Representasi visual dari batas-batas norma dan konsep keseimbangan yang seringkali dianggap sebagai hal yang lumrah.
Konsep lumrah, sebuah kata yang begitu sering kita gunakan dalam percakapan sehari-hari, menyimpan kompleksitas makna yang jauh melampaui sekadar 'biasa' atau 'normal'. Lumrah tidak hanya merujuk pada frekuensi statistik suatu kejadian, tetapi juga mencakup dimensi etis, moral, dan kultural yang menentukan penerimaan sosial. Ketika sesuatu dikategorikan sebagai lumrah, secara implisit kita sedang menegaskan bahwa hal tersebut berada dalam koridor ekspektasi komunal, tidak menimbulkan gejolak, dan telah teruji oleh waktu atau konsensus mayoritas. Pemahaman tentang apa yang lumrah menjadi tulang punggung bagi struktur sosial, memberikan fondasi yang kokoh agar interaksi antar individu dapat berlangsung tanpa hambatan kognitif yang signifikan. Tanpa adanya pemahaman kolektif ini, setiap tindakan, setiap ucapan, dan setiap keputusan akan memerlukan negosiasi ulang, yang tentu saja akan melumpuhkan efisiensi kehidupan bermasyarakat.
Namun, sifat lumrah adalah entitas yang cair, bergerak, dan dipengaruhi oleh arus besar sejarah, teknologi, dan migrasi ide. Apa yang diyakini lumrah pada satu generasi mungkin dianggap absurd atau bahkan tabu pada generasi berikutnya. Pergeseran ini menunjukkan bahwa lumrah bukanlah hukum alam yang tetap, melainkan konstruksi sosial yang terus diperbaharui melalui proses dialog, konflik, dan akomodasi. Untuk memahami kedalaman konsep ini, kita harus memulai dengan membedah terminologi dan bagaimana ia beroperasi dalam kerangka pemikiran manusia, memisahkan antara kebutuhan biologis yang universal dan kebiasaan sosial yang bersifat kontingen.
Secara leksikal, ‘lumrah’ dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘lazim’, ‘biasa’, atau ‘wajar’. Meskipun sering tumpang tindih dengan ‘normal’, terdapat perbedaan halus namun krusial. Normalitas, terutama dalam konteks statistik atau medis, seringkali merujuk pada titik tengah atau rata-rata (median) dari suatu distribusi data. Seseorang dengan suhu tubuh 37°C dianggap normal karena berada dalam rentang statistik yang diharapkan. Sementara itu, lumrah lebih cenderung merujuk pada aspek kebiasaan yang diterima secara kultural. Mungkin tidak semua orang bangun pukul lima pagi, sehingga secara statistik itu mungkin bukan ‘normal’ mutlak, tetapi bagi sekelompok petani, bangun pagi adalah hal yang sangat lumrah, bahkan menjadi standar kebenaran praktis yang dihormati.
Dengan demikian, lumrah membawa bobot penilaian kualitatif yang lebih berat daripada normalitas kuantitatif. Normalitas dapat diukur, tetapi lumrah harus dirasakan dan disepakati. Ini berarti bahwa medan operasi lumrah terletak di ranah intersubjektivitas—pemahaman yang berbagi antar subjek dalam sebuah komunitas. Tanpa pengakuan kolektif ini, suatu tindakan, tidak peduli seberapa sering ia dilakukan, tidak akan pernah mencapai status kelumrahan sejati, melainkan hanya dianggap sebagai anomali yang berulang. Keberadaan lumrah inilah yang memungkinkan prediksi perilaku sosial, mengurangi ketidakpastian, dan memupuk rasa aman dalam interaksi publik.
Dari perspektif psikologi kognitif, konsep lumrah berfungsi sebagai pintasan mental yang vital, atau heuristic. Otak manusia secara fundamental adalah mesin pengenal pola. Kita terus-menerus membandingkan masukan sensorik baru dengan data yang tersimpan, mencari kecocokan dan deviasi. Ketika suatu situasi atau tindakan cocok dengan pola yang dominan—yakni, pola yang lumrah—kita dapat mengalokasikan sumber daya kognitif minimal untuk memprosesnya. Inilah sebabnya mengapa rutinitas harian yang lumrah, seperti menyikat gigi atau mengemudi di jalan yang dikenal, terasa otomatis dan tidak melelahkan.
Sebaliknya, menghadapi hal yang tidak lumrah memerlukan pengerahan penuh perhatian, memicu respons stres, dan memaksa kita untuk membangun pola baru. Inilah peran evolusioner dari kelumrahan: ia membebaskan kapasitas mental untuk fokus pada ancaman atau peluang yang benar-benar baru, yang mungkin mengancam kelangsungan hidup. Dalam konteks modern, hilangnya kelumrahan, misalnya saat terjadi bencana alam atau kekacauan sosial, seringkali menjadi sumber utama kecemasan, bukan hanya karena dampak fisiknya, tetapi karena runtuhnya kerangka prediksi yang selama ini menopang realitas individu. Kebutuhan akan keteraturan dan prediksi, yang diwujudkan dalam hal-hal lumrah, adalah kebutuhan psikologis yang mendalam.
Sosiologi melihat lumrah sebagai produk dari negosiasi berkelanjutan antara kehendak individu dan tuntutan kolektif. Kelumrahan adalah hasil akhir dari proses institusionalisasi, di mana perilaku yang awalnya opsional atau acak diulang sedemikian rupa hingga mengeras menjadi norma, kemudian menjadi hukum tak tertulis. Proses ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui stratifikasi berlapis yang membentuk fondasi masyarakat, mulai dari etiket paling sederhana hingga sistem hukum yang kompleks.
Émile Durkheim, dalam analisisnya tentang fakta sosial, menekankan bahwa norma-norma yang kita anggap lumrah memiliki kekuatan koersif eksternal yang memaksa individu untuk menyesuaikan diri. Norma ini bersifat eksternal karena sudah ada sebelum individu lahir dan bersifat koersif karena penyimpangan dari norma lumrah tersebut akan menimbulkan sanksi, meskipun sanksi tersebut hanya berupa cibiran sosial atau isolasi. Kekuatan ini menjamin bahwa sebagian besar anggota masyarakat akan mengikuti alur yang sama, menciptakan efisiensi yang diperlukan untuk keberlanjutan peradaban. Tanpa kepatuhan yang lumrah terhadap aturan lalu lintas, misalnya, kekacauan akan segera terjadi; kepatuhan ini adalah contoh sempurna di mana kelumrahan teknis bertransformasi menjadi kewajiban moral.
Banyak aspek kehidupan yang kita anggap lumrah hanyalah ritual yang berulang. Ritual ini, baik yang bersifat sakral maupun profan, berfungsi memperkuat ikatan sosial dan memastikan bahwa setiap individu memahami perannya. Mengapa kita mengatakan 'terima kasih' atau 'permisi'? Tindakan ini, yang sepenuhnya lumrah di banyak budaya, tidak semata-mata ekspresi kesopanan, tetapi merupakan pengakuan mikro terhadap kontrak sosial: saya menghargai interaksi kita dan saya mengakui keberadaan Anda sebagai bagian dari struktur kolektif ini. Kegagalan melakukan ritual kecil ini, meskipun secara hukum tidak ilegal, dapat menyebabkan ketidaknyamanan sosial yang parah karena melanggar batas kelumrahan yang diharapkan.
Kebiasaan harian, dari cara kita makan, berpakaian, hingga jadwal tidur kita, adalah serangkaian tindakan yang telah disucikan oleh pengulangan hingga mencapai status lumrah. Di Jepang, membungkuk adalah respons yang lumrah, menunjukkan rasa hormat yang mendalam, sementara di Amerika Serikat, jabat tangan adalah bentuk sapaan yang lumrah. Kedua tindakan ini memiliki fungsi yang sama—memulai interaksi sosial—tetapi manifestasi fisiknya sangat berbeda, menunjukkan betapa kontekstualnya kelumrahan. Jika seseorang dari budaya yang membungkuk tiba-tiba berupaya berjabatan tangan dengan cara yang canggung di Jepang, mereka tidak hanya dianggap asing tetapi juga melanggar keharmonisan yang dibangun di atas tindakan yang lumrah.
Kelumrahan memfasilitasi pembentukan pola dan jalur prediksi dalam kognisi, mengurangi beban pemrosesan otak.
Salah satu area di mana kelumrahan paling kuat beroperasi adalah dalam pembentukan identitas dan peran gender. Selama ribuan tahun, masyarakat telah menetapkan serangkaian perilaku, emosi, dan aspirasi yang dianggap lumrah bagi laki-laki dan perempuan. Ini mencakup spektrum luas, mulai dari warna pakaian yang pantas, pekerjaan yang diharapkan, hingga cara yang lumrah untuk mengekspresikan kesedihan atau kemarahan. Konstruksi ini, meskipun seringkali didukung oleh mitos biologis, sebagian besar bersifat sosiokultural dan sangat bervariasi antar peradaban.
Misalnya, anggapan bahwa laki-laki harus keras dan tidak emosional adalah konstruksi lumrah yang menempatkan batasan ketat pada ekspresi afektif. Ketika seorang laki-laki menangis di tempat umum, ia seringkali melanggar batas kelumrahan gender, dan ini dapat memicu respons sosial mulai dari kebingungan hingga penghakiman. Sebaliknya, pada beberapa kebudayaan kuno, ungkapan emosi yang kuat oleh pemimpin laki-laki justru dianggap lumrah dan merupakan tanda integritas. Ini menunjukkan bahwa meskipun kebutuhan emosional manusia adalah universal, cara yang lumrah untuk mengekspresikannya sepenuhnya berada di bawah kendali sosial dan historis. Perjuangan untuk kesetaraan gender di era modern seringkali merupakan upaya untuk mendekonstruksi apa yang selama ini dianggap lumrah, sehingga memungkinkan spektrum perilaku yang lebih luas bagi semua gender tanpa takut sanksi sosial.
Perubahan dalam konsep keluarga juga mencerminkan pergeseran kelumrahan. Dulu, unit keluarga yang lumrah adalah model nuklir yang terdiri dari ibu, ayah, dan anak-anak. Saat ini, keragaman bentuk keluarga—orang tua tunggal, keluarga yang dibentuk melalui adopsi, atau pasangan sesama jenis—semakin mendapatkan pengakuan. Proses penerimaan ini adalah perlahan-lahan menggeser batas-batas kelumrahan, mengubah apa yang dulunya dianggap anomali menjadi bagian yang diakui dari tapestry sosial. Ketika institusi media dan hukum mulai merefleksikan keragaman ini, statusnya meningkat dari sekadar ‘ada’ menjadi ‘lumrah’—sebuah perubahan yang memiliki dampak mendalam pada psikologi dan hak-hak individu yang terlibat.
Jika konsep lumrah bersifat statis, masyarakat akan stagnan. Evolusi sosial terjadi justru karena adanya individu atau kelompok yang berani melanggar batas kelumrahan yang ada. Inovasi, protes, dan bahkan krisis besar adalah mesin utama yang memaksa masyarakat untuk menilai ulang dan mendefinisikan kembali batas-batas kelumrahan mereka. Setiap perubahan paradigma, mulai dari penemuan listrik hingga revolusi hak sipil, pada awalnya dianggap sebagai hal yang tidak lumrah, radikal, dan bahkan berbahaya.
Pergeseran batas kelumrahan seringkali mengikuti pola tiga tahap: (1) Anomali, (2) Adaptasi, dan (3) Absorpsi. Pada tahap Anomali, tindakan baru muncul dan ditolak keras karena melanggar norma yang berlaku. Pikirkan penggunaan internet secara massal di awal 1990-an; ide bahwa semua orang akan menghabiskan waktu berjam-jam menatap layar komputer untuk berkomunikasi dianggap aneh dan antisosial—tidak lumrah. Pada tahap Adaptasi, seiring berjalannya waktu dan bukti manfaatnya, sekelompok kecil mulai mengadopsi anomali tersebut, dan masyarakat yang lebih luas mulai terbiasa melihatnya. Penolakan berkurang. Akhirnya, pada tahap Absorpsi, perilaku tersebut telah terinternalisasi sepenuhnya. Saat ini, terkejut jika seseorang tidak memiliki ponsel pintar, dan berkomunikasi melalui pesan instan adalah hal yang sangat lumrah.
Proses ini dipercepat oleh globalisasi dan teknologi. Globalisasi memaparkan masyarakat lokal pada berbagai praktik yang lumrah di tempat lain, menantang hegemoni kelumrahan setempat. Misalnya, praktik makanan jalanan yang dulu dianggap tidak higienis dan tidak lumrah di beberapa negara Barat, kini telah diakomodasi sebagai bagian dari lanskap kuliner yang dinamis, berkat paparan budaya Asia dan Latin. Teknologi digital memainkan peran ganda: ia tidak hanya mempercepat penyebaran perilaku baru, tetapi juga memfasilitasi pembentukan 'kantong' kelumrahan baru di mana perilaku minoritas dapat menemukan validasi dan dukungan, memungkinkan mereka untuk melawan tekanan mayoritas.
Peristiwa global yang masif, seperti pandemi kesehatan, menunjukkan betapa rapuhnya kelumrahan. Dalam waktu singkat, perilaku yang sebelumnya tidak terbayangkan menjadi wajib. Sebelum pandemi, mengenakan masker di tempat umum, menjaga jarak fisik, dan bekerja dari rumah secara masif adalah hal yang tidak lumrah dan hanya dilakukan dalam keadaan ekstrem. Namun, karena kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup, norma-norma ini diadopsi secara global dan segera mencapai status kelumrahan baru.
Kecepatan adaptasi ini menunjukkan kapasitas luar biasa manusia untuk mengubah kerangka kelumrahan mereka ketika insentif atau ancaman cukup besar. Yang menarik adalah 'kelumrahan' baru ini tidak selalu bersifat permanen. Ketika ancaman berlalu, terjadi negosiasi ulang; beberapa praktik, seperti rapat virtual, mungkin tetap menjadi lumrah karena efisiensinya, sementara yang lain, seperti pembatasan perjalanan, dengan cepat ditolak kembali karena melanggar kelumrahan kebebasan bergerak yang sudah mapan. Episode semacam ini berfungsi sebagai eksperimen sosial skala besar yang mengungkap inti dari apa yang kita anggap esensial dan apa yang hanya merupakan kebiasaan permukaan.
Di sisi lain, kelumrahan lama seringkali sulit dihilangkan, bahkan di hadapan bukti rasional. Contohnya adalah penolakan terhadap praktik yang telah terbukti ilmiah di beberapa komunitas—misalnya, keengganan untuk divaksinasi. Meskipun vaksinasi telah menjadi prosedur yang lumrah dan diterima secara medis selama beberapa dekade, munculnya keraguan dan teori konspirasi menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap apa yang 'lumrah' dalam kesehatan publik dapat terfragmentasi, menciptakan kantong-kantong di mana praktik yang diterima secara global justru dianggap tidak lumrah atau bahkan mencurigakan. Ini menegaskan bahwa kelumrahan selalu dipertahankan tidak hanya oleh fakta, tetapi juga oleh narasi kolektif.
Meskipun kelumrahan berfungsi untuk menciptakan keteraturan dan efisiensi, ia juga memiliki sisi gelap: potensi untuk menindas keragaman dan meminggirkan minoritas. Ketika suatu norma mencapai hegemoni, ia menjadi tak terlihat, dianggap sebagai 'jalan yang benar', dan setiap deviasi dari norma tersebut secara otomatis dicap sebagai patologis, inferior, atau menyimpang. Kritik terhadap konsep lumrah seringkali berasal dari teori kritis, post-strukturalisme, dan gerakan hak-hak sipil yang berupaya membongkar bagaimana kekuasaan dilegitimasi melalui penetapan apa yang 'wajar'.
Michel Foucault, misalnya, banyak membahas bagaimana institusi (sekolah, penjara, rumah sakit jiwa) menetapkan batas antara yang lumrah dan yang menyimpang, bukan untuk tujuan universal, tetapi untuk memastikan disiplin dan kontrol sosial. Bagi Foucault, penetapan kelumrahan adalah tindakan kekuasaan yang mendefinisikan siapa yang termasuk dan siapa yang harus dikeluarkan atau diperbaiki. Dalam konteks ini, menjadi 'tidak lumrah' adalah alasan untuk intervensi, bahkan jika perilaku yang tidak lumrah tersebut tidak merugikan orang lain.
Perjuangan komunitas minoritas, baik itu etnis, orientasi seksual, atau disabilitas, adalah perjuangan untuk memperluas definisi kelumrahan. Tujuan utama mereka bukanlah menjadi 'normal' dalam pengertian statistik, tetapi agar keberadaan mereka diterima sebagai hal yang lumrah—yakni, diterima sebagai bagian yang wajar, tidak perlu dipertanyakan, dan dihormati dalam tatanan sosial.
Contohnya adalah pengakuan hak-hak komunitas LGBTQ+. Beberapa dekade yang lalu, orientasi selain heteroseksual dianggap sebagai penyimpangan psikologis dan sepenuhnya tidak lumrah, seringkali ilegal. Melalui advokasi, visibilitas, dan perubahan hukum, batas kelumrahan bergeser. Pernikahan sesama jenis, yang dulu merupakan ide yang radikal dan mustahil, kini telah menjadi lumrah dan legal di banyak negara, meskipun proses ini masih ditentang keras di beberapa tempat. Pergeseran ini menunjukkan bahwa lumrah adalah arena pertempuran politik dan budaya, di mana kelompok yang terpinggirkan berjuang untuk mendekriminalisasi dan mendekonstruksi label yang selama ini digunakan untuk membatasi mereka. Mereka menuntut agar masyarakat mengakui keragaman sebagai kelumrahan yang baru.
Tantangan terbesar dalam menghadapi hegemoni kelumrahan adalah kecenderungan bahasa untuk menciptakan dikotomi yang tajam: lumrah vs. tidak lumrah, benar vs. salah. Realitas manusia, bagaimanapun, adalah spektrum yang tak terbatas, penuh dengan ambiguitas dan nuansa. Mencoba memaksakan semua perilaku ke dalam kategori 'lumrah' seringkali gagal menangkap kekayaan pengalaman individu.
Filosofi eksistensialis menantang kelumrahan dengan menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan mendasar untuk mendefinisikan diri mereka sendiri di luar kategori sosial yang ada. Jika saya memilih cara hidup yang tidak lumrah, tetapi hidup saya otentik dan tidak merugikan orang lain, mengapa masyarakat harus bersikeras untuk 'memperbaiki' saya? Eksistensialisme menyarankan bahwa ketergantungan pada kelumrahan adalah bentuk 'itikad buruk' atau penolakan tanggung jawab atas kebebasan kita sendiri. Mengikuti kelumrahan memberikan kenyamanan dan keamanan, tetapi dengan mengorbankan otentisitas diri yang sejati.
Oleh karena itu, masyarakat yang matang adalah masyarakat yang dapat mengakomodasi wilayah abu-abu. Ia harus mampu mempertahankan inti dari kelumrahan yang diperlukan untuk keteraturan (misalnya, menghormati hukum, menghargai nyawa), sambil secara aktif mendorong dan merayakan tindakan-tindakan yang berada di luar batas, asalkan tindakan tersebut memperkaya kemanusiaan alih-alih merusaknya. Menerima bahwa ‘tidak lumrah’ tidak selalu berarti ‘salah’ adalah langkah maju yang esensial dalam perkembangan etika komunal.
Struktur lumrah dalam komunitas diciptakan melalui pola interaksi yang terulang dan diterima.
Era digital dan munculnya kecerdasan buatan (AI) membawa tantangan dan perubahan radikal terhadap apa yang kita anggap lumrah. Teknologi tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tetapi juga mengkalibrasi ulang ekspektasi kita tentang privasi, pekerjaan, dan bahkan hubungan emosional. Dalam domain ini, kelumrahan menjadi medan yang bergerak cepat, di mana generasi muda mengadopsi praktik yang dianggap aneh oleh generasi yang lebih tua.
Bagi generasi sebelum era internet, privasi adalah standar, dan keterbukaan memerlukan izin eksplisit. Hari ini, situasinya terbalik. Keterbukaan informasi dan berbagi data pribadi (melalui media sosial, platform belanja, atau bahkan perangkat pelacak kebugaran) telah menjadi lumrah. Kita secara sukarela menyerahkan data kita sebagai imbalan atas kenyamanan. Keengganan untuk berbagi secara digital justru dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak lumrah atau mencurigakan. Ini menciptakan ketegangan etis, di mana apa yang lumrah secara operasional (pengumpulan data tanpa batas) mungkin bertentangan dengan apa yang seharusnya lumrah secara etis (hak untuk tidak dilacak).
Selain itu, kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan virtual telah menjadi bagian yang sepenuhnya lumrah dari kehidupan modern. Berteman dengan orang yang belum pernah kita temui secara fisik, berinteraksi di ruang virtual, dan bahkan menjalin hubungan romantis jarak jauh adalah skenario yang dulunya fiksi ilmiah tetapi kini sepenuhnya terinternalisasi sebagai hal yang wajar dan normal. Ini menantang batas fisik kelumrahan: di mana letak komunitas sejati? Apakah komunitas yang lumrah harus berbagi ruang geografis, atau cukup berbagi ruang digital? Jawabannya cenderung mengarah pada inklusi kedua domain tersebut dalam definisi kelumrahan modern.
Definisi lumrah tentang 'pekerjaan' dan 'kontribusi' juga sedang mengalami revisi drastis. Selama berabad-abad, pekerjaan yang lumrah melibatkan tenaga fisik atau jam kerja yang terstruktur di kantor. Dengan munculnya otomasi dan AI, banyak pekerjaan yang sebelumnya lumrah kini dianggap usang. Ini memaksa masyarakat untuk mendefinisikan ulang nilai ekonomi dan sosial.
Konsep pendapatan dasar universal (UBI), misalnya, dulunya dianggap utopia dan tidak lumrah karena melanggar etos kerja yang dianut mayoritas. Namun, di tengah ancaman pengangguran massal akibat otomatisasi, ide tersebut semakin lumrah didiskusikan sebagai solusi yang mungkin. Pergeseran ini menunjukkan bahwa kelumrahan kita terkait dengan nilai-nilai fungsional. Jika model kerja tradisional tidak lagi fungsional untuk mayoritas, model baru, tidak peduli seberapa radikalnya, akan berjuang untuk mengambil alih status kelumrahan. Ketergantungan pada sistem algoritmik untuk mengambil keputusan, dari rekomendasi produk hingga diagnosis medis, juga menjadi semakin lumrah, menimbulkan pertanyaan baru tentang tanggung jawab, otonomi, dan batas-batas intervensi non-manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Di luar aspek sosial, teknologi bahkan mulai menantang konsep lumrah tentang identitas diri yang koheren. Dengan filter digital, avatar yang dapat disesuaikan, dan kemampuan untuk berpindah-pindah identitas di ruang maya, gagasan bahwa seseorang harus memiliki satu identitas yang stabil dan berkelanjutan sepanjang hidupnya mulai terkikis. Menjadi banyak versi diri di platform yang berbeda telah menjadi hal yang lumrah, bahkan diharapkan.
Fenomena ini, yang dikenal sebagai 'identitas terfragmentasi', melanggar kelumrahan psikologis klasik bahwa individu adalah kesatuan yang utuh. Hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis yang mendalam: Apakah kelumrahan sejati terletak pada konsistensi internal, atau justru pada kemampuan untuk beradaptasi secara fleksibel dan cair terhadap berbagai lingkungan digital dan fisik? Masa depan tampaknya menunjukkan bahwa kemampuan untuk berpindah antara persona-persona ini tanpa kehilangan inti kesadaran akan menjadi kelumrahan baru dalam navigasi sosial.
Perjalanan kita menelaah konsep lumrah mengungkapkan bahwa ia bukanlah sebuah titik akhir, melainkan sebuah proses yang berkelanjutan. Lumrah adalah sebuah jangkar yang memberi kita rasa aman dan kohesi sosial, tetapi pada saat yang sama, ia adalah penjara yang harus terus-menerus digerogoti oleh inovasi dan keberanian untuk berbeda. Kekuatan kelumrahan terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi, menyerap anomali, dan membentuk dirinya kembali agar sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dalam menghadapi laju perubahan sosial dan teknologi yang semakin cepat, tugas kita sebagai individu dan masyarakat adalah mengembangkan literasi terhadap kelumrahan. Kita harus mampu membedakan antara kelumrahan yang fungsional (kebiasaan yang diperlukan untuk keteraturan dan keselamatan) dan kelumrahan yang tiranik (norma-norma yang hanya melayani kepentingan kelompok dominan dan menindas yang berbeda). Mempertahankan inti etika yang lumrah, seperti menghormati martabat manusia dan komitmen terhadap keadilan, sangat penting, tetapi pada saat yang sama, kita harus fleksibel dalam menerima variasi perilaku sehari-hari.
Penerimaan terhadap ambiguitas dan keragaman adalah kunci menuju masyarakat yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Jika kita bersikeras bahwa hanya ada satu cara yang lumrah untuk hidup, mencintai, atau bekerja, kita akan menghukum jutaan orang yang secara alami berada di luar kurva. Sebaliknya, dengan memperluas batas-batas kelumrahan untuk mencakup spektrum pengalaman manusia yang lebih luas, kita tidak hanya menjadi lebih adil, tetapi juga lebih kuat. Kehidupan yang kaya adalah kehidupan di mana yang biasa dan yang luar biasa dapat hidup berdampingan, di mana keteraturan memberikan fondasi bagi kreativitas, dan di mana yang lumrah hari ini hanyalah batu loncatan menuju kemungkinan yang belum terbayangkan di masa depan. Kelumrahan adalah apa yang kita buat, setiap hari, melalui setiap pilihan yang kita ambil, dan setiap batas yang kita sepakati untuk digeser.
Memahami bahwa apa yang lumrah hari ini mungkin tidak akan lumrah di masa depan, dan sebaliknya, adalah bentuk pembebasan intelektual. Ini memungkinkan kita untuk berpartisipasi secara sadar dalam pembentukan norma-norma baru, alih-alih hanya menjadi penerima pasif dari warisan budaya yang diwariskan. Dengan kesadaran ini, kita dapat memastikan bahwa evolusi kelumrahan bergerak menuju inklusivitas, keadilan, dan kesejahteraan yang lebih besar bagi seluruh umat manusia.