Madihin: Seni Tutur Improvisasi dari Bumi Banjar

Madihin merupakan salah satu kekayaan seni tutur tradisional yang paling menonjol dan memukau dari suku Banjar, Kalimantan Selatan. Lebih dari sekadar hiburan, Madihin adalah medium komunikasi, kritik sosial, refleksi filosofis, dan wadah pelestarian bahasa serta adat istiadat setempat. Inti dari seni ini terletak pada kemampuan improvisasi sang penampil, atau yang dikenal sebagai pamadihinan, untuk menyusun ribuan larik pantun secara spontan dalam iringan pukulan gendang yang dinamis dan berirama.

Ilustrasi Pamadihinan sedang menabuh Terbang. Pamadihinan dan Terbang

Ilustrasi seorang Pamadihinan dalam posisi duduk, siap menabuh alat musik tradisional 'Terbang' (gendang kecil) sambil berimprovisasi.

I. Definisi dan Karakteristik Utama Madihin

Secara etimologi, kata "Madihin" berasal dari kata "Madah" dalam bahasa Arab yang berarti nasihat atau pujian. Namun, dalam konteks Banjar, Madihin telah berevolusi menjadi genre puisi lisan yang sangat spesifik, terikat pada aturan bentuk (terutama struktur pantun empat baris) tetapi sangat bebas dalam konten dan penyampaiannya. Madihin tidak bisa dipisahkan dari alat musik utamanya, yaitu terbang atau gendang pipih, yang dimainkan oleh sang pamadihinan sendiri.

Karakteristik yang membedakan Madihin dari seni tutur atau berbalas pantun lainnya di Nusantara adalah sifatnya yang monologik dan improvisatif murni. Walaupun kadang Madihin dibawakan oleh dua orang atau lebih (berbalasan), fokus utama tetap pada kehebatan individu dalam menyusun larik demi larik tanpa naskah. Kecepatan berpikir, penguasaan rima, diksi bahasa Banjar yang kaya, serta kemampuan menghibur adalah kunci sukses seorang pamadihinan.

A. Posisi Madihin dalam Kesenian Banjar

Di Kalimantan Selatan, Madihin memiliki kedudukan yang sangat penting, seringkali setara dengan Mamanda (teater tradisional) atau Lamut (cerita lisan epik). Namun, Madihin lebih fleksibel. Ia dapat ditampilkan di acara resmi kenegaraan, pesta perkawinan, acara syukuran, hingga sekadar mengisi waktu luang di pasar malam. Kehadirannya selalu ditunggu karena sifatnya yang santai, namun mampu menyuntikkan kritik tajam dengan balutan humor yang segar. Fleksibilitas ini memastikan daya tahan Madihin melintasi zaman, walaupun tantangan modernisasi terus mengintai.

Seni ini mencerminkan filosofi hidup masyarakat Banjar yang menjunjung tinggi keharmonisan sosial. Melalui humor dan sindiran halus, Madihin berfungsi sebagai katarsis sosial, memungkinkan masyarakat menyuarakan keluhan atau ketidakpuasan tanpa menimbulkan konflik terbuka. Inilah mengapa Madihin seringkali disebut sebagai "Surat Kabar Lisan" masyarakat Banjar, tempat isu-isu terkini dibahas dan diolah menjadi sajian puisi yang jenaka.

II. Akar Sejarah dan Perkembangan Madihin

Sejarah Madihin sangat erat kaitannya dengan sejarah penyebaran Islam dan perkembangan budaya di Kesultanan Banjar. Meskipun asal-usulnya sering dikaitkan dengan tradisi lisan yang lebih tua, bentuk modern Madihin yang kita kenal saat ini diyakini mulai menguat pada abad ke-18 dan ke-19.

A. Pengaruh Lamut dan Syair

Sebelum Madihin menjadi bentuk seni yang dominan, masyarakat Banjar telah mengenal Lamut, yaitu seni bercerita epik yang dibawakan oleh seorang pelamutan. Lamut cenderung lebih panjang, berkisah tentang sejarah, mitologi, dan cerita kepahlawanan yang terstruktur. Madihin, di sisi lain, mengambil aspek lisan dan musikalisasi dari Lamut tetapi mempersempit fokusnya pada pantun dan improvisasi yang lebih cepat serta tema-tema kontemporer.

Pengaruh Arab dan Persia, terutama melalui syair-syair Islam, juga memberikan kontribusi signifikan terhadap struktur linguistik dan pilihan kata dalam Madihin. Meskipun Madihin menggunakan bahasa Banjar murni, tema-tema religius (seperti nasihat moral, pujian kepada Nabi, dan kisah-kisah Islami) sering menjadi topik utama, terutama pada masa awal perkembangannya. Pantun Madihin berfungsi sebagai alat dakwah yang efektif, disampaikan dengan cara yang akrab dan mudah diingat oleh masyarakat pedesaan.

B. Periode Emas dan Pembakuan

Periode emas Madihin terjadi sekitar paruh kedua abad ke-20, ketika radio mulai populer. Radio Republik Indonesia (RRI) di Banjarmasin memainkan peran krusial dalam mempopulerkan pamadihinan ke seluruh pelosok Kalimantan Selatan. Rekaman-rekaman Madihin yang disiarkan oleh RRI membentuk standar baru dalam performa, menetapkan bagaimana irama terbang seharusnya dimainkan, dan bagaimana teknik improvisasi yang baik. Melalui media ini, nama-nama maestro mulai dikenal luas, menjadi panutan bagi generasi muda.

Pada periode ini, Madihin mulai dipisahkan dari konteks ritualistiknya yang kental dan beralih fungsi menjadi hiburan massal. Perubahan ini menuntut pamadihinan untuk lebih berani menyentuh isu-isu politik, pembangunan, dan fenomena sosial perkotaan, menjadikannya semakin relevan dan tajam sebagai sarana kritik. Adaptasi cepat terhadap perkembangan zaman ini adalah kunci mengapa Madihin tetap hidup hingga saat ini, tidak sekadar menjadi artefak sejarah yang teronggok di museum.

III. Anatomi dan Struktur Puitis Madihin

Madihin memiliki aturan baku yang wajib dipatuhi oleh setiap pamadihinan, terutama terkait dengan format puisi yang digunakan, yaitu pantun. Pantun Madihin harus selalu dalam bentuk empat baris dengan rima akhir A-B-A-B.

A. Pantun dan Rima A-B-A-B

Struktur dasar Madihin adalah satu bait pantun yang terdiri dari empat baris: dua baris sampiran (pembuka) dan dua baris isi (pesan). Meskipun dalam tradisi pantun Melayu sampiran seringkali tidak berhubungan langsung dengan isi, dalam Madihin yang diimprovisasi, seringkali sampiran dibuat secepat mungkin untuk mengejar rima, sehingga kadang tampak kurang padu. Namun, ini justru menunjukkan kehebatan improvisasi sang penampil.

Rima baris pertama (A) harus sama dengan rima baris ketiga (A).
Rima baris kedua (B) harus sama dengan rima baris keempat (B).

Kecepatan dalam menghasilkan rima ini menjadi tantangan terberat. Seorang pamadihinan harus sudah memikirkan rima 'A' di baris ketiga segera setelah menyelesaikan baris pertama. Ini membutuhkan memori leksikal yang luar biasa dan penguasaan perbendaharaan kata Banjar yang mendalam. Kegagalan dalam menemukan rima yang tepat bisa mengakibatkan hilangnya ritme dan patahnya alunan Madihin.

B. Teknik Pembangkitan dan Tahilan

Dalam pertunjukan Madihin, terdapat dua bagian pokok yang selalu ada:

  1. Pembangkitan (Pembuka): Bagian ini adalah pantun-pantun perkenalan atau pujian kepada hadirin, tuan rumah, atau tokoh penting yang hadir. Bagian ini biasanya dilakukan dengan irama yang lebih lambat dan formal, sebagai pemanasan bagi pamadihinan dan penonton.
  2. Tahilan (Inti): Bagian inti di mana improvisasi murni dan tema utama disajikan. Tahilan dibawakan dengan irama yang lebih cepat, dinamis, dan penuh energi. Inilah momen ketika pamadihinan menunjukkan keahliannya dalam menyusun pantun secara spontan dan berkesinambungan.

Ritme tahilan adalah nyawa Madihin. Ritme ini bukan hanya berupa ketukan gendang, tetapi juga pola vokal dan intonasi yang khas. Pergantian antara irama cepat dan lambat, antara nyanyian dan teriakan (sering disebut japing), menciptakan dinamika yang membuat penonton tidak pernah merasa bosan. Pengaturan tempo ini penting, karena Madihin modern bisa berlangsung hingga dua atau tiga jam non-stop.

Diagram Struktur Rima Pantun Madihin (A-B-A-B). A B A B Sampiran 1 Sampiran 2 Isi 1 Isi 2

Struktur Rima A-B-A-B, tulang punggung dari setiap bait Madihin yang dilantunkan.

IV. Peran Sentral Pamadihinan dan Alat Musiknya

Sosok pamadihinan adalah jantung dari seni ini. Ia bukan hanya penyair, tetapi juga musisi, pelawak, kritikus sosial, dan orator. Kualitas pertunjukan Madihin sepenuhnya bergantung pada keterampilan individu yang membawakannya. Dalam tradisi Madihin yang paling otentik, hanya dibutuhkan satu orang pamadihinan yang duduk di tengah, ditemani satu atau dua alat musik.

A. Keterampilan Improvisasi Lisan (Spontanitas Absolut)

Keterampilan utama adalah improvisasi lisan. Hal ini menuntut pamadihinan memiliki wawasan yang sangat luas. Mereka harus mampu menyerap isu-isu lokal, nasional, bahkan global dalam waktu singkat. Ketika diminta untuk membawakan tema tertentu, misalnya "Pembangunan Infrastruktur di Kota Banjarbaru," sang penampil harus mampu menyusun puluhan hingga ratusan pantun yang relevan, mendidik, dan tetap lucu.

Seorang maestro Madihin tidak pernah menggunakan catatan atau naskah. Semua diucapkan spontan, mengalir mengikuti irama gendang. Transisi antara satu bait ke bait berikutnya harus mulus, baik secara rima maupun makna. Tantangan terbesarnya adalah menjaga konsistensi rima A-B-A-B sambil secara bersamaan memikirkan konten isi yang akan disampaikan. Proses kognitif yang terjadi sangat kompleks, melibatkan memori jangka panjang untuk kosa kata, memori kerja untuk menjaga rima, dan kreativitas untuk tema.

B. Alat Musik: Terbang

Alat musik wajib dalam Madihin adalah terbang (sering juga disebut raba'i), yaitu sejenis gendang kecil yang terbuat dari kayu nangka atau kelapa dan ditutup dengan kulit kambing atau sapi. Ukuran terbang Madihin biasanya lebih kecil daripada rebana yang digunakan untuk kesenian Islam lainnya.

Pamadihinan tidak hanya menabuh terbang sebagai iringan, tetapi sebagai penentu tempo dan atmosfer. Pukulan terbang memiliki beberapa pola baku, seperti pola pembuka, pola transisi, dan pola tahilan (inti). Pola pukulan yang cepat dan bersemangat berfungsi sebagai pemacu bagi lisan pamadihinan, memaksa sang penampil untuk terus menghasilkan larik-larik tanpa jeda.

Hubungan antara vokal dan musik sangat intim. Ketika pamadihinan mencapai klimaks emosional atau melontarkan kritik yang paling tajam, pukulan terbang akan memuncak dalam irama yang sangat cepat dan bergetar. Sebaliknya, ketika menyampaikan nasihat yang khusyuk atau pujian yang tulus, irama akan melambat dan lebih tenang.

V. Tema dan Fungsi Madihin dalam Masyarakat

Madihin adalah cermin masyarakat Banjar. Tema-tema yang diangkat bersifat universal, namun selalu dibingkai dalam konteks lokal yang kental. Fungsi Madihin jauh melampaui hiburan semata; ia memainkan peran edukatif, politis, dan spiritual.

A. Kritik Sosial dan Politik

Salah satu fungsi paling menonjol dari Madihin adalah sebagai alat kritik sosial yang efektif. Menggunakan humor dan sindiran, pamadihinan bisa mengkritik pejabat, mengomentari kegagalan proyek pembangunan, atau bahkan mengejek kebiasaan buruk masyarakat tanpa takut menyinggung secara langsung. Humor berfungsi sebagai peredam ketegangan, membuat pesan kritik lebih mudah diterima.

Misalnya, jika ada masalah banjir atau kemacetan, pamadihinan dapat menciptakan pantun-pantun yang menyindir dengan jenaka, seperti:

Kapal layar di laut Cina,
Dibawa badai puting beliung.
Bila hari hujan di Banjar sana,
Sepeda motor pun jadi sampan terapung.

Kritik yang disampaikan melalui Madihin seringkali lebih mengena dan bertahan lama di memori publik dibandingkan pidato formal, karena disampaikan dalam format yang menghibur dan mudah diulang-ulang.

B. Nasihat Moral dan Religi

Karena akar historisnya yang kuat dengan tradisi Islam, Madihin sering digunakan untuk menyampaikan nasihat moral dan ajaran agama. Dalam konteks ini, Madihin berfungsi sebagai dakwah kultural. Pantun-pantun akan berisikan anjuran untuk berbuat baik, menjauhi maksiat, menjalankan ibadah, dan memuliakan orang tua. Pada acara pernikahan, Madihin akan berisi nasihat tentang membina rumah tangga yang harmonis.

Dalam pertunjukan yang bernuansa religi, diksi yang digunakan cenderung lebih baku dan serius, dengan mengurangi unsur humor yang terlalu vulgar. Fungsi ini memastikan Madihin tetap relevan dalam lingkungan masyarakat Banjar yang religius dan kental dengan nilai-nilai Islami.

C. Puji-Pujian dan Penghormatan

Setiap pertunjukan Madihin selalu diawali dengan pantun-pantun pujian. Pujian ini ditujukan kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, leluhur, tuan rumah acara, hingga kepada para penonton yang hadir. Bagian ini merupakan etika baku yang harus dipenuhi, menunjukkan rasa hormat dan terima kasih atas kesempatan tampil. Pujian ini juga berfungsi membangun koneksi emosional antara pamadihinan dan audiens.

Kemampuan untuk memuji dengan bahasa yang puitis dan tidak berlebihan memerlukan kepekaan budaya. Pamadihinan yang handal tahu persis siapa yang harus dipuji, dan bagaimana cara memuji tanpa terlihat menjilat, menjadikannya seni diplomatik dalam bentuk lisan.

VI. Tantangan dan Pelestarian di Era Kontemporer

Di tengah gempuran budaya populer dan media digital, Madihin menghadapi tantangan besar. Meskipun demikian, upaya pelestarian dan adaptasi terus dilakukan untuk memastikan seni tutur ini tidak punah dan tetap relevan bagi generasi muda.

A. Regenerasi Pamadihinan

Tantangan terbesar adalah regenerasi. Menjadi pamadihinan membutuhkan bakat, dedikasi, dan latihan bertahun-tahun untuk menguasai improvisasi lisan dan teknik menabuh terbang secara bersamaan. Banyak generasi muda yang tertarik pada Madihin, tetapi sedikit yang sanggup bertahan dalam proses latihan yang ketat, terutama karena tuntutan untuk menguasai bahasa Banjar secara mendalam, termasuk dialek-dialek lama.

Institusi pendidikan, khususnya di tingkat sekolah menengah dan perguruan tinggi di Kalimantan Selatan, mulai memasukkan Madihin sebagai mata pelajaran ekstrakurikuler. Festival dan lomba Madihin sering diselenggarakan oleh pemerintah daerah untuk memacu semangat anak muda. Inisiatif ini penting untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi lahirnya maestro-maestro baru.

B. Adaptasi Media dan Kolaborasi

Untuk bertahan, Madihin harus beradaptasi dengan teknologi. Beberapa pamadihinan modern kini merekam pertunjukan mereka dan mengunggahnya ke platform digital seperti YouTube, TikTok, dan Spotify. Adaptasi ini memungkinkan Madihin menjangkau audiens di luar Kalimantan Selatan, bahkan hingga ke diaspora Banjar di Malaysia dan negara lain.

Selain itu, Madihin mulai dikolaborasikan dengan genre musik modern. Misalnya, Madihin yang diiringi dengan musik pop atau EDM, menciptakan fusi yang menarik. Meskipun ada puritan yang khawatir kolaborasi ini akan merusak orisinalitas, banyak yang melihatnya sebagai strategi vital untuk menarik perhatian audiens muda yang terbiasa dengan ritme yang lebih cepat dan modern. Esensi improvisasi pantun tetap dipertahankan, sementara iringan musiknya disesuaikan.

VII. Mendalami Estetika Vokal dan Ekspresi

Madihin tidak hanya bergantung pada kata-kata, tetapi juga pada bagaimana kata-kata itu diucapkan. Estetika vokal dan ekspresi wajah pamadihinan adalah komponen yang sama pentingnya dengan isi pantun itu sendiri.

A. Intonasi dan Nada Bicara

Intonasi dalam Madihin sangat khas. Ia berada di antara bernyanyi dan berbicara. Ada kalanya pamadihinan melantunkan pantun dengan nada yang tinggi dan melengking (terutama saat memuji atau mengekspresikan kegembiraan), dan ada kalanya pula ia berbisik atau berbicara dengan tempo cepat (saat menyampaikan sindiran atau dialog). Transisi cepat antara nada-nada ini menciptakan nuansa dramatis yang membuat audiens terikat.

Penggunaan aksen dan logat Banjar yang kental juga menambah keotentikan. Seorang pamadihinan yang baik mampu membedakan dialek Banjar Hulu (pedalaman) dan Banjar Kuala (pesisir), dan menggunakan dialek yang paling sesuai dengan konteks geografis audiensnya. Penguasaan dialek ini menunjukkan penghormatan terhadap keragaman linguistik lokal.

B. Gerak Tubuh dan Mimik Wajah

Meskipun pamadihinan biasanya duduk saat tampil, gerak tubuhnya sangat ekspresif. Gerakan kepala, ayunan tangan yang memukul gendang, dan perubahan mimik wajah yang cepat merupakan bagian integral dari pertunjukan. Ketika melucu, wajahnya bisa berubah menjadi sangat kocak; ketika menyampaikan nasihat, wajahnya menjadi serius dan menenangkan.

Gerakan tangan saat menabuh terbang bukan hanya berfungsi menghasilkan bunyi, tetapi juga sebagai isyarat visual yang menandai perubahan bait, perubahan ritme, atau penekanan pada kata-kata tertentu. Harmoni antara gerak vokal, gerak tangan, dan gerak wajah inilah yang membuat Madihin menjadi seni pertunjukan yang utuh, bukan sekadar pembacaan puisi.

VIII. Analisis Mendalam: Keterikatan Madihin dan Pantun Banjar

Untuk memahami Madihin sepenuhnya, kita harus menyelam lebih jauh ke dalam struktur pantun Banjar. Meskipun terikat pada aturan rima A-B-A-B, pantun Banjar memiliki ciri khas yang memungkinkan pamadihinan berimprovisasi dengan sangat cepat.

A. Fleksibilitas Sampiran dan Pengejaran Rima

Dalam konteks Madihin yang spontan, sampiran (dua baris pertama) seringkali berfungsi murni sebagai 'pengantar rima' untuk isi yang akan datang. Sang pamadihinan mungkin hanya memiliki satu atau dua detik untuk menentukan kata kunci yang akan mengakhiri baris kedua (rima B) dan kemudian menggunakannya kembali di baris keempat.

Misalnya, jika isi pantun yang ingin disampaikan berakhir dengan kata 'higa' (dekat) dan 'siga' (nyala), maka pamadihinan harus mencari kata di sampiran yang berima 'ga' dan 'a' atau 'ga'. Fleksibilitas ini memaksa pamadihinan menjadi 'kamus berjalan' yang mampu mengakses kata-kata dengan pola vokal tertentu secara instan. Ini adalah demonstrasi kecepatan linguistik yang hampir mustahil dilakukan tanpa latihan intensif puluhan tahun.

B. Diksi Bahasa Banjar dalam Madihin

Madihin melestarikan kekayaan diksi bahasa Banjar yang mungkin sudah jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Penggunaan kata-kata arkais, peribahasa lokal (sasangaian), dan metafora alam Banjar (sungai, rawa, hutan) adalah ciri khas yang memperkaya Madihin. Hal ini menjadikan Madihin sebagai museum bahasa lisan yang hidup.

Ketika pamadihinan menggunakan bahasa yang kaya dan autentik, ia tidak hanya menghibur tetapi juga mengajarkan. Penonton tua akan merasakan nostalgia, sementara penonton muda akan mempelajari warisan linguistik mereka. Kekuatan Madihin terletak pada kemampuannya untuk tetap relevan sambil memegang teguh akar bahasanya.

Seni Madihin adalah sebuah monumen budaya yang berdiri kokoh di tengah arus perubahan. Ia membuktikan bahwa tradisi lisan, ketika dijalankan dengan kecerdasan, humor, dan improvisasi yang tak terbatas, dapat terus menjadi suara hati masyarakat, menyuarakan keluh kesah, memuji kebaikan, dan melestarikan identitas Banjar yang unik.

IX. Perluasan Tema: Madihin dalam Konteks Ritual dan Transisi Budaya

Meskipun Madihin modern banyak digunakan sebagai hiburan murni, tidak dapat dipungkiri bahwa pada awalnya, Madihin memiliki keterikatan erat dengan berbagai ritual adat masyarakat Banjar. Memahami konteks ritual ini penting untuk menghargai kedalaman filosofis Madihin.

A. Madihin dalam Upacara Adat

Pada masa lalu, Madihin seringkali menjadi bagian dari upacara seperti Bapangui (syukuran panen), Baayun Mulud (perayaan Maulid Nabi), atau ritual penyembuhan tertentu yang melibatkan pemanggilan semangat baik atau penghalauan roh jahat. Dalam konteks ini, fungsi Madihin bukan hanya menghibur, tetapi juga sebagai media komunikasi transendental.

Pantun yang dibawakan dalam ritual cenderung lebih mistis dan menggunakan bahasa kiasan yang rumit. Irama terbang juga lebih monoton dan menghipnotis, berbeda dengan irama tahilan yang dinamis pada pertunjukan publik. Transisi fungsi dari ritual ke sekular (hiburan) merupakan indikator adaptasi budaya Banjar terhadap modernitas dan purifikasi agama.

B. Madihin Sebagai Media Sejarah Lisan

Madihin juga berfungsi sebagai penyimpan sejarah lisan yang berjalan seiring waktu. Karena sifatnya yang spontan dan komentatif, setiap pertunjukan Madihin pada dasarnya mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada saat itu. Jika ditelusuri melalui rekaman-rekaman Madihin dari era 1950-an hingga 1980-an, kita dapat mendengar bagaimana pamadihinan menyikapi proklamasi kemerdekaan, era Orde Lama, pembangunan Jembatan Barito, hingga krisis moneter.

Dengan demikian, Madihin menyediakan perspektif ‘orang biasa’ atau ‘rakyat’ terhadap narasi sejarah resmi. Ini adalah catatan sejarah yang disaring melalui humor dan kearifan lokal. Seorang peneliti sejarah tidak akan lengkap dalam memahami Kalimantan Selatan tanpa merujuk pada pesan-pesan yang tersimpan dalam ratusan bait Madihin yang telah diciptakan.

X. Sifat Resiprokal dan Interaksi Pamadihinan dengan Penonton

Meskipun Madihin bersifat monologik, interaksi dengan penonton adalah elemen vital yang membuatnya tetap hidup dan segar. Pertunjukan Madihin yang berhasil adalah pertunjukan yang mampu memecah batas antara penampil dan audiens.

A. Tradisi 'Hadiah' dan Permintaan Tema

Dalam tradisi Madihin, penonton seringkali memberikan 'hadiah' (berupa uang atau barang) yang diselipkan atau diletakkan di dekat pamadihinan. Pemberian ini bukan sekadar bayaran, tetapi juga sering disertai 'permintaan' tema. Seorang penonton mungkin meminta pamadihinan untuk membuat pantun tentang tetangganya yang baru menikah, atau tentang kebijakan desa yang baru dikeluarkan.

Kewajiban pamadihinan adalah menerima permintaan tersebut dan segera merangkainya menjadi pantun. Inilah puncak dari improvisasi Madihin. Sang seniman harus cepat mencerna informasi baru, mengubahnya menjadi rima yang sesuai, dan menyampaikannya kembali kepada audiens dalam hitungan detik. Kecepatan reaksi ini menunjukkan tingkat profesionalisme yang tinggi.

B. Humoris dan ‘Batatangguhan’

Humor dalam Madihin dikenal sebagai batatangguhan, yaitu candaan atau tebak-tebakan yang dimasukkan ke dalam pantun. Humor ini seringkali menggunakan hiperbola, metafora lokal, atau plesetan kata-kata Banjar. Sifat batatangguhan memastikan bahwa Madihin tidak pernah terasa menggurui, meskipun isinya adalah nasihat yang serius.

Seorang pamadihinan juga harus memiliki selera humor yang kontekstual. Humor yang berhasil di Banjar Kuala belum tentu berhasil di Banjar Hulu. Oleh karena itu, pengalaman dan jam terbang yang panjang sangat menentukan kemampuan pamadihinan dalam menyesuaikan diri dengan suasana dan karakter penonton yang berbeda-beda.

XI. Kontribusi Maestro terhadap Perkembangan Seni Madihin

Madihin tidak akan mencapai bentuknya yang sekarang tanpa kontribusi dari sejumlah maestro legendaris yang tidak hanya mempertahankan tradisi tetapi juga mengembangkan teknik baru. Mereka adalah pilar-pilar yang menjaga semangat Madihin tetap menyala.

A. Peran A. Zambry dan Jhon Tralala

Nama-nama seperti Anang Zambry dan Jhon Tralala (almarhum) adalah ikon Madihin modern. A. Zambry dikenal karena penguasaan diksi Banjar yang sangat kaya dan kemampuan improvisasi pantun yang sangat cepat dan padat makna. Karya-karyanya seringkali menjadi standar keindahan linguistik dalam Madihin.

Sementara itu, Jhon Tralala, sering tampil bersama anaknya, dikenal karena membawa Madihin ke panggung yang lebih luas dan menciptakan gaya yang lebih komedi. Jhon Tralala berhasil menggabungkan Madihin dengan teater rakyat (Mamanda) dan menciptakan sebuah pertunjukan yang sangat menghibur, tetapi tetap menjaga struktur pantun Madihin yang ketat. Gaya mereka yang eklektik dan inovatif membantu Madihin menembus batas-batas geografis dan demografis.

B. Regenerasi dan Tantangan Stilistik

Setiap maestro Madihin biasanya menciptakan 'gaya' atau 'langgam' (irama) mereka sendiri, yang kemudian diwariskan kepada murid-muridnya. Ada langgam yang terkenal karena cepat dan agresif, dan ada pula yang lambat, puitis, dan penuh introspeksi.

Tantangan bagi generasi penerus adalah bagaimana menghormati langgam-langgam klasik ini tanpa menjadi imitator. Generasi muda dituntut untuk menemukan suara mereka sendiri—menciptakan tema yang lebih sesuai dengan zaman digital, misalnya tentang isu lingkungan, media sosial, atau isu kesehatan mental—sambil tetap terikat pada rima A-B-A-B yang sakral.

XII. Madihin Sebagai Identitas Budaya yang Tak Tergantikan

Pada akhirnya, Madihin adalah lebih dari sekadar seni pertunjukan; ia adalah simbol ketahanan budaya Banjar. Ia mewakili cara pandang masyarakat Banjar terhadap hidup, yang penuh dengan humor, nasihat, dan penghormatan terhadap tradisi lisan.

A. Bahasa, Puisi, dan Harmoni Lokal

Madihin memastikan bahwa bahasa Banjar tetap menjadi bahasa yang hidup, tidak hanya untuk komunikasi sehari-hari tetapi juga untuk ekspresi artistik yang tinggi. Selama ada pamadihinan yang mampu merangkai kata, maka semangat ke-Banjar-an akan terus terawat.

Harmoni antara vokal, musik terbang, dan konten pantun mencerminkan harmoni yang dicita-citakan dalam kehidupan bermasyarakat: ritme yang teratur, pesan yang jelas, dan penyampaian yang santun. Madihin mengajarkan bahwa kritik yang paling tajam pun harus disampaikan dengan keindahan. Ini adalah warisan yang tak ternilai harganya.

B. Masa Depan Madihin

Masa depan Madihin terletak pada keseimbangan antara konservasi dan inovasi. Konservasi terhadap bentuk puitisnya (A-B-A-B dan teknik terbang), dan inovasi terhadap medianya (digitalisasi, kolaborasi genre, dan relevansi tematik). Dengan dukungan pemerintah, akademisi, dan yang terpenting, apresiasi dari masyarakat Banjar sendiri, Madihin akan terus menjadi permata seni tutur yang bersinar dari jantung Kalimantan Selatan. Madihin adalah nyanyian hati rakyat Banjar, dan selama hati itu berdetak, Madihin akan terus mengalir, secepat air Sungai Barito.

Kehadiran Madihin dalam setiap acara adat atau festival budaya memastikan bahwa nilai-nilai luhur dan kearifan lokal tidak hilang ditelan zaman. Setiap pukulan terbang adalah penegasan identitas, dan setiap bait pantun adalah janji untuk melestarikan kekayaan spiritual dan linguistik yang telah diwariskan selama berabad-abad. Madihin bukanlah peninggalan masa lalu yang statis, melainkan energi kreatif yang terus bergerak dan berdialog dengan realitas baru.

Seni Madihin menuntut suatu ketekunan yang luar biasa dari pelakunya. Keterampilan menyusun pantun dalam irama yang cepat memerlukan latihan mental yang setara dengan meditasi mendalam. Ini bukan sekadar menghafal kata-kata; ini adalah seni berpikir dalam rima dan meter. Jika satu kata salah, irama akan pecah, dan kredibilitas pamadihinan di mata penonton akan menurun drastis. Tekanan performa ini adalah yang membedakan Madihin dari seni puisi lisan lainnya.

Banyak generasi muda yang mencoba Madihin merasa gentar ketika menghadapi panggung, di mana mereka diharapkan mampu mengisi waktu minimal satu jam dengan pantun-pantun yang tidak boleh berulang dan harus relevan dengan situasi saat itu. Inilah ujian sebenarnya bagi seorang calon maestro. Mereka harus memiliki bank data linguistik yang sangat besar di kepala mereka, yang diorganisir berdasarkan rima, tema, dan tingkat humor.

Contoh nyata tantangan tematik muncul ketika pamadihinan harus mengomentari isu-isu teknologi modern. Bagaimana merangkai pantun A-B-A-B yang spontan tentang "kecurangan dalam pemilu daring" atau "bahaya kecanduan media sosial" menggunakan bahasa Banjar yang puitis dan lucu? Hal ini membutuhkan kemampuan adaptasi kosa kata yang cepat, menarik istilah-istilah Banjar lama yang mungkin memiliki resonansi makna yang serupa dengan istilah modern, atau bahkan menciptakan neologisme yang bisa diterima oleh publik.

Peran pamadihinan juga sering bertindak sebagai master of ceremony (MC) yang tidak resmi. Mereka tidak hanya tampil pada slot tertentu, tetapi seringkali mengisi jeda atau menyambung acara. Mereka harus siap kapan saja disela oleh permintaan dari audiens, atau bahkan dihadapkan pada pamadihinan lain untuk berbalas pantun (walaupun format murni Madihin adalah monolog, duel informal sering terjadi).

Ketika dua pamadihinan berhadapan, pertarungan lisan ini disebut Madihin Batarung. Ini adalah tontonan yang sangat dramatis, di mana mereka saling serang dengan sindiran dan humor yang tajam, tetapi harus tetap mempertahankan struktur pantun dan etika kesopanan. Siapa yang paling cepat membalas, paling lucu, dan paling cerdas dalam mencari rima yang sulit, dialah pemenangnya. Kompetisi semacam ini sangat vital untuk menjaga standar kualitas seni Madihin agar tidak merosot.

Selain terbang, kadang-kadang Madihin juga diiringi alat musik pendukung lainnya, seperti biola atau gitar, terutama dalam pertunjukan modern yang bersifat kolaboratif. Namun, identitas inti Madihin harus selalu berpusat pada suara terbang yang dimainkan oleh sang orator itu sendiri. Jika terbang ditiadakan, Madihin akan kehilangan jiwanya, menjadi sekadar pembacaan pantun biasa, bukan seni tutur yang dinamis dan berenergi.

Pengaruh Madihin terasa kuat hingga ke ranah musik Banjar kontemporer. Banyak pencipta lagu Banjar yang secara sadar atau tidak sadar memasukkan elemen pantun empat baris dan pola ritme vokal ala Madihin ke dalam komposisi mereka. Ini menunjukkan betapa dalamnya akar seni ini tertanam dalam kesadaran artistik masyarakat Kalimantan Selatan. Madihin adalah cetak biru untuk ekspresi lisan Banjar yang paling puitis dan paling spontan.

Filosofi di balik Madihin menekankan pentingnya kebijaksanaan melalui humor. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi hirarki dan adat, kritik langsung sering dianggap tabu. Madihin menyediakan saluran yang aman untuk melepaskan tekanan sosial, menegur tanpa melukai, dan mengajar tanpa menggurui. Seni ini adalah bukti kearifan lokal dalam mengelola konflik dan mempertahankan harmoni sosial melalui cara yang paling kreatif dan menghibur.

Oleh karena itu, upaya pelestarian Madihin tidak hanya berfokus pada pelatihan teknis, tetapi juga pada pemahaman filosofi dan konteks sosial budaya di mana seni ini lahir dan berkembang. Jika generasi penerus hanya menguasai teknik rima tanpa memahami peran Madihin sebagai "Suara Hati Rakyat," maka seni ini hanya akan menjadi kulit tanpa isi. Madihin harus terus menjadi wadah ekspresi yang jujur, spontan, dan berani.