Libia: Dari Jamahiriya ke Krisis Geopolitik Modern

Libia, sebuah negara di Afrika Utara yang membentang di padang pasir Sahara, adalah negeri kontras yang kaya akan sejarah kuno, sumber daya alam yang melimpah, dan gejolak politik kontemporer yang kompleks. Sejak masa kekaisaran Romawi yang megah hingga era otoritarian Muammar Qadhafi dan kemudian fragmentasi pasca-revolusi, kisah Libia merupakan narasi panjang tentang kekuasaan, sumber daya, dan identitas yang terus berjuang untuk menemukan stabilitas di tengah badai geopolitik. Memahami Libia membutuhkan penelusuran mendalam terhadap akar-akar sejarahnya yang terbagi menjadi tiga wilayah tradisional: Tripolitania di barat, Cyrenaica di timur, dan Fezzan di selatan yang berupa oasis gurun.

I. Garis Pantai dan Gurun: Karakteristik Geografis Libia

Libia menempati wilayah seluas hampir 1,8 juta kilometer persegi, menjadikannya negara terbesar keempat di Afrika. Mayoritas wilayahnya, sekitar 90%, ditutupi oleh Gurun Sahara yang tandus, di mana curah hujan hampir tidak ada. Populasi Libia terkonsentrasi di jalur pantai subur di utara, membentang di sepanjang Laut Mediterania. Wilayah ini secara historis memegang kunci perdagangan dan interaksi dengan peradaban Eropa.

Tiga Pilar Tradisional Libia

Secara tradisional, Libia terbagi menjadi tiga entitas historis yang masing-masing memiliki identitas budaya, bahkan dialek, dan sejarah politik yang berbeda, sebuah pembagian yang relevan hingga saat ini dalam konteks konflik internal. Pembagian ini bukan sekadar garis administratif, melainkan cerminan dari struktur sosial dan hubungan kekuasaan:

Kondisi geografis yang ekstrem ini, khususnya ketergantungan pada air dan minyak, telah membentuk lanskap politik Libia. Perairan bawah tanah yang besar, terutama di Gurun Nubia, telah dieksploitasi melalui proyek infrastruktur raksasa, meskipun sumber daya air tetap menjadi isu strategis yang rentan. Selain itu, sumber daya alam utama Libia, minyak bumi, terdistribusi di berbagai cekungan, menjadikan pengamanan fasilitas minyak sebagai inti dari setiap konflik.

Peradaban Kuno dan Jejak Kartago

Libia merupakan persimpangan peradaban Mediterania. Sejarahnya jauh mendahului era Islam, dimulai dengan kehadiran suku-suku Berber (Amazigh) nomaden. Namun, wilayah pesisir Libia dikenal sebagai tempat berdirinya kota-kota besar yang didirikan oleh bangsa Fenisia dan Yunani.

Pada abad ke-7 SM, kolonis Fenisia mendirikan pusat-pusat perdagangan di Tripolitania. Tiga kota utama, Oea (Tripoli), Sabratha, dan Leptis Magna, dikenal sebagai 'Tripolis' (Tiga Kota), yang kemudian memberi nama wilayah tersebut. Kota-kota ini tumbuh subur sebagai bagian dari Kekaisaran Kartago. Posisi strategis mereka di Mediterania membuat mereka menjadi pusat utama untuk perdagangan budak, gading, dan emas yang melintasi Sahara.

Di timur, Cyrenaica didominasi oleh pengaruh Yunani. Di sana didirikan koloni Cyrene pada abad ke-6 SM. Cyrene dikenal sebagai 'Athena Afrika' karena kemakmuran dan pusat intelektualnya. Koloni Yunani ini, yang dikenal sebagai 'Pentapolis' (Lima Kota), menjadi produsen utama silphium, tanaman obat yang sangat berharga.

Tripolitania Cyrenaica Fezzan
Ilustrasi Tiga Wilayah Historis Utama Libia: Tripolitania, Cyrenaica, dan Fezzan.

Pax Romana: Kemakmuran di Bawah Roma

Setelah kekalahan Kartago dalam Perang Punik, Libia secara bertahap jatuh di bawah kendali Kekaisaran Romawi, khususnya setelah penaklukan Numidia. Di bawah pemerintahan Romawi, kota-kota Tripolitania mengalami periode kemakmuran yang tak tertandingi, terutama Leptis Magna.

Leptis Magna adalah kota kelahiran Kaisar Romawi, Septimius Severus, yang memerintah dari tahun 193 hingga 211 Masehi. Severus memompakan investasi besar-besaran untuk mengubah Leptis Magna menjadi salah satu kota termegah di kekaisaran. Pembangunan monumental yang meliputi forum baru, basilika, pelabuhan buatan, dan Arch of Septimius Severus, mencerminkan kekayaan yang dihasilkan dari pertanian dan perdagangan minyak zaitun.

Periode kemakmuran ini berlanjut hingga abad ke-4 Masehi ketika Kekaisaran Romawi melemah. Invasi Vandal pada tahun 439 Masehi menandai awal dari penurunan tajam, diikuti oleh periode singkat kekuasaan Bizantium sebelum akhirnya gelombang penaklukan Islam tiba di wilayah tersebut.

II. Masuknya Islam, Ottoman, dan Kolonialisme Italia

Penaklukan Islam dimulai pada abad ke-7 Masehi, membawa perubahan budaya dan agama yang mendalam. Pasukan Arab, dipimpin oleh Amr ibn al-As, dengan cepat menguasai Cyrenaica dan Tripolitania. Penaklukan ini tidak hanya menggantikan Kristen dengan Islam, tetapi juga mengubah struktur sosial secara permanen, memperkenalkan bahasa Arab sebagai bahasa dominan dan Islam Sunni Maliki sebagai mazhab utama.

Periode Dinasti dan Kekuasaan Ottoman

Selama berabad-abad, Libia diperintah oleh berbagai dinasti Islam, termasuk Aghlabid, Fatimid, dan Hafsid. Wilayah ini sering berfungsi sebagai provinsi terpencil dari kekhalifahan yang lebih besar. Pada abad ke-16, gejolak geopolitik Mediterania membawa Libia di bawah kendali Kekaisaran Ottoman. Tripoli menjadi salah satu dari empat provinsi utama Ottoman di Afrika Utara (bersama Aljir, Tunis, dan Mesir).

Kekuasaan Ottoman di Libia bersifat nominal selama sebagian besar periode tersebut. Meskipun Tripoli secara resmi adalah 'eyalet' (provinsi) Ottoman, kekuasaan sering dipegang oleh penguasa lokal yang dikenal sebagai Karamanli (1711–1835). Dinasti Karamanli menguasai perdagangan Mediterania, terutama melalui kegiatan perompakan yang menargetkan kapal-kapal Eropa dan Amerika. Kegiatan inilah yang memicu Perang Barbaria Pertama (1801–1805) antara Karamanli dan Amerika Serikat.

Pada abad ke-19, seiring melemahnya Kekaisaran Ottoman, muncul kekuatan sosio-politik baru di Cyrenaica: Ordo Sanussi. Didirikan oleh Sayyid Muhammad ibn Ali as-Senussi, ordo sufi ini berfokus pada reformasi Islam dan menolak dekadensi politik. Ordo Sanussi mendirikan jaringan zawiya (pusat keagamaan) di seluruh Cyrenaica dan Fezzan, menjadikannya kekuatan politik dan militer yang kohesif dan menjadi tulang punggung perlawanan terhadap kekuatan kolonial di masa depan.

Agresi dan Pendudukan Italia

Pada awal abad ke-20, Italia yang baru bersatu berambisi untuk mendirikan imperium kolonialnya. Mereka melihat Libia, yang berada di seberang pantai selatan Italia, sebagai wilayah yang sah secara historis (merujuk pada klaim Romawi kuno) dan strategis. Pada tahun 1911, Italia melancarkan invasi ke Libia, memicu Perang Italia-Turki.

Meskipun Ottoman secara resmi menyerahkan wilayah tersebut pada tahun 1912 melalui Perjanjian Ouchy, penduduk Libia di bawah kepemimpinan Ordo Sanussi menolak pendudukan Italia. Perlawanan ini dipimpin oleh tokoh karismatik, Omar Mukhtar, yang kemudian dikenal sebagai 'Singa Gurun'.

Perlawanan di bawah Omar Mukhtar berlangsung selama lebih dari dua dekade. Dengan menggunakan taktik perang gerilya yang efektif, Mukhtar berhasil mengikat pasukan Italia di medan gurun yang keras. Italia merespons dengan kebijakan kebrutalan, termasuk penggunaan kamp konsentrasi untuk memisahkan populasi sipil dari gerilyawan dan penggunaan senjata kimia, praktik yang sangat jarang diungkapkan dalam sejarah kolonial Eropa. Penangkapan dan eksekusi Omar Mukhtar pada tahun 1931 dianggap sebagai momen simbolis kehancuran perlawanan terorganisir.

Di bawah rezim Fasis Benito Mussolini, Libia dibagi menjadi dua provinsi: Tripolitania dan Cyrenaica. Italia memulai program kolonisasi skala besar, yang bertujuan untuk mengirim puluhan ribu pemukim Italia untuk mendominasi pertanian dan pembangunan infrastruktur. Mereka membangun jalan raya pesisir yang terkenal, Via Balbia, dan mempromosikan Tripoli sebagai 'Roma Baru'. Namun, kolonisasi ini datang dengan mengorbankan penduduk asli, yang dipaksa keluar dari tanah subur mereka.

Peran Libia dalam Perang Dunia II

Libia menjadi medan pertempuran utama di Afrika Utara selama Perang Dunia II. Pasukan Italia dan Jerman (Afrika Korps pimpinan Rommel) bertempur melawan Sekutu (Inggris, Perancis, dan kontingen Sanussi). Kekalahan Blok Poros pada tahun 1943 mengakhiri kekuasaan Italia. Libia kemudian dibagi di bawah pemerintahan militer Inggris (Cyrenaica dan Tripolitania) dan Prancis (Fezzan). Pembagian ini memperkuat perpecahan regional yang sudah ada.

III. Lahirnya Negara Libia dan Era Raja Idris

Setelah Perang Dunia II, masa depan Libia menjadi perdebatan sengit di PBB. Berbagai proposal, termasuk mandat PBB dan kembalinya Italia untuk sementara, dipertimbangkan. Namun, sentimen nasionalis yang kuat di Cyrenaica, yang dipimpin oleh Emir Idris as-Senussi, yang merupakan kepala Ordo Sanussi, mendesak kemerdekaan penuh.

Pada tahun 1949, PBB mengeluarkan resolusi yang menyerukan Libia untuk bersatu dan merdeka. Pada 24 Desember 1951, Kerajaan Bersatu Libia diproklamasikan. Idris as-Senussi dinobatkan sebagai Raja Idris I.

Konstitusi dan Tantangan Awal

Kerajaan Libia didirikan sebagai federasi tiga provinsi (Tripolitania, Cyrenaica, dan Fezzan) untuk mengakomodasi perbedaan regional yang mendalam. Konstitusi federal memberikan otonomi signifikan kepada ketiga wilayah tersebut. Di masa-masa awal, Libia adalah salah satu negara termiskin di dunia. Ekonomi utamanya bergantung pada bantuan asing dari Inggris dan Amerika Serikat, yang mempertahankan pangkalan militer di sana.

Namun, takdir Libia berubah drastis pada tahun 1959 dengan penemuan ladang minyak komersial yang masif. Eksplorasi minyak membawa banjir pendapatan ke kas kerajaan, tetapi juga menciptakan kesenjangan sosial yang besar. Kekayaan minyak terkonsentrasi di tangan segelintir elit monarki, sementara sebagian besar rakyat masih hidup dalam kemiskinan dan mengalami urbanisasi yang cepat.

Raja Idris I, seorang pemimpin saleh namun pendiam, semakin terpisah dari kehidupan politik dan mendelegasikan banyak kekuasaan kepada para menteri. Di mata banyak pemuda nasionalis, terutama para perwira militer yang terinspirasi oleh Pan-Arabisme Gamal Abdel Nasser di Mesir, monarki dianggap korup, ketinggalan zaman, dan terlalu tunduk pada kepentingan Barat. Sentimen anti-Barat dan seruan untuk reformasi radikal menguat di kalangan militer.

Pada tahun 1963, monarki menghapuskan sistem federal, mengubahnya menjadi negara kesatuan untuk lebih mengontrol pendapatan minyak. Meskipun bertujuan untuk memperkuat negara, langkah ini hanya menunda konflik yang akan segera terjadi, dipicu oleh ketidakpuasan publik terhadap distribusi kekayaan minyak.

IV. Revolusi Al-Fateh dan Rezim Muammar Qadhafi

Pagi hari tanggal 1 September 1969, sekelompok perwira militer muda yang menyebut diri mereka Gerakan Perwira Bebas melancarkan kudeta tak berdarah saat Raja Idris I berada di Turki untuk perawatan medis. Muammar Abu Minyar al-Qadhafi, seorang kapten berusia 27 tahun yang karismatik, muncul sebagai pemimpin de facto Republik Arab Libia yang baru diproklamasikan.

Deklarasi dan Ideologi Qadhafi

Awalnya, Qadhafi memegang kendali melalui Dewan Komando Revolusioner (RCC). Ia dengan cepat mengusir pangkalan militer asing, menasionalisasi industri minyak, dan memberlakukan undang-undang yang didasarkan pada prinsip-prinsip Pan-Arabisme, Islam, dan sosialisme. Namun, setelah beberapa tahun, Qadhafi mulai menjauh dari model sosialis tradisional dan mengembangkan filosofi politiknya sendiri yang unik.

Pada tahun 1975, Qadhafi menerbitkan Buku Hijau (The Green Book), sebuah manifesto ideologi yang dimaksudkan sebagai solusi universal untuk masalah demokrasi, ekonomi, dan sosial. Buku ini menolak baik kapitalisme Barat maupun komunisme Uni Soviet. Buku Hijau menjadi dasar teoretis bagi sistem politik Libia, yang kemudian ia namakan Jamahiriya.

Konsep Jamahiriya: 'Negara Massa'

Jamahiriya (secara harfiah berarti 'negara rakyat' atau 'negara massa') adalah visi Qadhafi tentang negara di mana rakyat memerintah secara langsung tanpa perlu perwakilan, parlemen, atau partai politik. Sistem ini secara resmi diproklamasikan pada tahun 1977, dan nama negara diubah menjadi Republik Sosialis Rakyat Arab Libia Jamahiriya.

Struktur Jamahiriya secara teori didasarkan pada:

Meskipun secara lahiriah tampak sangat demokratis, kenyataannya, kekuasaan mutlak terpusat pada Qadhafi, yang memegang gelar 'Pemimpin Revolusi' dan bukan jabatan resmi negara. Ia mengendalikan keputusan melalui jaringan komite revolusioner, yang memastikan kesetiaan ideologi dan menekan perbedaan pendapat. Jamahiriya adalah sistem totaliter yang dibungkus dalam retorika demokrasi partisipatif langsung.

Proyek Raksasa: The Great Man-Made River (GMMR)

Salah satu pencapaian infrastruktur paling ambisius dari era Qadhafi adalah The Great Man-Made River (GMMR). Ini adalah jaringan pipa raksasa yang dirancang untuk memompa air fosil dari akuifer bawah tanah yang masif (Nubian Sandstone Aquifer System) di bawah Gurun Sahara (Fezzan dan Kufra) menuju wilayah pesisir yang padat penduduknya di Tripolitania dan Cyrenaica.

Qadhafi menyebut GMMR sebagai 'Keajaiban Dunia Kedelapan'. Proyek ini, yang menelan biaya puluhan miliar dolar yang didanai sepenuhnya oleh pendapatan minyak Libia, bertujuan untuk mengatasi kelangkaan air dan mencapai ketahanan pangan. Proyek ini memang berhasil mengubah sebagian lahan gurun menjadi lahan pertanian produktif dan menyediakan air minum bagi jutaan orang. Namun, proyek ini juga dikritik karena sifatnya yang tidak berkelanjutan (menggunakan air fosil) dan pemborosan di tengah kebutuhan sosial lainnya.

Kebijakan Minyak dan Kesejahteraan Sosial

Di bawah Qadhafi, pendapatan minyak digunakan untuk membiayai program kesejahteraan sosial yang luas. Libia mencapai salah satu standar hidup tertinggi di Afrika pada tahun 1980-an dan 1990-an. Pendidikan dan layanan kesehatan disediakan secara gratis. Subsidi perumahan dan bahan bakar sangat besar. Qadhafi memanfaatkan kekayaan minyak untuk menjamin loyalitas domestik dan memproyeksikan kekuatan internasional.

Namun, ekonomi Libia menderita karena manajemen negara yang buruk dan sistem sanksi internasional yang diberlakukan setelah Libia dituduh terlibat dalam terorisme, terutama pemboman Lockerbie pada tahun 1988.

Hubungan Luar Negeri yang Berliku

Hubungan luar negeri Qadhafi ditandai oleh pergeseran ideologis yang dramatis:

  1. Pan-Arabisme Militan (1970-an): Qadhafi secara aktif mendukung gerakan nasionalis Arab dan kelompok-kelompok militan. Ia berupaya menyatukan Libia dengan Mesir, Suriah, dan Sudan, meskipun semua upaya persatuan gagal. Ini adalah masa di mana Libia sering bentrok dengan Barat dan mendukung terorisme internasional.
  2. Paria Internasional (1980-an – Awal 2000-an): Setelah insiden Lockerbie dan sanksi PBB, Libia menjadi terisolasi secara global.
  3. Rekonsiliasi dengan Barat (Pasca 2003): Setelah invasi AS ke Irak, Qadhafi memutuskan untuk mengubah arah. Ia secara sukarela menghentikan program senjata pemusnah massal (WMD) dan membayar kompensasi kepada korban Lockerbie. Sebagai imbalannya, sanksi dicabut, dan perusahaan minyak Barat kembali berinvestasi besar-besaran di Libia. Qadhafi juga mengalihkan fokusnya dari Pan-Arabisme ke Pan-Afrikanisme, memposisikan dirinya sebagai 'Raja dari Raja-Raja Afrika'.

Meskipun terjadi normalisasi hubungan internasional, sistem Jamahiriya tetap kaku. Tidak ada kebebasan berekspresi, oposisi politik dilarang, dan keamanan internal dikendalikan oleh unit-unit militer yang setia pada Qadhafi dan klan-nya, Gaddadfa.

V. Musim Semi Arab dan Fragmentasi Negara

Kekuatan Qadhafi, yang telah bertahan selama 42 tahun, tiba-tiba runtuh pada tahun 2011 sebagai bagian dari gelombang protes yang melanda Timur Tengah dan Afrika Utara yang dikenal sebagai Musim Semi Arab.

Pemicu Revolusi

Tidak seperti Mesir atau Tunisia, Libia tidak memiliki infrastruktur masyarakat sipil atau serikat buruh yang kuat. Namun, ketidakpuasan mendalam muncul dari beberapa faktor: penindasan politik yang brutal, pengangguran kaum muda yang tinggi, dan persepsi bahwa kekayaan minyak hanya menguntungkan kroni-kroni Qadhafi di Tripolitania, sementara wilayah lain, terutama Cyrenaica, merasa terpinggirkan.

Protes dimulai pada Februari 2011 di Benghazi, Cyrenaica, setelah penangkapan seorang aktivis hak asasi manusia. Protes dengan cepat berubah menjadi pemberontakan bersenjata. Qadhafi merespons dengan kekerasan ekstrem, berjanji untuk "membersihkan Libia, gang demi gang." Respons brutal ini memicu intervensi internasional.

Intervensi NATO dan Kejatuhan Qadhafi

Dewan Keamanan PBB mengesahkan Resolusi 1973, yang memberlakukan zona larangan terbang dan mengizinkan "segala cara yang diperlukan" untuk melindungi warga sipil. NATO, dipimpin oleh Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat, melancarkan kampanye pengeboman besar-besaran terhadap instalasi militer Qadhafi. Intervensi ini mengubah keseimbangan kekuatan secara drastis, memungkinkan kelompok pemberontak, yang dikenal sebagai Dewan Transisi Nasional (NTC), untuk maju.

Pada Agustus 2011, Tripoli jatuh. Qadhafi melarikan diri ke kota kelahirannya, Sirte, tetapi ia ditangkap dan dibunuh secara brutal pada Oktober 2011. Kematian Qadhafi mengakhiri era Jamahiriya, tetapi meninggalkan kekosongan kekuasaan yang segera diisi oleh persaingan suku, regional, dan milisi.

Kekosongan Kekuasaan dan Perang Saudara Pertama

Pasca-Qadhafi, Libia gagal melakukan transisi yang stabil. NTC dan penggantinya, Kongres Nasional Umum (GNC), tidak mampu mengendalikan milisi-milisi yang telah dipersenjatai selama perang. Milisi-milisi ini menolak menyerahkan senjata, sebaliknya berubah menjadi faksi-faksi politik-militer yang menguasai wilayah, infrastruktur, dan sumber daya minyak.

Kegagalan proses demobilisasi, disarment, dan reintegrasi (DDR) menjadi akar utama ketidakstabilan. Setiap kota dan suku memiliki milisi pelindungnya sendiri, yang seringkali berbenturan demi kontrol atas bank, pelabuhan, dan bandara.

Perpecahan Dualitas: Konflik Timur vs. Barat

Situasi memburuk drastis pada tahun 2014, memicu Perang Saudara Libia Kedua. Negara terpecah menjadi dua pemerintahan utama yang bersaing, masing-masing didukung oleh koalisi milisi dan kekuatan asing yang berbeda:

  1. Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) / Pemerintah Persatuan Nasional (GNU): Berbasis di Tripoli (Barat Libia). GNA didukung oleh berbagai milisi Tripolitania dan secara internasional didukung oleh PBB, Turki, dan Qatar. Fokus utama mereka adalah Tripolitania dan beberapa wilayah pesisir.
  2. Tentara Nasional Libia (LNA): Berbasis di Tobruk/Benghazi (Timur Libia). Dipimpin oleh Field Marshal Khalifa Haftar, seorang mantan jenderal Qadhafi. LNA mengklaim sebagai tentara nasional yang memerangi terorisme dan milisi. Mereka didukung oleh parlemen timur (HoR) dan secara internasional didukung oleh Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Rusia.

Konflik ini bukan hanya perang sipil domestik; ia menjadi perang proksi regional. Persaingan antara Turki (mendukung GNA) dan UEA/Mesir/Rusia (mendukung LNA) membanjiri Libia dengan senjata dan tentara bayaran, termasuk Wagner Group dari Rusia. Kontrol atas ladang minyak di 'Sabuk Minyak' di wilayah Sirte menjadi taruhan utama.

Dampak Konflik: Ekonomi dan Kemanusiaan

Konflik berkepanjangan menghancurkan infrastruktur energi dan menyebabkan kerugian miliaran dolar bagi Libia. Fasilitas minyak sering ditutup atau dirusak oleh faksi-faksi yang bertikai untuk mendapatkan leverage politik. Ini berdampak langsung pada pasokan energi global.

Secara kemanusiaan, Libia menjadi rute transit utama bagi migran dari Afrika Sub-Sahara yang berusaha mencapai Eropa. Kekacauan keamanan menciptakan lingkungan yang subur bagi penyelundupan manusia, di mana migran sering menjadi korban perlakuan brutal oleh milisi dan sindikat kriminal. Selain itu, kelompok ekstremis seperti ISIS (Daesh) sempat mendirikan basis kuat di kota Sirte, meskipun akhirnya diusir oleh pasukan lokal dengan dukungan internasional.

VI. Perekonomian yang Digoncang Minyak dan Air

Perekonomian Libia adalah salah satu contoh klasik dari 'kutukan sumber daya'. Hampir 95% dari pendapatan ekspor dan sekitar 60% dari PDB berasal dari sektor minyak dan gas alam. Ketergantungan ekstrem ini menjadikan Libia sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas dan, yang lebih penting, terhadap gangguan domestik dalam produksi.

Industri Hidrokarbon Libia

Libia memiliki cadangan minyak terbesar di Afrika, yang diperkirakan mencapai sekitar 48 miliar barel. Keunggulan minyak Libia adalah kualitasnya yang ringan dan rendah sulfur (sweet crude), yang sangat diminati di pasar Eropa, dan kedekatannya dengan pasar ini. Sebagian besar minyak dikelola oleh Perusahaan Minyak Nasional (NOC) yang berbasis di Tripoli. Meskipun NOC berusaha mempertahankan netralitas di tengah konflik, fasilitasnya sering menjadi sasaran pemblokiran oleh milisi atau pasukan militer untuk menekan pemerintah saingan.

Sektor gas alam juga penting, terutama untuk kebutuhan domestik dan ekspor melalui pipa Greenstream ke Italia. Namun, infrastruktur yang menua dan kurangnya investasi selama masa konflik membatasi potensi penuh sektor ini.

Tantangan Diversifikasi Ekonomi

Meskipun ada upaya nominal untuk diversifikasi, sektor non-minyak Libia tetap terbelakang. Sektor pertanian, yang pernah menjadi fokus selama era Romawi, kini terbatas pada wilayah pesisir dan oasis, dan sangat bergantung pada air yang dipompa dari GMMR.

Sistem ekonomi juga dihambat oleh korupsi kronis, kurangnya transparansi dalam pengeluaran publik, dan sistem subsidi yang tidak berkelanjutan. Subsidi besar untuk bahan bakar, air, dan listrik membebani anggaran negara dan menciptakan distorsi pasar. Reformasi ekonomi menjadi hampir mustahil untuk dilakukan di tengah persaingan antar faksi yang tidak ingin kehilangan akses terhadap sumber daya negara.

Isu Strategis Air: Ancaman pada GMMR

The Great Man-Made River, yang menopang kehidupan di Libia utara, telah menjadi target strategis dan militer selama konflik. Jaringan pipa raksasa ini sangat rentan terhadap serangan atau sabotase. Setiap kali pipa utama diputus atau stasiun pompa disabotase, jutaan penduduk kehilangan akses ke air bersih, meningkatkan risiko kemanusiaan dan penyakit.

Keberlangsungan GMMR adalah isu keamanan nasional. Air fosil yang digunakan tidak dapat diperbarui dalam skala waktu manusia, yang berarti Libia harus segera menemukan solusi jangka panjang untuk manajemen air, termasuk desalinasi dan teknik irigasi hemat air, namun proyek-proyek tersebut terhambat oleh konflik.

Bank Sentral dan Dana Kekayaan Kedaulatan

Bank Sentral Libia (CBL) dan Otoritas Investasi Libia (LIA), dana kekayaan kedaulatan negara, menjadi pusat sengketa politik dan keuangan yang intens. Meskipun CBL secara resmi terpusat di Tripoli, kontrol atas dana dan cadangan minyak sering diperebutkan. Selama puncak Perang Saudara, sempat ada dua Bank Sentral yang beroperasi, satu di Tripoli dan satu di timur, yang memperparah krisis likuiditas dan nilai tukar mata uang.

LIA, dengan aset bernilai puluhan miliar dolar yang sebagian besar dibekukan di luar negeri sejak 2011, seharusnya berfungsi sebagai warisan masa depan Libia. Namun, LIA juga diganggu oleh klaim kepemimpinan yang bersaing dan masalah transparansi, menghambat kemampuannya untuk berinvestasi kembali dalam pembangunan negara.

VII. Masyarakat, Identitas, dan Warisan Budaya Libia

Masyarakat Libia memiliki struktur sosial yang sangat terikat pada sistem suku dan klan, meskipun Qadhafi berusaha keras untuk menghancurkan loyalitas suku demi loyalitas pada Jamahiriya. Identitas regional (Tripolitanian, Cyrenaican, Fezzani) dan loyalitas suku kembali muncul ke permukaan pasca-2011, membentuk milisi-milisi utama dan aliansi politik.

Suku, Bahasa, dan Agama

Mayoritas penduduk Libia adalah keturunan Arab, namun ada minoritas Berber (Amazigh) yang signifikan, terutama di wilayah barat seperti Nafusa Mountains dan kota Ghadames. Suku-suku ini memiliki bahasa dan tradisi mereka sendiri. Di selatan, terdapat suku Tebu dan Tuareg, yang memiliki ikatan transnasional melintasi perbatasan Chad, Niger, dan Aljazair, dan memainkan peran penting dalam keamanan perbatasan Sahara.

Islam Sunni adalah agama yang dominan. Tradisi Islam di Libia, yang dipengaruhi oleh mazhab Maliki, cenderung konservatif namun secara historis terbuka terhadap Ordo Sufi Sanussi (sebelum ditindas oleh Qadhafi). Meskipun demikian, negara ini secara tradisional kurang religius secara formal dibandingkan beberapa tetangganya, terutama di bawah Qadhafi yang mengedepankan ideologi sekuler revolusioner.

Warisan Dunia UNESCO: Kekayaan Sejarah yang Rentan

Meskipun kondisi keamanan membuat pariwisata terhenti, Libia memiliki lima situs Warisan Dunia UNESCO yang luar biasa, yang semuanya berada dalam bahaya akibat konflik dan penjarahan. Situs-situs ini adalah bukti tak terbantahkan dari kedalaman sejarah Mediterania dan Afrika:

1. Leptis Magna (Tripolitania)

Dianggap sebagai salah satu reruntuhan Romawi paling terpelihara dan paling menakjubkan di dunia. Leptis Magna terkenal karena arsitektur monumental di bawah Septimius Severus. Situs ini menampilkan Forum Severan, Basilika, teater dengan pemandangan Mediterania, dan pemandian yang luas. Tingkat detail pahatan marmer dan ukiran yang ditemukan di Leptis Magna jauh melampaui situs Romawi lainnya di Afrika Utara. Situs ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana sebuah kota Afrika dapat menjadi pusat kekuasaan di jantung Kekaisaran Romawi.

2. Sabratha (Tripolitania)

Sabratha, yang awalnya adalah pos perdagangan Fenisia, berkembang di bawah Roma. Terkenal dengan teater Romawi yang dipugar secara indah, yang masih memiliki tiga tingkat panggung aslinya. Kota ini merupakan titik kunci dalam rute perdagangan trans-Sahara, menghubungkan Mediterania dengan emas dan komoditas dari Afrika Sub-Sahara. Sabratha menjadi simbol bagaimana Libia selalu menjadi jembatan antara dua dunia.

3. Cyrene (Cyrenaica)

Cyrene adalah kota Yunani kuno di Pentapolis. Reruntuhannya yang megah terletak di perbukitan Green Mountain, jauh dari panas gurun. Cyrene menawarkan perpaduan langka antara arsitektur Yunani (seperti Kuil Apollo, Agora) dan penambahan Romawi. Cyrene adalah pusat filosofis dan akademis, membuktikan peran Libia Timur sebagai pusat Hellenistik sebelum kedatangan Romawi.

4. Reruntuhan Arkeologi Tadrart Acacus (Fezzan)

Berbeda dari situs-situs Romawi di pantai, Tadrart Acacus adalah rantai pegunungan gurun yang sangat kaya akan seni cadas prasejarah. Situs ini mencakup ribuan lukisan dan ukiran di dinding gua yang mendokumentasikan perubahan iklim dan kehidupan di Sahara selama lebih dari 14.000 tahun. Lukisan-lukisan ini menunjukkan lanskap yang dulunya hijau, penuh dengan jerapah, gajah, dan ternak, memberikan kontras dramatis dengan gurun hari ini. Ini adalah warisan yang tak ternilai dari peradaban Sahara purba.

5. Kota Tua Ghadames (Fezzan)

Ghadames, yang dijuluki 'mutiara gurun', adalah kota oasis tradisional Berber yang terletak di persimpangan rute perdagangan kuno. Arsitektur Ghadames yang unik dirancang untuk mengatasi panas gurun; rumah-rumah yang saling berhubungan menciptakan jaringan jalan tertutup di bawah tingkat tanah yang berfungsi sebagai penyejuk alami. Kota ini adalah contoh luar biasa dari adaptasi manusia terhadap lingkungan ekstrem. Struktur sosial tradisionalnya masih bertahan hingga kini, meskipun terancam oleh konflik dan modernisasi.

Warisan Kuno yang Terancam
Warisan dunia Libia, seperti Leptis Magna dan Cyrene, berada di garis depan risiko konflik dan vandalisme.

VIII. Tantangan Geopolitik dan Upaya Rekonsiliasi

Sejak kesepakatan gencatan senjata besar pada tahun 2020 dan pembentukan Pemerintahan Persatuan Nasional (GNU) pada tahun 2021, Libia telah memasuki fase 'tanpa perang, tanpa perdamaian'. Meskipun bentrokan bersenjata besar telah berkurang, masalah struktural mendasar yang memicu konflik tetap tidak terselesaikan.

Ketergantungan pada Milisi

Masalah terbesar Libia pasca-2011 adalah integrasi atau pelucutan senjata milisi. Kedua pemerintah yang bersaing (GNU di Tripoli dan faksi yang didukung Haftar di timur) sangat bergantung pada milisi untuk keamanan dan legitimasi. Milisi ini seringkali beroperasi di luar kendali negara, bertindak sebagai jaringan kriminal yang terlibat dalam penyelundupan minyak, migran, dan sumber daya lainnya.

Milisi utama di Tripoli, misalnya, memiliki pengaruh yang sangat besar pada keputusan politik dan alokasi anggaran, seringkali mengarah pada bentrokan sporadis di dalam ibu kota itu sendiri ketika persaingan kontrol sumber daya muncul. Demikian pula, LNA Haftar bergantung pada tentara bayaran dan milisi regional untuk mempertahankan kendali atas ladang minyak timur dan selatan.

Peran dan Intervensi Kekuatan Regional

Libia tetap menjadi medan pertempuran proksi untuk kekuatan regional. Mesir dan UEA melihat stabilitas Libia melalui lensa keamanan perbatasan dan kekhawatiran terhadap Ikhwanul Muslimin, sehingga mereka mendukung Haftar. Sementara itu, Turki, yang memiliki perjanjian maritim dan keamanan dengan Tripoli, memastikan bahwa pemerintah Barat Libia memiliki kekuatan militer yang cukup untuk menahan Haftar, menciptakan kebuntuan militer yang stabil.

Meningkatnya kehadiran Rusia, terutama melalui Wagner Group, juga menambahkan lapisan kompleksitas. Wagner awalnya beroperasi untuk mendukung Haftar, tetapi kini memiliki kepentingan di ladang minyak, pelabuhan, dan rute migrasi. Intervensi asing ini merusak kedaulatan Libia dan mempersulit proses rekonsiliasi yang didorong PBB.

Jalur Politik yang Buntu

Meskipun ada pembentukan GNU yang dipimpin oleh Abdul Hamid Dbeibeh, transisi menuju pemilihan umum yang stabil terus tertunda. Hambatan utama adalah kerangka hukum untuk pemilu, terutama mengenai kriteria kandidat presiden (misalnya, peran militer seperti Haftar atau figur era Qadhafi) dan pembagian kekuasaan antara timur dan barat.

Parlemen yang berbasis di timur (HoR) dan Dewan Tinggi Negara yang berbasis di Tripoli gagal mencapai konsensus mengenai reformasi konstitusi dan kerangka pemilihan. Kegagalan ini melanggengkan masa jabatan pemerintahan transisi, yang pada gilirannya menghadapi tuduhan korupsi dan kurangnya legitimasi.

Migrasi dan Batas Selatan

Libia Selatan (Fezzan) adalah salah satu wilayah paling terabaikan namun paling strategis. Gurun yang luas ini merupakan perbatasan yang tidak terkontrol, melintasi Sahel yang semakin tidak stabil. Fezzan adalah jalur utama untuk perdagangan migran, senjata, dan narkoba. Suku-suku di wilayah ini seringkali bersekutu dengan siapa pun yang menawarkan keamanan dan sumber daya.

Tekanan dari Uni Eropa untuk menghentikan aliran migran telah memaksa Libia untuk meningkatkan pengawasan, tetapi ini seringkali mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan oleh penjaga pantai yang terafiliasi milisi dan kondisi mengerikan di pusat-pusat penahanan migran. Libia tetap menjadi titik api kemanusiaan yang tersembunyi.

Melihat ke Depan: Federalisme atau Desentralisasi?

Banyak analis dan politisi Libia percaya bahwa Libia tidak dapat kembali ke sistem sentralistik ala Qadhafi. Jalan menuju stabilitas mungkin terletak pada bentuk desentralisasi yang lebih kuat atau bahkan federalisme, yang mengakui identitas historis Tripolitania, Cyrenaica, dan Fezzan.

Model ini akan memungkinkan wilayah untuk mengelola pendapatan lokal, keamanan, dan layanan publik mereka sendiri, sementara pemerintah pusat mempertahankan kontrol atas pertahanan nasional, hubungan luar negeri, dan, yang terpenting, distribusi pendapatan minyak secara adil. Namun, setiap diskusi tentang desentralisasi memicu kekhawatiran tentang disintegrasi negara, sebuah ketakutan yang mendalam yang melumpuhkan kemampuan para pemimpin untuk mengambil keputusan radikal demi perdamaian abadi.

Libia masa kini berada dalam persimpangan kritis. Warisan kekayaan minyak yang luar biasa dan sejarah peradaban yang kaya berhadapan langsung dengan realitas politik yang terpecah, di mana kedaulatan negara terdistorsi oleh kepentingan asing dan persaingan milisi. Stabilitas yang langgeng hanya dapat dicapai melalui penarikan aktor asing, pembubaran milisi, dan kesepakatan konstitusional yang mengakui keragaman historis dan geografis Libia, memastikan bahwa minyak bumi menjadi berkah, bukan kutukan.

Pengamanan dan pemeliharaan sumber daya air vital, seperti GMMR, juga harus menjadi prioritas non-politik yang didukung oleh semua faksi. Tanpa air yang stabil, negara pantai yang padat penduduknya tidak akan dapat bertahan hidup, terlepas dari kekayaan minyaknya. Membangun kembali sistem pendidikan dan kesehatan, yang pernah menjadi model di Afrika, adalah kunci untuk menciptakan generasi baru yang tidak berorientasi pada loyalitas milisi, melainkan pada pembangunan nasional. Libia menghadapi jalan panjang dan berliku, tetapi potensi untuk bangkit kembali sebagai kekuatan ekonomi dan jembatan budaya antara Afrika dan Eropa tetap ada, asalkan persatuan yang rapuh dapat dipertahankan dan diperkuat.

Proses rekonstruksi tidak hanya mencakup infrastruktur fisik yang rusak akibat pertempuran, tetapi juga rekonstruksi lembaga-lembaga negara yang telah dilemahkan oleh empat dekade pemerintahan otoriter dan lebih dari satu dekade konflik. Pengadilan, kepolisian, dan birokrasi yang independen adalah prasyarat untuk menarik investasi asing non-minyak dan mengakhiri budaya impunitas yang memungkinkan milisi beroperasi dengan bebas. Kegagalan untuk mengatasi masalah ini akan mengutuk Libia pada siklus konflik dan kekuasaan transisi yang tak berkesudahan.

Penting untuk dicatat bahwa peran masyarakat sipil, meskipun tertekan, tetap krusial dalam upaya rekonsiliasi lokal. Banyak inisiatif damai yang berhasil dilakukan di tingkat komunitas, terutama antara suku-suku di Fezzan yang terpencil, menunjukkan bahwa keinginan untuk hidup berdampingan tetap kuat di luar intrik politik di Tripoli dan Benghazi. Mendukung inisiatif akar rumput semacam ini adalah salah satu cara paling efektif untuk membangun kepercayaan kembali di negara yang telah sangat terpolarisasi.

Selain itu, Libia harus menghadapi warisan kompleks dari masa Qadhafi. Sementara banyak orang merindukan stabilitas dan kesejahteraan ekonomi dari era tersebut, mereka juga harus menghadapi kebenaran tentang penindasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas. Sebuah mekanisme keadilan transisional yang efektif, yang dapat memberikan pertanggungjawaban tanpa memicu putaran kekerasan baru, sangat dibutuhkan untuk menyembuhkan luka-luka masa lalu.

Sebagai penutup, Libia adalah sebuah peringatan tentang bahaya intervensi luar yang tidak terencana dan kutukan sumber daya yang tidak diatur. Masa depannya bergantung pada kemampuan para pemimpinnya untuk mengesampingkan kepentingan pribadi dan faksi demi visi nasional yang inklusif, sesuatu yang telah hilang sejak awal transisi. Dunia terus mengawasi, karena ketidakstabilan di Libia memiliki implikasi langsung terhadap harga energi global, keamanan Mediterania, dan krisis migrasi Eropa.

Isu reformasi sektor keamanan (SSR) adalah fondasi bagi setiap kemajuan politik. Menggabungkan puluhan milisi bersenjata yang loyal pada berbagai komandan menjadi satu kekuatan keamanan nasional yang profesional dan netral adalah tantangan Herculean. Setiap kali perundingan damai dilakukan, masalah pembagian jabatan militer tertinggi dan kontrol atas persenjataan menjadi sandungan utama, karena tidak ada faksi yang mau melepaskan daya tawar mereka. SSR yang efektif membutuhkan dorongan internasional yang terkoordinasi dan komitmen finansial yang besar, tidak hanya untuk pelatihan tetapi juga untuk memberikan insentif ekonomi agar mantan pejuang mau meletakkan senjata mereka dan kembali ke kehidupan sipil. Ini mencakup program pembangunan ekonomi di wilayah yang paling terpinggirkan.

Meskipun tantangan yang dihadapi Libia sangat besar, potensi pemulihan negara ini juga signifikan. Kekayaan minyaknya, jika dikelola secara transparan dan dibagi secara adil, dapat dengan cepat membiayai rekonstruksi. Infrastruktur dasar seperti jalan, pelabuhan, dan jaringan telekomunikasi masih dapat berfungsi, meskipun dengan kapasitas yang berkurang. Kuncinya adalah mengatasi ketegangan antara Tripoli, Benghazi, dan Fezzan, yang masing-masing menginginkan bagian yang lebih besar dari kue nasional. Pengaturan fiskal federal yang kuat, yang mendistribusikan pendapatan minyak melalui mekanisme yang disepakati secara nasional, dapat meredakan ketegangan ini.

Salah satu harapan terbesar bagi Libia adalah generasi muda yang kini menjadi mayoritas. Kelompok ini telah tumbuh dewasa di bawah kekacauan dan konflik, dan banyak dari mereka yang lelah dengan permusuhan yang melanggengkan penderitaan. Aktivisme digital dan seruan untuk perdamaian yang didorong oleh kaum muda menunjukkan adanya basis yang kuat untuk perubahan. Namun, tanpa adanya kesempatan ekonomi riil dan jalur politik yang kredibel, mereka rentan terhadap rekrutmen oleh milisi atau eksodus massal mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri.

Dalam konteks geopolitik yang lebih luas, Libia juga merupakan elemen penting dalam persaingan energi global. Setiap gangguan produksi minyak Libia dapat mengguncang pasar. Oleh karena itu, memastikan stabilitas ladang minyak dan terminal ekspor di Marsa El Hariga, Es Sider, dan Ras Lanuf, yang sebagian besar berada di bawah kendali LNA, menjadi prioritas bagi Uni Eropa dan negara-negara konsumen energi lainnya. Keterlibatan internasional harus bergeser dari dukungan militer faksi ke dukungan teknis untuk pemulihan sektor energi dan reformasi tata kelola yang transparan.

Secara kultural, pemulihan situs-situs warisan dunia seperti Leptis Magna dan Cyrene, yang telah terancam oleh kurangnya pemeliharaan dan risiko penjarahan, adalah investasi dalam identitas nasional Libia. Situs-situs ini adalah pengingat bahwa Libia jauh lebih tua dan lebih kompleks daripada perpecahan politik kontemporer. Upaya restorasi dapat berfungsi sebagai titik fokus non-politik untuk persatuan dan kebanggaan nasional, menarik kembali wisatawan dan menciptakan peluang ekonomi baru di masa depan yang stabil. Namun, ini hanya mungkin terjadi jika konflik benar-benar dapat diredam dan kontrol tunggal atas wilayah dapat dipulihkan secara sah.

Transisi Libia adalah studi kasus yang suram tentang kesulitan membangun demokrasi dari nol di negara yang memiliki sumber daya alam besar tetapi tidak memiliki tradisi institusi sipil yang kuat. Sejak runtuhnya Jamahiriya, Libia telah menjadi mosaik dari kekuatan-kekuatan yang saling bersaing, di mana kesetiaan lebih didasarkan pada uang minyak, suku, dan afiliasi milisi daripada ideologi politik yang koheren. Membutuhkan kebijaksanaan, kesabaran, dan dukungan internasional yang jujur, tanpa agenda tersembunyi, untuk membantu Libia melampaui fase kerentanan ini menuju kedaulatan yang sejati dan berkelanjutan.

Di akhir perjalanan sejarah yang bergolak ini, harapan Libia untuk masa depan bergantung pada kemampuan para pemimpinnya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan yang mereka warisi dari perjuangan melawan kolonialisme Italia, dan untuk memprioritaskan kepentingan rakyat Libia di atas keuntungan faksi. Hanya dengan begitu negara ini dapat sekali lagi menjadi mercusuar kemakmuran di Mediterania, bebas dari bayang-bayang masa lalu yang penuh gejolak.

Stabilitas harga minyak global dan permintaan yang terus menerus memberikan Libia peluang emas untuk merekonstruksi, tetapi jendela peluang ini bersifat sementara. Jika negara terus terjebak dalam perang proksi, aset-aset fisik (termasuk infrastruktur minyak dan GMMR) akan terus terdegradasi hingga titik tidak dapat diperbaiki. Ini adalah perlombaan melawan waktu untuk mengubah sumber daya finansial menjadi modal pembangunan yang berkelanjutan.

Inklusivitas adalah kunci. Setiap solusi politik harus mencakup perwakilan yang adil dari Fezzan di selatan, wilayah yang sering merasa terabaikan namun memegang kunci keamanan perbatasan dan rute migrasi. Mengabaikan Fezzan hanya akan memastikan bahwa konflik regional dan transnasional terus merembes masuk. Perhatian harus diberikan pada pembangunan ekonomi regional, bukan hanya di pusat-pusat metropolitan seperti Tripoli dan Benghazi.

Kesimpulan utama dari narasi panjang Libia adalah bahwa trauma politik dan konflik di negara ini berakar pada ketidakmampuan untuk mengelola kekayaan. Selama rakyat Libia melihat minyak sebagai sumber kekayaan yang diperuntukkan bagi elit atau milisi tertentu, konflik akan terus berlanjut. Reformasi tata kelola, transparansi penuh dari NOC dan CBL, dan sistem yang menjamin bahwa kekayaan minyak berdampak pada setiap warga negara, bukan hanya mereka yang memegang senjata, adalah satu-satunya jalan keluar dari lingkaran kekerasan yang mematikan ini.

Masyarakat internasional, terutama PBB dan Uni Afrika, memiliki tanggung jawab berkelanjutan untuk memediasi proses ini. Namun, Libia harus mengambil alih kendali atas nasibnya sendiri. Ketika matahari terbenam di atas reruntuhan Romawi di Leptis Magna dan gurun yang luas di Fezzan, penduduk Libia menunggu untuk melihat apakah fajar kebangkitan akan segera tiba, mengakhiri malam panjang kekacauan.