Suku Lundayeh, atau seringkali dikenal dengan sebutan Lun Bawang di Malaysia dan Brunei, merupakan salah satu kelompok etnis yang mendiami wilayah pedalaman hulu Borneo. Mereka tersebar di perbatasan tiga negara: Kalimantan Utara (Indonesia), Sarawak dan Sabah (Malaysia), serta Brunei Darussalam. Kehidupan Lundayeh sangat terikat erat dengan dataran tinggi yang sejuk, sungai-sungai jernih, dan sistem pertanian sawah yang canggih—sebuah warisan yang membedakan mereka dari banyak suku Dayak lainnya di pulau tersebut. Artikel ini menyelami kekayaan sejarah, adat istiadat, bahasa, dan tantangan modern yang dihadapi oleh komunitas yang menyebut diri mereka sebagai ‘Orang Hulu’ atau ‘Orang Pedalaman’ (Lun Dayeh).
Istilah Lundayeh secara harfiah berarti ‘Orang Pedalaman’ (Lun = Orang, Dayeh = Hulu/Pedalaman/Atas). Meskipun nama ini umum digunakan di Indonesia, penelitian antropologis seringkali menyamakan atau menghubungkan mereka erat dengan Lun Bawang, Lun Daye, atau Lun Dayoh. Wilayah inti tradisional mereka berpusat di Dataran Tinggi Apo Duat, yang mencakup Krayan (Kalimantan Utara) dan Lembah Lawas (Sarawak).
Apo Duat bukan sekadar wilayah geografis, melainkan jantung budaya dan sejarah Lundayeh. Terletak pada ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut, dataran tinggi ini menawarkan iklim yang lebih dingin dan tanah yang subur, sangat ideal untuk praktik pertanian padi sawah, yang jarang ditemukan di Borneo pada masa lalu. Sungai-sungai seperti Sungai Krayan, Sungai Lawas, dan Sungai Trusan menjadi jalur kehidupan dan transportasi utama.
Secara administratif, komunitas Lundayeh tersebar di:
Sejarah lisan Lundayeh dipenuhi dengan kisah-kisah migrasi dan perjuangan. Salah satu narasi yang paling kuat adalah kisah tentang kedatangan mereka dari hilir ke hulu, atau mungkin berasal dari wilayah pegunungan yang lebih tinggi. Mereka memiliki kesamaan linguistik dan budaya yang erat dengan suku Kelabit dan Sa’ban, menunjukkan adanya hubungan historis atau asal usul yang sama dari kelompok yang lebih besar yang dikenal sebagai ‘Kelompok Krayan’.
Masa sebelum kontak intensif dengan dunia luar dikenal sebagai era kegelapan atau era peperangan kepala (ngayau). Sebelum kedatangan agama dan penjajahan, kehidupan Lundayeh didominasi oleh sistem kesukuan yang terfragmentasi, sering terlibat dalam konflik untuk memperebutkan wilayah subur dan mempertahankan kehormatan. Struktur kepemimpinan masa itu sangat bergantung pada kemampuan militer dan kekayaan (khususnya manik-manik dan tempayan antik).
Sistem sosial kuno Lundayeh menunjukkan adanya penekanan kuat pada prestasi. Seorang pria yang berhasil dalam peperangan atau memiliki kekayaan signifikan (seperti memimpin ekspedisi berburu, atau memiliki banyak kerbau dan barang-barang berharga) akan dihormati sebagai Lun Me’rayeh (Orang Besar/Kaya).
Masyarakat Lundayeh dibangun di atas fondasi keluarga besar dan komunitas yang berpusat pada rumah panjang. Meskipun telah banyak yang beralih ke rumah tunggal modern, konsep gotong royong dan ikatan darah tetap menjadi pilar utama kehidupan sosial.
Secara tradisional, Lundayeh tinggal di Mekah (rumah panjang) yang ukurannya bisa sangat besar, menampung puluhan keluarga yang terhubung secara kekerabatan. Mekah berfungsi bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai pusat kegiatan ritual, musyawarah, dan pertahanan. Setiap Mekah dipimpin oleh seorang Lun Me'rayeh atau Kepala Kampung yang dihormati, seringkali dipilih berdasarkan kebijaksanaan, kemampuan orasi, dan kekayaan yang dimilikinya.
Filosofi hidup Lundayeh sangat menjunjung tinggi kerja sama kolektif yang disebut berayung. Berayung diterapkan dalam semua aspek kehidupan, mulai dari membersihkan ladang, menanam padi, hingga membangun rumah baru. Ini memastikan bahwa beban kerja terbagi rata dan ikatan sosial tetap kuat.
Meskipun dikenal sebagai masyarakat yang relatif egaliter dibandingkan beberapa suku Dayak lain yang memiliki kasta budak yang jelas, Lundayeh memiliki sistem status yang didasarkan pada kekayaan (barang prestisius) dan keberanian:
Status sosial dapat diubah melalui prestasi (meritocracy). Dengan kerja keras, keberanian, atau pernikahan yang strategis, seseorang dari golongan Lun Tau’ bisa meningkatkan statusnya, terutama jika mereka mampu memimpin komunitas atau berhasil memanen padi Adan dengan melimpah.
Lundayeh sangat terkenal karena penguasaan teknik padi sawah (irigasi basah) di dataran tinggi, praktik yang unik di pedalaman Borneo. Sementara banyak suku Dayak bergantung pada ladang berpindah (berocok tanam kering), Lundayeh telah lama membangun sistem irigasi parit dan bendungan yang rumit.
Komoditas utama mereka adalah Padi Adan, varietas padi yang terkenal karena kualitasnya yang tinggi, aromanya, dan teksturnya. Padi Adan menjadi penanda identitas dan kekayaan budaya Lundayeh. Keberhasilan panen Padi Adan tidak hanya menjamin ketahanan pangan, tetapi juga memperkuat posisi sosial keluarga di Mekah.
Selain padi, sistem pertanian juga mencakup penanaman ubi, tebu, dan sayuran. Hewan ternak, khususnya kerbau (kerubau), memegang peran ganda: sebagai alat pertanian (membajak sawah) dan sebagai simbol kekayaan dan persembahan dalam upacara adat besar, terutama pernikahan dan pemakaman.
Integrasi sistem sawah ini membutuhkan pengetahuan ekologis yang mendalam mengenai siklus air, cuaca, dan tanah, yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa lisan dan praktik langsung di lapangan. Ketepatan waktu dalam menanam dan memanen diatur oleh kalender adat yang sangat rinci.
Bahasa yang digunakan oleh Lundayeh dikenal sebagai Bahasa Ulung (atau Lun Bawang Language). Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, dan memiliki kedekatan dengan Kelabit dan Tidung. Bahasa Ulung berfungsi sebagai penanda identitas kultural yang kuat, dan memiliki kekayaan sastra lisan yang luar biasa.
Bahasa Ulung menunjukkan variasi dialek signifikan tergantung lokasi geografis (Krayan, Lawas, Temburong). Namun, secara umum, mereka saling memahami. Upaya pelestarian bahasa ini menjadi krusial di era modern, mengingat tekanan dari bahasa nasional (Indonesia dan Melayu).
Beberapa kosakata penting yang mencerminkan pandangan dunia Lundayeh adalah:
Tradisi lisan Lundayeh sangat kaya dan merupakan repositori utama sejarah dan nilai-nilai moral mereka. Ada dua bentuk sastra lisan yang paling menonjol:
Layut adalah bentuk puisi naratif panjang yang dinyanyikan, menceritakan kisah-kisah kepahlawanan, perjalanan spiritual, dan mitos penciptaan. Layut seringkali dibawakan oleh penyanyi ahli (Lun Layut) dalam acara-acara komunal atau perayaan. Irama dan melodi Layut memiliki kekuatan mistis dan edukatif, mengajarkan nilai-nilai keberanian, kejujuran, dan penghormatan terhadap alam. Isi Layut seringkali menyentuh silsilah, yang sangat penting untuk menegaskan ikatan kekerabatan dan hak atas tanah.
Petudui adalah cerita rakyat atau dongeng yang berfungsi untuk memberikan pendidikan moral kepada anak-anak. Kisah-kisah ini sering melibatkan binatang, roh, dan tokoh-tokoh historis yang mengajarkan tentang konsekuensi melanggar adat (Adet Lun) atau pentingnya hidup harmonis dengan alam.
Musik memainkan peran integral dalam kehidupan Lundayeh. Instrumen utama termasuk sape’ (kecapi dua tali), tambul (gendang), dan berbagai jenis gong. Musik digunakan untuk mengiringi tarian komunal, upacara panen, dan perayaan besar. Sape’ sering dimainkan untuk menenangkan roh atau memimpin prosesi ritual. Melodinya cenderung repetitif dan meditatif, mencerminkan ketenangan dan keindahan alam dataran tinggi.
Keberadaan tradisi lisan yang kuat ini memastikan bahwa pengetahuan kuno tentang pertanian, pengobatan herbal, dan navigasi di hutan tidak hilang, meskipun tingkat literasi formal meningkat.
Seperti banyak suku Dayak lainnya, Lundayeh memiliki sistem kepercayaan tradisional yang berbasis pada animisme dan penghormatan terhadap alam sebelum kedatangan agama monoteistik. Namun, transformasi keagamaan di kalangan Lundayeh adalah salah satu yang paling menyeluruh di Borneo.
Dalam kepercayaan tradisional, yang disebut Adet Lun, dunia dipandang sebagai tempat yang dihuni oleh berbagai roh (Bali). Bali dapat berupa roh leluhur, roh penjaga hutan, sungai, atau gunung. Keseimbangan kosmik sangat penting. Pelanggaran terhadap adat atau penghinaan terhadap Bali dapat menyebabkan musibah, penyakit, atau kegagalan panen.
Dukun (dayung atau petawai) memainkan peran penting sebagai perantara antara dunia manusia dan dunia roh. Mereka bertanggung jawab untuk penyembuhan, ramalan, dan memimpin upacara-upacara besar seperti irau.
Praktik ngayau (pengayauan atau perburuan kepala) pada masa lalu, meskipun kejam, terkait erat dengan kosmologi: kepala musuh dianggap memiliki kekuatan spiritual yang dapat mendatangkan kesuburan dan memperkuat komunitas.
Gelombang besar konversi agama di kalangan Lundayeh terjadi pada awal hingga pertengahan abad ke-20, terutama didorong oleh misi-misi Kristen Protestan (khususnya Borneo Evangelical Mission - BEM). Proses ini sangat cepat dan mendalam, menghasilkan perubahan sosial yang signifikan.
Kekristenan di kalangan Lundayeh (khususnya gereja Sidang Injil Borneo/SIB di Malaysia dan GBI/Gereja Borneo Injil di Indonesia) tidak hanya menggantikan ritual animistik, tetapi juga berfungsi sebagai alat pemersatu. Konversi ini secara efektif mengakhiri praktik ngayau dan meredam konflik antar-kampung, menciptakan identitas Lundayeh yang lebih homogen dan damai.
Namun, aspek-aspek budaya tradisional tetap dipertahankan melalui sinkretisme. Banyak lagu dan tradisi lisan diadaptasi untuk tujuan rohani, sementara nilai-nilai kolektif (seperti berayung) diintegrasikan ke dalam praktik gereja dan sosial modern.
Adat istiadat Lundayeh sangat terperinci, terutama dalam mengelola transisi besar kehidupan: kelahiran, pernikahan, dan kematian.
Pemberian nama (Natam) adalah momen penting. Secara tradisional, Lundayeh memiliki sistem penamaan di mana anak mengambil bagian dari nama ayah atau ibunya, seringkali ditambahi awalan seperti Uyau (untuk pria) atau Dayang (untuk wanita) yang berarti 'putra' atau 'putri' dari seseorang.
Sistem ini menciptakan silsilah yang mudah dilacak dan memperkuat ikatan kekerabatan. Setelah kelahiran, serangkaian pantangan diikuti untuk melindungi ibu dan bayi dari gangguan roh jahat (Bali da’at).
Pernikahan adalah peristiwa komunal yang melibatkan pertukaran mas kawin (dian). Nilai dian secara tradisional sangat tinggi, seringkali melibatkan manik-manik kuno, gong, atau bahkan kerbau. Nilai dian menunjukkan status keluarga kedua belah pihak.
Proses pernikahan melibatkan negosiasi yang panjang antara keluarga. Upacara adat biasanya dimeriahkan dengan pesta besar yang disebut irau kawin, yang bisa berlangsung beberapa hari. Dalam konteks modern, meskipun pesta telah disederhanakan dan dikombinasikan dengan ritual Kristen, pentingnya dian sebagai pengakuan terhadap kekayaan dan ikatan kekerabatan tetap bertahan.
Pemakaman tradisional Lundayeh adalah upacara yang kompleks, yang pada masa lalu melibatkan pengorbanan hewan (kerbau) yang signifikan dan bisa berlangsung lama.
Ketika seseorang meninggal, diyakini rohnya memulai perjalanan ke alam baka. Ritual kematian bertujuan untuk memastikan roh tersebut mencapai tujuannya dengan aman dan tidak kembali mengganggu yang masih hidup.
Di masa lalu, pemakaman elit melibatkan pembuatan peti mati khusus dan penguburan sekunder (di mana tulang belulang akan dipindahkan ke tempayan atau peti mati yang lebih permanen). Saat ini, praktik Kristen telah mengambil alih sebagian besar ritual, tetapi penghormatan terhadap jenazah dan peran keluarga besar dalam prosesi tetap dipertahankan.
Seni Lundayeh adalah cerminan langsung dari lingkungan alam mereka dan sistem sosial yang menghargai keindahan dan status. Tiga aspek utama adalah manik-manik, ukiran, dan praktik tato tradisional.
Manik-manik memiliki nilai estetika dan ekonomi yang sangat tinggi. Manik-manik kuno, seringkali diimpor dari perdagangan masa lalu (seperti manik-manik Venice), dianggap sebagai harta warisan (pusaka). Mereka digunakan sebagai mas kawin (dian), simbol status, dan dekorasi ritual.
Lundayeh mahir dalam menyusun manik-manik menjadi perhiasan kepala (seraung), kalung, dan hiasan baju. Motif yang digunakan seringkali adalah motif geometris, tumbuhan, atau motif naga/buaya yang disederhanakan, mencerminkan pandangan kosmologis mereka.
Pakaian tradisional Lundayeh secara historis terbuat dari kulit kayu (terutama kulit kayu terap) yang ditenun atau dipukul halus. Saat ini, kain tenun dan kain beludru lebih umum digunakan untuk upacara. Pria mengenakan cawat (cawat) yang dihiasi manik-manik, sementara wanita mengenakan sarung (ta’ah) dan atasan yang kaya dengan sulaman manik.
Aksesori kepala sangat penting. Pria memakai topi dari rotan atau kulit kayu yang dihiasi taring babi hutan atau bulu burung. Wanita menggunakan mahkota manik-manik yang sangat rumit, melambangkan status dan garis keturunan yang terhormat.
Tato (betiti) pada masa lalu adalah praktik penting yang menandakan pencapaian, perjalanan, atau status sosial. Meskipun praktik ini telah banyak berkurang setelah konversi agama, studi etnografi menunjukkan bahwa tato Lundayeh seringkali berupa motif geometris atau representasi tumbuhan dan hewan yang dianggap sakral. Lengan, kaki, dan dada adalah area umum untuk tato. Bagi wanita, tato di tangan dan pergelangan tangan berfungsi sebagai perhiasan abadi, sementara bagi pria, tato di dada menunjukkan keberanian militer.
Hidup di pedalaman hutan hujan tropis telah memberikan Lundayeh pengetahuan ekologis yang mendalam dan sistem pengobatan tradisional yang komprehensif.
Pengobatan Lundayeh bergantung pada penggunaan tanaman herbal yang tumbuh di hutan Apo Duat. Pengetahuan tentang ramuan ini dipegang oleh dayung atau dukun, dan juga oleh para wanita tua dalam komunitas. Mereka menggunakan akar, daun, dan kulit kayu untuk mengobati penyakit umum, luka, dan masalah internal.
Konsep penyakit seringkali dihubungkan dengan ketidakseimbangan spiritual atau gangguan dari roh. Oleh karena itu, pengobatan tidak hanya melibatkan fisik (pemberian ramuan) tetapi juga ritual (berupa doa atau persembahan kecil) untuk memulihkan keseimbangan spiritual pasien.
Lundayeh adalah navigator ulung di hutan. Mereka mampu membaca tanda-tanda alam, baik itu arah angin, jenis vegetasi, atau suara binatang, untuk menentukan arah dan memprediksi cuaca. Keahlian ini sangat penting untuk kegiatan berburu, mencari hasil hutan, dan menjelajahi wilayah baru untuk membuka ladang.
Mereka memiliki pengetahuan yang sangat detail tentang siklus hidup tanaman dan hewan di wilayah mereka, yang mendasari keberhasilan sistem pertanian mereka. Pemahaman ini juga mencakup praktik konservasi tradisional, seperti penetapan hutan larangan (walaupun tidak diformalkan seperti konservasi modern), untuk memastikan sumber daya alam tidak habis dieksploitasi.
Keahlian membuat peralatan dari rotan, bambu, dan kayu juga tak tertandingi. Dari keranjang (bubu) untuk menjebak ikan, hingga wadah penyimpanan (tapan), semua dibuat dengan material lokal, menunjukkan kemampuan adaptasi mereka terhadap lingkungan yang menantang.
Untuk memahami kedalaman budaya Lundayeh, perlu dilakukan penekanan lebih lanjut pada filosofi di balik praktik sehari-hari, terutama yang berkaitan dengan pertanian sawah, struktur kekeluargaan (kekerabatan), dan hukum adat.
Padi Adan yang dibudidayakan di Krayan adalah subjek penghormatan. Budidaya sawah bukan hanya kegiatan ekonomi, tetapi ritual tahunan yang menuntut kerja sama, kesabaran, dan penghormatan terhadap roh padi (Bali Padi).
Sistem irigasi Krayan adalah keajaiban rekayasa sosial. Setiap kampung memiliki hak dan tanggung jawab kolektif untuk menjaga sistem irigasi tetap berfungsi. Konflik air jarang terjadi karena adanya hukum adat yang mengatur penggunaan air secara adil, memastikan bahwa air mengalir dari hulu ke hilir tanpa hambatan yang disengaja.
Ritual menanam dan memanen padi Adan melibatkan doa-doa dan nyanyian tradisional. Ketika panen melimpah, itu dianggap sebagai anugerah spiritual dan moral, bukan hanya hasil kerja keras. Padi Adan sering digunakan sebagai hadiah diplomatik, memperkuat hubungan dengan suku-suku tetangga seperti Kelabit dan Sa’ban.
Unit sosial terkecil adalah keluarga inti, tetapi yang lebih dominan adalah kamin, yaitu kelompok kekerabatan yang lebih luas yang tinggal di Mekah yang sama atau berdekatan, saling membantu dalam pertanian dan ritual.
Sistem kekerabatan Lundayeh adalah bilateral, yang berarti keturunan dilacak dari sisi ayah dan ibu. Ini memberikan fleksibilitas dalam aliansi dan hak warisan. Namun, peran garis keturunan (genealogi) tetap penting dalam menentukan hak atas tanah dan akses ke harta pusaka.
Seorang individu Lundayeh selalu didefinisikan dalam kaitannya dengan kamin mereka. Keberhasilan atau kegagalan satu anggota mencerminkan seluruh keluarga. Konsep pertolongan timbal balik (berayung) adalah manifestasi praktis dari ikatan kamin ini, memastikan tidak ada anggota yang tertinggal dalam kesulitan.
Meskipun terdapat sistem hukum formal negara, hukum adat (Adet Lun) tetap berfungsi kuat di tingkat kampung, terutama dalam hal sengketa tanah, perselisihan domestik, dan pelanggaran moral kecil.
Keputusan adat dibuat melalui musyawarah yang dipimpin oleh Kepala Kampung dan dewan tetua (Lun Tu’a). Hukuman tradisional (denda) seringkali dibayar dalam bentuk barang berharga atau kerbau, yang kemudian dibagi antara pihak yang dirugikan dan komunitas. Proses musyawarah ini menekankan pada rekonsiliasi dan pemulihan harmoni sosial, daripada penghukuman yang murni bersifat retributif.
Konsistensi dan keadilan dalam menerapkan Adet Lun sangat vital bagi legitimasi kepemimpinan di pedalaman. Kepala Kampung yang bijaksana dan mampu menyelesaikan sengketa dengan adil akan dihormati sebagai pemimpin sejati (Lun Me’rayeh).
Masyarakat Lundayeh, meskipun berada di wilayah perbatasan yang terisolasi, tidak luput dari dampak modernisasi global. Mereka menghadapi tantangan signifikan dalam menyeimbangkan tradisi kuno dengan kebutuhan pembangunan.
Pembangunan infrastruktur, seperti jalan penghubung antara Krayan dan wilayah lain di Kalimantan, membawa peluang ekonomi tetapi juga ancaman serius terhadap lingkungan. Deforestasi ilegal dan konsesi logging dapat merusak ekosistem hutan yang menjadi sumber mata pencaharian dan obat-obatan tradisional Lundayeh.
Ancaman terbesar adalah terhadap sistem pertanian sawah kuno. Jika sumber air tercemar atau terganggu oleh aktivitas pertambangan atau penebangan, warisan padi Adan terancam punah. Komunitas Lundayeh secara aktif terlibat dalam upaya mempertahankan wilayah mereka sebagai zona konservasi budaya, menuntut adanya perlindungan hukum terhadap tanah adat (Tana’ Adet).
Generasi muda Lundayeh yang bermigrasi ke kota-kota besar (seperti Tarakan, Kuching, atau Kota Kinabalu) cenderung kehilangan kontak dengan bahasa Ulung. Globalisasi dan dominasi bahasa nasional di media dan pendidikan menekan penggunaan bahasa ibu di rumah.
Upaya pelestarian dilakukan melalui program bahasa di gereja dan sekolah lokal, serta inisiatif komunitas untuk mendokumentasikan Layut dan Petudui. Festival budaya, seperti Irau Nasi Adan di Krayan, juga berfungsi sebagai wadah untuk merayakan dan mempertahankan praktik adat.
Posisi Lundayeh di perbatasan tiga negara (Indonesia, Malaysia, Brunei) menciptakan tantangan identitas unik. Meskipun memiliki budaya dan bahasa yang sama, mereka dipisahkan oleh birokrasi dan kebijakan nasional yang berbeda.
Komunikasi dan mobilitas antar-komunitas Lundayeh di perbatasan (khususnya antara Krayan, Lawas, dan Temburong) tetap penting. Pertemuan adat lintas batas sering diadakan untuk memperkuat ikatan persaudaraan (silaturahim) dan memastikan kesamaan dalam praktik adat dan bahasa.
Inti dari keberadaan Lundayeh dapat dirangkum dalam beberapa nilai fundamental yang terus membentuk masyarakat mereka hingga hari ini. Nilai-nilai ini menjadi kunci mengapa budaya mereka berhasil bertahan di tengah badai modernisasi dan tekanan eksternal.
Filosofi ini menekankan pentingnya moralitas dan integritas. Seseorang harus selalu berusaha untuk Nawa’ Da’at (menghindari perbuatan buruk, perselisihan, dan ketidakjujuran). Hal ini sangat terkait dengan pandangan bahwa tindakan individu memiliki konsekuensi spiritual bagi seluruh komunitas (kamin). Hukum adat dan ajaran Kristen modern saling menguatkan dalam mempromosikan hidup yang jujur dan damai.
Keramahan adalah ciri khas Lundayeh. Tamu, bahkan orang asing, akan selalu disambut dan diberi makan. Praktik berbagi hasil panen dan pertolongan kolektif (berayung) adalah manifestasi dari nilai Lun Merar. Kemurahan hati adalah penentu status sosial; seseorang yang pelit atau egois akan kehilangan rasa hormat dari komunitasnya, bahkan jika ia kaya.
Penghormatan terhadap alam dan lingkungan adalah fundamental, terutama karena seluruh kehidupan Lundayeh bergantung pada air, hutan, dan tanah Apo Duat. Konsep ini mengajarkan bahwa sumber daya tidak boleh dieksploitasi berlebihan. Ada kesadaran intrinsik bahwa kerusakan lingkungan adalah kerusakan pada diri sendiri dan generasi mendatang. Sistem pertanian berkelanjutan adalah bukti nyata dari nilai Ta’a Na’am.
Lundayeh terus berjuang untuk mempertahankan keunikan mereka sebagai penjaga dataran tinggi Apo Duat. Dengan memegang teguh Adet Lun yang diintegrasikan dengan keyakinan baru, mereka tidak hanya melestarikan warisan budaya yang kaya, tetapi juga menawarkan model keberlanjutan hidup yang selaras dengan alam—sebuah pelajaran berharga bagi dunia modern.
Masa depan Lundayeh bergantung pada kemampuan mereka untuk menyeimbangkan tradisi yang mengakar dalam sistem sawah kuno dan manik-manik pusaka, dengan tuntutan pendidikan, teknologi, dan konektivitas global. Komunitas Lundayeh telah menunjukkan ketahanan yang luar biasa, memastikan bahwa suara dan budaya mereka akan terus bergema di hulu Borneo untuk waktu yang tak terhitung.