Ilustrasi: Melepaskan Beban dengan Kelegaan Hati
Legawa. Satu kata yang kaya akan makna, seringkali disalahartikan sebagai kepasrahan buta atau sikap menyerah tanpa perlawanan. Dalam khazanah filosofi Jawa dan spiritualitas Indonesia, Legawa jauh melampaui konsep tersebut. Legawa adalah seni tertinggi dalam penerimaan: sebuah tindakan sadar, tulus, dan ikhlas dari hati yang lapang, yang membebaskan diri dari belenggu penolakan terhadap kenyataan yang sudah terjadi.
Ini bukanlah tentang menerima kekalahan, melainkan tentang menerima keberadaan. Ia adalah jembatan yang menghubungkan perjuangan keras (ikhtiar) dengan kedamaian batin (ketenangan). Memahami dan menginternalisasi Legawa adalah perjalanan seumur hidup menuju kematangan spiritual dan psikologis yang utuh, memungkinkan individu untuk tetap teguh dan tenang, bahkan di tengah badai kehidupan yang paling hebat sekalipun.
Secara etimologi, kata Legawa berasal dari bahasa Jawa. ‘Lega’ berarti lapang, plong, atau longgar. ‘Wawa’ dapat diartikan sebagai membawa atau menerima. Jadi, Legawa secara literal berarti ‘menerima dengan hati yang lapang’ atau ‘melapangkan dada untuk menerima’. Konsep ini menekankan bahwa penerimaan harus bersifat internal, sukarela, dan hadir dari ruang batin yang bebas dari paksaan atau dendam.
Jika kita menolak suatu kenyataan, misalnya kegagalan proyek, kehilangan orang yang dicintai, atau penyakit yang datang tiba-tiba, batin kita akan menyempit. Penolakan ini menciptakan gesekan internal yang menguras energi dan memicu penderitaan yang tidak perlu. Legawa menawarkan solusi dengan memperluas ruang batin, membuat hati cukup lapang untuk menampung seluruh spektrum realitas, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan.
Salah satu kekeliruan terbesar dalam memahami Legawa adalah menyamakannya dengan kepasrahan atau sikap fatalistik. Perlu digarisbawahi bahwa Legawa hanya dapat dilakukan setelah seseorang mengerahkan seluruh kemampuan dan upayanya (ikhtiar) secara maksimal dan jujur. Ikhtiar adalah fondasi yang wajib dipenuhi. Setelah ikhtiar tuntas, barulah hasilnya, apa pun itu, diterima dengan Legawa.
Jika seseorang tidak berikhtiar namun langsung menerima nasib, itu namanya kemalasan atau apatis, bukan Legawa. Legawa adalah sikap seorang pejuang yang telah berjuang sepenuh hati, lalu mampu melepaskan hasil dari cengkeraman obsesi dan ekspektasi. Ini adalah puncak kedewasaan, di mana seseorang menyadari bahwa kendali terbesar yang dimilikinya bukanlah pada hasil, melainkan pada proses dan respons internalnya.
Penerimaan yang sejati memerlukan integrasi beberapa komponen batin:
Inti dari Legawa adalah transformasi internal: mengubah reaksi penolakan menjadi respons penerimaan. Proses ini mengubah penderitaan (yang merupakan penolakan terhadap kenyataan) menjadi rasa sakit (yang merupakan konsekuensi alami dari kenyataan).
Di era modern yang didominasi oleh keinginan untuk mengontrol segala sesuatu—mulai dari citra diri di media sosial, karier yang sempurna, hingga rencana masa depan yang kaku—Legawa berfungsi sebagai penyeimbang yang vital bagi kesehatan mental. Penolakan terhadap hal-hal yang tidak dapat kita ubah adalah sumber utama stres, kecemasan, dan depresi.
Banyak penderitaan manusia bukanlah berasal dari peristiwa eksternal itu sendiri, melainkan dari narasi internal dan perlawanan terhadap peristiwa tersebut. Misalnya, kehilangan pekerjaan adalah peristiwa menyakitkan, tetapi penderitaan muncul ketika kita terus-menerus berkata, "Ini tidak seharusnya terjadi," atau "Saya tidak pantas menerima ini." Narasi penolakan ini mengunci energi mental dalam lingkaran kemarahan dan victimhood.
Legawa memutus rantai ini. Ketika seseorang berkata, "Ya, ini terjadi. Saya merasa sedih, tapi saya menerima kenyataan ini dan sekarang saya akan bergerak maju," energi mental yang tadinya digunakan untuk melawan kenyataan kini dialihkan untuk membangun solusi baru. Ini adalah pelepasan beban yang sangat besar. Kelegaan (Lega) adalah produk sampingan dari penerimaan tulus.
Legawa sangat esensial dalam menjaga kualitas hubungan. Banyak konflik timbul karena penolakan terhadap sifat dasar orang lain, pasangan, atau anggota keluarga yang tidak sesuai dengan cetak biru ideal kita. Kita sering berharap orang lain harus berubah agar kita bahagia.
Praktik Legawa dalam hubungan berarti: Menerima orang lain sebagaimana adanya, tanpa mencoba mengubah mereka, sambil tetap menjaga batasan diri yang sehat. Ini tidak berarti membiarkan diri dianiaya, melainkan mengakui bahwa upaya mengubah esensi orang lain adalah sia-sia dan hanya akan membawa frustrasi. Ketika kita menerima ketidaksempurnaan dan perbedaan pasangan dengan lapang dada, kita menciptakan ruang bagi cinta dan pengertian yang lebih autentik.
Kecemasan adalah perlawanan terhadap masa depan yang belum terjadi, ketakutan akan hasil yang tidak diinginkan. Legawa mengajarkan bahwa meskipun perencanaan penting, kendali penuh atas masa depan hanyalah ilusi. Dengan menerima ketidakpastian (inheren dalam hidup), kita dapat memfokuskan energi kembali ke momen saat ini (masa kini), yang merupakan satu-satunya waktu di mana tindakan nyata dapat dilakukan.
"Legawa adalah kemampuan untuk berdiri tegak di tengah ketidakpastian, memahami bahwa meskipun kita tidak dapat mengontrol badai, kita dapat mengontrol bagaimana cara kita berlayar melalui badai tersebut."
Ilustrasi: Mencapai Ketenangan di Tengah Arus Kehidupan
Dalam tradisi spiritual dan kearifan lokal, Legawa seringkali ditempatkan dalam satu keranjang dengan Ikhlas, Sabar, dan Pasrah. Meskipun saling berkaitan, Legawa memiliki nuansa tersendiri yang menjadikannya langkah final dalam proses penerimaan.
Ikhlas berfokus pada motivasi di balik tindakan. Ikhlas adalah melakukan sesuatu semata-mata karena alasan yang benar (misalnya, berbuat baik tanpa mengharapkan pujian). Ikhlas adalah kualitas kejujuran hati dalam beramal atau berinteraksi.
Legawa berfokus pada respons terhadap hasil dari tindakan tersebut, terutama ketika hasilnya tidak sesuai harapan. Seseorang bisa saja berikhtiar dengan ikhlas, namun ketika hasilnya buruk, ia masih bisa merasa marah atau kecewa. Legawa adalah ikhlas di tingkat akhir—menerima bahwa meskipun niat (ikhlas) sudah baik, hasil tetap menjadi hak semesta, dan menerimanya tanpa ganjalan.
Sabar adalah daya tahan (endurance) dan keteguhan hati dalam menghadapi cobaan selama proses berlangsung. Sabar adalah menunda reaksi impulsif atau emosional untuk jangka waktu tertentu. Sabar bersifat temporal, terikat pada durasi kesulitan.
Legawa adalah penerimaan permanen dan penuntasan batin ketika proses Sabar telah mencapai titik akhirnya (baik hasil baik maupun buruk). Sabar adalah saat kita menunggu kapal datang; Legawa adalah saat kita menerima kenyataan bahwa kapal mungkin tidak akan pernah datang, dan kita tetap merasa baik-baik saja dan siap berenang. Sabar adalah proses, Legawa adalah status akhir batin.
Pasrah sering diartikan sebagai menyerahkan diri sepenuhnya kepada takdir. Sayangnya, pasrah seringkali disalahgunakan untuk menjustifikasi kemalasan sebelum berikhtiar. Pasrah yang sejati baru relevan setelah ikhtiar maksimal.
Legawa adalah bentuk pasrah yang paling matang, karena ia menyertakan hati yang lapang (lega). Legawa memastikan bahwa penyerahan diri (pasrah) itu tidak hanya di mulut, tetapi benar-benar terasa plong di dada. Pasrah bisa saja dilakukan dengan berat hati; Legawa mustahil dilakukan dengan berat hati. Jika hati terasa berat, itu belum Legawa seutuhnya.
Mencapai Legawa bukanlah peristiwa sekali jadi, melainkan latihan spiritual dan mental yang berkelanjutan. Ini membutuhkan disiplin untuk mengamati reaksi internal diri sendiri terhadap situasi yang tidak terduga. Berikut adalah aplikasi mendalam Legawa dalam berbagai dimensi kehidupan, yang memerlukan refleksi dan praktik yang berulang-ulang untuk mencapai kedalaman yang sejati:
Dunia profesional seringkali mengukur harga diri berdasarkan pencapaian dan status. Kegagalan (seperti pemutusan hubungan kerja, kebangkrutan bisnis, atau penolakan investasi) dapat memicu krisis identitas yang parah. Legawa menawarkan kerangka kerja untuk bangkit tanpa membawa beban kepahitan masa lalu.
Ketika kegagalan terjadi, reaksi instingtif adalah menyalahkan: menyalahkan diri sendiri, orang lain, atau keadaan. Reaksi ini adalah manifestasi penolakan. Untuk mencapai Legawa, kita harus duduk dengan perasaan ini. Legawa bukan berarti mengabaikan rasa sakit; Legawa berarti menerima bahwa rasa sakit adalah guru.
Banyak orang merasa cemas karena mereka tidak dapat mengontrol pasar, ekonomi, atau kesehatan perusahaan mereka. Legawa mengakui bahwa kita hanya memiliki kendali terbatas pada *upaya* (strategi, kerja keras) dan *pengeluaran* (disiplin anggaran). Hasil akhirnya selalu dipengaruhi oleh variabel eksternal yang tak terhitung jumlahnya.
Praktisi Legawa melakukan perencanaan yang matang, tetapi ketika variabel eksternal datang dan menghancurkan rencana itu (misalnya krisis global), mereka tidak melawan kenyataan tersebut. Mereka menerimanya dengan ‘lega’, meminimalkan kerugian emosional, dan segera menyusun rencana B. Waktu yang dihabiskan untuk meratapi hal yang tak terhindarkan adalah waktu yang hilang; Legawa adalah efisiensi emosional tertinggi.
Menerima kenyataan fisik—penyakit kronis, penuaan, atau keterbatasan yang muncul tiba-tiba—seringkali merupakan ujian Legawa yang paling berat. Tubuh adalah hal yang paling intim dengan kita, dan ketika tubuh "mengkhianati" kita, penolakan bisa sangat mendalam.
Penerimaan penyakit atau kondisi fisik dimulai dengan menolak peran korban abadi. Korban hidup dalam narasi "Mengapa ini harus terjadi pada saya?" Legawa mengubah pertanyaan ini menjadi, "Karena ini terjadi pada saya, bagaimana saya dapat hidup sebaik mungkin dalam batasan baru ini?"
Legawa memungkinkan penderita untuk membedakan antara rasa sakit fisik (yang harus dikelola secara medis) dan penderitaan mental (yang timbul dari perlawanan terhadap rasa sakit). Legawa memungkinkan hati untuk merasa lapang meskipun tubuh merasa sempit. Ini adalah pembebasan batin dari penjara kondisi fisik.
Ketika fungsi fisik berkurang, banyak orang merasa identitas mereka ikut berkurang. Legawa menuntun pada pemahaman bahwa esensi diri kita (jiwa, karakter, cinta, dan kebijaksanaan) tidak terikat pada kecepatan lari atau kekuatan fisik. Menerima keterbatasan fisik dengan Legawa adalah proses mencari makna baru dalam dimensi eksistensi yang lebih dalam, yang tidak terpengaruh oleh kerentanan tubuh.
Ini adalah penerimaan bahwa tubuh adalah kapal yang pada akhirnya akan usang, namun kesadaran di dalamnya harus tetap utuh dan damai. Legawa adalah merawat kapal sebaik mungkin sambil menyadari bahwa Anda bukanlah kapal itu.
Kehilangan orang yang dicintai, perpisahan, atau berakhirnya sebuah era adalah pemicu penderitaan batin yang paling universal. Legawa tidak menuntut kita untuk segera "move on" atau tidak merasakan kesedihan; itu adalah pemahaman bahwa kehilangan adalah bagian integral dari cinta.
Duka cita adalah proses yang panjang, dan Legawa bertindak sebagai jangkar. Penolakan terhadap kematian atau ketiadaan mengambil bentuk negosiasi internal ("Seandainya saya melakukan X, dia pasti masih ada"). Legawa datang ketika kita dapat mengatakan, "Ya, dia telah pergi. Kepergian ini menyakitkan, dan rasa sakit ini adalah bukti cinta yang pernah ada, namun kenyataan barunya adalah ketiadaan fisiknya harus diterima."
Penerimaan ini memindahkan fokus dari apa yang hilang ke apa yang tersisa: kenangan, pelajaran hidup, dan kekuatan yang ditemukan dalam melewati proses duka. Hati menjadi lapang untuk menampung duka tanpa tercekik olehnya.
Dalam konteks perpisahan atau perubahan hidup yang drastis, Legawa berarti melepaskan gagasan kaku tentang bagaimana hidup "seharusnya" berjalan pada usia atau tahap tertentu. Kehidupan seringkali tidak linear. Menerima bahwa rencana yang sudah disusun rapi bisa saja dibatalkan oleh takdir dengan lapang dada adalah inti dari Legawa. Ini adalah pelepasan ilusi bahwa kita adalah penulis tunggal dari naskah kehidupan kita.
Tanpa Legawa, perubahan menjadi musuh; dengan Legawa, perubahan menjadi katalisator pertumbuhan. Kemampuan untuk membongkar dan menyusun ulang hidup dengan gembira, meskipun situasinya tidak ideal, adalah tanda dari jiwa yang Legawa.
Menguasai Legawa adalah proses hierarkis. Seseorang tidak bisa langsung mencapai penerimaan tulus tanpa melalui tahap-tahap kesadaran sebelumnya. Proses ini adalah pemurnian batin yang berkelanjutan:
Tahap awal adalah mengenali kapan penolakan itu muncul. Perhatikan pikiran-pikiran seperti, "Saya benci ini," atau "Ini tidak adil." Pengamatan ini harus bebas dari penghakiman. Kita hanya perlu melihat reaksi penolakan batin seolah-olah kita sedang mengamati awan di langit. Tanpa pengamatan ini, Legawa mustahil dicapai karena kita tidak sadar sedang melawan realitas.
Setelah pengamatan, kita namai emosi yang dirasakan (Marah, Sedih, Frustrasi). Validasi adalah mengakui: "Wajar jika saya merasa marah setelah kehilangan ini." Validasi memutus siklus sekunder penderitaan (yaitu, merasa bersalah karena merasa marah). Legawa dimulai dari penerimaan emosi internal sebelum menerima peristiwa eksternal.
Ini adalah titik kritis di mana kita secara sadar memutuskan untuk berhenti melawan kenyataan yang tidak dapat diubah. Ini adalah momen hening di mana kita melepaskan tambatan harapan palsu. Secara mental, kita mengatakan: "Saya tidak suka ini, tetapi saya berhenti berusaha mengubah fakta bahwa ini telah terjadi." Proses ini terasa seperti energi yang tiba-tiba dilepaskan dari otot yang tegang.
Legawa mulai bergerak dari sekadar menghentikan perlawanan menuju adaptasi konstruktif. Kita mulai bertanya: Apa yang harus saya pelajari dari kondisi ini? Bagaimana saya menggunakan energi yang tersisa untuk bergerak maju? Realitas yang diterima dengan Legawa diubah menjadi bahan bakar untuk pertumbuhan, bukan batu sandungan.
Pada tingkat ini, penerimaan tidak lagi terasa seperti sebuah ‘tugas’ atau ‘disiplin’, tetapi menjadi sifat alami. Hasil yang tidak diinginkan tidak lagi menimbulkan gejolak yang parah, melainkan respons yang tenang. Penerimaan datang dengan rasa syukur yang aneh—bersyukur atas kekuatan yang diperlukan untuk melalui cobaan, bukan bersyukur atas cobaan itu sendiri. Hati benar-benar terasa plong (lega).
Legawa menjadi pandangan hidup yang meluas. Seseorang yang telah mencapai tingkat ini tidak hanya Legawa terhadap peristiwa besar, tetapi juga terhadap ketidaknyamanan sehari-hari (macet, janji yang dibatalkan, kesalahan kecil). Mereka beroperasi dari tempat yang aman secara internal, karena mereka tidak lagi mencari keamanan dari kontrol eksternal.
Puncak Legawa, seringkali dicapai oleh para bijak, adalah penerimaan total terhadap misteri dan ketidaksempurnaan alam semesta. Semua peristiwa, baik atau buruk, dipandang sebagai bagian dari tatanan kosmik yang sempurna. Di sini, Legawa menyatu dengan konsep ketenangan abadi, di mana diri pribadi melepaskan tuntutan total atas kebahagiaan berdasarkan kondisi eksternal, dan menemukan kebahagiaan dalam penerimaan itu sendiri.
Seringkali, pencarian makna hidup terhalang oleh obsesi terhadap hasil tertentu (kekayaan, ketenaran, cinta ideal). Legawa membebaskan kita dari obsesi ini, memungkinkan kita untuk menemukan makna di tempat yang tidak terduga.
Legawa mengajarkan bahwa nilai hidup tidak ditentukan oleh seberapa jauh kita bisa berjalan tanpa masalah, tetapi oleh seberapa dalam kita bisa menyelami diri kita saat masalah datang. Ketika kita Legawa terhadap keterbatasan yang ada, kita terdorong untuk berkreasi dalam batasan tersebut. Seniman yang kehilangan penglihatan menemukan medium seni baru; pemimpin yang kalah dalam pertarungan politik menemukan pelayanan sosial yang lebih dalam. Makna ditemukan dalam respons kreatif terhadap kenyataan yang diterima.
Ketahanan sejati bukanlah kemampuan untuk bangkit kembali ke bentuk semula, melainkan kemampuan untuk beradaptasi dan menjadi lebih kuat setelah ditempa. Fondasi dari ketahanan ini adalah Legawa. Seseorang yang Legawa tidak menghabiskan energi untuk meratap, sehingga mereka memiliki cadangan energi yang melimpah untuk rekonstruksi dan inovasi diri. Mereka telah menerima bahwa ‘patah’ adalah bagian dari proses menjadi ‘utuh’ kembali dalam konfigurasi yang lebih kuat.
Legawa menciptakan ruang batin yang stabil, yang tidak terombang-ambing oleh pujian atau kritik, kesuksesan atau kegagalan. Stabilitas ini memungkinkan kita untuk fokus pada esensi kehidupan: berkontribusi, mencintai, dan bertumbuh.
Legawa bukan hanya filosofi pribadi, tetapi juga warisan budaya. Dalam masyarakat yang semakin kompetitif dan menuntut, mengajarkan Legawa kepada generasi muda adalah memberikan mereka perangkat vital untuk mengelola ekspektasi dan kekecewaan. Ini adalah pembelajaran bahwa nilai diri tidak boleh dikontrakkan pada pencapaian eksternal. Warisan Legawa adalah warisan hati yang damai, yang mampu melihat keindahan dan kebijaksanaan bahkan dalam kepahitan.
Anak-anak yang dibesarkan dengan konsep Legawa akan lebih mampu menghadapi penolakan di sekolah, kegagalan dalam karier, dan ketidakadilan dalam hidup tanpa merasa hancur. Mereka tahu bahwa setelah berikhtiar, hasilnya perlu diterima, dan penerimaan itulah yang membebaskan mereka untuk mencoba lagi dengan perspektif yang lebih matang.
Proses panjang yang berkelanjutan untuk mencapai Legawa melibatkan pembersihan ego yang terus-menerus. Ego adalah bagian dari diri kita yang menuntut agar dunia harus menyesuaikan diri dengan keinginan kita. Legawa adalah penaklukan lembut terhadap ego ini. Setiap kali kita merasa marah atau kecewa karena sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, itulah suara ego yang berteriak. Legawa adalah bisikan hati yang berkata, "Biarkan saja. Jalan hidup ini mungkin lebih baik dari yang saya rencanakan." Ini adalah penerimaan terhadap kecerdasan semesta yang lebih besar dari kecerdasan pribadi kita.
Dalam konteks modern yang serba cepat, seringkali kita tergoda untuk mencari solusi cepat bagi masalah batin. Legawa bukan solusi cepat. Legawa adalah gaya hidup. Ia memerlukan jeda, refleksi, dan kerendahan hati. Ketika kita menghadapi keputusan sulit atau situasi yang menyakitkan, berhentilah. Ambil napas dalam-dalam. Tanyakan pada diri sendiri: "Apakah saya sedang melawan kenyataan?" Jika jawabannya ya, langkah pertama adalah melepaskan perlawanan itu, melapangkan dada, dan berkata, "Ya, inilah adanya." Setelah itu, energi kreatif untuk solusi akan muncul secara alami dari ruang hati yang Legawa.
Legawa juga sangat relevan dengan konsep manajemen waktu dan energi. Orang yang tidak Legawa sering terjebak dalam penyesalan masa lalu atau kekhawatiran masa depan. Mereka terus-menerus memutar ulang skenario di kepala mereka, mencoba mengubah sesuatu yang sudah final. Energi ini terbuang sia-sia. Praktisi Legawa, karena telah menerima masa lalu, dapat menginvestasikan 100% energi mental mereka di masa kini. Mereka menjadi pribadi yang sangat efektif, bukan karena mereka tidak pernah gagal, tetapi karena mereka tidak pernah membiarkan kegagalan memenjarakan mereka. Legawa adalah kunci efektivitas spiritual.
Mempertimbangkan dimensi spiritual yang lebih dalam, Legawa adalah pengakuan atas keterbatasan manusia. Kita adalah bagian dari sistem yang jauh lebih besar dan kompleks. Ketika kita berusaha mengontrol setiap detail, kita mengklaim peran yang bukan milik kita. Legawa adalah pengakuan yang rendah hati bahwa meskipun kita bertanggung jawab atas usaha kita, hasil akhir berada di tangan kekuatan yang lebih besar. Pengakuan ini bukan pelemahan, melainkan pembebasan dari beban yang mustahil untuk dipikul: beban menjadi Tuhan atas hidup sendiri.
Fenomena ini dapat diamati dalam seni bela diri atau meditasi. Seorang master bela diri menerima serangan lawan, ia tidak menolak gerakan tersebut; ia mengalir bersamanya untuk membalikkan keadaan. Seorang praktisi meditasi menerima pikiran yang mengganggu; ia tidak melawannya, melainkan mengizinkannya berlalu. Legawa adalah sikap aliran (flow) dalam menghadapi dinamika kehidupan yang terus berubah. Aliran hanya terjadi ketika perlawanan dihentikan.
Penting untuk memahami bahwa proses Legawa juga melibatkan kesabaran terhadap proses Legawa itu sendiri. Akan ada hari-hari di mana penerimaan terasa mudah, dan hari-hari lain di mana hati terasa sempit dan ingin menolak. Legawa dalam konteks ini berarti menerima ketidaksempurnaan praktik kita sendiri. "Saya sedang berjuang untuk Legawa hari ini, dan itu tidak masalah." Pengakuan yang jujur ini mencegah munculnya lapisan frustrasi tambahan karena merasa gagal dalam mencapai penerimaan sempurna.
Legawa yang sejati memancarkan aura ketenangan yang menular. Ketika seseorang berinteraksi dengan orang yang benar-benar Legawa, mereka merasakan kedamaian dan kejelasan. Individu yang Legawa tidak terburu-buru, tidak mudah panik, dan memberikan nasihat dari tempat ketenangan. Mereka telah menguasai respons, bukan reaksi. Mereka melihat situasi sulit bukan sebagai bencana, melainkan sebagai tantangan yang memiliki potensi pelajaran yang unik dan berharga. Inilah kekuatan transformatif dari hati yang lapang.
Akhirnya, Legawa adalah cinta. Menerima realitas dengan lapang dada adalah bentuk cinta tertinggi kepada diri sendiri dan kepada kehidupan. Ini adalah deklarasi bahwa Anda cukup berharga untuk hidup dalam kedamaian, dan bahwa kehidupan, dalam segala bentuknya, pantas untuk diterima dan dihargai. Hati yang Legawa adalah hati yang penuh, bukan kosong.
Legawa adalah filosofi yang mengajarkan bahwa kedamaian sejati tidak ditemukan dalam mengendalikan takdir, melainkan dalam menerima takdir dengan tulus setelah kita melakukan yang terbaik. Ini adalah proses mematikan suara penolakan dan menghidupkan suara penerimaan di dalam jiwa.
Dengan mempraktikkan Legawa, kita membebaskan diri dari beban ekspektasi yang berat, membuka jalan menuju ketenangan abadi, dan memungkinkan kita untuk mencintai hidup secara utuh, dengan segala kerumitan dan ketidaksempurnaannya. Legawa adalah pembebasan sejati, warisan spiritual tak ternilai yang menanti untuk diinternalisasi oleh setiap jiwa yang mencari kelegaan dan makna yang mendalam.