Limpa: Organ Misterius di Persimpangan Hematologi dan Imunologi

Limpa, sebuah organ yang sering dianggap remeh dan bahkan sering kali dapat diangkat tanpa mengakhiri kehidupan, adalah salah satu benteng pertahanan paling vital di dalam tubuh manusia. Meskipun fungsi utamanya bisa diambil alih oleh organ lain, perannya dalam penyaringan darah, pengendalian infeksi, dan daur ulang sel darah menjadikannya pilar kesehatan yang kompleks. Limpa terletak strategis di kuadran atas kiri perut, terlindung di bawah tulang rusuk. Ia bekerja tanpa henti sebagai stasiun pemantauan utama bagi sistem peredaran darah, memastikan darah yang mengalir bersih dari sel-sel tua, bakteri, dan fragmen yang tidak diinginkan.

Dalam sejarah kedokteran, limpa kerap kali diselimuti misteri dan mitos. Orang Yunani kuno mengaitkannya dengan melankolia dan temperamen, sebuah pandangan yang kini telah sepenuhnya dibantah oleh ilmu fisiologi modern. Saat ini, kita memahami bahwa limpa adalah pabrik yang sangat terspesialisasi, di mana jalur hematologi dan imunologi bertemu dan berinteraksi dalam sinkronisasi yang luar biasa. Memahami limpa bukan hanya tentang anatomi; ini adalah penyelaman mendalam ke dalam mekanisme pertahanan diri, penanganan patogen, dan keseimbangan dinamis antara produksi dan penghancuran sel darah.

I. Anatomi dan Histologi Dasar Limpa

Secara fisik, limpa menyerupai kacang ginjal yang besar dan lunak. Pada orang dewasa, ukurannya berkisar antara 7 hingga 14 sentimeter panjangnya, dan beratnya sekitar 150 hingga 200 gram, meskipun ukuran ini sangat bervariasi tergantung usia, status kesehatan, dan jumlah darah yang saat itu tertahan di dalamnya. Limpa berlokasi di rongga peritoneum, tepat di bawah diafragma dan posterior (di belakang) lambung. Posisinya yang terlindungi oleh tulang rusuk kesembilan hingga kesebelas menjadikannya relatif aman, namun sensitif terhadap trauma tumpul pada abdomen.

1. Lokasi dan Hubungan Struktural

Limpa memiliki beberapa hubungan anatomis penting. Ia berbatasan dengan diafragma di atas, lambung di medial (tengah), ginjal kiri di posterior, dan fleksura kolika kiri (tikungan usus besar) di inferior (bawah). Struktur ini disatukan oleh beberapa ligamen peritoneal yang penting, termasuk:

Limpa adalah organ yang sangat tervaskularisasi. Suplai darahnya datang dari Arteri Splenika, cabang terbesar dari Arteri Seliaka. Arteri ini sangat berliku-liku (tortuous), sebuah fitur yang diyakini berfungsi untuk memungkinkan peregangan selama pergerakan organ. Drainase vena dilakukan melalui Vena Splenika, yang bergabung dengan Vena Mesenterika Superior untuk membentuk Vena Porta Hepatika—menghubungkan limpa secara langsung ke sirkulasi hati. Hal ini sangat krusial, karena produk daur ulang sel darah, terutama bilirubin, akan diproses lebih lanjut di hati.

2. Histologi Limpa: Bubur Merah dan Bubur Putih

Kunci untuk memahami fungsi limpa terletak pada struktur mikroskopisnya, yang terbagi menjadi dua komponen utama yang berbeda warna dan fungsi, sering disebut sebagai Bubur (Pulpa):

A. Pulpa Merah (Red Pulp)

Pulpa Merah merupakan bagian terbesar dari limpa, menyumbang sekitar 75-80% dari massa total. Warna merahnya berasal dari jumlah besar sel darah merah (eritrosit) yang berada di sana. Pulpa Merah berfungsi sebagai ‘lapangan penyaringan’ utama. Secara struktural, Pulpa Merah terdiri dari:

  1. Sinus Splenik (Sinusoids): Ini adalah pembuluh darah yang sangat lebar, dilapisi oleh sel endotel khusus. Sel endotel ini memiliki celah antar-sel yang sempit (sekitar 0,5 hingga 1 mikrometer). Sel darah merah harus meremas melewati celah-celah ini untuk kembali ke sirkulasi. Sel darah yang tua, kaku, atau rusak tidak mampu melewati celah tersebut dan akhirnya terperangkap.
  2. Korda Splenik (Korda Billroth): Ini adalah jaringan ikat longgar yang kaya akan makrofag dan sel-sel imun lainnya yang terletak di antara sinusoids. Di sini, sel darah yang terperangkap (terutama sel darah merah yang gagal melewati celah sinusoids) akan difagositosis dan didaur ulang oleh makrofag. Proses ini dikenal sebagai 'Culling' atau pembersihan sel darah yang rusak.

Selain 'Culling', Pulpa Merah juga melakukan fungsi 'Pitting'. Pitting adalah kemampuan makrofag untuk menghilangkan inklusi atau parasit (seperti badan Howell-Jolly atau parasit malaria) dari sel darah merah tanpa menghancurkan sel itu sendiri. Sel darah merah kemudian dikembalikan ke sirkulasi, namun tanpa inklusi patologis.

B. Pulpa Putih (White Pulp)

Pulpa Putih jauh lebih kecil, hanya menyumbang sekitar 20% dari massa limpa, dan merupakan pusat imunologi limpa. Meskipun namanya Pulpa Putih, warnanya sebenarnya abu-abu karena kandungan limfosit yang padat. Pulpa Putih tersusun di sekitar arteri sentral dan merupakan bagian dari jaringan limfoid yang berhubungan dengan pembuluh darah, yang dikenal sebagai PALS (Periarteriolar Lymphoid Sheath).

Diagram Lokasi Anatomi Limpa Representasi bentuk dan lokasi limpa di kuadran atas kiri abdomen, terlindung di bawah tulang rusuk. Limpa Area Pelindung Tulang Rusuk
Gambar 1: Representasi Lokasi Anatomi Limpa di Kuadran Atas Kiri

II. Fungsi Fisiologis Lima Unggulan

Meskipun sering disebut sebagai organ limfoid terbesar, fungsi limpa jauh melampaui peran sederhana dalam sistem limfatik. Lima fungsi utamanya—penyaringan, daur ulang, penyimpanan, produksi, dan respons imun—bekerja sama untuk menjaga homeostasis dan pertahanan tubuh.

1. Penyaringan Darah dan Daur Ulang (Culling dan Pitting)

Fungsi ini merupakan tugas utama Pulpa Merah. Setiap hari, limpa memproses sekitar 300 liter darah, dan bertindak sebagai "petugas kontrol kualitas" untuk semua sel darah. Proses penyaringan ini sangat selektif. Sel darah merah normal, yang lentur dan muda, dengan mudah melewati celah-celah sempit (sinusoid). Namun, ketika sel darah merah menua (setelah siklus hidup sekitar 120 hari), membran selnya menjadi kaku dan kurang fleksibel. Sel-sel kaku ini terperangkap dalam Korda Billroth.

Makrofag kemudian menghancurkan sel darah merah yang terperangkap ini (Culling), mengambil besi (Fe) dan globin untuk didaur ulang, sementara heme diubah menjadi bilirubin, yang kemudian diangkut ke hati. Selain sel darah merah, limpa juga secara efisien menghilangkan trombosit dan leukosit yang rusak atau tua. Tanpa fungsi culling ini, darah akan dipenuhi sel-sel yang tidak berfungsi, meningkatkan viskositas, dan menghambat aliran darah di kapiler kecil.

2. Respons Imun: Pengenalan Antigen dan Produksi Antibodi

Limpa adalah tempat sentral bagi inisiasi respons imun terhadap patogen yang ditularkan melalui darah (antigenemia). Tidak seperti kelenjar getah bening yang menyaring cairan limfa, limpa menyaring darah. Ini menjadikannya garda terdepan melawan infeksi sistemik atau sepsis.

Di Pulpa Putih dan Zona Marginal, limfosit B dan T siap siaga. Limpa sangat efektif dalam memproduksi antibodi, khususnya terhadap bakteri berkapsul (seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Neisseria meningitidis). Kapsul bakteri ini membuatnya sulit difagositosis tanpa adanya antibodi spesifik. Respons cepat limfosit B di Zona Marginal menghasilkan imunoglobulin M (IgM) yang merupakan antibodi pertama dan sangat penting dalam tahap awal infeksi bakteri sistemik.

Ketika limpa tidak ada (asplenia), risiko infeksi oleh organisme berkapsul ini meningkat drastis, kondisi yang dikenal sebagai OPSI (Overwhelming Post-Splenectomy Infection).

3. Penyimpanan dan Reservoir Sel Darah

Pada manusia, peran limpa sebagai reservoir sel darah tidak seekstrem pada mamalia air (seperti anjing laut) atau kuda yang dapat memobilisasi sejumlah besar sel darah merah untuk meningkatkan kapasitas oksigen saat dibutuhkan. Namun, limpa manusia tetap berfungsi sebagai tempat penyimpanan penting, terutama untuk trombosit dan, pada tingkat lebih rendah, sel darah merah.

Normalnya, sekitar sepertiga (30-35%) dari total trombosit tubuh disimpan dalam limpa. Jika limpa membesar (splenomegali), ia dapat menahan hingga 90% trombosit, yang dapat menyebabkan trombositopenia (jumlah trombosit rendah) pada sirkulasi perifer, meskipun produksi trombosit sumsum tulang mungkin normal. Penyimpanan ini memungkinkan pelepasan cepat trombosit ke dalam sirkulasi saat terjadi pendarahan atau kebutuhan mendesak.

4. Fungsi Hematopoietik Fetal dan Ekstramedula

Selama perkembangan janin (periode embrio), limpa adalah salah satu organ utama yang bertanggung jawab untuk menghasilkan semua jenis sel darah (hematopoiesis). Peran ini biasanya diambil alih sepenuhnya oleh sumsum tulang setelah kelahiran.

Namun, dalam kondisi patologis tertentu pada orang dewasa, limpa dapat kembali menjalankan fungsi hematopoiesis. Ini disebut Hematopoiesis Ekstramedula. Kondisi ini sering terjadi ketika sumsum tulang rusak, gagal, atau digantikan oleh sel-sel kanker (misalnya, pada mielofibrosis). Limpa membesar secara signifikan saat mencoba mengambil alih tugas produksi sel darah merah, putih, dan trombosit, yang merupakan upaya kompensasi yang vital namun sering kali tidak efisien.

5. Metabolisme Zat Besi

Dengan menghancurkan eritrosit tua dalam jumlah besar setiap hari, limpa memainkan peran sentral dalam siklus zat besi. Makrofag di Pulpa Merah memecah hemoglobin, dan sebagian besar zat besi dilepaskan dikirim kembali ke sumsum tulang melalui transferrin untuk memproduksi sel darah merah baru. Keseimbangan zat besi ini sangat penting; disfungsi limpa dapat mengganggu efisiensi daur ulang, yang berpotensi memengaruhi produksi darah baru.

III. Patofisiologi dan Gangguan Limpa yang Kompleks

Karena posisi limpa di persimpangan antara sirkulasi, sistem retikuloendotelial, dan imunologi, ia rentan terhadap berbagai penyakit. Gangguan pada limpa jarang berdiri sendiri; mereka seringkali merupakan manifestasi sekunder dari penyakit sistemik, hematologis, atau infeksi.

1. Splenomegali: Pembesaran Limpa

Splenomegali adalah kondisi pembesaran limpa yang paling umum. Pembesaran limpa tidak selalu berarti penyakit serius, tetapi selalu menandakan adanya proses patologis yang memaksa limpa bekerja lebih keras atau menahan lebih banyak darah/sel. Splenomegali dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan penyebabnya:

A. Splenomegali Hiperplastik (Kerja Berlebihan)

Ini terjadi ketika limpa dipaksa untuk meningkatkan aktivitasnya, sering kali karena kebutuhan untuk membersihkan sel darah yang rusak atau melawan infeksi yang parah. Kondisi penyebab meliputi:

B. Splenomegali Kongestif (Stasis Darah)

Ini terjadi akibat tekanan vena yang meningkat, biasanya akibat Hipertensi Portal. Ketika aliran darah Vena Porta terhambat (misalnya karena Sirosis Hati atau trombosis Vena Splenika), tekanan balik memaksa darah menumpuk di limpa, menyebabkan pembesaran pasif.

Pembesaran ini dapat mencapai tingkat yang masif (Splenomegali Raksasa), sering kali melebihi 1000 gram. Kongesti yang parah dapat menyebabkan Hipersplenisme, di mana limpa tidak hanya membesar tetapi juga menjadi hiperaktif, menghancurkan sel darah normal dengan kecepatan yang dipercepat, menyebabkan pansitopenia (penurunan ketiga lini sel darah).

C. Splenomegali Infiltratif (Penyakit Penyimpanan)

Pembesaran terjadi ketika zat abnormal disimpan di dalam makrofag limpa. Contoh yang paling klasik adalah Penyakit Penyimpanan Lisosom, seperti Penyakit Gaucher dan Niemann-Pick, di mana lipid menumpuk. Selain itu, penyakit keganasan seperti Limfoma, Leukemia (terutama Leukemia Limfositik Kronis dan Leukemia Mieloid Kronis), dan Mielofibrosis juga dapat menyebabkan infiltrasi dan pembesaran masif.

2. Hipersplenisme dan Pansitopenia

Hipersplenisme adalah sindrom klinis yang didefinisikan oleh tiga kriteria utama: adanya splenomegali, sitopenia (kekurangan satu atau lebih jenis sel darah) di darah perifer, dan kemampuan sumsum tulang untuk mengkompensasi sitopenia tersebut (yang membedakannya dari kegagalan sumsum tulang primer). Hipersplenisme sering kali merupakan penyebab paling umum dari trombositopenia, di mana jumlah trombosit di bawah batas normal karena sebagian besar terperangkap dalam limpa yang membesar.

Mekanisme utama hipersplenisme melibatkan stasis darah yang berkepanjangan di Pulpa Merah, yang memungkinkan kontak antara sel darah dan makrofag terjadi lebih lama, sehingga meningkatkan probabilitas fagositosis yang tidak perlu. Pengobatan hipersplenisme sering kali memerlukan pengobatan penyebab dasarnya, atau pada kasus yang parah, splenektomi.

3. Asplenia dan Hiposplenisme

Asplenia (tidak adanya limpa) dapat bersifat kongenital (sindrom Ivemark) atau lebih sering, didapat (setelah splenektomi). Hiposplenisme adalah penurunan fungsi limpa yang signifikan, sering terlihat pada pasien Anemia Sel Sabit, di mana berulang kali terjadinya infark dan fibrosis (pengerasan) telah merusak fungsi organ—dikenal sebagai auto-splenektomi fungsional.

Konsekuensi paling kritis dari hilangnya fungsi limpa adalah peningkatan kerentanan terhadap OPSI (Overwhelming Post-Splenectomy Infection). Tanpa Zona Marginal dan makrofag, tubuh kehilangan kemampuan untuk membersihkan bakteri berkapsul dengan cepat. Infeksi ini memiliki onset yang cepat, progresi yang agresif, dan tingkat mortalitas yang sangat tinggi (sekitar 50-80%).

Penting: OPSI dan Vaksinasi

Pasien dengan asplenia (fungsional atau bedah) harus menerima vaksinasi pencegahan terhadap patogen berkapsul: Pneumokokus, Meningokokus, dan Haemophilus influenzae tipe B (Hib). Selain itu, mereka sering dianjurkan untuk menjalani profilaksis antibiotik seumur hidup, terutama anak-anak, karena risiko OPSI yang berkelanjutan.

4. Trauma dan Ruptur Limpa

Limpa adalah organ intra-abdomen yang paling sering terluka akibat trauma tumpul (misalnya kecelakaan mobil atau jatuh). Karena sifatnya yang lunak dan kaya akan darah, kapsul limpa mudah robek, menyebabkan pendarahan internal yang masif (hemoperitoneum) dan syok hemoragik. Ruptur limpa adalah keadaan darurat medis yang memerlukan intervensi cepat.

Dalam beberapa dekade terakhir, manajemen trauma limpa telah bergeser dari splenektomi otomatis menuju upaya Salvasi Limpa (Splenic Salvage). Jika pendarahan stabil atau minimal, dokter bedah kini berupaya memperbaiki limpa atau menggunakan teknik embolisasi arteri radiologi intervensi untuk menghentikan pendarahan, demi mempertahankan fungsi imun vital limpa.

IV. Peran Limpa dalam Patologi Hematologi

Limpa sangat terlibat dalam banyak penyakit darah, baik sebagai target penyakit, maupun sebagai penyebab utama gejala. Keterlibatannya seringkali menjadi penentu penting dalam strategi pengobatan, terutama pada kelainan yang dimediasi oleh kekebalan tubuh.

1. Purpura Trombositopenik Imun (ITP)

ITP adalah kelainan autoimun di mana tubuh memproduksi antibodi terhadap trombositnya sendiri. Antibodi ini melapisi trombosit, menandainya untuk kehancuran. Limpa, sebagai organ utama yang kaya makrofag, adalah tempat utama penghancuran trombosit berlabel antibodi ini. Pada ITP yang refrakter (tidak merespons pengobatan lini pertama), splenektomi sering diindikasikan.

Mengangkat limpa menghilangkan sumber utama makrofag yang menghancurkan trombosit, dan juga menghilangkan tempat utama produksi antibodi anti-trombosit, sehingga memungkinkan peningkatan jumlah trombosit secara drastis pada sebagian besar pasien.

2. Sferositosis Herediter

Ini adalah kelainan genetik yang ditandai dengan cacat pada protein membran sel darah merah, menyebabkan eritrosit mengambil bentuk sferis (bulat) daripada bentuk cakram bikonkaf normal. Sel sferis ini kurang fleksibel.

Ketika sel sferis melewati Pulpa Merah, mereka mudah terperangkap dan dihancurkan oleh makrofag (Culling). Proses hemolisis (penghancuran sel darah merah) kronis ini menyebabkan splenomegali dan anemia parah. Splenektomi (biasanya ditunda hingga anak mencapai usia 5-6 tahun untuk meminimalkan risiko OPSI) secara dramatis mengurangi hemolisis, meskipun cacat genetik pada sel darah merah tetap ada.

3. Thalasemia dan Anemia Hemolitik Lainnya

Pada Thalasemia Mayor, sel darah merah seringkali cacat bentuk dan memiliki inklusi (badan Heinz). Limpa bekerja keras untuk membersihkan sel-sel ini, menyebabkan splenomegali masif dan memperburuk anemia. Di sini, splenektomi adalah terapi paliatif yang bertujuan untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah yang berlebihan, meskipun juga meningkatkan risiko komplikasi jangka panjang lainnya.

Demikian pula, pada Anemia Sel Sabit (Sickle Cell Anemia), sering terjadi infark limpa berulang, menyebabkan auto-splenektomi fungsional pada masa kanak-kanak. Namun, pada episode tertentu yang disebut Sequestration Crisis, limpa dapat membesar secara akut dan menjebak sejumlah besar darah, menyebabkan syok mendadak dan membutuhkan transfusi darurat atau intervensi bedah segera.

V. Splenektomi: Indikasi, Prosedur, dan Manajemen Pasca-Bedah

Splenektomi, atau pengangkatan limpa, adalah prosedur bedah mayor. Keputusan untuk melakukan splenektomi tidak pernah diambil ringan karena konsekuensi imunologisnya. Prosedur ini dapat dilakukan secara elektif (terencana, seperti untuk ITP kronis) atau darurat (seperti untuk ruptur limpa traumatik).

1. Indikasi Utama Splenektomi

Indikasi bedah untuk splenektomi dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori besar:

A. Indikasi Hematologis/Imunologis

Ini adalah alasan elektif yang paling umum, bertujuan untuk menghilangkan tempat penghancuran sel darah berlabel antibodi atau tempat penghancuran sel darah merah abnormal.

B. Indikasi Trauma dan Bedah Darurat

Pengangkatan limpa karena kerusakan fisik yang tidak dapat diperbaiki atau perdarahan yang mengancam jiwa.

C. Indikasi Diagnostik

Dalam kasus yang jarang terjadi, splenektomi dilakukan untuk mendapatkan spesimen jaringan guna mendiagnosis penyakit (meskipun aspirasi jarum atau biopsi sering menjadi pilihan pertama).

2. Teknik Bedah: Terbuka vs. Laparoskopi

Teknik bedah telah berkembang pesat. Saat ini, splenektomi laparoskopi adalah standar emas untuk prosedur elektif. Teknik minimal invasif ini menawarkan keuntungan:

Namun, splenektomi terbuka (melalui sayatan besar di abdomen) masih diperlukan dalam kasus trauma darurat, splenomegali masif (limpa terlalu besar untuk dimanipulasi secara laparoskopi), atau adanya adhesi yang luas dari operasi sebelumnya.

3. Manajemen Pasca-Splenektomi Jangka Panjang (Pencegahan OPSI)

Manajemen jangka panjang bagi pasien asplenia adalah kunci. Karena hilangnya pertahanan imun yang cepat, fokus utama adalah pencegahan infeksi yang fatal.

  1. Vaksinasi: Harus diberikan setidaknya dua minggu sebelum splenektomi elektif, atau segera setelah pemulihan dari splenektomi darurat. Ini mencakup vaksin pneumokokus (PCV13 dan PPSV23), vaksin meningokokus (serogrup A, C, Y, W-135 dan B), dan vaksin Hib. Vaksinasi ini perlu diulang secara berkala.
  2. Profilaksis Antibiotik: Banyak pasien, terutama anak-anak di bawah 16 tahun dan pasien yang tinggal di daerah endemis malaria, diberikan antibiotik oral (seperti Penisilin atau Amoksisilin) setiap hari untuk jangka waktu lama atau bahkan seumur hidup.
  3. Edukasi Pasien: Pasien dan keluarga harus diinstruksikan tentang risiko OPSI, gejala infeksi (demam, menggigil), dan kebutuhan untuk mencari bantuan medis segera. Demam pada pasien asplenia harus selalu dianggap sebagai keadaan darurat medis sampai terbukti sebaliknya.
  4. Kartu Identifikasi Medis: Pasien harus membawa kartu identifikasi yang menyatakan mereka telah menjalani splenektomi.

VI. Eksplorasi Lebih Jauh: Sel dan Sirkulasi Limpa

Untuk benar-benar memahami peran sentral limpa, kita harus melihat sirkulasi darah dan sel-sel yang berinteraksi di dalamnya. Arsitektur vaskular limpa adalah unik, memungkinkan kontak maksimum antara darah dan jaringan limfoid.

1. Sirkulasi Terbuka dan Tertutup

Arteri Splenika bercabang menjadi Arteri Trabekular, kemudian menjadi Arteri Sentral yang dikelilingi oleh Pulpa Putih (PALS). Setelah melewati Pulpa Putih, pembuluh darah menjadi kapiler kecil. Di Pulpa Merah, terdapat debat historis mengenai apakah sirkulasi bersifat terbuka atau tertutup.

Konsensus modern menunjukkan adanya sistem sirkulasi yang sebagian besar terbuka pada manusia. Sistem terbuka ini adalah kunci fungsi penyaringan (Culling), karena hanya sel yang lentur dan sehat yang mampu melewati lingkungan Korda Billroth yang penuh makrofag dan masuk kembali ke sirkulasi melalui Sinusoids.

2. Peran Sel Spesialis di Zona Marginal

Zona Marginal (MZ) adalah area transisi antara limfoid Pulpa Putih dan Pulpa Merah. MZ berisi populasi sel B yang unik, disebut Limfosit B Zona Marginal (MZ B cells). Sel B ini memiliki beberapa karakteristik penting:

Kehadiran makrofag dan sel dendritik yang padat di Zona Marginal menjadikannya titik intersepsi antigen yang paling efisien dalam tubuh, berfungsi sebagai "pos pemeriksaan" utama sebelum darah memasuki bagian dalam Pulpa Merah.

Diagram Skematis Pulpa Putih dan Merah Representasi mikroskopis dari struktur limpa, menyoroti Pulpa Putih di sekitar Arteri Sentral dan Pulpa Merah di sekitarnya. Arteri Sentral & PALS (T) Folikel (B) Zona Marginal Pulpa Merah (Makrofag, Sinusoids)
Gambar 2: Diagram Skematis Pulpa Merah dan Pulpa Putih Limpa

VII. Komplikasi Jarang dan Pendekatan Terkini dalam Kedokteran Limpa

Selain patologi umum seperti splenomegali dan ruptur, limpa dapat menjadi tempat untuk kondisi yang lebih jarang dan menantang secara diagnostik. Pemahaman tentang kondisi-kondisi ini sangat penting bagi ahli hematologi dan bedah.

1. Infark Limpa dan Abses Limpa

Infark Limpa terjadi ketika suplai darah ke bagian limpa terputus, biasanya akibat oklusi (penyumbatan) pada cabang Arteri Splenika. Penyebabnya seringkali adalah emboli dari jantung (misalnya, pada fibrilasi atrium atau endokarditis) atau penyakit vaskulitis. Infark limpa menyebabkan nyeri perut hebat di kuadran atas kiri dan seringkali demam. Jika infark terinfeksi, ia dapat berkembang menjadi Abses Limpa, suatu kondisi yang sangat berbahaya dengan mortalitas tinggi. Abses limpa memerlukan drainase perkutan atau, lebih sering, splenektomi.

2. Kista Limpa (Splenic Cysts)

Kista limpa dapat dibagi menjadi kista sejati (berlapis epitel, seperti kista kongenital) dan kista palsu (pseudo kista, tanpa lapisan epitel, seringkali sekunder akibat trauma atau pendarahan lama). Meskipun sebagian besar kista limpa tidak menimbulkan gejala, kista besar dapat menyebabkan nyeri, rasa penuh, atau bahkan ruptur spontan. Pendekatan pengobatan berkisar dari observasi hingga pengangkatan kista (kistektomi) dengan upaya maksimal untuk menyelamatkan sisa jaringan limpa.

3. Limpa Aksesori (Accessory Spleens/Splenunculus)

Limpa aksesori adalah segmen kecil jaringan limpa yang terpisah dari organ utama, ditemukan pada sekitar 10-30% populasi. Mereka biasanya tidak berbahaya, tetapi dapat menjadi penting secara klinis. Pada pasien yang menjalani splenektomi karena ITP, jika splenektomi gagal meningkatkan jumlah trombosit, limpa aksesori bisa jadi adalah penyebabnya, karena ia telah mengambil alih peran penghancuran trombosit. Dalam kasus tersebut, identifikasi dan pengangkatan limpa aksesori (disebut juga splenektomi aksesori) mungkin diperlukan.

4. Teknik Embolisasi Limpa

Dalam beberapa kasus splenomegali masif yang menyebabkan hipersplenisme parah, di mana splenektomi berisiko tinggi (misalnya pasien sirosis yang parah), teknik radiologi intervensi dapat digunakan. Embolisasi Arteri Splenika Parsial (PSE) melibatkan penyumbatan sebagian aliran darah ke limpa. Ini menyebabkan infark terkontrol pada bagian limpa, mengurangi ukurannya dan aktivitas hipersplenisme, sambil mempertahankan sebagian jaringan limpa yang berfungsi untuk melindungi pasien dari OPSI.

VIII. Limpa dalam Kontinuum Sistem Retikuloendotelial

Limpa adalah bagian integral dari Sistem Retikuloendotelial (RES), sebuah jaringan sel dan organ (terutama hati, limpa, dan sumsum tulang) yang bertugas membersihkan tubuh dari zat asing dan produk limbah. Meskipun limpa merupakan komponen terbesar dan paling efisien dalam hal penyaringan sel darah, hilangnya limpa menyoroti bagaimana organ lain mengambil alih fungsinya, sebuah fenomena yang mendefinisikan plastisitas biologis tubuh.

1. Kompensasi oleh Hati dan Sumsum Tulang

Setelah splenektomi, fungsi penyaringan utama sel darah merah tua dan trombosit yang berlebihan sebagian besar diambil alih oleh hati dan sumsum tulang. Makrofag Kupfer di hati dan makrofag di sumsum tulang meningkatkan aktivitas fagositosis mereka. Proses daur ulang zat besi berlanjut, tetapi kurang efisien.

Konsekuensi dari kompensasi ini dapat dilihat pada sirkulasi perifer pasien pasca-splenektomi. Sel darah merah mereka mungkin menunjukkan inklusi intraseluler yang seharusnya dibersihkan oleh limpa, seperti Badan Howell-Jolly (sisa nukleus) atau Badan Heinz (denaturasi hemoglobin). Kehadiran sel-sel ini pada apusan darah perifer adalah tanda klasik asplenia atau hiposplenisme fungsional.

2. Respon Imun Pasca-Splenektomi yang Terganggu

Meskipun organ lain dapat mengambil alih fungsi 'Culling' hematologis, penggantian peran imun limpa jauh lebih sulit. Kehilangan Zona Marginal dan sel B spesifiknya berarti respons antibodi awal terhadap bakteri berkapsul menjadi lambat atau tidak efektif. Ini bukan hanya masalah kuantitas antibodi, tetapi masalah kecepatan dan jenis antibodi yang dihasilkan.

Tanpa limpa, sistem imun mengandalkan Limfosit B sirkulasi dan nodus limfa perifer. Namun, nodus limfa terutama merespons infeksi yang berasal dari jaringan (melalui limfa), bukan infeksi yang langsung masuk ke sirkulasi darah (antigenemia). Kesenjangan pertahanan ini adalah inti dari tingginya risiko OPSI, yang menuntut kewaspadaan seumur hidup dari pasien asplenia.

IX. Lingkup Penelitian dan Prospek Masa Depan Limpa

Limpa tetap menjadi fokus penelitian intensif, terutama dalam bidang imunologi dan trauma. Penelitian terbaru berupaya memaksimalkan kemampuan untuk menyelamatkan fungsi limpa dan mengembangkan terapi yang dapat mengurangi konsekuensi asplenia.

1. Imunoterapi dan Peran Limpa

Limpa adalah situs penting untuk aktivasi sel T dan pematangan sel B, menjadikannya kunci dalam pengembangan vaksin dan imunoterapi kanker. Penelitian sedang mengeksplorasi bagaimana memanipulasi lingkungan limpa (misalnya, melalui nanopartikel) untuk meningkatkan respons imun terhadap antigen vaksin atau sel tumor. Misalnya, beberapa studi menunjukkan bahwa limpa dapat menjadi tempat inisiasi respons imun yang kuat terhadap terapi sel T CAR (Chimeric Antigen Receptor), menyoroti betapa pentingnya organ ini dalam respons kekebalan adaptif yang kompleks.

2. Regenerasi dan Transplantasi Jaringan Limpa

Meskipun transplantasi limpa utuh sangat jarang dilakukan dan penuh tantangan imunologis, ada penelitian yang mengeksplorasi autotransplantasi jaringan limpa (mengambil fragmen limpa yang rusak dan menanamkannya di tempat lain, biasanya omentum). Tujuannya adalah untuk mempertahankan jaringan limpa yang cukup untuk menyediakan perlindungan imun yang minimal terhadap OPSI.

Sayangnya, hasil dari autotransplantasi sejauh ini beragam. Fragmen jaringan limpa sering kali tidak cukup vaskularisasi ulang dengan baik, atau fungsinya terbatas. Namun, penelitian ini terus berlanjut seiring dengan kemajuan teknik bedah mikro dan pemahaman tentang faktor pertumbuhan.

3. Masa Depan Manajemen Trauma

Teknologi pencitraan yang lebih baik (CT Scan dan USG yang cepat) memungkinkan penilaian cedera limpa yang lebih akurat, mendukung pendekatan non-bedah. Pendekatan non-operatif untuk trauma limpa telah menjadi standar, didukung oleh penggunaan embolisasi arteri intervensi yang sangat efektif. Masa depan manajemen trauma limpa kemungkinan besar akan melibatkan penemuan agen hemostatik yang lebih baik dan metode pencitraan non-invasif yang dapat memprediksi pasien mana yang paling mungkin mengalami kegagalan pada manajemen non-operatif.

4. Limpa dan Penyakit Autoimun Sistemik

Peran limpa dalam penyakit autoimun, seperti Lupus dan Rheumatoid Arthritis, semakin dipahami. Limpa dapat menjadi tempat produksi antibodi autoimun yang masif dan juga tempat penghancuran sel-sel tubuh sendiri. Memahami mekanisme regulasi dan deregulasi kekebalan di limpa dapat mengarah pada terapi target baru yang mengurangi aktivitas autoimun tanpa memerlukan pengangkatan organ secara keseluruhan.

Secara keseluruhan, limpa adalah maestro yang sunyi di orkestra fisiologi manusia. Ia tidak hanya mengawasi kualitas darah yang mengalir, tetapi juga merupakan pusat reaksi imun yang cepat dan penting. Kompleksitasnya memastikan bahwa studi tentang limpa—dari mikroanatomi hingga intervensi bedah—akan terus menjadi area yang dinamis dan vital dalam ilmu kedokteran.