Luka berat, atau trauma serius, merupakan kondisi kritis yang tidak hanya mengancam jiwa, tetapi juga meninggalkan dampak permanen yang meluas pada fungsi fisik, mental, dan status sosial seseorang. Artikel ini akan mengupas tuntas definisi, penanganan multidisiplin, tantangan rehabilitasi jangka panjang, serta implikasi hukum yang mengiringi kasus luka berat.
Istilah "luka berat" memiliki batasan yang ketat, baik dalam dunia kedokteran darurat (traumatologi) maupun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Memahami definisi ini sangat penting karena memengaruhi prosedur penanganan medis dan penetapan hukuman bagi pihak yang bertanggung jawab.
Secara klinis, luka berat sering dikategorikan sebagai "Major Trauma." Ini merujuk pada cedera yang berpotensi menyebabkan kematian atau kecacatan serius, yang memerlukan intervensi medis segera dan seringkali multidisiplin. Sistem penilaian seperti Skor Keparahan Cedera (Injury Severity Score/ISS) digunakan. ISS di atas 15 umumnya dianggap sebagai trauma mayor. Luka berat sering melibatkan:
Dalam konteks hukum Indonesia, definisi luka berat diatur jelas dalam Pasal 90 KUHP. Definisinya lebih berfokus pada konsekuensi fungsional jangka panjang dan permanen, bukan hanya pada keparahan cedera akut. Luka dianggap berat jika mengakibatkan:
Perbedaan antara definisi medis dan hukum ini penting. Luka yang secara akut parah mungkin tidak secara otomatis dianggap "luka berat" secara hukum jika prognosis pemulihan total sangat baik. Sebaliknya, cedera yang relatif kecil namun mengakibatkan hilangnya fungsi permanen (misalnya, kerusakan pita suara permanen) dapat diklasifikasikan sebagai luka berat secara hukum.
Waktu adalah esensi dalam penanganan luka berat. Konsep 'Golden Hour' (Jam Emas) menekankan perlunya stabilisasi dan intervensi definitif dalam 60 menit pertama setelah insiden trauma. Penanganan didasarkan pada protokol standar seperti Advanced Trauma Life Support (ATLS).
Di tempat kejadian, paramedis menerapkan prinsip Triage. Korban luka berat selalu diklasifikasikan sebagai prioritas tertinggi (merah). Penanganan awal berfokus pada A-B-C-D-E:
Pada kasus luka berat yang melibatkan syok hemoragik (misalnya, trauma lien, trauma hati, fraktur pelvis masif), penanganan pendarahan memerlukan pendekatan transfusi yang agresif, sering disebut Resusitasi Kontrol Kerusakan (Damage Control Resuscitation/DCR). DCR melibatkan rasio transfusi produk darah (sel darah merah, plasma, trombosit) yang seimbang untuk mencegah koagulopati akibat kehilangan darah dan pengenceran.
Untuk pasien yang sangat tidak stabil, ahli bedah sering memilih DCS—prosedur bedah cepat dan minimalis untuk menghentikan sumber pendarahan dan kontaminasi, tanpa melakukan perbaikan definitif. Pasien kemudian dipindahkan ke ICU untuk stabilisasi metabolik, dan perbaikan definitif dilakukan beberapa hari kemudian. Pendekatan bertahap ini meningkatkan peluang kelangsungan hidup secara signifikan pada trauma multi-organ.
Luka berat dapat diklasifikasikan berdasarkan bagian tubuh yang terkena, masing-masing menuntut penanganan spesialis yang berbeda dan membawa prognosis kecacatan yang unik.
COT Berat (GCS ≤ 8) merupakan bentuk luka berat yang paling mengancam fungsi kognitif dan neurologis. Penanganannya melibatkan manajemen tekanan intrakranial (TIK) untuk mencegah iskemia otak sekunder. Intervensi spesialis meliputi:
Prognosis pemulihan seringkali tidak menentu dan membutuhkan evaluasi neuropsikologis yang ekstensif, bahkan setelah stabilisasi fisik total.
SCI adalah bentuk luka berat yang menyebabkan hilangnya fungsi motorik, sensorik, dan otonom di bawah tingkat cedera (paraplegia atau tetraplegia). Penanganan segera melibatkan imobilisasi total dan fiksasi bedah untuk menstabilkan kolom tulang belakang. Tantangan utamanya adalah:
Luka bakar tingkat lanjut (terutama >25% TBSA) menyebabkan syok hipovolemik masif dan respon hipermetabolik yang ekstrem. Selain resusitasi cairan (menggunakan rumus Parkland), penanganan luka bakar berat mencakup:
Rehabilitasi (rehab) adalah fase terpanjang dan paling krusial bagi korban luka berat. Tujuannya bukan hanya memulihkan fungsi fisik maksimal, tetapi juga mengintegrasikan kembali individu ke masyarakat, pekerjaan, dan kehidupan normal. Program rehab bersifat multidisiplin dan intensif, sering berlangsung bertahun-tahun.
PT berfokus pada pemulihan kekuatan, mobilitas, keseimbangan, dan ambulation (kemampuan berjalan). Ini dimulai sedini mungkin, bahkan saat pasien masih di ICU, untuk mencegah atrofi otot dan kontraktur sendi. Untuk kasus fraktur multipel atau SCI, PT meliputi:
Pada kasus SCI, PT berfokus pada memaksimalkan fungsi tubuh yang tersisa, seperti melatih otot bahu dan lengan untuk kompensasi gerak yang hilang di bagian bawah tubuh. Ini termasuk pelatihan transfer (pindah dari tempat tidur ke kursi roda) dan manajemen postur tubuh.
OT berfokus pada pengembalian kemampuan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (Activities of Daily Living/ADL), seperti mandi, berpakaian, makan, dan menulis. OT membantu pasien menyesuaikan diri dengan keterbatasan baru melalui penggunaan alat bantu adaptif:
Untuk pasien dengan COT atau trauma wajah/leher (misalnya, trauma akibat ventilasi jangka panjang), SLP memainkan peran vital:
Setelah cedera fisik distabilkan, tantangan terbesar adalah kembali ke masyarakat. Luka berat seringkali menyebabkan hilangnya pekerjaan, perubahan peran dalam keluarga, dan masalah keuangan. Rehabilitasi vokasional membantu menilai kemampuan baru pasien dan melatih mereka untuk pekerjaan yang disesuaikan dengan keterbatasan fisik atau kognitif mereka. Konseling psikososial membantu mengatasi rasa kehilangan, depresi, dan isolasi sosial.
**Tantangan Khusus Rehabilitasi COT:** Pemulihan dari Cedera Otak Traumatis adalah maraton, bukan sprint. Prosesnya seringkali tidak linear. Model Rancho Los Amigos Scale digunakan untuk mengukur tingkat pemulihan kognitif. Pasien harus melalui fase kebingungan, agitasi, dan amnesia pasca-trauma sebelum dapat memasuki fase orientasi dan fungsi eksekutif yang lebih tinggi. Program rehab harus disesuaikan secara dinamis seiring perubahan status neurologis pasien.
Cedera yang mengubah hidup secara radikal hampir selalu disertai dengan konsekuensi psikologis yang parah, baik bagi korban maupun keluarga mereka. Trauma tidak hanya memengaruhi tubuh, tetapi juga konsep diri dan identitas.
Insiden trauma yang menyebabkan luka berat (kecelakaan lalu lintas, kekerasan, bencana) adalah pemicu klasik PTSD. Gejala termasuk kilas balik (flashback), mimpi buruk, penghindaran pemicu (misalnya, menghindari mengemudi setelah kecelakaan mobil), dan hiperarousal. Pengobatan sering memerlukan terapi kombinasi (Terapi Perilaku Kognitif/CBT dan pengobatan).
Tingkat depresi dan kecemasan sangat tinggi pada korban luka berat, terutama setelah menyadari tingkat kecacatan permanen. Perubahan pada citra diri (body image) akibat amputasi, luka bakar, atau deformitas wajah membutuhkan dukungan psikologis yang intensif. Rasa kehilangan otonomi dan ketergantungan pada orang lain sering kali memicu krisis identitas.
Keluarga korban luka berat juga mengalami trauma sekunder dan beban pengasuhan yang ekstrem. Mereka sering harus mengambil cuti, menyesuaikan rumah, dan menyediakan perawatan 24 jam. Hal ini dapat menyebabkan kelelahan emosional, konflik keluarga, dan isolasi sosial bagi para pengasuh. Dukungan psikologis dan kelompok dukungan (support groups) sangat penting untuk menjaga kesehatan mental seluruh unit keluarga.
Dalam sistem peradilan, penetapan apakah suatu cedera memenuhi syarat sebagai "luka berat" menentukan bobot hukuman dan besaran ganti rugi. Hal ini memerlukan proses pemeriksaan forensik dan interpretasi hukum yang cermat.
Penentuan status luka berat secara hukum bergantung pada hasil pemeriksaan medis legal, yang dituangkan dalam Visum et Repertum (VeR). VeR ini harus dibuat oleh dokter forensik atas permintaan penyidik. Dokter harus menilai cedera berdasarkan kriteria Pasal 90 KUHP. Dokter tidak menentukan apakah luka itu "berat" secara hukum, tetapi mereka menyediakan fakta klinis dan prognosis tentang fungsi (misalnya, "cedera ini diperkirakan mengakibatkan hilangnya fungsi permanen pada ekstremitas kiri").
Kritikalnya adalah prognosis jangka panjang. Jika VeR diterbitkan terlalu dini, sebelum prognosis pemulihan total dapat ditentukan (misalnya, tiga bulan pasca-trauma), VeR tersebut mungkin perlu direvisi. Keputusan akhir untuk mengklasifikasikan cedera sebagai luka berat tetap berada di tangan hakim, berdasarkan bukti VeR dan kesaksian ahli.
Klasifikasi ini sangat memengaruhi tuntutan pidana:
Di luar ranah pidana, korban luka berat berhak menuntut ganti rugi (restitusi atau kompensasi). Besaran ganti rugi ini mencakup berbagai komponen yang disebabkan oleh kecacatan jangka panjang:
Luka berat sering kali tidak berakhir dengan fase rehabilitasi. Banyak korban yang hidup dengan komplikasi kronis yang memerlukan manajemen medis berkelanjutan selama sisa hidup mereka.
Pada kasus SCI, komplikasi umum termasuk disrefleksia otonom (peningkatan tekanan darah yang berbahaya akibat stimulasi di bawah tingkat cedera), infeksi saluran kemih berulang, dan spastisitas otot yang parah. Manajemen ini memerlukan tim spesialis yang mengawasi tekanan darah, fungsi kandung kemih neurogenik, dan program manajemen spastisitas (misalnya, pompa baclofen).
Hampir 50% korban trauma mayor mengalami nyeri kronis, yang dapat berasal dari kerusakan saraf (nyeri neuropatik), sendi yang rusak (nyeri nosiseptif), atau nyeri anggota badan fantom (pada amputasi). Nyeri kronis memerlukan klinik manajemen nyeri multidisiplin yang melibatkan obat-obatan, blok saraf, dan terapi psikologis.
Dalam situasi di mana luka berat mengakibatkan prognosis yang sangat buruk atau ketergantungan total, peran perawatan paliatif menjadi penting. Perawatan paliatif fokus pada peningkatan kualitas hidup, manajemen gejala, dan dukungan spiritual/psikososial bagi pasien dan keluarga. Hal ini berbeda dari perawatan hospis karena dapat diberikan bersamaan dengan perawatan kuratif, tetapi menekankan kenyamanan di atas intervensi agresif.
Mengingat biaya sosial, ekonomi, dan kemanusiaan yang sangat tinggi dari luka berat, fokus utama kesehatan masyarakat haruslah pada pencegahan.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama trauma mayor. Strategi pencegahan mencakup penegakan hukum yang ketat (penggunaan sabuk pengaman, helm, larangan mengemudi sambil mabuk atau menggunakan ponsel), perbaikan infrastruktur jalan (lampu penerangan, rambu yang jelas), dan desain kendaraan yang lebih aman (airbag dan sistem pengereman darurat).
Trauma berat di tempat kerja, terutama di sektor konstruksi, pertambangan, dan industri berat, dapat dicegah melalui penerapan standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang ketat. Ini termasuk pelatihan wajib, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai, dan pengawasan mesin yang aman. Fokus pada pencegahan jatuh dari ketinggian dan cedera akibat mesin industri adalah prioritas utama.
Luka berat seringkali disebabkan oleh kekerasan interpersonal atau domestik. Program pencegahan berbasis komunitas, intervensi dini dalam konflik rumah tangga, dan ketersediaan layanan kesehatan mental dapat mengurangi insiden kekerasan yang mengakibatkan trauma fisik serius.
Pengeluaran negara untuk trauma sangat besar. Penelitian menunjukkan bahwa biaya langsung dan tidak langsung dari satu kasus luka berat (melibatkan perawatan akut, rehabilitasi, dan hilangnya produktivitas) dapat mencapai miliaran rupiah. Oleh karena itu, investasi dalam pencegahan selalu jauh lebih efektif dibandingkan biaya penanganan konsekuensi.
Bidang traumatologi terus berkembang pesat, didorong oleh kemajuan teknologi dan pemahaman yang lebih baik tentang respons inflamasi tubuh terhadap cedera parah.
Penelitian sel punca (stem cell) menunjukkan potensi besar dalam memperbaiki kerusakan jaringan parah, terutama pada SCI dan luka bakar yang luas. Transplantasi sel punca ditujukan untuk mempromosikan regenerasi aksonal pada sumsum tulang belakang atau mempercepat penutupan luka yang sulit sembuh.
Kemajuan dalam teknologi bionik dan prostetik yang diaktifkan oleh pikiran (myoelectric) memberikan harapan bagi korban amputasi dan SCI untuk mendapatkan kembali mobilitas yang hampir alami. Antarmuka otak-komputer (Brain-Computer Interface/BCI) bahkan mulai diujicobakan untuk membantu individu dengan tetraplegia berat mengontrol perangkat eksternal.
Untuk pasien di daerah terpencil atau mereka yang kesulitan bepergian, tele-rehabilitasi menggunakan teknologi digital memungkinkan terapi fisik dan konseling psikologis dilakukan dari rumah, memastikan konsistensi perawatan yang sangat penting untuk pemulihan optimal.
Luka berat mewakili salah satu tantangan terbesar dalam sistem kesehatan modern, melampaui sekadar penanganan cedera fisik akut. Ini adalah perjalanan panjang yang menuntut koordinasi sempurna antara tim medis darurat, bedah spesialis, rehabilitator, dan profesional hukum. Keberhasilan pemulihan tidak hanya diukur dari kelangsungan hidup pasien, tetapi juga dari sejauh mana mereka dapat mengklaim kembali kualitas hidup, kemandirian, dan peran mereka dalam masyarakat.
Memahami dimensi multidimensi dari luka berat—dari kriteria VeR yang kompleks hingga perjuangan psikologis bertahun-tahun—adalah kunci untuk memberikan perawatan yang manusiawi, adil, dan komprehensif bagi mereka yang menjadi korban trauma serius.
Prognosis pasien luka berat sangat bervariasi dan bergantung pada mekanisme cedera (blunt vs. penetrating), usia pasien, penyakit penyerta (komorbiditas), dan kecepatan serta kualitas penanganan awal. Namun, faktor yang paling signifikan seringkali adalah jenis kerusakan organ vital yang diderita. Kerusakan yang melibatkan batang otak atau area motorik primer tulang belakang seringkali membawa prognosis terburuk terkait kemandirian fungsional.
Kualitas hidup (QoL) pasca-trauma adalah metrik yang digunakan untuk menilai dampak jangka panjang. QoL seringkali menurun secara drastis setelah trauma mayor. Pengukuran QoL melibatkan dimensi fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Meskipun pasien mungkin pulih secara fisik, pembatasan dalam partisipasi sosial, kesulitan mendapatkan pekerjaan, dan kebutuhan akan alat bantu yang mahal secara konsisten menurunkan skor QoL mereka. Intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan QoL, seperti dukungan pekerjaan dan akses ke olahraga adaptif, harus menjadi komponen inti dari rehabilitasi.
Dalam konteks Cedera Otak Traumatis (COT), pemulihan fungsi kognitif dan perilaku sangat sulit diprediksi. Faktor-faktor yang secara umum dianggap sebagai indikator prognosis buruk meliputi lama koma (PTA), tingkat edema otak awal, dan adanya lesi aksonal difus (DAI) yang terdeteksi melalui pencitraan resonansi magnetik (MRI). Pemulihan fungsional sering mencapai puncaknya dalam 6-12 bulan pertama, tetapi peningkatan signifikan yang lambat dapat terus terjadi hingga 5 tahun pasca-cedera, menyoroti pentingnya program terapi yang tidak terputus.
Luka berat hampir selalu mengakibatkan bencana finansial. Bahkan di negara dengan sistem asuransi kesehatan yang kuat, biaya yang tidak ditanggung, seperti modifikasi rumah, kendaraan adaptif, dan biaya pengasuh non-medis, menumpuk dengan cepat. Bagi korban yang tidak memiliki asuransi yang memadai, atau yang cedera terjadi akibat kelalaian pihak ketiga yang proses hukumnya memakan waktu lama, konsekuensi ekonominya dapat menghancurkan. Banyak keluarga harus menjual aset atau berhutang untuk membiayai perawatan berkelanjutan, yang memperburuk stres psikologis secara keseluruhan.
Keputusan klinis pada pasien luka berat sering kali berada di persimpangan dilema etika yang kompleks, terutama ketika prognosis jangka panjang sangat buruk atau ketika pasien tidak dapat membuat keputusan sendiri karena penurunan kesadaran (tidak kompeten).
Ketika pasien mengalami cedera otak katastrofik dan dianggap tidak mungkin pulih ke tingkat kesadaran yang berarti (misalnya, kondisi vegetatif persisten), diskusi mengenai penghentian perawatan penunjang kehidupan (withdrawal of care) menjadi sangat sensitif. Etika mengharuskan tim medis untuk memberikan informasi prognosis yang realistis kepada keluarga, menghormati keinginan pasien (jika ada surat wasiat hidup atau advanced directive), dan bertindak sesuai dengan prinsip non-maleficence (tidak menimbulkan kerugian) dan beneficence (memberikan manfaat terbaik).
Dalam situasi trauma masal atau di rumah sakit dengan sumber daya terbatas (misalnya, kurangnya ventilator atau tempat tidur ICU), triase etis menjadi tantangan. Keputusan harus didasarkan pada potensi terbesar untuk menyelamatkan nyawa dan mengembalikan fungsi, bukan pada faktor sosial atau ekonomi pasien. Prinsip keadilan distributif menuntut alokasi sumber daya yang adil dan transparan, yang sering kali sulit diterapkan dalam tekanan waktu trauma akut.
Pada kasus luka berat, persetujuan tindakan (informed consent) seringkali tidak mungkin diperoleh sebelum intervensi penyelamat jiwa dilakukan. Dalam situasi ini, doktrin "presumed consent" (persetujuan yang diasumsikan) diterapkan, yang mengasumsikan bahwa setiap individu akan menyetujui perawatan yang diperlukan untuk mencegah kematian atau kecacatan serius. Setelah stabilisasi, persetujuan penuh harus diperoleh dari pasien atau wali hukum mereka untuk semua prosedur bedah atau rehabilitasi lanjutan.
Peningkatan kualitas penanganan luka berat sangat bergantung pada pengumpulan data yang akurat dan analisis sistematis. Registri trauma berfungsi sebagai basis data nasional atau regional yang mencatat detail insiden trauma, proses perawatan, dan hasil akhir (outcome) pasien. Data ini sangat penting untuk:
Dengan menganalisis data registri, rumah sakit dan sistem trauma dapat mengidentifikasi kesenjangan dalam perawatan—misalnya, waktu tunggu yang lama untuk CT scan, atau rasio transfusi yang tidak optimal. Analisis ini memungkinkan pengembangan protokol baru untuk mengurangi tingkat kematian yang dapat dicegah.
Data registri membantu para peneliti memahami tren trauma—jenis cedera mana yang paling sering terjadi, kelompok usia mana yang paling rentan, dan apakah program pencegahan (misalnya, kampanye keselamatan jalan) benar-benar efektif dalam menurunkan insiden luka berat.
Sistem registri yang terintegrasi (dari paramedis hingga pusat rehabilitasi) memastikan adanya jalur perawatan yang lancar. Ini sangat penting karena pasien luka berat seringkali berpindah antar fasilitas, dan transfer informasi yang buruk dapat merusak hasil akhir pasien. Digitalisasi rekam medis dan penggunaan standar klasifikasi cedera yang seragam (misalnya, ICD-10) memastikan data yang komprehensif dapat dipertukarkan.
Anak-anak yang menderita luka berat memiliki tantangan unik dibandingkan orang dewasa. Tubuh anak lebih elastis, yang berarti gaya benturan dapat mentransfer energi lebih jauh ke organ internal, seringkali tanpa meninggalkan banyak tanda eksternal (misalnya, trauma tumpul perut tanpa memar signifikan).
Anak-anak memiliki rasio permukaan tubuh terhadap massa yang lebih besar, membuat mereka rentan terhadap hipotermia. Mereka juga memiliki cadangan volume darah yang lebih kecil, sehingga kehilangan darah yang relatif kecil dapat menyebabkan syok yang cepat. Penilaian trauma pada anak memerlukan keahlian khusus dan sering menggunakan pedoman seperti Pediatric Advanced Life Support (PALS).
Cedera otak pada anak memiliki implikasi jangka panjang yang sangat serius karena otak mereka masih dalam tahap perkembangan. Cedera yang tampaknya ringan pada usia 2 tahun dapat bermanifestasi sebagai kesulitan belajar, masalah perilaku, atau defisit fungsi eksekutif yang signifikan ketika anak mencapai usia sekolah. Rehabilitasi pediatrik harus berfokus pada adaptasi dan pertumbuhan, bukan hanya pemulihan fungsi yang hilang.
Pada kasus trauma berat yang melibatkan anak-anak, tim medis wajib mempertimbangkan kemungkinan Kekerasan Anak (Child Abuse). Pola cedera yang tidak sesuai dengan cerita orang tua, fraktur spiral, atau pendarahan subdural pada bayi harus memicu evaluasi forensik yang ketat dan pelaporan wajib kepada pihak berwenang. Aspek hukum di sini sangat ketat, dan tim medis berperan sebagai garda depan perlindungan anak.
Luka berat memicu respon hipermetabolik dan katabolik masif. Tubuh memasuki keadaan di mana ia membakar energi dan protein (otot) dengan sangat cepat untuk memperbaiki kerusakan dan melawan infeksi. Jika tidak ditangani, malnutrisi akan menyebabkan kelemahan otot pernapasan, menghambat penyembuhan luka, dan meningkatkan risiko infeksi.
Tingkat metabolisme basal dapat meningkat hingga 150-200% pada pasien luka bakar luas atau trauma multi-organ. Dukungan nutrisi harus dimulai sedini mungkin (terutama nutrisi enteral melalui selang) untuk mempertahankan integritas usus (mencegah translokasi bakteri) dan menyediakan kalori serta protein yang cukup. Diet harus tinggi protein, kalori, dan dilengkapi dengan mikronutrien penting seperti seng dan vitamin C yang vital untuk penyembuhan luka.
Pasien trauma sering mengalami hiperglikemia (gula darah tinggi) akibat stres hormon (kortisol dan katekolamin). Hiperglikemia yang tidak terkontrol secara signifikan meningkatkan risiko komplikasi infeksi dan memperlambat penyembuhan. Protokol ketat manajemen insulin sering diperlukan, bahkan pada pasien yang sebelumnya tidak menderita diabetes.
Penting untuk menggeser paradigma dari menganggap luka berat sebagai peristiwa tunggal yang akut menjadi memahami bahwa luka berat adalah awal dari kondisi kronis yang memerlukan manajemen seumur hidup. Setelah fase akut selesai, korban harus menghadapi konsekuensi yang tidak terlihat—kelelahan kronis, kesulitan kognitif, nyeri neuropatik, dan perjuangan hukum serta finansial.
Sistem layanan kesehatan dan masyarakat harus menyediakan jaringan pengaman yang berkelanjutan. Ini mencakup akses tanpa hambatan ke layanan rehabilitasi lanjutan, dukungan kesehatan mental yang disubsidi, dan perlindungan hukum yang memastikan bahwa hak-hak korban yang kehilangan kapasitas fungsional mereka terpenuhi. Hanya dengan pendekatan holistik dan berkelanjutan, masyarakat dapat benar-benar membantu individu yang menghadapi tantangan luka berat untuk membangun kembali kehidupan yang bermakna.
Dedikasi terhadap detail dalam penanganan trauma, dari menit pertama di lokasi kejadian hingga tahun-tahun rehabilitasi psikososial, adalah cerminan dari komitmen sebuah peradaban terhadap kesejahteraan warganya yang paling rentan. Luka berat bukan hanya tentang apa yang terjadi pada tubuh, tetapi juga tentang bagaimana sebuah kehidupan dikonfigurasi ulang setelah mengalami kehancuran.