Lingkar Bumi, atau keliling planet kita, merupakan salah satu konstanta fundamental yang membentuk pemahaman kita tentang tata surya, navigasi, dan bahkan definisi standar pengukuran. Selama ribuan tahun, pertanyaan mengenai seberapa besar planet yang kita huni ini telah memicu rasa ingin tahu, mendorong eksplorasi matematika, dan melahirkan inovasi teknologi yang luar biasa. Angka yang kita gunakan saat ini—sekitar 40.075 kilometer di khatulistiwa—bukanlah sekadar hasil perhitungan sederhana, melainkan puncak dari upaya kolektif ilmuwan, matematikawan, dan geodet di sepanjang sejarah.
Kisah penentuan lingkar Bumi adalah narasi tentang bagaimana manusia beralih dari pandangan planet datar ke pemahaman yang akurat tentang sifat geometris dan fisik dari bola dunia yang sedikit penyek ini. Pemahaman ini sangat penting, tidak hanya untuk memetakan benua dan laut, tetapi juga untuk mengatur waktu, menentukan batas internasional, dan mendukung sistem navigasi satelit global (GPS) yang menjadi tulang punggung peradaban modern.
Jauh sebelum teleskop, satelit, atau komputer, pengukuran lingkar Bumi yang paling terkenal dan paling akurat di zaman kuno dilakukan oleh seorang sarjana Yunani bernama Eratosthenes dari Kirene (sekitar 276–195 SM). Metode Eratosthenes adalah sebuah mahakarya penalaran logis dan observasi astronomi yang sederhana namun brilian. Metode ini tidak hanya memberikan angka yang sangat dekat dengan nilai sebenarnya, tetapi juga secara definitif membuktikan bahwa Bumi memiliki bentuk bulat.
Eratosthenes mengetahui dua fakta penting yang menjadi dasar eksperimennya:
Perbedaan sudut bayangan inilah kunci perhitungan lingkar Bumi. Eratosthenes berasumsi bahwa sinar matahari mencapai Bumi secara paralel—sebuah asumsi yang valid karena jarak Matahari yang sangat jauh. Jika Bumi datar, bayangan di kedua lokasi seharusnya sama. Karena ada perbedaan bayangan, dan sinar Matahari sejajar, maka Bumi harus melengkung.
Dengan mengukur panjang bayangan yang dihasilkan oleh tiang di Alexandria, Eratosthenes menemukan bahwa sudut antara tiang dan sinar matahari adalah 1/50 dari lingkaran penuh, atau 7,2 derajat (360 derajat / 50 = 7,2 derajat). Berdasarkan geometri, sudut ini sama dengan sudut yang dibentuk oleh dua garis yang ditarik dari Syene dan Alexandria menuju pusat Bumi.
Langkah selanjutnya adalah menentukan jarak antara Syene dan Alexandria. Eratosthenes menggunakan para penjelajah profesional yang disebut bematists, yang bertugas berjalan dan mengukur jarak tersebut. Jarak yang didapatkan adalah sekitar 5.000 stadia.
Gambar 1: Prinsip Geometri Eratosthenes. Sudut bayangan di Alexandria (7,2°) sama dengan sudut pusat yang memisahkan kedua kota.
Jika 7,2 derajat adalah 1/50 dari lingkaran penuh (360 derajat), maka jarak 5.000 stadia haruslah 1/50 dari lingkar total Bumi (C).
$$C = 50 \times \text{Jarak Syene ke Alexandria}$$
$$C = 50 \times 5.000 \text{ stadia} = 250.000 \text{ stadia}$$
Hasil 250.000 stadia ini kemudian disesuaikan menjadi 252.000 stadia (kemungkinan untuk memudahkan perhitungan pembagian 360 derajat). Permasalahan utama kini terletak pada definisi pasti dari 'stadia' yang digunakan Eratosthenes. Jika ia menggunakan stadia Mesir (sekitar 157,5 meter), maka hasilnya adalah 39.690 km. Jika ia menggunakan stadia Yunani yang berbeda, hasilnya bisa sedikit bervariasi.
Presisi Eratosthenes: Jika kita menerima nilai 252.000 stadia dan mengkonversinya menggunakan stadia Mesir (157,5 m), hasilnya (39.690 km) hanya selisih sekitar 1% dari nilai lingkar polar modern (40.000 km). Keakuratan yang luar biasa ini dicapai tanpa teknologi canggih, hanya berdasarkan geometri dan observasi.
Meskipun perhitungan Eratosthenes sangat akurat, hasil tersebut tidak diterima secara universal selama berabad-abad. Ilmuwan lain, seperti Posidonius (abad ke-1 SM), mencoba metode serupa tetapi menghasilkan angka yang jauh lebih kecil (sekitar 18.000 mil atau 29.000 km), mungkin karena kesalahan dalam perkiraan jarak astronomi atau jarak darat. Nilai yang lebih kecil inilah yang dianut oleh ahli geografi Ptolemy dan, ironisnya, yang kemudian memengaruhi Christopher Columbus untuk meremehkan jarak perjalanan ke Asia, sebuah kesalahan yang justru memotivasi pelayarannya.
Pada abad ke-17 dan ke-18, dengan berkembangnya sains modern dan kebutuhan navigasi maritim yang lebih presisi, penentuan lingkar Bumi menjadi topik geopolitik dan ilmiah yang sangat penting. Perdebatan utama saat itu bukan lagi tentang apakah Bumi itu bulat, melainkan apakah bentuknya adalah bola yang sempurna (seperti yang diyakini Isaac Newton) atau bentuk yang sedikit memanjang/datar (seperti yang dihipotesiskan oleh Newton karena gaya sentrifugal).
Newton's Hypothesis (Oblate Spheroid): Dalam Principia Mathematica, Sir Isaac Newton berargumen bahwa rotasi Bumi harus menyebabkan tonjolan di khatulistiwa. Gaya sentrifugal akan mendorong material menjauh dari sumbu rotasi, membuat Bumi sedikit melebar di ekuator dan memipih di kutub. Bentuk ini disebut oblate spheroid (sferoid pepat).
Cassini's Hypothesis (Prolate Spheroid): Sebaliknya, para ahli geodesi Prancis, termasuk Giovanni Domenico Cassini dan Jacques Cassini, yang bekerja di Akademi Ilmu Pengetahuan Prancis, melakukan pengukuran busur meridian (sepotong lingkar yang melintasi kutub) di Prancis. Hasil mereka, berdasarkan interpretasi data awal, menunjukkan bahwa derajat meridian memanjang ketika bergerak ke utara, yang menyiratkan bahwa Bumi berbentuk prolate spheroid (memanjang seperti telur), bertentangan dengan teori Newton.
Untuk menyelesaikan perdebatan krusial ini—yang sangat penting karena memengaruhi navigasi dan kartografi —Akademi Ilmu Pengetahuan Prancis mensponsori dua ekspedisi besar untuk mengukur panjang busur meridian yang sama di dua lokasi berbeda dengan garis lintang yang jauh:
Dipimpin oleh Charles Marie de La Condamine dan Pierre Bouguer, ekspedisi ini dikirim ke wilayah yang sekarang menjadi Ekuador (dekat khatulistiwa) pada tahun 1735. Mereka menghabiskan hampir sepuluh tahun di daerah pegunungan yang sulit untuk melakukan triangulasi yang sangat teliti.
Dipimpin oleh Pierre Louis Maupertuis, ekspedisi ini melakukan pengukuran di Lembah Torne di Swedia utara (dekat Lingkaran Arktik) pada tahun 1736–1737. Kondisi di Lapland sangat ekstrem, tetapi Maupertuis mampu menyelesaikan pengukurannya dengan relatif cepat.
Hasil kedua misi ini sangat tegas: busur meridian satu derajat di Lapland (dekat kutub) ternyata lebih panjang daripada busur satu derajat di Peru (dekat khatulistiwa). Ini berarti bahwa permukaan Bumi lebih datar di kutub, dan kelengkungan paling tajam terjadi di khatulistiwa, memvalidasi hipotesis Newton. Bumi memang berbentuk oblate spheroid.
Setelah menetapkan bahwa Bumi adalah sferoid pepat, langkah selanjutnya adalah mendefinisikan dimensi yang sangat spesifik. Lingkar Bumi bukanlah satu angka tunggal, melainkan dua nilai utama yang berbeda, ditambah dengan permukaan teoretis yang jauh lebih kompleks.
Karena Bumi memipih, radius kutub (jarak dari pusat ke kutub) lebih pendek daripada radius khatulistiwa (jarak dari pusat ke khatulistiwa).
Menurut model standar geodetik saat ini (seperti World Geodetic System 1984, WGS 84):
Dari data ini, lingkar Bumi dapat dihitung:
Perbedaan antara lingkar khatulistiwa dan polar adalah sekitar 67 km. Perbedaan ini, meskipun signifikan secara geodetik, membuat Bumi terlihat sangat menyerupai bola sempurna bagi mata telanjang, dengan rasio pemipihan (flattening, $f$) sekitar 1:298,25.
Sementara sferoid oblate adalah model matematika yang halus dan ideal, permukaan Bumi yang sebenarnya jauh lebih tidak teratur karena distribusi massa yang tidak merata (misalnya, pegunungan, palung laut, dan perbedaan kepadatan batuan). Para geodet menggunakan istilah geoid untuk menggambarkan bentuk fisik Bumi yang sesungguhnya.
Geoid didefinisikan sebagai permukaan ekipotensial gravitasi yang kira-kira bertepatan dengan ketinggian rata-rata permukaan laut global (Mean Sea Level, MSL) seandainya lautan dapat bergerak bebas tanpa gangguan angin, pasang surut, atau arus, dan meluas di bawah benua. Geoid adalah permukaan yang tegak lurus terhadap arah gaya gravitasi (yang dikenal sebagai 'vertikal' atau 'plumb line') di setiap titik.
Perbedaan antara geoid (permukaan fisik tidak beraturan) dan sferoid (model matematika yang halus) dapat mencapai puluhan meter, baik positif (tonjolan) maupun negatif (cekungan). Meskipun perhitungan lingkar Bumi biasanya didasarkan pada sferoid referensi, pemahaman tentang geoid sangat penting untuk penentuan ketinggian yang akurat dan studi gravitasi.
Gambar 2: Perbedaan antara model Sferoid ideal dan Geoid fisik yang dipengaruhi oleh anomali gravitasi.
Setelah abad ke-20, geodesi berkembang pesat, meninggalkan pengukuran busur darat yang memakan waktu dan beralih ke teknologi berbasis ruang angkasa yang menawarkan presisi sub-sentimeter. Teknologi ini tidak hanya mengukur lingkar Bumi, tetapi juga memantau perubahan halus pada bentuk dan ukurannya.
Sebelum satelit, metode utama untuk memperluas jaring pengukuran adalah triangulasi (mengukur sudut) dan kemudian trilaterasi (mengukur jarak). Jaringan geodetik darat yang ekstensif, seperti yang dilakukan oleh United States Coast and Geodetic Survey, melibatkan pengukuran basis tunggal yang sangat presisi, dan kemudian menggunakan trigonometri untuk memperluas jaringan ke ribuan kilometer.
Dengan mengukur busur meridian yang sangat panjang dan busur paralel di berbagai benua, ilmuwan dapat menghitung parameter sferoid global rata-rata yang jauh lebih akurat daripada yang tersedia pada abad ke-18.
Peluncuran satelit buatan memulai era geodesi yang benar-benar global dan sangat presisi. Lingkar Bumi (dan radiusnya) kini ditentukan melalui pemantauan orbit satelit, karena orbit tersebut sangat sensitif terhadap medan gravitasi dan bentuk Bumi.
SLR melibatkan stasiun di Bumi yang menembakkan pulsa laser ke satelit yang dilengkapi reflektor (misalnya satelit LAGEOS) dan mengukur waktu yang dibutuhkan pulsa tersebut untuk kembali. Dengan mengukur jarak antara stasiun darat dan satelit secara berkelanjutan, dan memantau posisi stasiun di seluruh jaringan global, para ilmuwan dapat mengukur pusat massa Bumi dan, akibatnya, dimensinya dengan akurasi milimeter.
VLBI menggunakan teleskop radio yang tersebar di seluruh dunia untuk mengamati sumber radio dari luar angkasa (quasar). Dengan membandingkan waktu kedatangan sinyal radio pada setiap teleskop, VLBI dapat menentukan posisi stasiun di Bumi dengan sangat presisi. Ini memberikan kerangka acuan yang stabil untuk menentukan orientasi Bumi di ruang angkasa, yang secara tidak langsung membantu dalam mendefinisikan sferoid referensi yang stabil.
Meskipun GPS utamanya adalah sistem navigasi, jaringan satelit Global Navigation Satellite System (GNSS) dirancang berdasarkan model Bumi yang sangat spesifik dan akurat (WGS 84). Untuk memastikan bahwa GPS berfungsi global, para geodet harus mendefinisikan sferoid referensi dengan presisi tertinggi. Data yang dikumpulkan oleh jutaan penerima GPS di seluruh dunia secara konstan memvalidasi dan memantau dimensi lingkar Bumi.
Data dari SLR, VLBI, dan GNSS digabungkan untuk menghasilkan sistem referensi geodetik (Geodetic Reference System) yang menjadi standar global. Yang paling umum digunakan saat ini adalah:
Kedua model ini mendefinisikan parameter utama Bumi, termasuk radius khatulistiwa ($a$) dan pemipihan ($f$), yang secara langsung menentukan lingkar Bumi. Parameter WGS 84 adalah angka yang paling sering dikutip dalam navigasi dan pemetaan modern, memberikan lingkar khatulistiwa $40.075,017$ km.
Meskipun kita memiliki angka standar yang sangat akurat untuk lingkar Bumi, penting untuk menyadari bahwa dimensi planet kita tidak sepenuhnya statis. Ada perubahan halus yang terjadi pada berbagai skala waktu.
Penyebab utama bentuk oblate Bumi adalah rotasi. Jika Bumi tidak berputar, ia mungkin akan berbentuk bola yang lebih sempurna karena gravitasi menarik massa ke pusat. Karena rotasi, massa di khatulistiwa mengalami gaya sentrifugal yang mendorongnya keluar. Tonjolan khatulistiwa inilah yang menghasilkan lingkar khatulistiwa yang lebih besar.
Kecepatan rotasi Bumi tidak sepenuhnya konstan. Perubahan kecepatan rotasi (meskipun sangat kecil) dari waktu ke waktu memengaruhi gaya sentrifugal dan, oleh karena itu, memengaruhi derajat pemipihan Bumi dan dimensi lingkar khatulistiwanya. Fenomena ini dimodelkan melalui geodesi ruang angkasa.
Selama Zaman Es terakhir, lapisan es yang sangat tebal menekan kerak Bumi di wilayah kutub dan garis lintang tinggi. Setelah es mencair (proses yang dikenal sebagai deglaciation), kerak Bumi mulai bangkit kembali secara perlahan, sebuah proses yang disebut Post-Glacial Rebound (PGR) atau penyesuaian isostatik glasial.
PGR mengubah distribusi massa internal Bumi dan menghasilkan pergeseran lempeng tektonik vertikal dan horizontal. Dalam skala waktu geologis, ini berarti bahwa radius polar (dan lingkar polar) terus meningkat seiring dengan berkurangnya tonjolan khatulistiwa secara sangat lambat. Fenomena ini memerlukan redefinisi periodik dari sistem referensi geodetik.
Kerak Bumi terbagi menjadi lempeng-lempeng tektonik yang terus bergerak. Pergerakan lempeng ini tidak mengubah lingkar global Bumi secara keseluruhan (prinsip konvensi lempeng yang kaku), tetapi mereka mengubah jarak relatif antara titik-titik pengukuran di permukaan. Untuk menjaga akurasi pengukuran lingkar Bumi, sistem referensi modern harus mendefinisikan lokasi titik-titik pengukuran (stasiun GPS, VLBI) dalam kerangka yang bergerak (misalnya ITRF, International Terrestrial Reference Frame).
Misalnya, benua Amerika Utara dan Eropa bergerak menjauh satu sama lain beberapa sentimeter per tahun. Jika kita mengukur busur meridian yang melewati dua stasiun di benua yang berbeda, jarak yang diukur hari ini akan berbeda dari jarak yang diukur puluhan tahun yang lalu, bahkan jika lingkar Bumi global tetap sama. Ini menunjukkan bahwa lingkar Bumi bukanlah angka absolut yang diukur antara dua titik statis, tetapi parameter rata-rata global yang dihitung dari kerangka acuan yang dinamis.
Hubungan antara lingkar Bumi dan standar pengukuran manusia telah menjadi inti dari sistem metrik. Secara historis, definisi unit dasar panjang, yaitu meter, terikat langsung dengan dimensi planet kita.
Pada akhir abad ke-18, setelah Revolusi Prancis, para ilmuwan Prancis berupaya menciptakan sistem pengukuran yang rasional dan universal. Mereka memutuskan bahwa satuan panjang dasar, meter, harus didefinisikan sebagai satu per sepuluh juta (1/10.000.000) dari jarak dari Kutub Utara ke Khatulistiwa di sepanjang meridian Paris.
Pengukuran ini menuntut ekspedisi geodesi yang lebih akurat dari pendahulunya, dipimpin oleh Delambre dan Méchain, untuk mengukur busur meridian dari Dunkirk, Prancis, hingga Barcelona, Spanyol. Berdasarkan pengukuran ini, prototipe meter pertama dibuat dalam bentuk batang platinum.
Jika meter didefinisikan sebagai 1/10.000.000 dari seperempat lingkar polar, maka lingkar polar total seharusnya adalah 40.000.000 meter (atau 40.000 km).
Ironisnya, pengukuran yang dilakukan oleh Delambre dan Méchain, meskipun merupakan pekerjaan yang monumental, menghasilkan sedikit kesalahan sistematis. Kemudian, ketika geodesi satelit modern menetapkan lingkar polar yang lebih akurat (sekitar 40.007,863 km), terungkap bahwa batang meter prototipe yang mereka ciptakan sedikit lebih pendek dari sepersepuluh juta seperempat lingkaran meridian sebenarnya.
Meskipun demikian, definisi meter tetap terikat pada prototipe fisik tersebut hingga tahun 1960. Hari ini, meter didefinisikan ulang secara fundamental berdasarkan kecepatan cahaya, tetapi nilai numerik lingkar polar (sekitar 40.000 km) tetap menjadi warisan abadi dari upaya ambisius Prancis pada abad ke-18.
Pemahaman yang sangat akurat tentang lingkar dan bentuk Bumi bukan hanya kepentingan akademis; ia memiliki implikasi kritis dalam teknologi dan navigasi global.
Setiap peta, baik yang dicetak maupun digital (GIS), didasarkan pada proyeksi permukaan sferoid ke bidang datar. Proyeksi ini memerlukan pengetahuan yang tepat tentang dimensi sferoid referensi. Kesalahan sekecil apa pun dalam radius khatulistiwa atau faktor pemipihan akan menyebabkan distorsi yang signifikan pada peta skala besar.
Misalnya, dalam navigasi maritim jarak jauh, perhitungan rute terpendek (disebut great-circle routes atau rute lingkaran besar) memerlukan penggunaan model Bumi oblate, bukan bola sempurna. Menggunakan lingkar khatulistiwa yang akurat memastikan perhitungan jarak pelayaran yang tepat dan efisien.
Perhitungan orbit satelit membutuhkan model gravitasi Bumi yang sangat teliti, yang secara langsung berkaitan dengan bentuk dan distribusi massa (geoid). Untuk menjaga satelit komunikasi, cuaca, atau mata-mata tetap berada di orbit yang benar dan melakukan manuver koreksi yang tepat, insinyur harus memperhitungkan tonjolan khatulistiwa dan anomali gravitasi lainnya yang mempengaruhi lintasan.
Dalam komunikasi radio jarak jauh, khususnya yang menggunakan gelombang mikro atau frekuensi tinggi yang mengikuti kelengkungan Bumi, lingkar Bumi adalah faktor pembatas utama. Komunikasi harus memperhitungkan horizon radio, yang ditentukan oleh kelengkungan dan radius efektif Bumi. Demikian pula, dalam menentukan waktu tunda (latency) pada transmisi data global, perhitungan jarak fisik di sekitar lingkar Bumi menjadi krusial.
Untuk benar-benar memahami bagaimana lingkar dihitung, kita perlu melihat formula matematika yang mendefinisikan sferoid pepat (oblate spheroid).
Sferoid modern didefinisikan oleh dua parameter fundamental, dari mana semua dimensi lain (termasuk lingkar) diturunkan:
Rumus untuk pemipihan adalah: $$f = \frac{a - b}{a}$$ Di mana $b$ adalah radius polar (setengah sumbu minor).
Untuk WGS 84, $a = 6.378.137,0 \text{ meter}$ dan $f \approx 1/298,257223563$.
Lingkar khatulistiwa sangat sederhana untuk dihitung karena ini adalah lingkaran sempurna dengan radius $a$: $$C_{khatulistiwa} = 2 \pi a$$
Namun, perhitungan lingkar meridian (polar) jauh lebih kompleks. Karena meridian adalah elips, bukan lingkaran, kelilingnya tidak dapat dihitung menggunakan rumus sederhana $2 \pi b$. Keliling elips memerlukan penggunaan integral eliptik. Meskipun ada integral formal yang sangat kompleks, geodet biasanya menggunakan rumus pendekatan yang sangat akurat, seperti rumus Srinivasa Ramanujan atau serangkaian deret yang melibatkan eksentrisitas ($e$):
Eksentrisitas kuadrat ($e^2$) dihitung sebagai: $$e^2 = \frac{a^2 - b^2}{a^2} = 2f - f^2$$
Salah satu pendekatan umum untuk keliling meridian ($C_m$), yang merupakan perimeter elips, diberikan oleh deret tak terbatas yang didasarkan pada eksentrisitas. Formula ini memastikan akurasi yang dibutuhkan untuk geodesi tingkat tinggi, yang menjelaskan mengapa lingkar polar adalah sekitar 40.007,863 km, bukan $2 \pi b$ (yang akan menghasilkan angka yang lebih kecil dan tidak akurat).
Lingkar Bumi bervariasi tergantung pada garis lintang di mana ia diukur (lingkar paralel). Lingkar maksimum adalah di khatulistiwa, dan nol di kutub. Namun, radius kelengkungan meridian dan radius kelengkungan normal (yang digunakan dalam proyeksi peta) juga bervariasi secara signifikan seiring dengan garis lintang.
Di khatulistiwa, radius kelengkungan meridian ($M$) adalah paling kecil (yaitu, kelengkungan paling tajam), sementara di kutub, radius kelengkungan meridian adalah paling besar (kelengkungan paling landai). Hal ini konsisten dengan bentuk oblate spheroid, di mana permukaan Bumi lebih "datar" (kurva lebih landai) di kutub, dan lebih "melengkung" (kurva lebih tajam) di khatulistiwa.
Variasi radius kelengkungan ini adalah alasan mengapa busur meridian satu derajat lebih panjang di dekat kutub (Lapland) dibandingkan di khatulistiwa (Peru), yang merupakan hasil penting dari misi geodesi abad ke-18.
Geodesi modern tidak hanya berfokus pada pengukuran statis, tetapi juga pada bagaimana Bumi berubah dari waktu ke waktu. Pengukuran lingkar Bumi telah diperluas menjadi studi geodinamika global.
Gaya gravitasi Bulan dan Matahari tidak hanya menyebabkan pasang surut air laut, tetapi juga menyebabkan pasang surut pada kerak Bumi padat (Earth Tides). Permukaan Bumi secara harfiah naik dan turun hingga puluhan sentimeter setiap hari. Fluktuasi ini berarti bahwa lingkar Bumi yang diukur pada waktu tertentu akan berbeda sedikit dari yang diukur enam jam kemudian.
Geodet ruang angkasa harus memodelkan dan menghilangkan efek pasang surut padat ini untuk mendapatkan model lingkar Bumi yang stabil. Jika tidak dimodelkan, perubahan kecil ini akan memengaruhi pengukuran posisi dan orbit satelit yang presisi.
Perubahan musiman dalam distribusi air—seperti pencairan es di musim semi, curah hujan ekstrem, dan penyimpanan air tanah—menyebabkan pergeseran massa yang sangat halus. Satelit gravitasi seperti GRACE (Gravity Recovery and Climate Experiment) dapat mendeteksi perubahan massa ini. Meskipun perubahan massa ini sangat kecil, ia memengaruhi medan gravitasi, yang kemudian memengaruhi bentuk geoid dan sedikit memengaruhi lingkar Bumi yang ditentukan dari model gravitasi.
Misalnya, peningkatan massa air di cekungan tertentu dapat menyebabkan sedikit tonjolan lokal pada geoid. Meskipun perubahan pada lingkar khatulistiwa global hanya milimeter per tahun, pemantauan ini sangat penting untuk studi perubahan iklim dan hidrologi.
Meskipun kita telah mencapai akurasi milimeter dalam menentukan radius dan lingkar Bumi, ada batasan fundamental yang mencegah kita mencapai presisi absolut.
Permasalahan terbesar dalam geodesi adalah mendefinisikan "permukaan" Bumi itu sendiri. Apakah itu puncak gunung tertinggi, dasar palung laut terdalam, atau model geoid yang halus? Lingkar Bumi yang kita gunakan adalah keliling dari sferoid referensi matematika (WGS 84) yang merupakan model rata-rata dan ideal.
Jika kita mencoba mengukur lingkar Bumi yang sebenarnya, kita harus memperhitungkan topografi yang sangat tidak teratur—sebuah perhitungan yang praktis mustahil untuk digeneralisasi dalam satu angka tunggal. Oleh karena itu, lingkar Bumi selalu merupakan nilai rata-rata yang berasal dari sferoid yang paling cocok dengan medan gravitasi global.
Seperti yang dibahas sebelumnya, Bumi adalah planet yang dinamis. Pergerakan lempeng, PGR, dan bahkan transfer massa air global secara konstan memodifikasi geometri planet ini. Geodet tidak hanya harus mengukur dimensi, tetapi juga laju perubahannya (kecepatan). Kerangka referensi modern (ITRF) menyertakan model kecepatan ini, memastikan bahwa koordinat dan, secara implisit, lingkar Bumi, tetap relevan dari waktu ke waktu.
Setiap tahun, komunitas ilmiah harus meninjau dan memperbarui sistem referensi geodetik untuk menyesuaikan dengan pergerakan ini. Jadi, angka lingkar Bumi 40.075,017 km (khatulistiwa) adalah angka yang terkait dengan sistem WGS 84 dan momen waktu tertentu, bukan konstanta abadi.
Dari pengukuran bayangan sederhana oleh Eratosthenes lebih dari dua milenium yang lalu hingga jaringan satelit global modern yang mengukur dimensi Bumi dengan akurasi sub-sentimeter, perjalanan untuk menentukan lingkar Bumi adalah salah satu kisah terbesar dalam sejarah sains. Angka 40.075 km melambangkan puncak dari kecerdasan manusia, menunjukkan kemampuan kita untuk memahami, memetakan, dan berinteraksi dengan planet dinamis yang kita tinggali ini.