perbandingan secara eksplisit. Tujuan dari majasi ini adalah memperjelas deskripsi. Contoh: "Senyumnya sejuk laksana embun pagi." Penggunaan kata "laksana" mengunci perbandingan, memastikan bahwa pembaca memahami adanya kesamaan antara kualitas senyum dan kesegaran embun.
Personifikasi adalah jenis majasi di mana benda mati atau konsep abstrak diberikan sifat-sifat manusia. Teknik ini memberikan dimensi hidup pada objek yang statis, memungkinkan pembaca untuk berinteraksi secara emosional dengan lingkungan yang digambarkan. Contoh: "Angin malam berbisik perlahan di telinga pepohonan tua." Angin tidak memiliki pita suara untuk berbisik, tetapi majasi ini memberikan efek puitis yang mendalam, menghidupkan suasana sunyi.
Penggunaan majasi personifikasi sangat dominan dalam dongeng dan mitologi, di mana alam semesta dianggap memiliki kehendak dan emosi. Ini mencerminkan pandangan animistik yang masih kuat dalam banyak budaya, dan majasi menjadi sarana linguistik untuk mengekspresikan pandangan dunia tersebut.
Alegori adalah majasi perbandingan yang diperluas, di mana seluruh cerita atau narasi digunakan untuk mewakili ide atau pesan moral yang lebih besar dan tersembunyi. Misalnya, kisah perjalanan hidup dapat digambarkan melalui pelayaran yang penuh badai. Paralelisme, sementara itu, menggunakan struktur kalimat yang berulang-ulang untuk menciptakan ritme dan menekankan kesamaan ide. Meskipun sering digunakan dalam puisi, paralelisme efektif memperkuat perbandingan dalam prosa retoris.
Majasi pertentangan memanfaatkan kontras atau penyimpangan makna untuk mencapai efek dramatis, ironis, atau penekanan yang berlebihan. Tujuan utamanya adalah untuk menarik perhatian audiens melalui ketidaksesuaian makna.
Hiperbola adalah majasi yang mengekspresikan sesuatu secara berlebihan, melampaui batas kenyataan yang masuk akal, dengan tujuan memperkuat kesan. Ini adalah salah satu majasi yang paling sering digunakan dalam komunikasi emosional. Contoh: "Air matanya membanjiri seluruh kamar." Tentu saja, air mata tidak benar-benar dapat membanjiri kamar, tetapi frasa ini secara efektif menyampaikan tingkat kesedihan yang tak terhingga.
Dalam konteks modern, hiperbola sering ditemukan dalam iklan dan retorika politik untuk menciptakan klaim yang spektakuler. Namun, penggunaan yang berlebihan dapat merusak kredibilitas, menjadikannya pedang bermata dua dalam seni retorika.
Litotes adalah kebalikan dari hiperbola. Ini adalah majasi yang merendahkan atau memperkecil kenyataan dengan tujuan merendah hati atau bersikap sopan. Litotes sering menggunakan penyangkalan ganda. Contoh: "Silakan mampir ke gubuk reot kami" (padahal rumahnya megah). Litotes menunjukkan kehati-hatian budaya dan sering digunakan dalam konteks formal di Indonesia untuk menunjukkan penghormatan.
Ironi menyampaikan makna yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya diucapkan. Biasanya, ironi bertujuan untuk menyindir secara halus. Contoh: "Rapimu luar biasa, bahkan burung pun tidak sudi hinggap di kepalamu." Sarkasme adalah bentuk ironi yang lebih kasar dan tajam, bertujuan untuk melukai atau mencemooh. Meskipun keduanya masuk dalam kategori majasi pertentangan, ironi lebih berfokus pada ketidaksesuaian situasi, sementara sarkasme berfokus pada serangan verbal yang disengaja.
Gambar 2: Majasi Pertentangan—Penyimpangan dari realitas literal.
Ketepatan penggunaan majasi pertentangan membutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap konteks dan psikologi audiens. Kesalahan dalam menyampaikan ironi dapat menyebabkan miskomunikasi total, sementara penggunaan hiperbola yang tepat dapat mengubah narasi biasa menjadi epos yang tak terlupakan.
Kelompok majasi ini beroperasi melalui penggantian nama berdasarkan hubungan kedekatan, sebab-akibat, atau penekanan struktural.
Metonimia adalah penggunaan nama merek, atribut, atau ciri khas suatu benda untuk merujuk pada benda itu sendiri. Ini didasarkan pada hubungan kedekatan (kontiguitas) daripada perbandingan. Contoh: "Dia lebih suka membaca Chairil Anwar daripada Pramoedya Ananta Toer." Dalam kalimat ini, yang dimaksud bukanlah membaca fisik sang penulis, melainkan karya-karya mereka.
Metonimia sangat efisien dalam bahasa jurnalistik dan komunikasi cepat. Frasa seperti "Jakarta menolak usulan itu" adalah metonimia, merujuk pada Pemerintah Indonesia atau pejabat yang berkuasa di ibu kota, bukan secara fisik kota Jakarta.
Sinekdoke melibatkan penggantian nama bagian untuk keseluruhan (pars pro toto) atau keseluruhan untuk bagian (totem pro parte).
Majasi pleonasme adalah penggunaan kata-kata yang berlebihan (redundansi) untuk menekankan makna. Meskipun sering dianggap kesalahan tata bahasa, dalam retorika, pleonasme yang disengaja dapat meningkatkan penekanan emosional. Contoh: "Kita harus naik ke atas sekarang juga." Repetisi, atau pengulangan kata atau frasa, digunakan murni untuk penekanan dan irama. Ini adalah majasi yang sangat kuat dalam orasi dan puisi, membangun klimaks emosional melalui ketukan ritmis yang berulang.
Bahasa Indonesia, dengan kekayaan kosakata dan fleksibilitasnya, menyediakan lahan subur bagi perkembangan dan adaptasi berbagai bentuk majasi. Pengaruh sastra Melayu klasik, mantra, hingga pantun, telah membentuk preferensi unik dalam penggunaan gaya bahasa figuratif.
Puisi modern Indonesia, dari Chairil Anwar hingga Sapardi Djoko Damono, sangat bergantung pada majasi untuk menciptakan kedalaman tematik. Chairil Anwar, misalnya, sering menggunakan metafora yang brutal dan gamblang untuk menyampaikan semangat pemberontakan dan eksistensialisme. Ia merombak majasi konvensional menjadi kiasan yang radikal dan segar.
Sebaliknya, Sapardi Djoko Damono sering menggunakan majasi yang lebih tenang dan halus, mempersonifikasikan konsep waktu, hujan, dan jarak untuk menyampaikan refleksi filosofis yang mendalam. Misalnya, "Hujan Bulan Juni" menggunakan personifikasi dan metafora untuk menggambarkan kerahasiaan dan ketidakmungkinan yang indah.
Dalam prosa, khususnya novel-novel yang kaya akan kritik sosial atau budaya, alegori dan simbolisme menjadi majasi yang vital. Penulis sering menggunakan karakter, tempat, atau peristiwa sebagai simbol dari konflik politik, moralitas, atau kondisi manusia. Hal ini memungkinkan penulis untuk menyampaikan pesan yang sensitif tanpa secara langsung menghadapi sensor, sebuah tradisi yang kuat dalam sastra dunia ketiga.
Tidak semua majasi ditemukan di rak buku sastra. Sebagian besar komunikasi kita sehari-hari diwarnai oleh majasi yang telah menjadi konvensional. Frasa seperti "kebakaran jenggot" (metafora kepanikan) atau "berat sebelah" (metafora ketidakadilan) adalah majasi yang telah mati dalam arti kebaruan puitisnya, tetapi hidup dalam efisiensi komunikasinya.
Pemahaman terhadap majasi konvensional ini sangat penting bagi pembelajar bahasa, karena makna denotatif tidak lagi relevan. Makna figuratif telah sepenuhnya menggantikan makna aslinya. Fenomena ini menunjukkan kemampuan luar biasa bahasa untuk berevolusi dan menghemat usaha kognitif melalui kiasan yang ringkas.
Seorang ahli bahasa pernah berujar: "Kita berbicara dalam metafora, kita hidup dalam kiasan." Hal ini menggarisbawahi fakta bahwa struktur pemikiran kita sering kali diorganisir oleh majasi. Konsep abstrak seperti 'argumen' secara implisit dimajasi sebagai 'perang' (memenangkan argumen, menyerang poin, mempertahankan posisi).
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk mengidentifikasi majasi-majasi turunan yang memiliki fungsi retoris yang sangat spesifik dan sering kali disalahartikan atau diabaikan dalam klasifikasi umum.
Oksimoron adalah gabungan dari dua kata yang memiliki makna bertentangan namun ditempatkan bersebelahan untuk menciptakan makna baru yang kontradiktif namun bermakna. Ini adalah bentuk majasi pertentangan yang paling ringkas. Contoh: "Kelemahan yang kuat," atau "kerinduan yang menyakitkan." Oksimoron menciptakan ketegangan dramatis yang sangat efektif dalam mendeskripsikan konflik internal atau keadaan paradoks.
Ini adalah majasi pertentangan yang lebih luas, di mana dua bagian dari kalimat saling bertentangan secara eksplisit, tetapi hanya dalam konteksnya. Contoh: "Meskipun ia pintar secara akademis, ia adalah yang terbodoh dalam hal sosial." Majasi ini menyoroti kompleksitas karakter atau situasi, menolak kategorisasi tunggal.
Majasi perulangan digunakan untuk menciptakan ritme, penekanan, dan memorabilitas. Ini sangat penting dalam retorika politik, di mana pesan harus disampaikan dengan dampak maksimal.
Klimaks adalah penegasan yang dilakukan dengan menyusun kalimat atau gagasan secara bertingkat dari yang paling rendah ke yang paling tinggi intensitasnya. Contoh: "Kita mulai dengan diskusi, beralih ke perencanaan, dan akhirnya mencapai implementasi yang revolusioner." Antiklimaks adalah kebalikannya, bergerak dari ide besar ke ide yang sepele, seringkali untuk menciptakan efek humor atau ironi.
Gambar 3: Struktur Majasi Klimaks.
Eufemisme adalah majasi penegasan yang digunakan untuk mengganti ungkapan yang dianggap kasar, tabu, atau tidak menyenangkan dengan ungkapan yang lebih halus dan sopan. Eufemisme adalah cerminan dari sensitivitas budaya. Contoh: mengganti "dipecat" dengan "dirumahkan" atau "karyawan berstatus non-aktif." Eufemisme menunjukkan peran sosial majasi—ia digunakan untuk menjaga harmoni sosial.
Tautologi adalah pengulangan ide yang diungkapkan dengan kata-kata berbeda namun memiliki makna yang sama, seringkali untuk penekanan berlebihan. Contoh: "Sungguh sepi, sunyi, tak berpenghuni sama sekali." Jika dilakukan secara berlebihan, tautologi bisa terasa tidak efektif, namun dalam orasi yang kuat, ia bisa menciptakan momentum yang memikat.
Meskipun akar majasi ada di sastra, daya tahannya terletak pada aplikasinya yang meluas di berbagai bidang komunikatif, mulai dari pemasaran hingga ilmu pengetahuan sosial.
Dunia periklanan adalah rumah modern bagi hiperbola dan metafora. Iklan harus menarik perhatian dalam hitungan detik, dan majasi adalah jalan pintas menuju emosi konsumen. Hiperbola digunakan untuk melebih-lebihkan kualitas produk ("Kopi terbaik di seluruh galaksi"), sementara metafora digunakan untuk menciptakan citra aspiratif ("Berkendara dengan mobil ini adalah merasakan kebebasan").
Majasi metonimia juga sangat lazim. Ketika sebuah iklan hanya menampilkan logo atau warna khas suatu merek, audiens diharapkan menghubungkan bagian (logo) dengan keseluruhan (produk dan gaya hidup). Keberhasilan kampanye pemasaran sering kali diukur dari seberapa efektif majasi yang digunakan dalam menciptakan asosiasi yang kuat dan abadi di benak konsumen.
Politik adalah permainan majasi. Para politisi secara sadar menggunakan majasi untuk memposisikan lawan, memobilisasi basis pendukung, dan menyederhanakan isu-isu kompleks.
Secara pedagogis, pengajaran majasi tidak hanya meningkatkan kemampuan menulis kreatif, tetapi juga mengasah kemampuan berpikir lateral dan non-literal. Studi menunjukkan bahwa individu yang terampil dalam memahami dan menghasilkan majasi cenderung memiliki fleksibilitas kognitif yang lebih tinggi.
Majasi memaksa otak untuk melihat persamaan dalam perbedaan, sebuah keterampilan dasar dalam inovasi dan pemecahan masalah. Ketika anak-anak belajar bahwa "matahari adalah bola api raksasa," mereka tidak hanya belajar kiasan, tetapi juga belajar bagaimana mengkompresi informasi kompleks menjadi citra yang mudah diproses, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari kurikulum bahasa yang efektif.
Meskipun majasi memiliki kekuatan luar biasa, penggunaannya tidak selalu tanpa risiko. Terdapat ambivalensi yang melekat pada gaya bahasa figuratif, terutama dalam konteks di mana kejelasan dan objektivitas menjadi prioritas.
Sifat dasar majasi adalah penyimpangan dari makna literal. Jika audiens tidak memiliki konteks budaya, sosial, atau linguistik yang sama dengan komunikator, majasi dapat menyebabkan ambiguitas atau interpretasi yang salah. Misalnya, sebuah metafora yang brilian dalam satu budaya bisa jadi terasa hambar atau membingungkan di budaya lain. Dalam komunikasi teknis atau hukum, majasi harus diminimalisir demi kejelasan absolut.
Majasi yang awalnya segar dan efektif dapat menjadi usang atau klise karena terlalu sering digunakan. Ketika majasi menjadi klise—seperti "secepat kilat" atau "seputih kapas"—ia kehilangan daya kejutnya, mengurangi efek puitis, dan terkadang membuat tulisan terasa malas. Seorang penulis yang mahir harus terus-menerus mencari cara baru untuk mengungkapkan ide lama, menciptakan majasi yang belum pernah terdengar sebelumnya.
Sisi gelap dari majasi adalah potensinya sebagai alat manipulasi. Hiperbola, eufemisme, dan ironi dapat digunakan untuk menutupi kebenaran, membesar-besarkan ancaman, atau meremehkan masalah serius. Eufemisme politik, misalnya, sering digunakan untuk mendisinfeksi kekejaman atau kegagalan. Kesadaran kritis terhadap bagaimana majasi digunakan untuk membentuk opini publik adalah pertahanan penting terhadap manipulasi retoris.
Pada akhirnya, kajian tentang majasi adalah kajian tentang cara kerja pikiran manusia dan bagaimana ia berinteraksi dengan dunia. Majasi adalah bukti bahwa bahasa adalah entitas yang hidup, terus bergerak, dan menolak dibatasi oleh aturan tata bahasa yang kaku. Ia adalah manifestasi dari dorongan kreatif kita untuk membuat yang asing menjadi familiar (melalui simile) atau memberikan makna yang mendalam pada yang dangkal (melalui metafora).
Dari puisi epik yang menggunakan alegori untuk membahas nasib bangsa, hingga dialog sehari-hari yang diselingi hiperbola untuk mengungkapkan kekesalan, majasi hadir di mana pun ada kebutuhan untuk menyampaikan lebih dari sekadar data mentah. Ini adalah retorika yang memungkinkan kita merasakan, bukan hanya mengetahui. Ini adalah seni yang membedakan seorang komunikator biasa dari seorang orator yang memukau.
Pemahaman mendalam tentang setiap jenis majasi—mulai dari simile yang paling sederhana hingga sinekdoke yang paling rumit—memberi kita kunci untuk membuka kedalaman literatur dan menguasai efektivitas komunikasi pribadi. Kekuatan majasi adalah kekuatan imajinasi itu sendiri, sebuah kekuatan yang akan terus membentuk bahasa, sastra, dan peradaban kita.
Studi yang berkelanjutan terhadap evolusi majasi dalam bahasa digital dan media sosial menunjukkan bahwa prinsip-prinsip retorika kuno tetap relevan. Bahkan dalam batas 280 karakter, manusia akan selalu mencari cara figuratif untuk memperkuat pesan, menyindir, atau menyentuh hati audiens. Majasi adalah cerminan dari kecerdasan linguistik manusia yang tak terbatas dan dinamis, sebuah warisan retoris yang harus terus dipelajari dan dihidupkan.
***
Kajian tentang majasi bukanlah penemuan modern; akarnya tertanam kuat dalam tradisi retorika Yunani kuno. Aristoteles, dalam karyanya *Poetics* dan *Rhetoric*, telah menempatkan metafora—yang merupakan bentuk fundamental dari majasi—sebagai tanda kejeniusan. Baginya, kemampuan melihat kesamaan di antara hal-hal yang tidak serupa adalah indikator utama kecerdasan seorang pembicara. Pemikiran ini menjadi landasan mengapa majasi tidak dianggap sekadar hiasan, melainkan mekanisme esensial dalam proses penemuan kebenaran dan keindahan. Di era Klasik, majasi adalah komponen wajib bagi orator yang ingin mencapai *logos* (logika), *pathos* (emosi), dan *ethos* (kredibilitas).
Dalam konteks Asia Tenggara, khususnya Indonesia, majasi terjalin erat dengan bentuk sastra lisan dan ritual. Pantun, misalnya, yang merupakan bentuk puisi Melayu lama, mengandalkan majasi perbandingan dan simbolisme alam yang padat di bagian sampiran untuk memberikan bobot filosofis pada isi. Penggunaan majasi di sini bukan hanya untuk estetika, tetapi juga berfungsi mnemonik (membantu daya ingat) dan pedagogis, meneruskan nilai-nilai moral melalui kiasan yang terstruktur. Hikayat-hikayat dan mantra-mantra tradisional dipenuhi oleh personifikasi benda-benda alam dan penggunaan sinekdoke untuk merujuk pada kekuasaan, menunjukkan bahwa majasi telah lama menjadi tulang punggung budaya komunikasi di Nusantara.
Pengaruh Arab dan Persia kemudian memperkaya khazanah majasi Indonesia dengan gaya bahasa yang lebih dramatis dan kontemplatif, terutama dalam syair. Hiperbola sering digunakan dalam menggambarkan keindahan spiritual atau cinta yang tak terbatas, menambah dimensi baru pada ekspresi emosional yang figuratif. Integrasi antara tradisi lisan lokal dan pengaruh asing menciptakan keragaman majasi yang khas dalam bahasa Indonesia modern.
Pada abad ke-20, linguistik kognitif, dipelopori oleh George Lakoff dan Mark Johnson, merevolusi pemahaman kita tentang majasi. Mereka berpendapat bahwa majasi, khususnya metafora, bukan hanya terletak dalam bahasa, tetapi dalam sistem konseptual kita. Ini berarti kita tidak hanya berbicara secara metaforis, tetapi kita berpikir secara metaforis. Teori ini memperkuat status majasi dari sekadar hiasan menjadi struktur kognitif dasar.
Sebagai contoh, konsep "Waktu adalah Uang" adalah majasi konseptual yang sangat berpengaruh dalam budaya Barat, termanifestasi dalam ungkapan seperti "menghabiskan waktu," "menghemat waktu," atau "membuang-buang waktu." Analisis ini menunjukkan bahwa majasi menentukan cara kita memandang, menilai, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Tugas seorang ahli bahasa atau sastrawan menjadi lebih dari sekadar mengidentifikasi majasi; itu adalah tugas membongkar struktur kognitif yang mendasarinya.
Walaupun penulisan akademis dan jurnalistik menuntut objektivitas dan kejelasan, majasi tetap memainkan peran yang halus namun penting. Peran majasi di sini adalah untuk menjelaskan kompleksitas, bukan untuk menghias. Dalam esai ilmiah yang rumit, metafora yang dipilih dengan hati-hati dapat membantu pembaca awam memahami teori yang abstrak. Misalnya, menggambarkan 'lubang hitam' sebagai 'corong tak berdasar' adalah penggunaan majasi untuk tujuan didaktik.
Jurnalisme faktual harus sangat berhati-hati dengan majasi pertentangan. Penggunaan hiperbola, meskipun dapat menarik perhatian, berisiko melanggar etika pelaporan yang jujur. Oleh karena itu, hiperbola biasanya dikhususkan untuk tajuk berita opini atau kolom editorial, di mana subjektivitas diizinkan. Litotes, di sisi lain, sering digunakan dalam laporan investigasi untuk menyampaikan fakta yang mengejutkan dengan nada yang tenang, sehingga efeknya terasa lebih mencekam dan kredibel. Jurnalisme modern harus menyeimbangkan kebutuhan akan dampak emosional dengan komitmen pada verifikasi, dan penggunaan majasi menjadi penentu keseimbangan tersebut.
Eufemisme adalah majasi yang berfungsi sebagai pelumas sosial dan profesional. Dalam bidang militer, politik, dan kedokteran, eufemisme sering digunakan untuk mengurangi ketakutan atau menghindari istilah yang terlalu menyinggung. Fenomena "jargon" profesional sendiri seringkali merupakan bentuk eufemisme—mengganti kata yang sederhana dengan istilah teknis yang lebih kompleks untuk memberikan kesan otoritas atau presisi. Ini menunjukkan bagaimana majasi dapat menjadi alat kekuasaan linguistik, menciptakan batas antara *insider* dan *outsider*.
Seorang penulis yang hebat adalah seorang manipulator majasi yang ulung. Mereka mengambil kiasan yang sudah usang dan memberikan kehidupan baru, atau menciptakan asosiasi yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Kreativitas dalam majasi seringkali muncul dari pengamatan yang tidak biasa terhadap realitas yang biasa-biasa saja.
Ketika kita mendengar "wajah bulan," kita tidak lagi benar-benar memvisualisasikan wajah. Kiasan itu telah menjadi otomatis. Proses kreatif majasi, menurut formalis Rusia, adalah "de-otomatisasi" atau *ostranenie* (membuat asing). Penulis harus memaksakan perspektif baru, misalnya, mengubah kiasan bulan menjadi "sepotong keju yang ditinggalkan dewa di langit malam." Dengan membuat objek yang familiar menjadi asing, majasi berhasil memaksa pembaca untuk berhenti sejenak dan benar-benar 'melihat' objek tersebut lagi.
Selain majasi utama, ada majasi yang berfokus pada permainan kata, memanfaatkan ambiguitas bunyi atau struktur:
Meskipun klasifikasi struktural majasi bersifat universal, manifestasi dan frekuensi penggunaannya sangat dipengaruhi oleh budaya. Di Indonesia, majasi perbandingan yang melibatkan elemen alam (padi, ombak, gunung) jauh lebih dominan dalam sastra tradisional dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki tradisi industrial yang lebih kuat.
Penggunaan litotes di Indonesia, seperti yang disinggung sebelumnya, sangat terkait dengan konsep keramahtamahan dan kerendahan hati. Seseorang yang menggunakan majasi ini saat menerima tamu sedang menjalankan norma sosial yang ketat. Sebaliknya, dalam beberapa budaya Barat, litotes yang berlebihan mungkin dianggap tidak jujur atau menghindari tanggung jawab. Kontras ini menunjukkan bahwa majasi bukan hanya masalah linguistik, tetapi juga masalah etika dan adat istiadat.
Era digital telah melahirkan jenis majasi baru yang sangat visual dan ringkas. Emotikon dan meme berfungsi sebagai bentuk metonimia dan metafora yang instan dan universal. Sebuah emotikon wajah menangis dapat mewakili kesedihan yang mendalam (sebuah hiperbola visual) atau hanya mewakili respon yang berlebihan (ironi). Studi ini menunjukkan bahwa majasi akan terus beradaptasi dengan medium komunikasi yang ada, mempertahankan perannya sebagai alat penyampaian emosi dan konteks yang efisien.
Setiap sub-tipe majasi, dari yang paling transparan (simile) hingga yang paling tebal (alegori), menawarkan jendela unik ke dalam pikiran manusia. Memahami majasi adalah memahami bagaimana manusia membangun makna, menghadapi kontradiksi, dan merayakan keindahan bahasa. Ini adalah seni yang tak lekang oleh waktu, menjamin bahwa bahasa Indonesia akan selalu menjadi medium yang kaya dan penuh warna.
***
Penelusuran terhadap kompleksitas majasi ini menegaskan bahwa penggunaan gaya bahasa figuratif adalah tanda kematangan linguistik. Kemampuan untuk menyusun kalimat yang tidak hanya benar secara gramatikal tetapi juga kaya secara kiasan adalah puncak dari keahlian berkomunikasi. Majasi adalah warisan yang menghubungkan kita dengan orator dan penyair masa lalu, serta tantangan yang mendorong kita untuk berinovasi dalam ekspresi di masa depan.
Pengkajian mendalam terhadap majasi juga harus mencakup bagaimana majasi dalam sastra modern mulai bereksperimen dengan sinestesia—penggabungan sensasi yang berbeda (misalnya, "warna yang dingin," "suara yang tajam"). Jenis majasi ini sangat efektif dalam membangkitkan pengalaman multisensori, menciptakan kedalaman imajinasi yang tak tertandingi. Ini adalah bukti bahwa perbatasan majasi terus didorong melampaui klasifikasi tradisional.
Kesimpulannya, majasi adalah fondasi dari persuasi, ekspresi, dan keindahan. Menguasai majasi adalah menguasai hati dan pikiran audiens. Ia adalah nafas yang menghidupkan kata-kata, menjadikannya abadi.