Madat di Jantung Nusantara: Sejarah Kelam Opium dan Struktur Ekonomi Kolonial
Sejarah kepulauan Nusantara tidak dapat dilepaskan dari narasi perdagangan global, eksploitasi sumber daya, dan pengenalan komoditas yang mengubah tatanan sosial secara drastis. Salah satu komoditas paling destruktif dan sekaligus paling menguntungkan dalam periode kolonial adalah madat, atau opium. Madat bukan sekadar barang dagangan; ia adalah alat kontrol sosial, sumber pendapatan utama pemerintah kolonial, dan penyebab kehancuran struktural yang mendalam bagi jutaan individu dan komunitas.
Eksplorasi ini menelusuri bagaimana opium, yang awalnya diperkenalkan untuk tujuan medis atau rekreasi terbatas, bertransformasi menjadi tulang punggung ekonomi Hindia Belanda melalui sistem monopoli yang kejam, yang dikenal sebagai Opiumregie. Dampak penggunaan madat melampaui statistik ekonomi; ia merusak kesehatan publik, menciptakan kelas sosial baru yang rentan, dan meninggalkan warisan luka yang panjang di sepanjang garis sejarah Indonesia modern.
I. Definisi dan Asal Muasal Madat
A. Opium dan Latar Belakang Geografis
Istilah madat dalam bahasa Indonesia merujuk pada candu atau opium, getah kering yang berasal dari buah tanaman Papaver somniferum (pohon poppy). Meskipun istilah ini kemudian diperluas secara peyoratif untuk merujuk pada segala bentuk penyalahgunaan narkotika, konteks historis kolonial secara spesifik berfokus pada candu yang dihisap, terutama yang diolah menjadi bentuk siap pakai. Candu mentah biasanya diimpor dari wilayah India Britania atau, pada periode tertentu, dari Persia dan Turki, sebelum kemudian diolah dan didistribusikan di Jawa dan pulau-pulau lainnya.
Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa, opium telah dikenal di Asia Tenggara melalui jalur perdagangan kuno, terutama melalui pedagang Arab, India, dan Tiongkok. Namun, penggunaannya masih terbatas dan terintegrasi dalam tradisi pengobatan atau upacara ritual. Transformasi opium menjadi komoditas massal yang menyebabkan kecanduan skala besar baru terjadi secara sistematis di bawah pengelolaan perusahaan dagang Eropa, khususnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan, lebih agresif, Pemerintah Kolonial Belanda.
B. Madat sebagai Vektor Kontrol Sosial
Salah satu aspek kunci yang sering diabaikan adalah bagaimana madat berfungsi sebagai vektor untuk kontrol sosial dan politik. Pemerintah kolonial menyadari bahwa masyarakat yang terjerat dalam kecanduan cenderung kurang mampu melakukan perlawanan terorganisir, dan pada saat yang sama, mereka menjadi sumber pendapatan yang pasti dan berkelanjutan. Dengan mengendalikan suplai, harga, dan distribusi madat, Belanda tidak hanya mengisi kas negara tetapi juga menancapkan kuku kekuasaannya jauh ke dalam struktur sosial pribumi dan komunitas migran, terutama komunitas Tionghoa.
Pengenalan madat dalam dosis besar dan masif ini tidak terjadi secara kebetulan. Ini adalah hasil dari perhitungan ekonomi yang dingin, di mana penderitaan individu ditukar dengan stabilitas fiskal kolonial. Kebijakan ini menciptakan dilema moral yang akut di kalangan birokrat kolonial sendiri, meskipun keuntungan finansial yang diperoleh selalu memenangkan perdebatan internal di Den Haag dan Batavia.
Ilustrasi skematis kepala bunga opium.
II. Opiumregie: Monopoli Madat sebagai Pilar Fiskal Kolonial
A. Dari Pajak ke Monopoli Penuh
Pada awalnya, VOC mencoba berbagai cara untuk mengontrol perdagangan madat, mulai dari sistem pajak dan bea cukai hingga konsesi (pachtstelsel), di mana hak distribusi dijual kepada individu swasta, seringkali kongsi-kongsi Tionghoa. Namun, sistem konsesi terbukti sulit dikendalikan. Penyelundupan (smokkel) merajalela, dan persaingan antar pemegang konsesi menyebabkan fluktuasi harga yang merugikan pendapatan kolonial.
Menyadari potensi keuntungan yang hilang, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melakukan nasionalisasi dan monopoli total atas perdagangan madat. Kebijakan ini mencapai puncaknya dengan pendirian Opiumregie (Regi Candu) pada tahun 1894. Opiumregie bukan sekadar badan pengawas, tetapi sebuah perusahaan negara yang memiliki hak eksklusif untuk mengimpor, memurnikan, mendistribusikan, dan menjual madat di seluruh wilayah Hindia Belanda. Tujuannya ganda: memaksimumkan keuntungan negara sambil—secara retoris—mengendalikan penyalahgunaan.
Pendirian Opiumregie menandai titik balik. Pemerintah kini memiliki kendali penuh atas kualitas dan harga madat. Mereka mendirikan pabrik pemurnian di Weltevreden (Batavia), di mana candu mentah diolah menjadi bentuk yang siap untuk dihisap (biasanya dalam bentuk bola atau stik). Proses pemurnian ini memastikan kualitas yang seragam, yang ironisnya juga meningkatkan tingkat kecanduan di kalangan konsumen.
B. Struktur Keuangan Opiumregie
Penting untuk memahami skala ekonomi Opiumregie. Pada awal abad ke-20, pendapatan dari madat menyumbang porsi yang signifikan, seringkali mencapai 10 hingga 20 persen dari total pendapatan negara kolonial. Angka ini setara dengan pendapatan dari pajak tanah, menjadikannya salah satu sumber keuangan terpenting selain komoditas perkebunan seperti gula dan kopi.
Sistem Opiumregie bekerja melalui jaringan yang sangat terstruktur:
- Impor: Candu mentah dibeli dari pasar internasional (khususnya India Britania).
- Manufaktur: Pemurnian dilakukan di pabrik-pabrik milik negara.
- Distribusi: Madat didistribusikan melalui kantor-kantor Opiumregie yang tersebar di seluruh distrik. Penjualan hanya boleh dilakukan oleh pegawai resmi negara atau agen yang ditunjuk, biasanya disebut mandor atau controleur.
- Penjualan Eceran: Madat dijual dalam paket kecil berlabel resmi. Meskipun tujuannya adalah membatasi akses, fakta bahwa pemerintah memastikan pasokan stabil dan dapat diandalkan justru mengukuhkan pola kecanduan jangka panjang.
Keberhasilan finansial Opiumregie didasarkan pada strategi penetapan harga yang cerdas. Harga madat ditetapkan cukup tinggi untuk memaksimalkan keuntungan negara, tetapi cukup rendah untuk tetap menarik bagi konsumen yang sudah kecanduan. Fluktuasi harga global candu mentah dikelola dengan buffer stok besar, memastikan stabilitas pasar internal dan pendapatan negara terlepas dari kondisi pasar internasional. Ketergantungan fiskal kolonial pada madat sangatlah besar, sehingga setiap proposal untuk menghentikan perdagangan ini selalu ditolak dengan alasan akan menyebabkan kebangkrutan anggaran negara.
C. Peran Konsesi Tionghoa dalam Jaringan Awal
Meskipun Opiumregie mengambil alih monopoli pada akhir abad ke-19, pengaruh komunitas Tionghoa dalam perdagangan madat tidak hilang sepenuhnya. Pada masa sistem konsesi (sebelum 1894), pedagang Tionghoa, yang seringkali merupakan *Kapitan Cina* atau individu kaya lainnya, adalah penggerak utama bisnis ini. Mereka memiliki jaringan distribusi yang luar biasa efisien, didukung oleh struktur kredit informal yang memungkinkan mereka mengikat konsumen pribumi melalui utang.
Ketika Opiumregie didirikan, banyak dari pedagang ini beralih fungsi menjadi agen atau pegawai pemerintah dalam jaringan distribusi resmi. Pengetahuan mereka tentang pasar lokal, kebiasaan konsumen, dan bahasa regional sangat penting bagi kelancaran operasi monopoli kolonial. Ironisnya, komunitas yang awalnya menjadi mesin penggerak perdagangan madat juga menjadi salah satu komunitas yang paling menderita akibat dampak sosial kecanduan di dalamnya.
III. Dampak Sosial dan Struktur Kecanduan Madat di Nusantara
A. Stratifikasi Pengguna dan Tempat Penggunaan
Penggunaan madat tidak tersebar merata. Secara umum, terdapat stratifikasi yang jelas dalam hal pengguna dan tempat mereka mengonsumsi. Opium merupakan barang mahal; oleh karena itu, konsumen utamanya terbagi menjadi dua kelompok besar: para buruh migran Tionghoa yang mencari pelarian dari kerja keras, dan sebagian kecil elit pribumi atau bangsawan yang memiliki akses ekonomi. Meskipun demikian, penggunaan madat menyebar cepat ke kalangan rakyat jelata, terutama di pusat-pusat ekonomi padat seperti Batavia, Surabaya, dan pelabuhan-pelabuhan besar di Sumatera dan Kalimantan.
Tempat penghisapan madat, yang dikenal sebagai rumah madat atau che-kho, menjadi pusat kehidupan sosial yang gelap. Rumah madat adalah tempat yang secara ketat diatur oleh Opiumregie atau agennya. Mereka menyediakan lingkungan yang spesifik untuk ritual penghisapan. Ruangan-ruangan ini seringkali dicirikan oleh suasana yang sunyi, remang-remang, dan bau khas asap candu. Bagi banyak buruh, mengunjungi rumah madat setelah bekerja adalah satu-satunya pelarian dari rutinitas yang menindas. Namun, pelarian ini datang dengan harga yang sangat mahal, yakni hilangnya produktivitas dan kehancuran finansial.
B. Madat dan Kehancuran Komunitas Pribumi
Dampak madat terhadap komunitas pribumi sangat menghancurkan, meskipun tingkat konsumsi total mereka mungkin lebih rendah dibandingkan komunitas Tionghoa migran di beberapa daerah. Kecanduan madat seringkali dimulai dari kontak dengan penjual atau melalui utang. Begitu seorang petani atau buruh terjerat, seluruh kekayaan keluarga bisa habis hanya untuk membeli dosis harian. Tanah, perhiasan, dan bahkan anak-anak seringkali harus digadaikan atau dijual untuk melunasi utang atau membeli madat. Ini memperburuk kemiskinan dan memperkuat struktur kekuasaan kolonial dan pedagang perantara.
Pemerintah kolonial, melalui Opiumregie, secara aktif memantau pasar mana yang paling menguntungkan. Jika konsumsi madat di suatu daerah menurun (mungkin karena adanya perlawanan lokal atau gerakan keagamaan), Opiumregie akan melakukan intervensi dengan menurunkan harga atau membanjiri pasar dengan pasokan, demi menjaga aliran keuntungan. Praktik ini menunjukkan tingkat sinisme yang tinggi, di mana pemerintah secara sadar mengabaikan kesehatan masyarakat demi kas negara.
C. Madat dan Jender
Meskipun penggunaan madat didominasi oleh laki-laki, dampaknya terhadap perempuan sangat signifikan. Wanita, baik pribumi maupun Tionghoa, seringkali harus menanggung beban ekonomi akibat kecanduan suami atau ayah mereka. Mereka harus bekerja lebih keras, mengambil utang, atau bahkan terpaksa masuk ke dunia prostitusi sebagai cara terakhir untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan keluarga atau, ironisnya, membiayai kecanduan anggota keluarga laki-laki. Selain itu, ada segmen kecil perempuan yang juga menjadi pengguna, seringkali sebagai bentuk coping mechanism terhadap trauma atau kemiskinan yang ekstrem.
Tingkat kriminalitas juga meningkat seiring dengan meluasnya penggunaan madat. Pengguna yang kekurangan uang seringkali terpaksa melakukan pencurian atau kejahatan kecil lainnya. Ini menciptakan lingkaran setan: kecanduan menyebabkan kejahatan, kejahatan menyebabkan penangkapan, dan penangkapan seringkali tidak mengatasi akar masalah kecanduan yang didorong oleh kebijakan negara.
Akuntabilitas ekonomi Opiumregie.
IV. Regulasi, Penyelundupan, dan Gerakan Anti-Madat
A. Memerangi Penyelundupan (Smokkel)
Meskipun Opiumregie memegang monopoli, penyelundupan madat selalu menjadi masalah serius yang mengancam pendapatan negara. Penyelundupan terjadi karena dua alasan utama: madat yang diselundupkan biasanya lebih murah daripada madat resmi pemerintah (yang harganya dimark-up untuk keuntungan fiskal), dan ketersediaannya lebih mudah di daerah terpencil.
Penyelundupan madat melibatkan jaringan yang kompleks, seringkali beroperasi di sepanjang pantai-pantai Sumatera, Kalimantan, dan kepulauan di timur Jawa. Para penyelundup memanfaatkan kapal-kapal kecil, dan seringkali mendapatkan dukungan dari birokrat lokal yang korup. Untuk memerangi ini, Opiumregie membangun sistem pengawasan yang ekstensif, termasuk polisi khusus candu (Opium Recherche). Operasi penangkapan dan penghancuran stok madat ilegal menjadi bagian rutin dari administrasi kolonial.
Ironisnya, upaya keras pemerintah kolonial untuk menghentikan penyelundupan bukanlah didasarkan pada kekhawatiran terhadap kesehatan publik, tetapi murni untuk melindungi monopoli dan keuntungan finansial mereka. Setiap gram madat ilegal yang dijual berarti kerugian langsung bagi kas negara. Regulasi yang ketat dan hukuman yang berat diberlakukan terhadap siapa pun yang kedapatan menjual atau memiliki madat yang tidak berasal dari Opiumregie.
B. Suara Penentangan dan Gerakan Moral
Di balik gemerlap keuntungan Opiumregie, muncul perlawanan yang kuat, baik dari kelompok keagamaan, kaum intelektual pribumi, maupun sebagian kecil birokrat etis di Belanda. Gerakan moral ini menuntut penghapusan total monopoli madat. Kelompok-kelompok Islam, misalnya, sangat keras menentang madat karena dianggap merusak moral dan ekonomi umat. Seruan untuk menjauhi madat seringkali menjadi bagian dari khotbah dan gerakan reformis Islam di awal abad ke-20.
Di pihak Belanda, kaum etis, yang mulai mendapat pengaruh sekitar pergantian abad, menyoroti inkonsistensi moral dalam kebijakan Opiumregie. Bagaimana mungkin sebuah negara yang mengklaim membawa peradaban (etika) justru secara sistematis meracuni penduduk yang mereka perintah demi keuntungan finansial? Kritik ini mendapatkan perhatian internasional, terutama setelah Konferensi Candu Internasional di Shanghai (1909) dan Den Haag (1912). Tekanan internasional memaksa Belanda untuk setidaknya secara retoris mulai mengurangi ketergantungan pada pendapatan madat, meskipun pelaksanaannya berjalan sangat lambat.
Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah, meskipun lambat, termasuk upaya untuk membatasi jumlah penjualan harian, menaikkan harga madat (yang ironisnya malah memicu penyelundupan), dan memulai kampanye pendidikan yang terbatas mengenai bahaya kecanduan. Namun, selama struktur fiskal kolonial masih bergantung pada candu, upaya-upaya ini hanyalah kosmetik belaka. Setiap penurunan keuntungan dari Opiumregie segera dicari kompensasinya dari sektor lain atau diabaikan sepenuhnya.
C. Detail Mekanisme Penjualan Resmi
Untuk memahami sepenuhnya kontrol Opiumregie, penting untuk melihat bagaimana transaksi harian berlangsung. Penjualan resmi dilakukan di kantor-kantor kecil atau melalui agen di bawah pengawasan ketat. Madat dijual dalam unit berat standar, biasanya dibungkus dalam kertas bertanda resmi (segel). Terdapat sistem buku catatan yang mencatat setiap gram yang terjual, memastikan bahwa tidak ada kebocoran atau penggelapan dana oleh staf kolonial atau pribumi.
Pengawasan ini mencakup seluruh rantai pasok: dari pelabuhan di Batavia, ke gudang pemurnian, hingga ke loket penjualan di daerah pedalaman. Keamanan terhadap gudang-gudang penyimpanan madat sangat tinggi, menunjukkan betapa berharganya komoditas ini. Perwujudan sistem yang sangat birokratis dan terkontrol ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kolonial Belanda adalah pedagang narkotika terbesar dan paling terorganisir di wilayahnya.
V. Dimensi Medis dan Upaya Dekecanduan
A. Pengaruh Kesehatan Publik
Konsekuensi medis dari penggunaan madat kronis sangat parah. Kecanduan opium menyebabkan penurunan berat badan yang ekstrem, malnutrisi (karena pengguna seringkali mengorbankan makanan untuk membeli madat), kerusakan paru-paru akibat asap, dan penurunan drastis dalam kesehatan mental dan fisik secara keseluruhan. Di wilayah dengan tingkat penggunaan madat yang tinggi, harapan hidup menurun, dan produktivitas tenaga kerja anjlok.
Pemerintah kolonial menghadapi dilema. Mereka membutuhkan pengguna madat untuk tetap hidup dan bekerja (agar bisa terus membeli madat), tetapi mereka juga harus mengendalikan krisis kesehatan agar tidak menyebar ke seluruh populasi yang vital bagi perkebunan dan industri. Namun, investasi dalam perawatan kesehatan bagi pengguna madat sangat minimal, karena dianggap sebagai biaya yang tidak perlu.
B. Usaha Penanganan dan Rehabilitasi Awal
Meskipun ada resistensi dari Opiumregie, tekanan dari kelompok etis dan gereja memaksa pemerintah untuk mendirikan beberapa institusi rehabilitasi di awal abad ke-20. Program-program ini, seringkali didirikan oleh misionaris atau yayasan swasta, menawarkan perawatan yang primitif, seringkali hanya mengandalkan isolasi fisik dan dukungan nutrisi. Tingkat keberhasilan rehabilitasi sangat rendah, terutama karena pengguna yang sembuh seringkali kembali ke lingkungan sosial yang masih dipenuhi madat legal yang dijual oleh pemerintah.
Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya pengetahuan medis yang memadai tentang kecanduan pada saat itu. Kecanduan seringkali dilihat sebagai kelemahan moral atau kejahatan, bukan sebagai penyakit kronis. Dokter-dokter kolonial yang berusaha menerapkan metode detoksifikasi modern seringkali terhambat oleh kurangnya sumber daya dan, yang terpenting, oleh fakta bahwa pemerintah secara aktif mempertahankan pasokan madat yang mudah diakses.
C. Transisi Penggunaan dari Opium ke Morfin/Heroin
Menjelang akhir masa kolonial, terutama di tahun 1920-an dan 1930-an, mulai terjadi pergeseran kecil dalam jenis narkotika yang digunakan. Seiring dengan peningkatan regulasi dan tekanan internasional terhadap opium mentah, penyelundup dan pengguna mulai beralih ke turunan opium yang lebih kuat dan mudah disembunyikan, seperti morfin dan di kemudian hari, heroin. Perubahan ini mempercepat tingkat kecanduan dan meningkatkan risiko kesehatan yang terkait, menyiapkan panggung untuk masalah narkotika yang lebih kompleks di era pasca-kolonial.
VI. Akhir Monopoli dan Warisan Madat
A. Penghapusan Opiumregie
Pendapatan dari Opiumregie mulai menurun drastis pada tahun 1930-an, terutama setelah Depresi Besar (Malaise). Kondisi ekonomi yang sulit menyebabkan daya beli masyarakat anjlok, dan bahkan para pecandu pun tidak mampu membeli madat resmi. Selain itu, tekanan internasional dan meningkatnya kesadaran publik di Belanda sendiri membuat monopoli madat semakin tidak dapat dipertahankan secara etis maupun politis. Pemerintah kolonial mulai merencanakan penutupan Opiumregie, meskipun prosesnya dipercepat secara tak terduga oleh pecahnya Perang Dunia II dan pendudukan Jepang.
Selama pendudukan Jepang (1942–1945), kontrol atas madat menjadi tidak menentu. Jepang pada awalnya mencoba mengambil alih sistem monopoli, tetapi kekacauan perang dan logistik membuat perdagangan resmi terhenti. Kekosongan kekuasaan ini ironisnya menyebabkan peningkatan penyelundupan dan produksi madat skala kecil secara lokal di beberapa wilayah.
Setelah Indonesia merdeka, salah satu tindakan cepat yang dilakukan oleh pemerintah republik adalah menghapuskan secara resmi segala bentuk perdagangan madat yang legal. Pemerintah Indonesia mengakui bahwa madat adalah warisan kolonial yang merusak dan harus diberantas sepenuhnya. Penutupan Opiumregie secara definitif menandai berakhirnya era di mana negara secara resmi menjadi distributor narkotika.
B. Madat dan Warisan Kriminalitas
Meskipun Opiumregie ditutup, warisan madat tidak serta merta hilang. Infrastruktur kecanduan, jaringan penyelundupan yang terbentuk kuat selama puluhan tahun, dan kebutuhan yang tak terpuaskan dari ribuan pecandu lama menjadi masalah besar yang diwarisi oleh negara baru. Penyelundupan berubah dari komoditas yang bersaing dengan monopoli pemerintah menjadi kegiatan kriminal sepenuhnya.
Penyelundup lama, yang terbiasa beroperasi di bawah mata kolonial, dengan cepat menyesuaikan diri untuk memenuhi permintaan yang kini sepenuhnya ilegal. Opium yang dulunya legal dan dikontrol negara kini menjadi fondasi bagi munculnya pasar gelap narkotika di Indonesia, yang pada gilirannya membuka jalan bagi masuknya jenis-jenis narkoba yang lebih modern di paruh kedua abad ke-20.
C. Trauma dan Ingatan Kolektif
Madat meninggalkan trauma kolektif yang mendalam di masyarakat. Kisah-kisah tentang kehancuran keluarga, hilangnya harta benda, dan kematian dini akibat kecanduan madat menjadi bagian dari ingatan sejarah lokal di banyak komunitas. Pengalaman pahit ini memberikan pelajaran penting tentang bahaya komodifikasi kecanduan dan bahaya dari kebijakan negara yang memprioritaskan keuntungan fiskal di atas kesejahteraan rakyat. Warisan ini terus bergema dalam upaya Indonesia modern untuk memerangi penyalahgunaan narkotika, sebuah perjuangan yang akarnya terentang jauh ke dalam struktur ekonomi kolonial Opiumregie.
VII. Analisis Mendalam: Ketergantungan Fiskal dan Kritik Opiumregie
A. Metodologi Penentuan Harga dan Target Penjualan
Untuk memahami sepenuhnya bagaimana Opiumregie dapat menghasilkan pendapatan yang begitu besar, kita harus meneliti metodologi penetapan harga mereka. Harga madat tidak ditentukan berdasarkan biaya produksi (yang relatif rendah), tetapi berdasarkan apa yang pasar, yaitu para pecandu, sanggup bayar. Kebijakan ini disebut sebagai maksimalisasi surplus konsumen dalam konteks yang paling merusak. Pemerintah memastikan bahwa harga tersebut cukup tinggi sehingga satu gram madat resmi memberikan keuntungan besar bagi kas negara, namun tidak terlalu tinggi hingga mendorong pengguna massal beralih sepenuhnya ke penyelundupan atau menghentikan penggunaan.
Regi Candu juga menerapkan sistem target penjualan (quota) di beberapa wilayah, meskipun secara resmi hal ini dibantah oleh Den Haag karena dianggap terlalu eksplisit dalam mendorong kecanduan. Namun, bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa para kontrolir di lapangan seringkali diberi insentif berdasarkan volume penjualan madat di distrik mereka. Praktik ini secara langsung mendorong birokrat lokal, baik Belanda maupun pribumi, untuk secara pasif membiarkan atau bahkan secara aktif mempromosikan akses madat di kalangan populasi yang rentan, asalkan mereka membeli dari sumber resmi.
B. Perbandingan dengan Monopoli Garam dan Benda Cukai Lain
Penting untuk membedakan monopoli madat dari monopoli kolonial lainnya, seperti monopoli garam (Zoutregie). Meskipun keduanya merupakan sumber pendapatan negara yang signifikan dan dikelola dengan birokrasi yang serupa, perbedaan moral dan dampaknya sangat mendasar. Garam adalah kebutuhan pokok yang dikenakan pajak; madat adalah zat adiktif yang dilegalkan, dipromosikan, dan dipertahankan ketersediaannya oleh negara untuk meraup keuntungan dari penyakit sosial yang diciptakannya sendiri. Kritik kaum etis seringkali menggunakan perbandingan ini untuk menyoroti kebejatan moral Opiumregie.
Ketergantungan fiskal pada madat menciptakan sebuah paradoks ekonomi: pemerintah menginginkan stabilitas sosial untuk perkebunan mereka, tetapi mereka juga membutuhkan populasi yang rentan dan kecanduan untuk memastikan aliran pendapatan Opiumregie. Ini mengarah pada kebijakan yang sangat tidak konsisten: kadang-kadang membatasi, tetapi selalu memastikan ketersediaan. Selama beberapa dekade, keuntungan madat secara efektif mensubsidi operasi administrasi kolonial lainnya, termasuk pembangunan infrastruktur dan militer.
C. Struktur Birokrasi dan Korporasi Opiumregie
Opiumregie berfungsi layaknya sebuah korporasi negara modern, lengkap dengan divisi produksi, pengawasan, penjualan, dan intelijen (Opium Recherche). Pabrik pemurnian di Batavia adalah fasilitas industri yang canggih pada masanya, memproses ton demi ton candu mentah. Karyawan Opiumregie, dari direktur Belanda hingga mandor pribumi, merupakan kelompok yang sangat kuat dan seringkali dibenci masyarakat. Mereka mendapatkan gaji yang stabil, tetapi pekerjaan mereka menempatkan mereka dalam posisi yang sangat kontroversial secara etis.
Sistem akuntansi Opiumregie adalah salah satu yang paling detail dan ketat di seluruh administrasi kolonial, mencerminkan betapa pentingnya setiap sen dari bisnis ini. Laporan keuangan tahunan Opiumregie diawasi ketat oleh Parlemen Belanda, menunjukkan bahwa perdagangan narkotika adalah masalah politik tingkat tinggi di Den Haag. Ketika gerakan anti-madat mulai mendapatkan momentum, pemerintah kolonial selalu membalas dengan menampilkan angka-angka fiskal yang menakutkan, mengklaim bahwa penghapusan madat akan berarti pemotongan besar pada layanan publik atau kenaikan pajak drastis pada komoditas lain.
D. Kasus-kasus Regional: Jawa dan Luar Jawa
Konsumsi madat di Jawa, terutama di kota-kota pelabuhan dan sentra perkebunan, sangat intensif karena populasi yang padat dan adanya komunitas Tionghoa yang besar. Namun, pola penggunaan di luar Jawa menunjukkan dinamika yang berbeda. Di Sumatra Timur, misalnya, madat digunakan secara ekstensif oleh kuli kontrak yang didatangkan dari Tiongkok dan Jawa, sebagai alat untuk mengontrol dan mempertahankan disiplin kerja di perkebunan tembakau dan karet. Para mandor seringkali menggunakan madat sebagai bagian dari sistem upah atau sebagai alat penekan utang, memastikan bahwa kuli kontrak tersebut tetap terikat pada perkebunan.
Di daerah terpencil di Kalimantan atau Sulawesi, Opiumregie mungkin tidak seefisien di Jawa, dan penyelundupan seringkali lebih dominan. Namun, efeknya tetap sama: kehancuran ekonomi lokal. Di daerah-daerah ini, perdagangan madat seringkali dihubungkan dengan perdagangan budak atau eksploitasi hasil hutan, menciptakan jaringan kriminal yang saling terkait dan merusak ekosistem sosial secara permanen.
E. Filosofi Kontrol vs. Keuntungan
Sejak pembentukannya, Opiumregie secara resmi menyatakan tujuannya adalah mengontrol penggunaan madat, bukan hanya mendapatkan keuntungan. Mereka mengklaim bahwa monopoli negara adalah cara terbaik untuk membatasi penyalahgunaan dibandingkan sistem konsesi swasta yang dianggap terlalu rakus dan tidak terkontrol. Namun, dalam praktiknya, filosofi ini gagal total. Meskipun ada upaya untuk membatasi penjualan kepada anak-anak atau di dekat tempat ibadah, kenyataannya adalah Opiumregie gagal total dalam membatasi total penggunaan. Sebaliknya, dengan memastikan ketersediaan madat yang terstandarisasi di setiap pelosok, mereka justru melegitimasi dan menormalisasi kecanduan di masyarakat.
Pemerintah kolonial terus berargumen bahwa jika mereka tidak menjual madat, para penyelundup yang lebih berbahaya akan melakukannya. Logika ini, yang dikenal sebagai lesser evil argument, digunakan untuk membenarkan tindakan mereka selama puluhan tahun. Namun, para kritikus menunjukkan bahwa dengan keuntungan yang diperoleh, pemerintah memiliki kewajiban moral untuk menghentikan seluruh perdagangan, bukan malah menjadi pemain utamanya.
VIII. Kontroversi Internasional dan Tekanan Global
A. Konferensi Opium Shanghai 1909 dan Den Haag 1912
Isu madat di Hindia Belanda tidak hanya menjadi urusan domestik kolonial. Sejak awal abad ke-20, tekanan internasional mulai meningkat, terutama dari Amerika Serikat dan Inggris, yang khawatir tentang dampak perdagangan opium di Asia. Konferensi Opium Internasional di Shanghai pada tahun 1909 adalah momen penting yang memaksa negara-negara kolonial, termasuk Belanda, untuk mengakui masalah kecanduan dan berjanji untuk mengambil langkah-langkah mitigasi.
Konferensi Den Haag 1912, yang menghasilkan Konvensi Opium Internasional pertama, mewajibkan negara-negara untuk mengontrol produksi, distribusi, dan penggunaan opium. Meskipun Belanda meratifikasi konvensi ini, tindakan yang mereka ambil di Hindia Belanda seringkali hanya setengah hati. Belanda terus berargumen bahwa mereka membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan transisi fiskal. Mereka berdalih bahwa kontrol ketat Opiumregie sudah memenuhi persyaratan konvensi, padahal yang terjadi adalah kontrol untuk keuntungan, bukan untuk pemberantasan.
B. Liga Bangsa-Bangsa dan Komite Narkotika
Setelah Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu PBB) mendirikan Komite Penasihat tentang Perdagangan Opium dan Obat Berbahaya. Komite ini secara rutin menginterogasi Belanda mengenai kebijakan Opiumregie mereka. Tekanan dari Liga Bangsa-Bangsa, yang dipimpin oleh aktivis anti-narkotika dari AS dan negara-negara lain, sangat memalukan bagi Belanda. Laporan-laporan dari Hindia Belanda seringkali berusaha menyamarkan skala sebenarnya dari ketergantungan fiskal dan sosial terhadap madat.
Dalam menghadapi pengawasan global ini, Pemerintah Kolonial terpaksa mulai mempublikasikan data yang lebih transparan mengenai jumlah pengguna dan pendapatan. Namun, data ini seringkali dimanipulasi untuk menunjukkan bahwa penggunaan madat sedang dalam tren menurun, atau bahwa Opiumregie hanya berfungsi sebagai layanan yang mengendalikan ‘kejahatan’ yang sudah ada. Ironisnya, pengawasan internasional justru memperkuat birokrasi Opiumregie dalam hal pelaporan, namun tidak selalu dalam hal perubahan kebijakan substansial.
C. Peran Koperasi dan Penggantian Pendapatan
Sebagai respons terhadap tekanan global, Belanda mulai merumuskan rencana jangka panjang untuk menghapus Opiumregie. Rencana ini melibatkan dua pilar utama: meningkatkan penerimaan dari sumber non-madat (seperti pajak baru atau cukai lainnya) dan memperkenalkan koperasi atau sistem swasta yang lebih terkontrol untuk mengelola penjualan, yang diharapkan akan terlihat lebih etis di mata dunia internasional. Namun, sebelum rencana ini dapat sepenuhnya dilaksanakan, krisis ekonomi 1930-an dan kemudian perang intervensi.
Pelajaran dari sejarah madat di Nusantara menunjukkan bahwa intervensi global dan tekanan moral seringkali diperlukan untuk memaksa pemerintah kolonial mengakhiri praktik eksploitatif yang secara finansial sangat menguntungkan. Namun, bahkan di bawah tekanan, pemerintah kolonial sangat enggan melepaskan sumber pendapatan yang begitu stabil dan besar.
IX. Refleksi dan Warisan Abadi Kecanduan Madat
A. Pembentukan Psikologi Sosial Kecanduan
Pengalaman panjang dengan madat di Nusantara tidak hanya meninggalkan bekas fisik dan ekonomi, tetapi juga membentuk psikologi sosial tertentu terkait dengan kecanduan. Madat, selama periode kolonial, mencontohkan bagaimana ketergantungan dapat dilembagakan dan bahkan dihormati secara finansial oleh negara. Fenomena ini menanamkan benih pemahaman yang rumit mengenai narkotika di Indonesia, di mana batas antara penggunaan rekreasi, pengobatan tradisional, dan kecanduan yang merusak menjadi kabur selama beberapa generasi.
Warisan ini terlihat dalam bagaimana masyarakat pasca-kolonial bereaksi terhadap masalah narkotika modern. Ada keinginan kuat untuk memberantas narkoba secara total, sebuah reaksi yang mungkin berakar pada trauma kolektif menyaksikan bagaimana negara kolonial menggunakan zat adiktif untuk menghancurkan masyarakat secara sistematis. Kebijakan keras anti-narkotika di Indonesia modern dapat dilihat, sebagian, sebagai pembalasan terhadap sejarah Opiumregie yang memungkinkan kehancuran tersebut terjadi.
B. Dampak pada Infrastruktur Ekonomi
Ketika Opiumregie akhirnya ditutup, muncul lubang besar dalam anggaran negara. Meskipun Indonesia merdeka pada dasarnya menolak model ekonomi berbasis eksploitasi kecanduan, transisi ke sistem fiskal yang sehat membutuhkan waktu yang lama dan sulit. Modal yang seharusnya diinvestasikan dalam pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di masa kolonial justru diserap habis oleh bisnis madat, yang hanya menguntungkan elit kolonial dan jaringan kroni mereka.
Warisan Opiumregie juga mencakup jaringan penyelundupan yang adaptif dan kuat. Ketika perdagangan madat dilegalkan, jaringan kriminal beralih ke komoditas selundupan lainnya atau tetap fokus pada narkotika ilegal. Para penyelundup yang terlatih dalam menghindari patroli Opium Recherche menjadi cikal bakal organisasi kriminal yang berurusan dengan narkoba dan komoditas gelap lainnya di era Republik.
C. Kesimpulan Sejarah
Kisah madat di Nusantara adalah cerminan yang menyedihkan dari kebijakan kolonial yang paling sinis. Ini adalah kisah tentang bagaimana komoditas dari satu bunga dapat menjadi inti dari sebuah kekaisaran, sekaligus racun yang mematikan bagi jutaan orang. Opiumregie berdiri sebagai monumen keangkuhan dan ketamakan kolonial, sebuah perusahaan negara yang dibangun di atas kesengsaraan manusia. Pemahaman mendalam tentang sejarah madat sangat krusial, bukan hanya untuk mengisi lembar sejarah, tetapi untuk memahami akar masalah sosial dan ekonomi yang masih berlanjut di Indonesia hingga hari ini.
Dari pajak konsesi yang brutal hingga monopoli ketat Opiumregie, setiap langkah dalam sejarah madat di Hindia Belanda didorong oleh perhitungan keuntungan yang mengesampingkan segala pertimbangan etis. Warisan ini menjadi pengingat abadi bahwa kemakmuran suatu negara tidak boleh dibangun di atas kecanduan dan kehancuran rakyatnya sendiri. Perjuangan melawan narkotika hari ini adalah gema dari perlawanan moral yang dimulai jauh sebelum kemerdekaan, melawan sistem yang telah menjadikan madat sebagai raja di jantung Nusantara.
Rincian operasional, mulai dari penunjukan mandor, sistem kredit, hingga strategi anti-penyelundupan, menunjukkan tingkat organisasi yang luar biasa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial untuk melindungi keuntungan mereka. Setiap aspek kehidupan sosial—dari rumah madat di Batavia hingga gubuk kuli di Sumatera—dipengaruhi oleh kebijakan yang didikte dari pabrik pemurnian di Jawa. Dampak ekonomi dan sosial dari madat tidak hanya terbatas pada pengguna langsung; seluruh struktur keluarga, komunitas, dan bahkan sistem keuangan kolonial terjerat dalam jaring opium yang ditenun dengan rapi dan mematikan oleh Opiumregie.
Pada akhirnya, sejarah madat adalah pelajaran tentang bagaimana kekuatan ekonomi dapat disalahgunakan untuk melanggengkan penderitaan, dan bagaimana keuntungan finansial yang besar dapat membutakan penguasa terhadap kehancuran moral yang mereka sebabkan. Penghapusan Opiumregie adalah kemenangan moral yang penting bagi bangsa Indonesia, meskipun sisa-sisa trauma dan infrastruktur kecanduannya terus menjadi tantangan hingga kini.
Diskusi mengenai madat harus terus mencakup lapisan-lapisan kompleks dari kebijakan kolonial: bagaimana mereka mengatur pasokan, bagaimana mereka menetapkan harga untuk memastikan keuntungan maksimal sambil tetap bersaing dengan penyelundup, dan bagaimana mereka secara efektif menciptakan dan mempertahankan pasar pecandu yang loyal. Semua ini terangkum dalam satu institusi, Opiumregie, yang namanya selamanya terukir dalam sejarah kelam eksploitasi Hindia Belanda. Memahami Opiumregie adalah memahami bagaimana uang kotor dapat menjadi tulang punggung dari sebuah imperium, dan bagaimana masyarakat lokal dipaksa membayar harga tertinggi untuk stabilitas fiskal asing.
Oleh karena itu, setiap kajian mendalam mengenai era kolonial di Indonesia harus menyertakan bab khusus mengenai madat, menimbang bobot finansialnya terhadap kerusakan sosial yang tak terhitung. Sejarah Opiumregie adalah studi kasus klasik tentang moralitas dalam pemerintahan dan bahaya ketika negara menjadi distributor tunggal dari produk yang menghancurkan. Ribuan kata ini hanyalah upaya untuk merangkum horor struktural dari sebuah sistem yang secara sah memperdagangkan kecanduan demi keuntungan pemerintah. Pengaruh madat masih terasa dalam ingatan kolektif Indonesia.
Warisan Penderitaan Sosial akibat Madat.