Leukoma adalah istilah medis yang digunakan untuk menggambarkan opasitas kornea yang padat, permanen, dan berwarna putih. Kondisi ini merupakan sekuel atau akibat akhir dari peradangan, infeksi, atau trauma parah yang menyebabkan kerusakan struktur kolagen kornea yang tidak dapat diperbaiki. Kornea normal berfungsi sebagai jendela mata yang jernih, memungkinkan cahaya masuk dan dibiaskan secara sempurna ke retina. Ketika leukoma terjadi, kejernihan ini hilang, mengakibatkan penurunan tajam penglihatan, atau bahkan kebutaan total, tergantung pada ukuran dan lokasi lesi.
Opasitas kornea akibat leukoma menempati posisi signifikan sebagai salah satu penyebab kebutaan yang dapat dicegah di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Kerusakan jaringan yang mendasari leukoma melibatkan penggantian stroma kornea yang teratur dengan jaringan parut fibrosa yang tidak teratur. Jaringan parut ini menghalangi lintasan cahaya, sehingga mengganggu fungsi visual secara fundamental.
Penting untuk dipahami bahwa leukoma bukanlah suatu penyakit aktif, melainkan bekas luka permanen yang ditinggalkan oleh kondisi patologis sebelumnya, seperti ulkus kornea yang parah, keratitis, atau trauma kimia dan fisik yang signifikan. Penatalaksanaan leukoma berfokus pada restorasi kejernihan visual, yang sering kali membutuhkan intervensi bedah kompleks.
Pembentukan leukoma selalu didahului oleh kerusakan berat pada epitel kornea dan stroma. Proses penyembuhan luka kornea, alih-alih meregenerasi jaringan transparan yang asli, malah menghasilkan fibrosis, yang manifestasinya adalah leukoma.
Ini adalah penyebab paling umum dari leukoma. Infeksi bakteri, jamur, virus, atau protozoa dapat menyebabkan ulkus kornea yang dalam. Respon inflamasi yang intens merusak stroma, dan penyembuhan selanjutnya meninggalkan bekas luka padat.
Cedera fisik langsung, benda asing yang tertanam, atau luka tembus pada kornea dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut. Trauma kimia, terutama paparan alkali (basa) seperti pembersih saluran air, sangat merusak. Bahan alkali menembus kornea dengan cepat, menyebabkan kerusakan kolagen yang luas dan ireversibel, seringkali menghasilkan leukoma yang luas dan berbatas tegas.
Kondisi inflamasi kronis yang tidak menular juga berkontribusi:
Ketika kornea terluka, sel-sel stroma (keratosit) berubah menjadi miofibroblas. Miofibroblas ini mulai menghasilkan kolagen yang berbeda dari kolagen stroma kornea normal. Kornea normal memiliki kisi-kisi serat kolagen yang sangat teratur dan seragam, yang merupakan kunci transparansinya. Sebaliknya, jaringan parut leukoma terdiri dari serat kolagen yang tidak teratur, diameter yang bervariasi, dan jarak antar serat yang tidak konsisten. Ketidakteraturan ini menyebabkan hamburan cahaya alih-alih transmisi langsung, yang secara visual dimanifestasikan sebagai opasitas putih.
Leukoma diklasifikasikan berdasarkan kepadatan dan batas parut. Klasifikasi ini sangat penting karena memengaruhi tingkat penurunan penglihatan dan menentukan pilihan terapi, terutama keputusan bedah.
Ini adalah bentuk opasitas paling ringan. Parut bersifat halus, seperti kabut (nebula), dan tidak berbatas tegas. Parut ini terutama terletak di lapisan Bowman dan stroma superfisial. Jika terletak jauh dari sumbu visual (di perifer), penglihatan mungkin tidak terlalu terpengaruh. Namun, jika sentral, meskipun ringan, dapat menyebabkan hamburan cahaya yang signifikan dan penurunan tajam penglihatan.
Opasitas ini lebih padat dan lebih jelas daripada nebular, dengan batas yang dapat dibedakan. Macular leukoma melibatkan stroma yang lebih dalam. Penurunan penglihatan bervariasi, tetapi biasanya lebih parah daripada nebular. Parut ini tampak seperti bercak putih yang padat di tengah kornea.
Ini adalah bentuk paling parah. Leukoma padat melibatkan seluruh ketebalan stroma. Opasitasnya berwarna putih kapur, sangat padat, dan buram total, seringkali meluas hingga limbus (batas kornea dan sklera). Leukoma padat di sumbu visual menyebabkan kebutaan fungsional.
Leukoma Adheren adalah leukoma padat yang memiliki ciri khas perlekatan iris ke bagian belakang kornea pada lokasi parut (disebut anterior synechiae). Ini terjadi ketika ulkus kornea menembus stroma dan mencapai ruang anterior, menyebabkan iris bersentuhan dan menempel pada area ulkus yang sembuh. Kondisi ini secara struktural lebih rumit dan dapat meningkatkan risiko glaukoma sekunder.
Gejala utama leukoma terkait langsung dengan tingkat opasitas dan lokasinya:
Alat utama untuk diagnosis. Pemeriksaan slit lamp memungkinkan dokter mata melihat detail arsitektur kornea. Dokter dapat menilai:
Meskipun parut yang padat menyulitkan pengukuran, keratometri dan topografi membantu menilai kelengkungan kornea yang tersisa dan derajat astigmatisme ireguler yang mungkin disebabkan oleh leukoma. Informasi ini vital untuk perencanaan bedah refraktif atau keratoplasti.
Mengukur ketebalan kornea. Area leukoma seringkali lebih tebal daripada kornea normal karena penumpukan jaringan parut dan edema kronis.
Digunakan untuk menilai kepadatan dan kesehatan sel endotel. Kerusakan endotel (lapisan sel di bagian belakang kornea yang memompa cairan keluar) adalah faktor prognosis penting sebelum transplantasi kornea.
Untuk memahami mengapa leukoma begitu resisten terhadap pengobatan non-invasif, kita harus menyelam ke tingkat seluler dan molekuler. Proses penyembuhan luka kornea yang mengarah ke leukoma adalah proses yang kompleks dan terprogram, tetapi sayangnya, menghasilkan struktur yang tidak berfungsi secara optik.
Stroma kornea sebagian besar terdiri dari keratosit yang tenang. Ketika terjadi kerusakan, keratosit di sekitar luka mengalami apoptosis (kematian sel terprogram) atau berubah bentuk (transformasi). Transformasi ini menghasilkan miofibroblas. Miofibroblas adalah sel yang agresif secara kontraktil dan sintetik. Mereka menghasilkan matriks ekstraseluler (MEC) yang baru, termasuk kolagen tipe I, III, dan V, serta molekul-molekul seperti fibronektin.
Perbedaan penting antara keratosit dan miofibroblas adalah ekspresi Alpha-Smooth Muscle Actin (α-SMA). Miofibroblas mengekspresikan α-SMA, yang memungkinkan mereka untuk menarik tepi luka dan menyebabkan kontraksi. Namun, penarikan ini, bersama dengan produksi MEC yang tidak teratur, menghasilkan jaringan parut yang padat. Transparansi kornea membutuhkan kolagen yang terorganisir dalam kisi yang tepat; miofibroblas menghasilkan kolagen yang acak, menyebabkan opasitas permanen.
Proses ini didorong oleh berbagai sitokin dan faktor pertumbuhan, seperti TGF-beta (Transforming Growth Factor beta), yang merupakan pemicu utama transformasi keratosit menjadi miofibroblas dan sintesis jaringan parut.
Karena leukoma adalah jaringan parut permanen, pengobatan medis (obat tetes atau oral) biasanya tidak dapat mengembalikan kejernihan kornea. Fokus utama penatalaksanaan adalah restorasi penglihatan melalui intervensi bedah.
Pendekatan ini terbatas pada kasus leukoma yang sangat ringan atau pada pasien yang tidak memenuhi syarat untuk operasi.
Keratoplasti adalah prosedur standar emas untuk leukoma yang menyebabkan gangguan visual yang signifikan. Tujuannya adalah mengganti kornea yang buram dengan kornea donor yang jernih.
PK melibatkan penggantian seluruh ketebalan kornea pasien dengan kornea donor yang berukuran sama. Ini adalah pilihan terbaik untuk leukoma yang sangat padat, melibatkan seluruh stroma, atau jika terdapat kerusakan parah pada endotel.
DALK adalah prosedur di mana hanya stroma kornea yang buram yang dilepas dan diganti, sementara lapisan Descemet dan sel endotel pasien dibiarkan utuh. Ini adalah pilihan yang ideal jika leukoma melibatkan stroma tetapi sel endotel pasien sehat.
Meskipun transplantasi kornea sangat efektif untuk mengobati leukoma, prosedur ini bukannya tanpa tantangan dan risiko pasca-operatif yang harus dikelola secara ketat.
Ini adalah komplikasi paling serius. Penolakan terjadi ketika sistem kekebalan tubuh pasien mengenali kornea donor (graft) sebagai benda asing dan menyerangnya. Penolakan dapat bersifat epitel, stromal, atau (yang paling merusak) endotel.
Ketegangan yang tidak merata pada jahitan transplantasi kornea sering menyebabkan astigmatisme yang tinggi dan ireguler, bahkan jika graft jernih. Manajemen astigmatisme mungkin memerlukan penyesuaian jahitan, pelepasan jahitan selektif, atau prosedur refraktif tambahan.
Glaukoma (peningkatan tekanan intraokular/TIO) sering terjadi setelah PK, terutama pada kasus leukoma yang disebabkan oleh trauma atau inflamasi kronis yang sudah merusak sudut drainase mata. Peningkatan TIO dapat merusak saraf optik, bahkan jika kornea tetap jernih. Manajemen glaukoma pasca-keratoplasti sering membutuhkan obat-obatan TIO atau, dalam kasus parah, operasi glaukoma.
Pasien dengan riwayat leukoma infeksius (terutama herpes) harus tetap waspada. Penggunaan steroid pasca-operasi (yang diperlukan untuk mencegah penolakan) dapat mengaktifkan kembali infeksi virus laten.
Leukoma adheren (adherent leukoma) menimbulkan tantangan bedah yang jauh lebih besar daripada leukoma biasa karena adanya sinekia anterior (perlekatan iris ke kornea). Sinekia ini harus diatasi sebelum transplantasi dapat berhasil.
Ketika ulkus menembus kornea, aqueous humor bocor, dan iris bergerak ke depan, menempel pada lubang kornea. Jaringan iris kemudian menjadi tertanam dalam jaringan parut. Adhesi ini tidak hanya mengganggu penglihatan tetapi juga merusak struktur normal sudut drainase mata, meningkatkan risiko glaukoma sekunder.
Sebelum atau selama keratoplasti, sinekia anterior harus dipisahkan (sinekialisis). Ini adalah prosedur yang sangat halus. Pemisahan iris dari kornea harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari perdarahan hebat dari pembuluh darah iris (iris rubeosis) atau kerusakan pada lensa. Dalam beberapa kasus, bagian iris yang rusak atau melekat terlalu erat mungkin perlu dipotong (iridektomi perifer atau sektoral).
Seringkali, leukoma adheren menyebabkan pupil tertarik ke arah parut (pupil ektopik). Setelah parut dilepas, pupil mungkin perlu direposisi secara bedah (pupiloplasti) untuk mengembalikan bentuk yang lebih sentral dan fungsional, memaksimalkan potensi visual graft yang baru.
Mengingat bahwa leukoma adalah sekuel dari kerusakan, pencegahan adalah strategi paling efektif untuk mengurangi beban kebutaan akibat kondisi ini.
Permintaan akan kornea donor jauh melebihi pasokan di seluruh dunia, menciptakan daftar tunggu yang panjang, terutama di negara-negara dengan insiden leukoma infeksius yang tinggi. Masalah ini diperparah oleh infrastruktur bank mata yang terbatas, biaya operasi yang tinggi, dan kurangnya tenaga ahli bedah kornea.
Oleh karena itu, di banyak bagian dunia, leukoma tetap menjadi penyebab kebutaan yang dapat dihindari, bukan karena kurangnya teknologi pengobatan, tetapi karena hambatan sosioekonomi dan kurangnya akses terhadap transplantasi kornea yang tepat waktu.
Penelitian terus berlanjut untuk mencari alternatif selain transplantasi kornea donor, yang seringkali sulit didapat dan berisiko ditolak.
Untuk pasien yang telah mengalami kegagalan transplantasi kornea berulang atau yang memiliki kondisi permukaan mata yang parah (misalnya, luka bakar kimia yang luas), keratoprostesis (KPro) atau kornea buatan dapat menjadi pilihan. Boston KPro Tipe 1 adalah yang paling umum. Meskipun memiliki risiko komplikasi (glaukoma, infeksi), KPro memberikan solusi penglihatan yang seringkali dramatis bagi pasien yang tidak punya harapan lain.
Salah satu area penelitian paling menjanjikan adalah penggunaan terapi sel punca. Jika leukoma bersifat superfisial dan epitel serta sel limbal rusak (misalnya pada luka bakar), transplantasi sel punca limbal (LSCpT) dapat mengembalikan permukaan mata yang sehat, yang mungkin dapat menunda atau menghindari transplantasi stroma (keratoplasti).
Penelitian farmakologis bertujuan untuk menemukan obat yang dapat mengganggu transformasi keratosit menjadi miofibroblas pasca-luka. Obat anti-fibrotik, jika berhasil dikembangkan dan diterapkan secara topikal setelah trauma, berpotensi mencegah pembentukan leukoma di tempat pertama.
Leukoma yang dihasilkan berbeda karakteristiknya tergantung pada etiologi awalnya. Memahami penyebab ini membantu dalam manajemen pasca-operatif.
Keratitis HSV sering menyebabkan leukoma melalui mekanisme yang disebut keratitis stroma nekrotik atau keratitis diskiformis. Keratitis HSV bersifat residif (kambuh). Setiap episode inflamasi menyebabkan kerusakan kolagen stroma yang progresif. Leukoma yang dihasilkan seringkali disertai dengan neovaskularisasi (pembuluh darah baru) yang tumbuh dari limbus ke dalam kornea. Neovaskularisasi ini meningkatkan risiko penolakan transplantasi secara signifikan, karena membawa sel-sel imun ke graft.
Manajemen jangka panjang bagi pasien ini harus selalu mencakup profilaksis antivirus, bahkan setelah transplantasi kornea, untuk mencegah kambuhnya HSV yang dapat merusak graft.
Luka bakar alkali, seperti yang disebabkan oleh natrium hidroksida, sangat merusak. Alkali menyabunkan membran sel dan menembus jauh ke dalam mata, menyebabkan kerusakan kolagen yang parah dan terus menerus. Leukoma akibat trauma alkali biasanya tebal, meluas, dan seringkali terkait dengan defisiensi sel punca limbal. Hal ini menyebabkan kegagalan epitel untuk sembuh dan kornea menjadi rapuh. Leukoma jenis ini sering memerlukan pendekatan bedah yang bertahap, termasuk transplantasi sel punca limbal sebelum atau bersamaan dengan keratoplasti.
Infeksi jamur, terutama Fusarium atau Aspergillus, menghasilkan enzim yang sangat merusak dan penetrasi hifa yang mendalam. Leukoma jamur seringkali lebih padat dan lebih tebal daripada leukoma bakteri. Jaringan parut ini mungkin masih mengandung sisa-sisa jamur yang tidak aktif. Transplantasi kornea dalam kasus ini memerlukan penghapusan hati-hati semua jaringan yang terinfeksi dan penggunaan antijamur sistemik dan topikal pasca-operatif yang diperpanjang untuk mencegah kekambuhan infeksi pada graft.
Tujuan utama mengobati leukoma adalah mengembalikan ketajaman visual. Namun, bahkan setelah transplantasi kornea yang berhasil, pasien jarang mencapai penglihatan 20/20 yang sempurna. Kualitas visual ditentukan oleh beberapa faktor residual.
Transplantasi kornea menggantikan jaringan yang rusak, tetapi proses penyembuhan luka dan ketegangan benang jahit yang bervariasi hampir selalu menyebabkan astigmatisme ireguler. Astigmatisme ini tidak dapat sepenuhnya dikoreksi dengan kacamata standar.
Sel endotel yang ditransplantasikan akan mengalami kehilangan sel seiring waktu, yang merupakan proses normal penuaan graft. Kecepatan kehilangan sel ini menentukan umur panjang graft. Ketika kepadatan sel jatuh di bawah ambang kritis, graft akan mulai mengalami dekompensasi (kegagalan pompa), menyebabkan edema dan leukoma sekunder (graft yang buram).
Pengelolaan jangka panjang leukoma yang telah ditransplantasi memerlukan pemantauan teratur terhadap kepadatan sel endotel menggunakan spekular mikroskopi.
Keberhasilan jangka panjang transplantasi sangat bergantung pada kualitas jaringan donor. Kornea donor harus berasal dari individu yang sehat, disimpan dalam larutan yang sesuai, dan memiliki kepadatan sel endotel yang optimal. Kornea dari donor yang lebih tua mungkin memiliki risiko kegagalan yang sedikit lebih tinggi dalam jangka panjang dibandingkan kornea dari donor muda, meskipun kornea dari segala usia dapat digunakan secara efektif.
Penting untuk membedakan leukoma (parut padat) dari jenis opasitas kornea lain, yang mungkin memerlukan penanganan yang berbeda.
Istilah ini kadang digunakan secara bergantian, tetapi nebel umumnya merujuk pada opasitas yang sangat ringan dan superfisial, seringkali akibat distorsi lapisan Bowman atau cedera epitel ringan. Nebel seringkali memiliki potensi visual yang lebih baik dan mungkin tidak memerlukan intervensi bedah.
Dystrophy adalah kelainan genetik bilateral yang menyebabkan akumulasi bahan abnormal di berbagai lapisan kornea, menyebabkan opasitas progresif. Contohnya termasuk Dystrophy Lattice, Dystrophy Macular, dan Dystrophy Granular. Meskipun menghasilkan opasitas, etiologinya genetik, bukan infeksius atau traumatik, sehingga manajemennya berbeda (sering memerlukan keratoplasti ketika opasitas menjadi mengganggu).
Edema kornea, seperti yang terlihat pada Keratopati Bullous (kegagalan endotel), menyebabkan kornea terlihat buram kebiruan atau kelabu, tetapi ini disebabkan oleh penumpukan cairan, bukan jaringan parut. Jika endotel gagal, penglihatan menurun drastis. Penanganan edema yang disebabkan oleh kegagalan endotel memerlukan jenis transplantasi yang berbeda, yaitu Endothelial Keratoplasty (DSEK/DSAEK/DMEK), di mana hanya lapisan belakang kornea yang diganti.
Jika leukoma (parut stroma) disertai edema (kegagalan endotel), seringkali dibutuhkan PK (transplantasi tembus) karena kerusakan melibatkan kedua lapisan.
Kebutaan parsial atau total akibat leukoma, terutama jika terjadi pada usia produktif, memiliki dampak besar tidak hanya secara fisik tetapi juga psikologis, sosial, dan ekonomi.
Hilangnya penglihatan sentral mengurangi kemandirian. Pasien mungkin kesulitan membaca, mengemudi, atau melakukan tugas-tugas yang membutuhkan ketelitian. Jika leukoma bersifat bilateral, dampak disabilitasnya sangat parah.
Leukoma padat yang besar menciptakan bintik putih yang terlihat jelas. Meskipun fokus utama adalah fungsi visual, aspek kosmetik juga penting. Stigma sosial, terutama di beberapa budaya, dapat menyebabkan isolasi, kecemasan, dan depresi. Dalam kasus di mana potensi visual hilang, keratopigmentasi (tato kornea) menjadi intervensi kosmetik yang penting untuk meningkatkan citra diri pasien.
Pasien yang menjalani transplantasi kornea membutuhkan dukungan psikologis dan rehabilitasi visual yang ekstensif. Proses pemulihan yang panjang, risiko penolakan yang berkelanjutan, dan kebutuhan akan obat-obatan topikal yang teratur dapat membebani pasien dan keluarga. Program rehabilitasi bertujuan memaksimalkan penggunaan penglihatan residual dan adaptasi terhadap kebutuhan visual baru, termasuk pelatihan penggunaan alat bantu visual rendah.
Manajemen pasca-operatif transplantasi kornea untuk leukoma sangat bergantung pada penggunaan obat-obatan untuk mencegah penolakan dan mengendalikan peradangan.
Ini adalah garis pertahanan utama melawan penolakan. Steroid (seperti Dexamethasone atau Prednisolone acetate) digunakan dalam dosis tinggi segera setelah operasi dan secara bertahap dikurangi selama periode 6 bulan hingga 1 tahun, atau bahkan lebih lama jika risiko penolakan tinggi.
Risiko Steroid: Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi sekunder, terutama glaukoma (steroid-induced glaucoma) dan katarak. Pengawasan tekanan intraokular dan lensa kristalina pasien sangat krusial selama fase ini.
Untuk kasus berisiko tinggi (seperti leukoma dengan neovaskularisasi luas, atau kegagalan graft sebelumnya), agen imunosupresif non-steroid topikal (seperti Siklosporin A atau Tacrolimus) dapat ditambahkan untuk mengurangi ketergantungan pada steroid atau sebagai terapi utama penolakan.
Kornea yang sangat divaskularisasi (banyak pembuluh darah) memiliki risiko penolakan 5 hingga 10 kali lebih tinggi. Untuk mengurangi risiko ini, agen anti-VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor), seperti Bevacizumab, dapat disuntikkan di sekitar kornea atau digunakan topikal sebelum transplantasi untuk "menenangkan" pembuluh darah yang meradang, menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk graft.
Pasien leukoma yang telah menjalani transplantasi harus menyadari bahwa ini adalah komitmen seumur hidup. Pemeriksaan mata tahunan, penggunaan obat tetes harian (terkadang selama bertahun-tahun), dan kewaspadaan terhadap tanda-tanda penolakan (seperti berkabutnya penglihatan atau kemerahan mendadak) adalah hal wajib. Kegagalan untuk mematuhi regimen obat adalah penyebab umum kegagalan graft.
Leukoma kornea merupakan manifestasi jaringan parut yang padat akibat kerusakan ireversibel pada stroma kornea, yang berasal dari etiologi infeksius, trauma, atau peradangan kronis. Kondisi ini secara substansial mengurangi kejernihan optik dan merupakan penyebab kebutaan yang serius.
Meskipun pencegahan melalui penanganan infeksi dan perlindungan mata tetap menjadi prioritas utama, penatalaksanaan definitif untuk leukoma yang signifikan adalah melalui keratoplasti, baik tembus (PK) atau lamellar (DALK). Keberhasilan transplantasi tidak hanya bergantung pada keterampilan bedah tetapi juga pada manajemen pasca-operatif yang cermat, terutama dalam hal pengendalian penolakan dan komplikasi sekunder seperti glaukoma dan astigmatisme ireguler.
Prospek masa depan cerah dengan perkembangan keratoprostesis dan terapi regeneratif sel punca, menawarkan harapan baru bagi pasien yang tidak mendapatkan manfaat dari transplantasi konvensional. Pemahaman mendalam tentang patogenesis leukoma, klasifikasinya, dan strategi penatalaksanaan multidisiplin adalah kunci untuk memulihkan fungsi visual dan meningkatkan kualitas hidup pasien yang terdampak.