Kata lontang lantung, dalam kekayaan Bahasa Indonesia, membawa bobot makna yang melampaui sekadar berjalan tanpa arah. Ia adalah sebuah kondisi eksistensial, sebuah keadaan batin dan fisik di mana individu hidup dalam siklus ketidakpastian abadi, mengapung di lautan pilihan tanpa berlabuh pada dermaga tujuan yang definitif. Ini bukan hanya tentang kemalasan atau pengangguran, melainkan sebuah respons, sering kali pasif, terhadap tekanan struktural modernitas dan kekosongan spiritual yang melingkupinya.
Mengapa seseorang memilih atau terdorong menuju kehidupan yang lontang lantung? Jawabannya terletak pada paradoks fundamental: pencarian kebebasan mutlak justru menghasilkan belenggu baru. Kehidupan modern menuntut linieritas: sekolah, kuliah, kerja, menikah, pensiun. Bagi mereka yang merasa tercekik oleh narasi yang telah ditetapkan ini, lontang lantung menawarkan jeda, ruang hening di luar hiruk pikuk determinasi sosial. Mereka menolak definisi kesuksesan yang baku, memilih untuk membiarkan nasib membawa mereka ke mana saja, seolah-olah hidup adalah sehelai daun yang dibawa arus sungai tanpa pernah berniat menjadi kano yang dikayuh.
Namun, jeda ini sering kali berubah menjadi kekosongan yang berlarut-larut. Ketiadaan struktur yang pada awalnya membebaskan, pada akhirnya menggerogoti. Individu yang lontang lantung mungkin merasa bebas dari jadwal, namun terjebak dalam jadwal yang lebih kejam: jadwal yang didikte oleh kebosanan, kebutuhan mendesak akan pemasukan acak, dan perjuangan terus-menerus untuk memvalidasi keberadaan mereka kepada dunia yang menuntut bukti konkret berupa capaian (prestasi, materi, status).
Lontang lantung bukan hanya gerakan fisik tanpa arah; ia adalah resistensi pasif terhadap narasi kehidupan yang terstruktur, sebuah pencarian makna di sela-sela kekosongan yang tercipta oleh penolakan terhadap tujuan yang sudah ditetapkan oleh masyarakat.
Fenomena ini dapat dibagi menjadi dua spektrum utama yang berbeda secara fundamental dalam motivasi dan dampak psikologisnya:
Ini adalah individu yang secara sadar memilih hidup nomaden, minimalis, atau tanpa ikatan pekerjaan tetap, sering kali didorong oleh idealisme, pencarian spiritual, atau penolakan filosofis terhadap konsumerisme. Mereka adalah pengembara yang mencari pengalaman, bukan stabilitas. Meskipun tujuannya adalah eksplorasi diri, risiko tergelincir ke dalam kehampaan finansial dan emosional tetap tinggi.
Ini adalah korban dari kegagalan sistemik. Mereka adalah lulusan yang tidak menemukan pekerjaan yang relevan, pekerja yang terdepak dari pasar karena perubahan teknologi, atau individu yang menderita masalah mental sehingga sulit mempertahankan struktur. Keterombang-ambingan mereka didominasi oleh kecemasan, rasa malu, dan perjuangan keras untuk bertahan hidup, bukan oleh keinginan filosofis. Bagi kelompok ini, lontang lantung adalah sinonim dari anomie sosial—keadaan tanpa norma yang jelas dan terstruktur.
Meskipun motivasinya berbeda, pengalaman sehari-hari—ketidakjelasan jadwal makan, tidur, dan interaksi sosial—sering kali berujung pada erosi identitas yang sama-sama menyakitkan. Mereka yang hidup lontang lantung, baik terpaksa maupun sukarela, menghadapi tantangan besar dalam mendefinisikan "diri" mereka di luar peran sosial konvensional.
Mengapa di era informasi dan konektivitas yang seharusnya menyediakan peta hidup yang jelas, justru semakin banyak orang yang merasa tersesat dalam kondisi lontang lantung? Jawabannya terletak pada pergeseran besar dalam struktur psikologis individu dan ekspektasi sosiologis yang tidak realistis.
Dalam masyarakat pra-modern, pilihan karir dan hidup seringkali sudah ditentukan oleh kasta, keluarga, atau geografi. Hari ini, kita dibombardir dengan pilihan. Ada ribuan karir, ratusan gaya hidup, dan jutaan informasi yang menawarkan jalur menuju kebahagiaan. Ironisnya, kelimpahan ini melumpuhkan. Ketika setiap jalan terbuka, memutuskan satu jalan terasa seperti menutup semua potensi jalan lainnya.
Kehidupan lontang lantung menjadi mekanisme pertahanan diri terhadap beban determinasi ini. Jika seseorang tidak memilih, ia tidak bisa gagal dalam pilihan tersebut. Ini adalah penangguhan keputusan yang kronis, sebuah mekanisme menghindari tanggung jawab penuh atas hasil hidup. Individu seringkali jatuh ke dalam siklus ini setelah mengalami kegagalan besar—seperti dipecat, perceraian, atau kegagalan bisnis—yang membuat mereka skeptis terhadap nilai usaha yang terencana.
Sosiolog Émile Durkheim mendefinisikan *anomie* sebagai kondisi kekacauan moral di mana norma-norma sosial rusak atau tidak jelas. Individu yang lontang lantung adalah manifestasi modern dari anomie. Mereka hidup di dunia pasca-ideologi, di mana agama, negara, dan bahkan korporasi besar gagal menyediakan kerangka makna yang koheren.
Tanpa jangkar normatif, mereka menjadi atom-atom yang bergerak bebas. Keseharian mereka dihabiskan untuk mencari kesenangan instan (distraksi digital, konsumsi ringan) sebagai pengganti kepuasan jangka panjang yang berasal dari pencapaian terstruktur. Kehidupan sehari-hari berubah menjadi serangkaian tindakan tak terhubung yang hanya bertujuan mengisi waktu antara bangun dan tidur.
Meskipun pada pandangan pertama lontang lantung mungkin terlihat santai, secara psikologis, itu sangat menuntut. Manusia membutuhkan struktur, prediktabilitas, dan rasa memiliki untuk kesehatan mental yang optimal. Ketika elemen-elemen ini hilang, beberapa kondisi mental sering muncul:
Fenomena ini bukan sekadar kegagalan individu; ini adalah gejala bahwa sistem sosial telah gagal menyediakan jalur yang memadai bagi setiap orang untuk menemukan tempat mereka, sehingga banyak yang terpaksa hidup dalam mode 'siaga' yang berkepanjangan.
Ketika pola hidup lontang lantung tidak hanya menjadi fase singkat, melainkan menjadi identitas permanen, dampaknya terhadap tatanan sosial dan ekonomi menjadi signifikan. Ini adalah erosi perlahan terhadap modal sosial dan keamanan finansial, baik bagi individu maupun komunitas.
Fondasi masyarakat yang stabil terletak pada jaringan hubungan yang saling mengikat (modal sosial). Ketika seseorang hidup lontang lantung, jaringan ini melemah. Mereka mungkin sering berpindah tempat tinggal, berganti lingkaran pertemanan, atau hanya muncul dalam hidup orang lain pada saat-saat tertentu.
Kepercayaan adalah komoditas langka. Sulit untuk memercayai komitmen seseorang yang tidak memiliki jadwal, tidak memiliki alamat tetap, atau tidak memiliki sumber pendapatan yang dapat diandalkan. Ini menyebabkan pengucilan terselubung. Keluarga mungkin menyayangi mereka, tetapi pada saat yang sama, merasa lelah harus selalu menjadi jaring pengaman. Teman-teman lama yang telah "berhasil" mungkin merasa sulit untuk berhubungan, karena pengalaman hidup mereka yang terstruktur sangat berbeda.
Menariknya, banyak individu lontang lantung menemukan pelarian dan bahkan struktur sementara di dunia digital. Di ruang maya, mereka dapat menciptakan identitas tanpa tuntutan validasi fisik atau finansial. Mereka mungkin menjadi sangat aktif di forum, game online, atau komunitas tertentu. Namun, struktur digital ini sering kali rapuh, dan ketika koneksi terputus, isolasi di dunia nyata terasa semakin parah.
Aspek yang paling mendesak dari kehidupan lontang lantung adalah manajemen finansial, yang sering kali ditandai oleh ketidakstabilan parah. Gaya hidup ini menuntut ketahanan finansial yang luar biasa atau, sebaliknya, adopsi gaya hidup minimalis yang ekstrem.
Banyak yang terpaksa bergantung pada ekonomi *gig*—pekerjaan serabutan, proyek lepas pendek, atau pekerjaan harian yang tidak menawarkan jaminan sosial, pensiun, atau asuransi kesehatan. Ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, pekerjaan serabutan menawarkan fleksibilitas yang sangat dicari oleh jiwa lontang lantung; di sisi lain, ia menjebak mereka dalam siklus pendapatan yang tidak menentu, membuat perencanaan jangka panjang (tabungan, investasi) hampir mustahil.
Risiko besar lainnya adalah hutang. Ketika pendapatan tidak teratur, pinjaman cepat atau kartu kredit sering menjadi alat untuk menutupi kebutuhan mendesak, yang akhirnya menciptakan beban struktural yang lebih berat daripada struktur pekerjaan formal yang mereka hindari.
Semakin lama seseorang hidup lontang lantung, semakin sulit bagi mereka untuk kembali ke jalur karir formal. Keterampilan yang dimiliki menjadi usang, dan kesenjangan dalam riwayat hidup (CV gap) menjadi semakin lebar. Dunia kerja modern menghargai kontinuitas dan lintasan karir yang jelas; ketidakmampuan untuk menjelaskan masa-masa mengembara ini sering kali ditafsirkan sebagai ketidakandalan atau kurangnya disiplin, bahkan jika pengalaman pengembaraan tersebut sebenarnya memperkaya individu.
Dengan demikian, lontang lantung bertransformasi dari sekadar pilihan gaya hidup menjadi penanda diskriminasi struktural. Mereka terjebak dalam lingkaran setan: sulit mendapatkan pekerjaan stabil karena riwayat yang tidak stabil, dan riwayat mereka tetap tidak stabil karena sulitnya mendapatkan pekerjaan stabil.
Fenomena pengembaraan tanpa tujuan bukanlah hal baru. Sepanjang sejarah, konsep lontang lantung telah diabadikan, diromantisasi, dan dikritik oleh berbagai aliran pemikiran. Memahami konteks historis ini membantu kita melihat apakah keterombang-ambingan modern adalah kemunduran atau evolusi spiritual.
Pada abad ke-19, gerakan Romantisisme memuja figur Wanderer (Pengembara). Ini adalah individu yang menolak batas-batas masyarakat borjuis yang kaku demi kesatuan dengan alam dan pencarian pengalaman otentik. Sosok ini adalah versi romantis dari lontang lantung—orang yang sengaja memilih jalan sulit demi kedalaman batin.
Diogenes dari Sinope, filsuf Yunani Kuno, adalah arketipe lontang lantung yang radikal. Ia hidup di dalam tong, menolak semua kemewahan sosial, dan secara aktif mengganggu tatanan Athena, mempromosikan gaya hidup Cynic (anjing)—minimalis ekstrem, tanpa rasa malu, dan hidup dalam keterusterangan total. Bagi Diogenes, keterombang-ambingan adalah satu-satunya cara untuk mencapai kebebasan sejati (autarki).
Pada pertengahan abad ke-20, di Amerika Serikat, semangat lontang lantung dihidupkan kembali oleh Beat Generation. Karya Jack Kerouac, terutama On the Road, merayakan perjalanan tanpa akhir, pergerakan konstan, dan penolakan terhadap kepatuhan pasca-perang yang membosankan. Bagi Kerouac dan teman-temannya, jalan adalah tujuan itu sendiri. Mereka mengembara, mencari pemabukan spiritual, musik jazz, dan bentuk seni baru yang tidak terkontaminasi oleh komersialisme.
Meskipun narasi Beat Generation seringkali terlihat heroik, Kerouac sendiri mengakui sisi gelapnya: kemiskinan, alkohol, dan isolasi. Romantisisme lontang lantung dalam sastra seringkali gagal mencatat kelelahan fisik dan mental yang datang dari kurangnya struktur dan kehangatan rumah yang stabil.
Dalam mitologi dan cerita rakyat, pengembara (seperti Odysseus atau pahlawan dalam cerita picaresque) selalu memiliki satu hal: tujuan akhir untuk kembali. Tujuan ini memberikan makna pada setiap bahaya dan cobaan di jalan. Namun, figur lontang lantung modern seringkali tidak memiliki tujuan untuk kembali. Mereka telah kehilangan "Ithaca" mereka, atau, lebih buruk lagi, mereka telah mencapai rumah namun merasa rumah tersebut hampa.
Hal ini membedakan pengembara (yang mencari) dari penderas (yang kabur). Pengembara memiliki peta spiritual; individu yang lontang lantung seringkali hanya memiliki momentum, digerakkan oleh inersia, bukan intensi. Momentum ini, tanpa arah, hanya akan membawa mereka semakin jauh dari titik awal tanpa pernah mendekati titik akhir yang memuaskan.
Perbedaan krusial: Pengembara (Wanderer) memiliki intensi untuk mencari sesuatu, bahkan jika itu adalah ketidakpastian itu sendiri. Individu lontang lantung modern (Drifter) seringkali bergerak karena tidak tahu bagaimana cara berhenti bergerak.
Bagi sebagian orang, melepaskan total gaya hidup lontang lantung bukanlah pilihan yang realistis atau diinginkan. Tantangannya adalah bagaimana menyuntikkan disiplin, makna, dan stabilitas minimum ke dalam kehidupan yang secara inheren tidak terstruktur. Tujuannya adalah mengubah "drifting" (mengapung tanpa kontrol) menjadi "sailing" (berlayar dengan kesadaran penuh).
Karena individu lontang lantung menolak jangkar fisik (rumah, pekerjaan 9-ke-5), mereka harus mengembangkan jangkar yang bersifat internal dan non-fisik untuk mencegah total keruntuhan identitas.
Ganti tujuan karir jangka panjang dengan Proyek Utama jangka menengah. Daripada mencari pekerjaan, individu harus mengidentifikasi satu keterampilan atau proyek kreatif yang dapat dikejar dengan intensitas penuh selama 3-6 bulan. Proyek ini harus: a) Tidak bergantung pada lokasi fisik, b) Memberikan output yang terukur, dan c) Memberi kontribusi pada rasa kompetensi diri.
Misalnya, alih-alih melamar pekerjaan, dedikasikan diri untuk menyelesaikan satu naskah, mempelajari bahasa pemrograman tertentu hingga tingkat mahir, atau menciptakan portofolio seni digital yang lengkap. Proyek ini menyediakan struktur harian dan momentum, yang merupakan antitesis dari lontang lantung yang pasif.
Ketika semua di luar diri tidak teratur, struktur internal menjadi sangat penting. Tentukan dua hingga tiga ritual harian yang tidak dapat dinegosiasikan, terlepas dari di mana seseorang berada atau apa yang sedang dilakukan. Ini bisa berupa olahraga pagi, meditasi, atau membaca 30 menit buku non-fiksi.
Ritual-ritual ini berfungsi sebagai "mini-jangkar" yang mengingatkan tubuh dan pikiran pada eksistensi yang teratur. Keberhasilan yang konsisten dalam ritual kecil ini membangun kembali rasa kendali diri yang sering hilang dalam kehidupan lontang lantung yang serba acak.
Kehidupan lontang lantung yang berkelanjutan mensyaratkan manajemen keuangan yang sangat ketat, dikenal sebagai minimalisme finansial yang strategis.
Bahkan pengembara sejati membutuhkan bantalan. Mengumpulkan sejumlah kecil tabungan (misalnya, cukup untuk menutupi biaya hidup selama enam bulan tanpa penghasilan) memberikan kebebasan sejati, memungkinkan individu untuk mengejar pekerjaan yang benar-benar mereka inginkan tanpa didorong oleh kepanikan. Uang ini bukan untuk berinvestasi, tetapi untuk membeli otonomi. Ini mengubah keterombang-ambingan yang didorong ketakutan menjadi eksplorasi yang didorong rasa ingin tahu.
Untuk menghindari jebakan pekerjaan serabutan yang sangat rendah nilainya, individu yang lontang lantung harus menguasai satu keterampilan yang dapat dipertukarkan di mana saja (seperti desain grafis, terjemahan teknis, atau penulisan konten yang spesifik). Keterampilan ini berfungsi sebagai sumber pendapatan "panas" yang dapat diaktifkan dan dimatikan sesuai kebutuhan, menyediakan fleksibilitas sekaligus harga jual yang kompetitif.
Inti dari krisis lontang lantung adalah hilangnya agensi. Individu merasa hidup terjadi pada mereka, bukan oleh mereka. Langkah terakhir dalam mengatasi krisis ini adalah merebut kembali kendali, bahkan jika kendali itu hanya berupa kendali atas ketidakpastian itu sendiri.
Alih-alih menganggap diri sebagai pengangguran atau kegagalan, individu harus mengubah narasi menjadi "Penjelajah Lingkungan" (Environmental Explorer). Pekerjaan mereka adalah mengamati, mendokumentasikan, dan berinteraksi secara mendalam dengan lingkungan di mana pun mereka singgah. Ini mengubah kekosongan waktu menjadi penelitian lapangan. Setiap hari yang lontang lantung dapat menjadi studi antropologi mikro tentang pasar, taman, atau perilaku manusia di area tertentu.
Transformasi narasi ini sangat penting karena ia memberikan validasi internal. Tidak ada lagi kebutuhan akan pengakuan eksternal untuk pekerjaan 9-ke-5; validasi datang dari kedalaman pengamatan dan kualitas interaksi dengan dunia.
Hidup yang lontang lantung seringkali terasa seperti kabut karena kurangnya refleksi. Menjaga jurnal harian yang ketat—bukan hanya mencatat peristiwa, tetapi menganalisis pelajaran dan emosi—adalah cara untuk memberikan struktur retrospektif pada kekacauan harian. Jurnal ini menjadi bukti bahwa waktu tidak hilang, melainkan dihabiskan untuk pembelajaran yang intensif, meskipun tidak terstruktur.
Mungkin solusi terbaik bagi banyak orang bukanlah menolak total kehidupan lontang lantung, tetapi mengintegrasikannya sebagai fase yang disengaja dalam siklus hidup. Alih-alih 40 tahun bekerja lurus diikuti dengan pensiun total, gaya hidup modern yang fleksibel memungkinkan:
Dengan cara ini, lontang lantung bertransisi dari menjadi takdir yang memalukan menjadi alat manajemen energi dan kreativitas yang strategis. Ia menjadi jeda yang disengaja, bukan kegagalan yang tidak disengaja.
Salah satu penderitaan terbesar dari gaya hidup lontang lantung adalah isolasi. Solusi modern adalah mencari atau menciptakan komunitas yang memahami dan merayakan kehidupan tanpa ikatan permanen (misalnya, komunitas digital nomad, atau kelompok pendukung bagi mereka yang sedang mencari jati diri pasca-krisis).
Ketika seseorang dikelilingi oleh orang lain yang juga hidup di tepi, mereka mendapatkan validasi bahwa pilihan hidup mereka, meskipun tidak konvensional, bukanlah kegagalan. Komunitas ini menyediakan modal sosial yang fleksibel, menggantikan kebutuhan akan struktur keluarga atau korporasi yang kaku.
Pada akhirnya, narasi tentang lontang lantung adalah narasi abadi tentang pencarian makna. Dalam dunia yang bergerak semakin cepat, penolakan untuk terikat pada satu jalur mungkin bukan lagi tindakan memberontak, melainkan tindakan bertahan hidup secara spiritual.
Kehidupan yang lontang lantung menantang kita untuk mendefinisikan kembali apa arti 'stabilitas'. Stabilitas sejati mungkin tidak ditemukan dalam aset fisik atau jabatan permanen, tetapi dalam kemampuan batin untuk merasa damai dan kompeten di tengah perubahan konstan. Dengan memasukkan intensi, refleksi, dan disiplin internal, keterombang-ambingan dapat diubah dari siksaan menjadi sumber kekuatan, sebuah pengembaraan abadi yang diresapi oleh kesadaran penuh akan setiap langkah yang diambil, tidak peduli seberapa acak jalurnya terlihat.
Hakikat dari menjalani hidup lontang lantung dengan kesadaran adalah menyadari bahwa peta kehidupan tidak perlu digambar seluruhnya di awal perjalanan. Terkadang, keindahan terbesar ditemukan pada kebebasan untuk menggambar jalan setapak seiring kita melangkah di atasnya, hari demi hari, tanpa janji, namun penuh dengan potensi yang tak terhingga.
Ini adalah seruan untuk mencari rumah di dalam diri sendiri, karena hanya dengan memiliki jangkar internal, seseorang bisa benar-benar bebas untuk mengapung tanpa hanyut. Ketika kita tidak lagi takut pada kekosongan, kita menemukan bahwa kehidupan yang lontang lantung adalah kanvas tak terbatas tempat kita bisa melukis makna kita sendiri.