Kata lozenge, dalam konteks modern, mungkin paling akrab di telinga masyarakat sebagai sebutan untuk permen hisap farmasi yang berfungsi meredakan iritasi tenggorokan. Namun, di balik fungsi terapeutiknya yang sederhana, lozenge adalah sebuah konsep yang memiliki sejarah multi-disiplin yang kaya, menjangkau bidang farmakologi, geometri, hingga seni heraldik abad pertengahan. Dari bentuk geometris rhombus yang ikonik hingga evolusi formulasi farmasi, eksplorasi mendalam mengenai lozenge menawarkan wawasan yang luas tentang bagaimana sebuah bentuk dan fungsi dapat berinteraksi secara kompleks sepanjang sejarah.
Pemahaman mengenai lozenge tidak hanya terbatas pada dunia kesehatan. Dalam desain, lozenge merujuk pada pola berlian yang terulang; dalam heraldik, ia mewakili perisai khusus untuk wanita; dan dalam matematika, ia adalah sinonim untuk bangun datar belah ketupat. Artikel ini akan menyelami setiap aspek dari lozenge, mengungkap sejarah, komposisi kimia yang mendetail, metode manufaktur yang canggih, serta peran kulturalnya yang abadi, menunjukkan bahwa lozenge adalah lebih dari sekadar permen pelega tenggorokan.
Istilah lozenge di bidang farmasi (atau sering disebut troche atau pastille) merujuk pada sediaan padat yang dimaksudkan untuk dilarutkan secara perlahan di mulut atau faring. Tujuan utama dari lozenge adalah untuk memberikan efek lokal pada mukosa mulut atau tenggorokan, meskipun beberapa formulasi modern dirancang untuk penyerapan sistemik melalui selaput lendir sublingual atau bukal. Keunggulan utama dari lozenge adalah kemampuannya memperpanjang waktu kontak zat aktif dengan area yang sakit, memberikan efek terapeutik yang lebih lama dan terkonsentrasi di tempat yang membutuhkan.
Konsep permen obat bukanlah hal baru; akarnya dapat ditelusuri kembali ke Mesir Kuno, di mana madu dicampur dengan rempah-rempah dan minyak esensial untuk mengobati infeksi tenggorokan. Namun, formulasi yang lebih mendekati lozenge modern mulai berkembang pada abad pertengahan di Eropa. Para apoteker saat itu mencampur gula tebu—yang mahal dan langka—dengan gum alami seperti gum arab, serta ekstrak tumbuhan. Tujuan awalnya lebih berkaitan dengan mempermudah konsumsi obat-obatan yang pahit daripada pelepasan zat aktif yang bertahap.
Pada abad ke-19, dengan industrialisasi dan peningkatan produksi gula, lozenge menjadi sediaan farmasi yang umum. Standar farmakope mulai mendefinisikan sifat-sifat fisik yang harus dimiliki oleh lozenge, menekankan kekerasan yang memadai untuk menahan pengemasan tetapi cukup lunak untuk larut perlahan di mulut. Bentuk geometris yang seringkali diasosiasikan—yakni bentuk berlian atau persegi panjang membulat—menjadi standar industri karena efisiensi pembuatannya melalui proses pemotongan dan penekanan.
Formulasi lozenge modern sangat kompleks dan dirancang secara presisi untuk mengoptimalkan rasa, kekerasan, stabilitas, dan laju disolusi. Komponen utamanya terdiri dari zat aktif (API) dan sejumlah besar bahan pembantu atau eksipien, yang dapat mencapai 95% dari total massa sediaan.
Basis membentuk kerangka struktural lozenge. Pilihan basis menentukan tekstur dan waktu larut:
Lozenge biasanya membawa beberapa jenis zat aktif, tergantung pada tujuan terapeutiknya:
Karena lozenge harus dipegang di mulut dalam waktu lama, rasa (flavouring) sangatlah penting. Rasa harus menutupi kepahitan zat aktif tanpa menyebabkan iritasi. Asam sitrat sering ditambahkan untuk memberikan rasa tajam yang menstimulasi produksi air liur, membantu proses disolusi.
Pembuatan lozenge, terutama jenis keras, memerlukan kontrol suhu dan kelembapan yang ketat. Ada tiga metode utama yang digunakan dalam produksi skala industri:
Metode ini paling sering digunakan untuk lozenge jenis pastille (lunak) atau yang berbasis gelatin. Bahan dasar dilelehkan, dicampur dengan zat aktif, dan kemudian dituangkan ke dalam cetakan yang telah dilumasi. Setelah pendinginan dan pemadatan, lozenge dikeluarkan dari cetakan. Metode ini menghasilkan lozenge dengan permukaan yang sangat halus dan bentuk yang lebih kompleks, namun laju produksinya relatif lambat dibandingkan metode lain.
Mirip dengan pembuatan tablet, metode kompresi menghasilkan lozenge yang sangat keras dan padat. Serbuk campuran bahan (API dan eksipien) dikompresi di bawah tekanan tinggi. Keuntungan utamanya adalah menghilangkan kebutuhan akan pemanasan tinggi (yang dapat merusak zat aktif yang sensitif panas). Namun, tantangannya adalah memastikan bahwa lozenge yang dihasilkan cukup larut untuk memberikan efek lokal yang diinginkan, karena kekerasannya bisa berlebihan.
Metode ini dominan untuk lozenge keras berbasis gula atau poliol. Prosesnya melibatkan:
Standar farmakope menetapkan beberapa pengujian wajib untuk lozenge, termasuk:
Kesamaan Dosis: Memastikan setiap lozenge mengandung jumlah zat aktif yang sama persis.
Uji Disolusi (Kelarutan): Mengukur waktu yang dibutuhkan lozenge untuk larut sepenuhnya di bawah kondisi saliva buatan (biasanya 5 hingga 10 menit).
Kekerasan (Friability): Menguji ketahanan lozenge terhadap kerusakan mekanis selama pengemasan dan transportasi.
Di luar konotasi farmasinya, istilah lozenge secara etimologis dan historis merujuk pada bentuk geometris belah ketupat (rhombus). Bentuk ini bukan hanya sekadar dekorasi, melainkan memiliki signifikansi yang mendalam, terutama dalam seni heraldik Eropa, di mana ia berfungsi sebagai simbol identitas sosial dan gender.
Secara geometris, lozenge adalah belah ketupat, sebuah segiempat dengan keempat sisinya memiliki panjang yang sama, namun sudut-sudutnya tidak harus 90 derajat (membedakannya dari persegi). Dalam konteks desain, lozenge seringkali digambarkan sebagai berlian tipis yang berdiri tegak (vertikal), meskipun dalam deskripsi heraldik, istilah ini bisa lebih longgar.
Para ahli matematika telah lama tertarik pada properti lozenge, terutama dalam konsep tessellation (pengubinan). Lozenge sering digunakan dalam pola berulang yang mengisi ruang dua dimensi tanpa celah, seperti yang terlihat dalam pola geometris Islam atau keramik M.C. Escher. Sifatnya yang asimetris namun teratur memberikan dinamika visual yang unik.
Penggunaan lozenge yang paling formal terdapat dalam heraldik. Dalam tradisi heraldik Inggris dan Eropa, perisai standar yang digunakan oleh seorang pria (kesatria atau bangsawan) adalah shield (perisai berbentuk tameng). Sebaliknya, untuk wanita yang belum menikah atau janda, lambang kebangsawanan mereka ditampilkan di atas lozenge.
Keputusan menggunakan lozenge untuk wanita didasarkan pada asumsi historis bahwa wanita tidak berpartisipasi dalam pertempuran (dan karenanya tidak memerlukan perisai tempur). Lozenge, dengan bentuknya yang elegan dan non-militer, dianggap lebih sesuai untuk menampilkan lambang keluarga. Lozenge ini biasanya tidak dilengkapi dengan lambang-lambang militer lain, seperti helm atau jambul (crest), yang merupakan atribut maskulin.
Dalam terminologi heraldik, lozenge memiliki kerabat dekat yang perlu dibedakan. Ketiga bentuk ini—lozenge, fusil, dan mascle—adalah variasi dari belah ketupat, dan perbedaannya sangat penting untuk penafsiran lambang:
Ketepatan terminologi ini menunjukkan betapa pentingnya bentuk lozenge dalam sistem simbolis yang ketat. Walaupun secara visual lozenge farmasi memiliki bentuk yang mirip, asal-usul penamaannya dalam farmasi kemungkinan besar diambil dari bentuk geometris yang sudah mapan ini.
Daya tarik visual bentuk lozenge—kesederhanaan geometris yang berpadu dengan dinamika sudut miring—membuatnya menjadi motif populer di berbagai disiplin desain. Penggunaannya membentang dari arsitektur abad pertengahan hingga tren Art Deco pada abad ke-20.
Dalam arsitektur Romawi dan Bizantium, pola lozenge sering digunakan dalam ubin mosaik dan lantai. Bentuk ini memungkinkan pengubinan yang efisien dan menciptakan ilusi kedalaman atau tiga dimensi (disebut tessellation rombik) ketika warna-warna kontras digunakan.
Pada periode Gotik, ornamen lozenge muncul sebagai elemen dekoratif pada jendela kaca patri dan ukiran batu. Pola ini juga mendominasi desain jaring (tracery) yang rumit, memberikan kesan ringan dan kerumitan visual. Salah satu contoh terkenal adalah penggunaan pola lozenge pada fasad-fasad bangunan Renaisans Italia, di mana batu atau marmer dipotong dan disusun untuk menciptakan efek tekstur geometris yang mewah.
Pada abad ke-20, Gerakan Art Deco mengadopsi bentuk lozenge sebagai salah satu motif utamanya. Bentuk berlian yang tajam dan dinamis sangat sesuai dengan estetika Art Deco yang modern, mewah, dan terinspirasi dari mesin. Lozenge muncul pada gril mobil, ornamen logam pada gedung pencakar langit (seperti Chrysler Building di New York), hingga desain perabotan dan perhiasan.
Dalam industri tekstil, pola lozenge dikenal luas sebagai pola 'argyle'. Meskipun argyle sering kali dianggap sebagai pola kotak-kotak biasa, ciri khasnya adalah penggunaan lozenge yang tumpang tindih, biasanya dengan garis-garis silang yang melewatinya. Pola argyle berasal dari klan Skotlandia dan menjadi sangat populer di abad ke-20, terutama pada pakaian rajutan seperti rompi dan kaus kaki.
Popularitas pola lozenge dalam tekstil didasarkan pada kemampuannya memberikan rasa keteraturan tanpa kekakuan. Ketika lozenge diposisikan pada sudut 45 derajat (seperti pada argyle), pola tersebut memanjangkan ilusi kain dan menambahkan elemen visual yang menarik.
Meskipun lozenge sering kali disamakan dengan tablet hisap, tablet biasa, atau permen karet medis, terdapat perbedaan mendasar dalam tujuan, komposisi, dan mekanisme pelepasan zat aktif.
Tablet sublingual dan bukal dirancang untuk larut sangat cepat, biasanya dalam hitungan detik hingga satu atau dua menit, dan bertujuan untuk penyerapan sistemik (masuk ke aliran darah) melalui mukosa yang sangat vaskularisasi di bawah lidah (sublingual) atau di pipi (bukal). Obat yang diserap dengan cara ini menghindari metabolisme lintas pertama di hati, memungkinkan efek yang lebih cepat dan dosis yang lebih rendah.
Sebaliknya, lozenge dirancang untuk larut perlahan (5–10 menit), tujuannya utama adalah efek lokal, dan meskipun beberapa penyerapan sistemik dapat terjadi, ini bukanlah mekanisme utama. Formulasi lozenge berfokus pada daya tahan dan palatabilitas (rasa yang enak), sementara tablet sublingual berfokus pada kecepatan larut dan bioavailabilitas.
Permen karet medis (seperti permen karet nikotin) melepaskan zat aktif melalui pengunyahan mekanis. Pelepasan zat aktifnya bervariasi tergantung pada intensitas pengunyahan dan pH saliva. Mekanisme lozenge murni didasarkan pada disolusi matriks padat melalui kontak langsung dengan air liur. Lozenge menawarkan pelepasan yang lebih konsisten dan dapat diprediksi selama durasi tertentu, terlepas dari aktivitas mekanis pasien.
Salah satu tantangan terbesar dalam pembuatan lozenge adalah memasukkan API dosis tinggi. Karena lozenge adalah sediaan yang harus larut perlahan, konsentrasi zat aktif yang terlalu tinggi dapat menyebabkan rasa yang tidak enak atau iritasi lokal saat lozenge mencapai tahap akhir disolusi. Para formulator harus menyeimbangkan rasa, laju pelepasan, dan dosis yang efektif.
Meskipun lozenge dianggap sebagai bentuk sediaan yang 'klasik', pengembangan teknologinya terus berlanjut. Fokus inovasi saat ini adalah meningkatkan efisiensi pelepasan zat aktif yang sulit larut, meningkatkan stabilitas di tengah fluktuasi suhu, dan mengembangkan lozenge multi-lapisan untuk pelepasan berurutan (sequential release).
Salah satu batas teknologi terbaru melibatkan penggunaan nano-partikel atau nano-dispersi. Untuk zat aktif yang memiliki kelarutan rendah dalam air liur, para ilmuwan farmasi telah mencoba mengintegrasikannya ke dalam matriks lozenge dalam bentuk partikel ultra-halus. Mengurangi ukuran partikel meningkatkan luas permukaan secara eksponensial, sehingga memungkinkan zat tersebut larut lebih efektif di mulut, meskipun berada dalam basis lozenge yang padat. Metode ini sangat menjanjikan untuk obat-obatan baru yang seringkali bersifat hidrofobik.
Pencetakan 3D farmasi (3D Printing) menawarkan revolusi dalam kustomisasi sediaan, termasuk lozenge. Dengan 3D printing, lozenge dapat dicetak lapis demi lapis, memungkinkan penciptaan geometri yang sangat spesifik dan kompleks yang tidak mungkin dicapai dengan cetakan atau kompresi tradisional. Keunggulan utamanya adalah kemampuan untuk membuat lozenge dosis individual (personalised medicine) berdasarkan kebutuhan spesifik pasien (misalnya, dosis yang berbeda untuk anak-anak dengan bobot badan yang bervariasi).
Lozenge keras, terutama yang berbasis gula, sangat rentan terhadap kelembapan (higroskopisitas). Jika kemasannya tidak sempurna atau jika disimpan di lingkungan yang lembap, lozenge dapat menjadi lengket, buram, dan kehilangan tekstur serta integritas bentuknya. Penelitian terus dilakukan untuk mengembangkan lapisan pelindung (coating) berbasis polimer non-higroskopis yang dapat menjaga kestabilan fisik lozenge selama masa simpan yang panjang, bahkan di iklim tropis.
Penggunaan poliol seperti isomalt atau maltitol adalah solusi parsial untuk masalah higroskopisitas dibandingkan dengan sukrosa. Mereka menawarkan matriks yang lebih stabil, namun tetap diperlukan pemahaman mendalam tentang transisi kaca (glass transition) dari polimer-polimer ini untuk memastikan lozenge tidak melunak pada suhu tinggi.
Efek menenangkan lozenge pada tenggorokan yang teriritasi tidak hanya disebabkan oleh zat aktifnya, tetapi juga oleh mekanisme fisik dan sensorik. Proses melarutnya lozenge menstimulasi produksi air liur (saliva), yang bertindak sebagai pelumas alami. Selain itu, agen seperti menthol tidak hanya berfungsi sebagai dekongestan ringan tetapi juga mengaktifkan reseptor dingin TRPM8 pada ujung saraf, menciptakan sensasi pendinginan yang dipersepsikan sebagai pereda nyeri dan iritasi. Penelitian terkini berupaya mengoptimalkan konsentrasi agen sensorik ini untuk mencapai kenyamanan maksimal tanpa menyebabkan efek samping seperti sensasi terbakar yang berlebihan.
Dalam beberapa dekade terakhir, permintaan akan lozenge yang mengandung bahan alami dan ekstrak herbal telah meningkat tajam. Zat-zat seperti madu Manuka, ekstrak akar licorice, sage, dan echinacea kini menjadi fokus formulasi lozenge. Tantangannya di sini adalah standardisasi. Bahan herbal memiliki variasi konsentrasi zat aktif yang tinggi. Oleh karena itu, teknologi ekstraksi harus sangat canggih untuk memastikan bahwa setiap lozenge memiliki potensi terapeutik yang konsisten, sesuai dengan standar farmasi, meskipun basisnya adalah bahan alami.
Lozenge kini juga dimanfaatkan sebagai sistem penghantaran untuk vitamin dan suplemen, terutama Vitamin B12 dan D, yang penyerapan awalnya dapat ditingkatkan melalui mukosa mulut. Karena lozenge dipegang di mulut, ini memberikan kesempatan penyerapan yang optimal sebelum nutrisi mencapai saluran pencernaan, yang mungkin memiliki pH yang kurang ideal untuk penyerapan tertentu.
Untuk memahami sepenuhnya keefektifan terapeutik sebuah lozenge, kita harus mempelajari dinamika pelepasan zat aktifnya di dalam matriks. Matriks lozenge keras bersifat vitreous (seperti kaca) pada dasarnya. Ketika lozenge ditempatkan di mulut, air liur mulai melarutkan lapisan luar matriks, membentuk lapisan hidrogel atau lapisan batas di permukaan.
Proses pelepasan zat aktif dari lozenge sering dimodelkan menggunakan persamaan Higuchi atau model pelepasan yang lebih kompleks yang mempertimbangkan erosi matriks. Pelepasan zat aktif terjadi melalui dua mekanisme utama:
Lozenge yang dirancang dengan baik harus mencapai pelepasan orde nol (zero-order release), yang berarti zat aktif dilepaskan pada tingkat yang konstan per satuan waktu, memastikan konsentrasi obat yang stabil dan berkelanjutan di area tenggorokan selama periode yang ditentukan. Pengendalian viskositas air liur di sekitar lozenge, yang dipengaruhi oleh eksipien, menjadi kunci untuk mencapai pelepasan yang ideal ini.
Penambahan asam organik, seperti asam sitrat, malat, atau tartarat, ke dalam lozenge memiliki fungsi ganda. Pertama, mereka berfungsi sebagai agen perasa (flavour enhancer) yang memberikan rasa segar. Kedua, mereka sangat penting dalam menjaga pH lingkungan mulut di sekitar lozenge. pH yang sedikit asam (sekitar 4,5 hingga 5,5) dapat meningkatkan stabilitas beberapa zat aktif, terutama yang sensitif terhadap degradasi basa. Namun, jumlah asam harus diatur dengan hati-hati karena keasaman berlebihan dapat menyebabkan iritasi mulut atau erosi enamel gigi, sebuah pertimbangan penting dalam formulasi lozenge bebas gula jangka panjang.
Lozenge, meskipun secara farmasi adalah sediaan oral yang efektif, juga memiliki dimensi sosio-ekonomi yang signifikan. Produk ini menempati segmen pasar yang menarik, berada di persimpangan antara permen konsumsi sehari-hari (confectionery) dan produk kesehatan (OTC, Over-the-Counter).
Banyak merek lozenge yang sukses berinvestasi besar dalam branding yang menekankan efektivitas klinis sambil mempertahankan daya tarik sensorik. Konsumen sering kali mencari lozenge yang memberikan 'efek pendinginan' yang kuat, yang mereka kaitkan dengan kelegaan segera, bahkan jika efek terapeutik sebenarnya datang dari zat aktif yang lain. Menthol, bahkan dalam dosis rendah, memainkan peran psikologis yang besar dalam persepsi efektivitas.
Penggunaan warna dan bentuk lozenge juga menjadi elemen pemasaran. Lozenge sering dicetak dalam warna-warna cerah (merah, biru, hijau) yang mengasosiasikannya dengan rasa tertentu (ceri, mint, lemon) atau sifat terapeutik (misalnya, warna biru untuk pendinginan/dekongestan). Bentuk lozenge yang ikonik (seringkali persegi panjang dengan tepi membulat atau belah ketupat) membedakannya dari permen biasa, menegaskan statusnya sebagai 'obat' ringan.
Di banyak negara, batas regulasi antara lozenge yang mengandung zat aktif obat (seperti benzocaine) dan lozenge yang hanya mengandung suplemen herbal atau dekongestan (seperti madu dan menthol) adalah kabur. Lozenge yang diklasifikasikan sebagai obat (drug) harus melalui pengujian klinis dan memenuhi standar Good Manufacturing Practice (GMP) yang ketat. Sebaliknya, lozenge yang diposisikan sebagai suplemen diet mungkin menghadapi pengawasan yang lebih ringan, meskipun konsumen tetap mengharapkan hasil terapeutik.
Perbedaan regulasi ini memengaruhi rantai pasokan dan biaya produksi. Formulasi yang kompleks dan proses manufaktur yang canggih untuk lozenge farmasi memerlukan investasi modal yang jauh lebih besar daripada lozenge berbasis gula sederhana.
Kembali ke asal mula kata, lozenge memiliki jejak linguistik yang menarik.
Kata 'lozenge' diyakini berasal dari kata Prancis Kuno losenge, yang berarti 'ubin' atau 'batu nisan', merujuk pada bentuk berlian. Transisi dari 'bentuk ubin' menjadi 'permen obat' terjadi karena farmasis dan produsen permen awal sering menggunakan cetakan atau alat pemotong yang menghasilkan bentuk berlian yang praktis untuk kemasan dan konsumsi.
Dalam konteks yang sangat berbeda, selama Perang Dunia I, istilah 'lozenge' juga digunakan untuk menggambarkan pola kamuflase yang sangat kompleks pada pesawat tempur Jerman. Pola ini terdiri dari berbagai lozenge berwarna yang dicetak pada kain pesawat. Pola kamuflase lozenge ini dirancang secara matematis untuk menyamarkan pesawat pada ketinggian yang berbeda dan merupakan salah satu contoh paling awal dari kamuflase yang didasarkan pada perhitungan ilmiah, bukan sekadar pewarnaan acak. Penggunaan bentuk lozenge di sini lagi-lagi menggarisbawahi fleksibilitas bentuk geometris tersebut dalam desain fungsional.
Masa depan lozenge sebagai sistem penghantaran obat terlihat cerah, terutama dengan peningkatan minat pada obat-obatan yang memerlukan penyerapan bukal atau sublingual yang terkontrol. Beberapa aplikasi medis yang sedang dikembangkan meliputi:
Lozenge berbasis opioid atau fentanil telah dikembangkan untuk penanganan breakthrough pain (nyeri yang menembus dosis obat reguler) pada pasien kanker. Lozenge oral ini memungkinkan penyerapan yang cepat dan terkontrol melalui mukosa mulut, memberikan kelegaan cepat tanpa perlu injeksi.
Para peneliti sedang menjajaki potensi lozenge sebagai metode penghantaran vaksin oral. Mukosa mulut mengandung jaringan limfoid yang signifikan, menjadikannya target yang ideal untuk induksi respons imun. Lozenge dapat menawarkan cara yang stabil, mudah disimpan, dan tidak memerlukan suntikan untuk mengantarkan antigen.
Dengan teknologi enkapsulasi mikro, dimungkinkan untuk memasukkan dua atau lebih zat aktif yang mungkin tidak kompatibel dalam formulasi tablet tradisional. Misalnya, satu zat aktif yang sensitif terhadap asam dapat dienkapsulasi dan ditempatkan dalam matriks yang mengandung zat aktif lain, memastikan keduanya dilepaskan secara efektif tanpa saling berinteraksi secara negatif di dalam sediaan lozenge.
Intinya, lozenge telah bertransformasi dari sekadar permen pelega tenggorokan berbasis gula menjadi sebuah platform penghantaran obat yang canggih, memanfaatkan bentuk geometrisnya yang ikonik untuk mencapai tujuan farmakologis, estetika, dan simbolis. Konsistensi bentuk belah ketupatnya di berbagai bidang—dari ilmu farmasi yang mikro hingga seni heraldik yang makro—adalah bukti universalitas dan daya tarik abadi dari lozenge.
Eksplorasi yang ekstensif terhadap lozenge mengungkapkan betapa sebuah entitas tunggal dapat memiliki makna yang begitu beragam di berbagai domain. Di satu sisi, lozenge adalah produk teknologi farmasi yang membutuhkan presisi kimia dan rekayasa proses yang tinggi untuk memastikan disolusi yang sempurna dan pelepasan zat aktif yang bertahap untuk meredakan penyakit tenggorokan.
Di sisi lain, lozenge adalah sebuah simbol keanggunan geometris, sebuah bentuk yang telah digunakan selama berabad-abad oleh para bangsawan untuk mewakili identitas gender yang spesifik, dan oleh para seniman serta arsitek untuk menciptakan pola yang menarik secara visual dan memiliki kekayaan sejarah. Baik dalam desain kamuflase militer maupun dalam formulasi tablet hisap modern, bentuk berlian yang unik ini menawarkan solusi yang fungsional dan estetis.
Dengan terus berlanjutnya penelitian dalam nano-teknologi dan personalisasi obat-obatan, lozenge akan terus berevolusi. Ia mungkin menjadi kendaraan utama untuk obat-obatan yang memerlukan penyerapan cepat atau terkontrol di mulut, menjadikannya bukan sekadar warisan sejarah, tetapi juga bagian integral dari masa depan farmakologi. Lozenge membuktikan bahwa yang paling sederhana pun dapat menyembunyikan kompleksitas dan kedalaman yang luar biasa, menghubungkan seni dan ilmu pengetahuan melalui bentuk belah ketupatnya yang abadi.