Leher rahim, atau dikenal sebagai serviks uteri, adalah struktur vital dalam sistem reproduksi wanita yang sering kali luput dari perhatian hingga timbulnya masalah kesehatan serius. Ia berfungsi sebagai gerbang penghubung antara rahim (uterus) dan vagina. Perannya sangat krusial, tidak hanya dalam proses menstruasi dan konsepsi, tetapi juga dalam melindungi organ internal selama kehamilan dan memfasilitasi persalinan. Memahami anatomi, fungsi, dan risiko penyakit yang mengintai leher rahim adalah langkah pertama dalam menjaga kesehatan reproduksi secara menyeluruh.
Artikel mendalam ini akan mengupas tuntas seluk-beluk leher rahim, mulai dari struktur mikroskopisnya yang kompleks hingga ancaman kesehatan paling umum yang dihadapinya—Kanker Leher Rahim—dan bagaimana kemajuan ilmu kedokteran telah merevolusi cara kita mendeteksi, mencegah, dan mengobatinya.
Leher rahim adalah bagian bawah dan sempit dari rahim yang menonjol ke dalam vagina. Strukturnya padat, terdiri dari jaringan fibromuskular, dan secara keseluruhan memiliki panjang sekitar 2,5 hingga 4 sentimeter pada wanita tidak hamil.
Secara anatomis, leher rahim terbagi menjadi dua bagian utama:
Pusat perhatian utama dalam kesehatan leher rahim adalah Zona Transformasi (ZT). Zona ini adalah perbatasan dinamis tempat kedua jenis epitel—epitel skuamosa dari ektoserviks dan epitel kolumnar dari endoserviks—bertemu. Titik pertemuan ini dikenal sebagai Sambungan Skuamokolumnar (SSK) atau *Squamocolumnar Junction*.
Pada masa pubertas dan selama kehamilan, terjadi proses yang disebut metaplasia skuamosa, di mana epitel kolumnar mulai bertransformasi menjadi epitel skuamosa baru untuk beradaptasi dengan lingkungan asam vagina. Proses perubahan seluler inilah yang membuat Zona Transformasi menjadi area yang sangat rentan terhadap infeksi Human Papillomavirus (HPV) dan tempat asal mula (genesis) hampir 90% Kanker Leher Rahim.
Ilustrasi Skematis Leher Rahim
Leher rahim bukanlah organ statis; ia berubah sepanjang siklus menstruasi dan terutama selama kehamilan. Perubahan ini terutama diatur oleh fluktuasi hormon estrogen dan progesteron:
Meskipun Kanker Leher Rahim adalah perhatian utama, beberapa kondisi non-ganas juga sering terjadi dan memerlukan diagnosis yang tepat.
Servisitis adalah peradangan pada leher rahim, sering kali disebabkan oleh infeksi menular seksual (IMS) seperti klamidia, gonore, atau trichomoniasis, atau infeksi non-seksual seperti Vaginosis Bakterialis. Servisitis akut biasanya menunjukkan gejala yang jelas, termasuk keputihan abnormal, pendarahan setelah hubungan seksual, atau nyeri panggul. Servisitis kronis, di sisi lain, mungkin asimtomatik namun menyebabkan perubahan seluler yang harus dipantau.
Polip serviks adalah pertumbuhan jinak yang umum terjadi, berasal dari mukosa endoserviks. Polip biasanya berwarna merah cerah atau keunguan, rapuh, dan dapat menyebabkan pendarahan ringan, terutama setelah berhubungan seksual atau di antara periode menstruasi. Meskipun hampir selalu jinak, polip harus diangkat dan diperiksa (biopsi) untuk memastikan tidak ada perubahan ganas yang tersembunyi.
Ektropion terjadi ketika lapisan epitel kolumnar (yang seharusnya berada di dalam saluran serviks) tumbuh keluar ke permukaan ektoserviks. Karena epitel kolumnar lebih tipis dan lebih vaskular (banyak pembuluh darah), ektropion dapat menyebabkan leher rahim terlihat merah dan meradang, seringkali mengakibatkan peningkatan keputihan dan pendarahan kontak. Ektropion adalah kondisi normal, terutama pada remaja, wanita yang mengonsumsi pil KB, atau wanita hamil, dan biasanya tidak memerlukan pengobatan kecuali gejala pendarahan sangat mengganggu.
Kanker Leher Rahim (KLR), atau Kanker Serviks, adalah jenis kanker yang berasal dari sel-sel serviks. KLR memiliki kekhasan yang membuatnya berbeda dari banyak jenis kanker lainnya: ia hampir sepenuhnya disebabkan oleh agen infeksi, yaitu Human Papillomavirus (HPV).
Secara ilmiah, lebih dari 99% kasus Kanker Leher Rahim dikaitkan dengan infeksi HPV yang persisten. HPV adalah virus yang sangat umum, ditularkan melalui kontak kulit ke kulit, terutama saat aktivitas seksual. Ada lebih dari 100 jenis (tipe) HPV, tetapi hanya sekitar 14 tipe yang dianggap "berisiko tinggi" (oncogenic), dengan tipe 16 dan 18 bertanggung jawab atas sekitar 70% hingga 80% kasus KLR secara global.
Infeksi HPV umumnya terjadi pada Zona Transformasi (ZT). Sebagian besar infeksi HPV akan dibersihkan oleh sistem kekebalan tubuh dalam waktu 6 hingga 24 bulan tanpa menimbulkan gejala. Namun, jika infeksi HPV berisiko tinggi ini menetap (persisten) di sel-sel serviks, DNA virus mulai mengganggu siklus pertumbuhan sel inang. Proses dari infeksi awal hingga perkembangan kanker invasif biasanya memakan waktu antara 10 hingga 20 tahun.
Sebelum sel-sel menjadi kanker invasif, mereka melewati tahap perubahan prakanker, yang dikenal sebagai Neoplasia Intraepitel Serviks (CIN) atau Lesi Intraepitel Skuamosa (SIL):
Diagnosis dan pengobatan pada tahap CIN 2 atau CIN 3 sangat penting karena pada titik ini, penyakit masih dapat disembuhkan total dengan prosedur minimal, jauh sebelum mencapai tahap kanker invasif.
Meskipun HPV adalah prasyarat, beberapa faktor risiko dapat meningkatkan kemungkinan infeksi HPV menjadi persisten dan berkembang menjadi kanker:
Salah satu tantangan terbesar Kanker Leher Rahim adalah sifatnya yang asimtomatik pada tahap awal. Ini menekankan pentingnya skrining rutin. Gejala biasanya muncul hanya ketika penyakit telah berkembang ke tahap yang lebih lanjut (invasif).
Sistem klasifikasi yang paling umum digunakan adalah sistem FIGO (Federation Internationale de Gynécologie et d’Obstétrique). Staging menentukan sejauh mana kanker telah menyebar, yang sangat penting untuk memilih regimen pengobatan.
Berikut rincian mendalam dari FIGO Staging untuk Kanker Serviks:
Kanker Leher Rahim adalah salah satu kanker yang paling dapat dicegah. Strategi pencegahan dibagi menjadi pencegahan primer (vaksinasi) dan pencegahan sekunder (skrining).
Pengembangan vaksin HPV merupakan tonggak sejarah dalam pencegahan kanker. Vaksin ini bekerja dengan memicu sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan antibodi terhadap tipe HPV berisiko tinggi (terutama tipe 16 dan 18). Program vaksinasi yang efektif memiliki potensi untuk mengeliminasi Kanker Leher Rahim sebagai masalah kesehatan masyarakat di masa depan.
Ada beberapa jenis vaksin (bivalen, kuadrivalen, nonavalen), yang mencakup perlindungan terhadap tipe 16 dan 18, serta tipe 6 dan 11 yang menyebabkan kutil kelamin. Vaksinasi idealnya diberikan sebelum individu aktif secara seksual, yaitu pada usia 9 hingga 14 tahun, namun juga dapat diberikan hingga usia 26 tahun atau bahkan lebih, tergantung pedoman negara.
Skrining bertujuan untuk mendeteksi lesi prakanker (CIN) yang dapat diobati sebelum menjadi invasif. Skrining rutin adalah perlindungan terbaik bagi wanita yang mungkin belum divaksinasi atau yang telah melampaui usia vaksinasi ideal.
Pap Smear telah menjadi standar emas selama puluhan tahun. Prosedur ini melibatkan pengambilan sampel sel dari ektoserviks dan endoserviks (menggunakan spatula dan sikat kecil) untuk diperiksa di bawah mikroskop. Tujuannya adalah mencari perubahan seluler abnormal atau atipikal (displasia).
Tes HPV DNA telah menggantikan atau digunakan bersama Pap Smear di banyak negara maju. Tes ini mencari keberadaan materi genetik (DNA) dari tipe HPV berisiko tinggi. Keunggulannya adalah mendeteksi penyebab fundamental kanker, bukan hanya efeknya pada sel.
Di negara-negara berpenghasilan rendah di mana akses ke laboratorium sitologi terbatas, VIA adalah metode skrining yang cepat dan biaya-efektif. Dokter atau bidan mengoleskan larutan asam asetat (cuka) pada leher rahim; jika ada lesi prakanker, area tersebut akan memutih (acetowhite), dan pengobatan dapat dilakukan saat itu juga (*Screen-and-Treat*).
Jika hasil skrining menunjukkan adanya kelainan (Pap Smear abnormal atau Tes HPV positif persisten), pasien akan dirujuk untuk prosedur diagnostik lanjutan:
Kolposkopi adalah prosedur di mana dokter menggunakan mikroskop berdaya rendah (kolposkop) untuk melihat leher rahim secara visual dengan pembesaran. Dengan menggunakan asam asetat dan larutan Lugol (yodium), dokter dapat mengidentifikasi area abnormal, memetakan Zona Transformasi, dan memutuskan di mana lokasi terbaik untuk melakukan biopsi.
Sampel kecil jaringan diambil dari area yang terlihat mencurigakan selama kolposkopi. Jaringan kemudian dikirim ke patologi untuk diagnosis definitif (apakah CIN 1, 2, 3, atau kanker invasif).
Pilihan pengobatan sangat bergantung pada stadium penyakit, usia pasien, keinginan untuk mempertahankan kesuburan, dan kondisi kesehatan umum.
Tujuan pengobatan lesi prakanker adalah menghilangkan seluruh jaringan abnormal sambil mempertahankan jaringan serviks sebanyak mungkin.
Pengangkatan sebagian jaringan serviks (LEEP atau konisasi) dapat meningkatkan risiko komplikasi kehamilan di masa depan, seperti inkompetensi serviks atau persalinan prematur. Oleh karena itu, tindak lanjut dan pemantauan obstetri sangat penting bagi pasien yang menjalani prosedur ini.
Penatalaksanaan Kanker Serviks invasif didasarkan pada stadium FIGO, yang menentukan apakah pendekatan bedah (operasi) atau terapi berbasis radiasi dan kemoterapi yang lebih diutamakan.
Pada stadium awal, di mana kanker masih terbatas, pembedahan sering kali merupakan pilihan utama.
Ketika tumor terlalu besar untuk dioperasi atau telah menyebar ke luar serviks (parametrium, dinding panggul), terapi kuratif utama adalah gabungan antara radiasi dan kemoterapi sensitizer.
Pada tahap ini, tujuannya beralih ke perpanjangan hidup dan peningkatan kualitas hidup (perawatan paliatif). Pilihan pengobatan meliputi kemoterapi sistemik berbasis platinum, terapi target (misalnya, bevacizumab), dan imunoterapi (meskipun imunoterapi masih dalam pengembangan dan uji klinis ekstensif untuk KLR).
Kanker Leher Rahim tidak hanya mempengaruhi fisik pasien, tetapi juga memiliki implikasi psikologis dan sosial yang luas, terutama di masyarakat di mana pendidikan kesehatan masih terbatas.
Diagnosis kanker atau bahkan prosedur eksisi prakanker dapat menimbulkan kecemasan dan stigma. Pengobatan intensif (seperti radiasi panggul) dapat menyebabkan komplikasi jangka panjang, termasuk menopause dini, kekeringan vagina, dan perubahan pada fungsi kandung kemih/usus. Hal ini sangat mempengaruhi citra diri, hubungan intim, dan kualitas hidup. Dukungan psikososial, konseling seksual, dan terapi fisik adalah komponen penting dalam perawatan pasca-pengobatan.
Selain itu, ketakutan akan penyebaran HPV—yang merupakan IMS—sering kali menciptakan ketegangan dalam hubungan dan memicu rasa bersalah. Edukasi yang jelas bahwa HPV adalah infeksi umum yang dialami mayoritas orang dewasa (bahkan yang hanya memiliki satu pasangan) sangat penting untuk mengurangi stigma.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan strategi global untuk mengeliminasi Kanker Leher Rahim, yang didefinisikan sebagai insiden kurang dari 4 kasus per 100.000 wanita. Strategi ini berlandaskan pada tiga pilar utama yang memerlukan implementasi skala besar:
Mencapai target ini menghadapi kendala besar di banyak negara, termasuk kurangnya infrastruktur skrining, rantai pasokan vaksin yang tidak stabil, resistensi budaya terhadap vaksinasi anak perempuan, dan kurangnya tenaga kesehatan terlatih untuk kolposkopi dan prosedur bedah.
Peningkatan kesadaran bahwa Kanker Leher Rahim adalah penyakit yang *sepenuhnya dapat dicegah* melalui intervensi yang relatif sederhana (vaksinasi) dan skrining berkala (tes Pap/HPV) adalah inti dari setiap kampanye kesehatan publik yang sukses. Pendidikan harus dimulai sejak dini, menekankan bahwa leher rahim adalah bagian integral dari kesehatan wanita yang memerlukan perawatan dan perhatian berkelanjutan, bukan hanya saat timbul masalah.
Peran leher rahim dalam siklus kehidupan wanita, mulai dari perannya dalam kesuburan, perlindungan kehamilan, hingga hubungannya yang kompleks dengan infeksi HPV, menempatkannya pada posisi yang unik dalam kesehatan reproduksi. Kesinambungan upaya skrining, edukasi publik yang masif, dan program vaksinasi yang kuat merupakan kunci untuk masa depan di mana ancaman Kanker Leher Rahim dapat diatasi secara definitif.
Perkembangan teknologi terus meningkatkan akurasi dan efisiensi penanganan kondisi leher rahim. Memahami detail dari prosedur klinis membantu pasien membuat keputusan yang tepat mengenai perawatan dan tindak lanjut mereka.
LBC adalah evolusi dari Pap Smear konvensional. Dalam LBC, sampel sel dikumpulkan dan segera ditempatkan dalam larutan cair khusus. Metode ini menawarkan sampel yang lebih bersih dan meminimalkan artefak, meningkatkan akurasi diagnostik. Selain itu, sampel LBC dapat digunakan untuk melakukan tes tambahan (refleks testing), seperti Tes HPV DNA, tanpa perlu mengambil sampel ulang dari pasien.
Tidak semua infeksi HPV berisiko tinggi akan berkembang menjadi kanker. Dalam penelitian klinis, fokus telah beralih ke biomarker—penanda biologis—yang dapat memprediksi mana di antara lesi prakanker yang paling mungkin untuk berkembang menjadi kanker invasif.
Salah satu penanda penting adalah protein p16/Ki-67. Ketika HPV mengintegrasikan DNA-nya ke dalam sel inang, ia menghasilkan protein onkogenik (E6 dan E7) yang mengganggu jalur penekan tumor, seperti p53 dan pRB. Peningkatan ekspresi p16 dan Ki-67 (penanda proliferasi sel) dalam biopsi sering kali menjadi indikator yang lebih akurat dari HSIL (CIN 2/3) yang persisten dan memerlukan eksisi, dibandingkan dengan hanya melihat morfologi sel.
Selain kanker, leher rahim memiliki fungsi vital dalam mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks terjadi ketika leher rahim mulai memendek atau membuka tanpa kontraksi (sebelum usia kehamilan 37 minggu), menyebabkan keguguran pada trimester kedua atau persalinan prematur.
Diagnosis CIN atau Kanker Leher Rahim selama kehamilan adalah situasi klinis yang sangat menantang. Lesi prakanker ringan (CIN 1) biasanya hanya dipantau dengan kolposkopi setiap tiga bulan, karena banyak yang akan regresi secara spontan setelah melahirkan. Pengobatan lesi yang lebih parah (CIN 3) atau kanker invasif stadium awal seringkali ditunda hingga setelah persalinan untuk memprioritaskan keselamatan janin, tetapi penundaan ini harus seimbang dengan risiko penyebaran kanker.
Jika didiagnosis Kanker Serviks invasif pada tahap lanjut pada trimester pertama, ada dilema etis dan klinis yang besar; pengobatan kuratif (radiasi/kemoterapi) dapat memerlukan pengakhiran kehamilan. Sebaliknya, jika diagnosis dibuat pada trimester ketiga, persalinan caesar sering dianjurkan, diikuti segera oleh terapi definitif (histerektomi atau kemoradiasi).
Kemoradiasi adalah tulang punggung pengobatan untuk kanker serviks stadium lokal lanjut. Meskipun sangat efektif, penting untuk memahami bagaimana terapi ini bekerja dan dampaknya pada tubuh wanita.
Radiasi (eksternal dan brakiterapi) bekerja dengan merusak DNA sel kanker, mencegahnya bereplikasi. Radiasi eksternal (External Beam Radiation Therapy/EBRT) menargetkan panggul secara luas, termasuk tumor, serviks, dan kelenjar getah bening regional. Brakiterapi (radiasi dosis tinggi yang ditempatkan di dalam serviks/rahim) memberikan dosis boost yang sangat terfokus ke volume tumor, memungkinkan dosis kuratif total dicapai.
Kemoterapi (Cisplatin) diberikan bersamaan dengan EBRT, bukan untuk menghancurkan tumor secara sistemik, melainkan untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radiasi (radiosensitizer). Cisplatin merusak DNA sel, membuat sel-sel tersebut lebih rentan terhadap kerusakan akibat radiasi, sehingga meningkatkan tingkat respons tumor secara dramatis.
Karena radiasi harus menembus jaringan sehat di panggul, komplikasi adalah hal yang tak terhindarkan dan harus dikelola secara proaktif.
Usus besar dan rektum berada di dekat serviks. Radiasi dapat menyebabkan proktitis radiasi akut (peradangan) selama pengobatan. Jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan proktitis kronis, yang ditandai dengan perdarahan rektal, diare kronis, atau pembentukan fistula (saluran abnormal antara rektum dan vagina).
Kandung kemih juga berada di dalam bidang radiasi. Ini dapat menyebabkan sistitis radiasi (nyeri dan sering buang air kecil) dan, dalam kasus yang jarang terjadi, fistula vesikovaginal (saluran antara kandung kemih dan vagina).
Radiasi menyebabkan fibrosis (pembentukan jaringan parut) pada jaringan yang dipancarkan. Vagina menjadi lebih pendek, lebih sempit, dan kehilangan elastisitasnya (stenosis vagina). Ini dapat menyebabkan dispareunia (nyeri saat berhubungan seksual). Pasien yang menjalani radiasi panggul harus menggunakan dilator vagina secara teratur setelah pengobatan selesai untuk mempertahankan fungsi dan panjang vagina.
Pada wanita usia premenopause, radiasi panggul akan menghancurkan ovarium, menyebabkan kegagalan ovarium prematur dan menopause dini. Untuk memitigasi hal ini, wanita muda yang menjalani radiasi kadang-kadang ditawarkan *oophoropexy*—prosedur bedah untuk memindahkan ovarium keluar dari bidang radiasi panggul—meskipun keberhasilannya bervariasi.
Penelitian terus berlanjut untuk membuat pencegahan dan pengobatan Kanker Leher Rahim lebih efektif, kurang invasif, dan lebih terjangkau secara global.
Karena Kanker Leher Rahim disebabkan oleh virus dan sistem kekebalan berperan besar dalam pembersihan HPV, imunoterapi telah menjadi area penelitian utama. Imunoterapi, seperti penghambat pos pemeriksaan (checkpoint inhibitors, mis. anti-PD-1), bertujuan untuk melepaskan ‘rem’ pada sistem kekebalan tubuh, memungkinkannya mengenali dan menyerang sel kanker.
Imunoterapi menunjukkan harapan pada kasus kanker serviks metastatik yang sebelumnya hanya memiliki opsi kemoterapi yang terbatas. Kombinasi imunoterapi dengan kemoterapi konvensional sedang diuji secara luas untuk melihat apakah ini dapat menjadi standar perawatan baru untuk stadium lanjut.
Berbeda dengan vaksin pencegahan (yang mencegah infeksi), vaksin terapeutik bertujuan untuk mengobati infeksi HPV yang sudah ada atau lesi prakanker. Vaksin ini dirancang untuk mengajarkan sistem kekebalan tubuh pasien agar secara spesifik menargetkan protein E6 dan E7 HPV yang mendorong pertumbuhan kanker. Jika berhasil, vaksin terapeutik dapat menggantikan atau mengurangi kebutuhan akan prosedur eksisi invasif seperti LEEP.
Masa depan skrining bergerak menuju tes berbasis molekuler. Self-sampling (pengambilan sampel mandiri) untuk tes HPV DNA memungkinkan wanita di daerah terpencil atau yang enggan mengunjungi klinik untuk melakukan skrining di rumah. Jika tes HPV mandiri positif, barulah pasien dirujuk untuk tindak lanjut klinis. Pendekatan inovatif ini sangat penting untuk meningkatkan cakupan skrining di populasi yang sulit dijangkau.
Mempertimbangkan kompleksitas anatomi leher rahim, peran pentingnya dalam reproduksi, dan risiko kesehatan yang mengintai, sangat jelas bahwa pemahaman dan intervensi medis yang berkelanjutan adalah kunci. Komitmen global terhadap vaksinasi, peningkatan cakupan skrining berbasis HPV, dan pengembangan terapi yang ditargetkan akan menjadi warisan penemuan ilmiah dalam upaya eliminasi Kanker Leher Rahim di seluruh dunia.