Sistem dispersi, yang merupakan kategori luas dalam kimia fisik, dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama berdasarkan ukuran partikel terdispersi: larutan sejati (solusi), koloid, dan suspensi. Di antara ketiga kategori ini, larutan koloid menempati posisi yang paling menarik dan kompleks. Koloid bukanlah kategori zat, melainkan keadaan fisik yang dicirikan oleh ukuran partikelnya. Partikel koloid memiliki dimensi yang cukup kecil untuk tetap tersuspensi dan tersebar merata (tidak mengendap), tetapi cukup besar untuk menunjukkan sifat-sifat unik yang tidak dimiliki oleh larutan sejati, seperti kemampuan menyebarkan cahaya.
Larutan koloid adalah sistem heterogen yang terdiri dari dua fase: fase terdispersi (zat yang tersebar) dan medium pendispersi (zat yang melarutkan atau medium tempat zat terdispersi berada). Ukuran partikel dalam sistem koloid berkisar antara 1 nanometer (nm) hingga 1.000 nm (atau 1 mikrometer). Batasan ukuran ini sangat krusial; partikel di bawah 1 nm terlalu kecil untuk berinteraksi secara signifikan dengan cahaya atau dipisahkan oleh penyaringan biasa (larutan sejati), sementara partikel di atas 1.000 nm akan cenderung mengendap di bawah pengaruh gravitasi (suspensi).
Partikel koloid, meskipun sering dianggap larutan homogen secara kasat mata, sejatinya bersifat heterogen karena partikel-partikel terdispersi masih dapat dibedakan dari mediumnya menggunakan teknik ultra-mikroskopi atau melalui pengamatan efek optiknya. Permukaan partikel memainkan peran yang jauh lebih dominan dalam sistem koloid dibandingkan dalam larutan sejati, di mana interaksi volume lebih menonjol.
Konsep koloid pertama kali diformalkan oleh kimiawan Skotlandia, Thomas Graham, sekitar pertengahan abad ke-19. Graham melakukan penelitian tentang difusi zat melalui membran semipermeabel. Ia mengamati bahwa zat-zat tertentu, seperti garam, gula, dan asam, berdifusi dengan cepat (disebutnya ‘kristaloid’), sementara zat lain, seperti gelatin, albumin, dan pati, berdifusi sangat lambat atau sama sekali tidak melewati membran (disebutnya ‘koloid’, dari bahasa Yunani kolla yang berarti lem). Graham, meskipun tidak sepenuhnya memahami sifat partikel, berhasil membedakan dua kelompok zat ini berdasarkan perilaku difusinya.
Penelitian selanjutnya oleh ahli kimia lain, termasuk Richard Zsigmondy (yang menciptakan ultramikroskop) dan Jean Perrin (yang mempelajari Gerak Brown), memperkuat pemahaman bahwa koloid adalah keadaan materi berdasarkan dimensi, bukan jenis zat kimia tertentu. Penemuan Efek Tyndall dan pengembangan teknik elektrokimia semakin membuka pintu bagi studi mendalam tentang sifat-sifat koloid di abad ke-20.
Gambar I.1. Perbandingan dimensi partikel antara larutan sejati, koloid, dan suspensi. Koloid berada di zona tengah yang kritis.
Alt Text: Diagram batang membandingkan rentang ukuran partikel. Larutan sejati (bawah 1 nm), Koloid (antara 1 nm hingga 1000 nm), dan Suspensi (di atas 1000 nm).
Sistem koloid dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria penting, termasuk fase zat yang berinteraksi (wujud zat terdispersi dan mediumnya), serta interaksi antara fase terdispersi dan medium pendispersi.
Klasifikasi ini didasarkan pada kombinasi wujud zat (padat, cair, gas) dari fase terdispersi dan medium pendispersi. Terdapat delapan kemungkinan kombinasi karena sistem dispersi gas dalam gas selalu menghasilkan larutan sejati (homogen, bukan koloid). Tabel di bawah menunjukkan jenis-jenis koloid beserta contoh umumnya:
Sol adalah jenis koloid yang paling umum dipelajari. Sol cair (misalnya, sol emas, tinta) terdiri dari partikel padat yang terdispersi dalam medium cair. Sol padat (misalnya, beberapa jenis kaca berwarna, aloi tertentu) terdiri dari partikel padat dalam medium padat.
Emulsi adalah dispersi cairan dalam cairan lain yang tidak saling larut (immiscible). Agar stabil, emulsi memerlukan zat penstabil yang disebut zat pengemulsi (emulsifier). Contoh klasik termasuk susu (lemak dalam air) dan mayones (minyak dalam larutan cuka/air).
Gel terbentuk ketika sol cair mengalami pembentukan jaringan tiga dimensi yang solid (misalnya, agar-agar yang didinginkan, jeli). Medium pendispersi (biasanya air) terperangkap dalam struktur padat ini, menghasilkan material yang tampak padat tetapi mengandung persentase cairan yang sangat tinggi.
Aerosol adalah dispersi partikel padat atau cair dalam medium gas. Aerosol cair termasuk kabut dan semprotan (parfum), sedangkan aerosol padat termasuk asap dan debu di udara.
Busa adalah sistem koloid di mana gas terdispersi dalam medium cair (misalnya, busa sabun, krim kocok) atau medium padat (misalnya, batu apung, busa Styrofoam). Stabilisasi busa memerlukan zat penstabil tegangan permukaan.
Ketepatan klasifikasi ini sangat penting karena sifat dan metode preparasi setiap jenis koloid sangat bergantung pada wujud fase-fase penyusunnya. Misalnya, metode stabilitas yang efektif untuk sol padat dalam cair (misalnya, sol lumpur) akan berbeda total dari stabilitas yang diperlukan untuk emulsi cair dalam cair (misalnya, susu).
Klasifikasi ini membagi koloid menjadi dua kategori utama berdasarkan afinitas atau interaksi antara fase terdispersi dan medium pendispersi. Jika medium pendispersi adalah air, istilah yang digunakan adalah hidrofilik (suka air) dan hidrofobik (takut air); secara umum, istilah liofilik dan liofobik digunakan.
Koloid liofilik (misalnya, gelatin, pati, albumin) memiliki afinitas yang kuat terhadap medium pendispersi. Partikel-partikel koloid ini dikelilingi oleh selimut molekul pelarut (solvasi atau hidrasi), yang memberikan stabilitas luar biasa terhadap agregasi.
Kestabilan koloid liofilik sebagian besar didasarkan pada selubung pelarut yang kuat yang mencegah partikel-partikel bertabrakan dan bergabung menjadi agregat yang lebih besar. Energi yang dibutuhkan untuk menghilangkan lapisan solvasi ini sangat tinggi, membuat proses koagulasi sulit terjadi kecuali melalui penambahan elektrolit dalam konsentrasi tinggi atau perubahan suhu yang drastis.
Koloid liofobik (misalnya, sol logam, sol belerang) memiliki afinitas yang sangat lemah atau tidak ada sama sekali terhadap medium pendispersi. Stabilitas koloid liofobik hampir sepenuhnya bergantung pada adanya muatan listrik (lapisan ganda listrik) pada permukaan partikel.
Perbedaan mendasar antara liofilik dan liofobik ini menentukan bagaimana koloid dipreparasi, bagaimana mereka berperilaku di bawah tekanan listrik atau kimia, dan bagaimana mereka digunakan dalam aplikasi praktis. Dalam banyak aplikasi industri, seperti cat dan tinta, yang diinginkan adalah stabilitas tinggi seperti koloid liofilik, tetapi seringkali bahan dasarnya bersifat liofobik, sehingga memerlukan penggunaan stabilisator pelindung.
Mengingat bahwa koloid bukanlah zat, tetapi keadaan, mereka harus disiapkan menggunakan teknik khusus. Metode preparasi dibagi menjadi dua kategori besar berdasarkan ukuran awal materi: metode dispersi (memecah partikel besar) dan metode kondensasi (menggabungkan partikel kecil).
Metode dispersi bertujuan untuk memecah partikel suspensi atau zat padat menjadi partikel berukuran koloid (1–1000 nm).
Melibatkan penggunaan alat berat seperti penggiling koloid (colloid mill). Dalam penggiling koloid, material dilewatkan melalui celah sempit di antara dua piringan yang berputar dengan kecepatan sangat tinggi dalam arah yang berlawanan. Gesekan dan tekanan hidrolik yang dihasilkan sangat efektif untuk menghancurkan partikel hingga ukuran koloid. Metode ini sering digunakan dalam produksi cat, kosmetik, dan makanan (misalnya, homogenisasi susu).
Peptisasi adalah proses mengubah endapan segar (suspensi) kembali menjadi sol koloid. Ini dilakukan dengan menambahkan agen peptisasi (peptizing agent), yang biasanya merupakan elektrolit atau pelarut yang mengandung ion tertentu yang dapat teradsorpsi secara selektif pada permukaan endapan, menyebabkan partikel terdispersi kembali karena tolakan listrik. Contohnya adalah peptisasi endapan ferri hidroksida segar dengan larutan ferri klorida.
Mekanisme peptisasi sangat bergantung pada pembentukan lapisan ganda listrik di sekitar partikel. Ion dari agen peptisasi yang berlawanan muatan dengan endapan akan menempel, membuat partikel bermuatan sama, dan tolakan antar partikel bermuatan identik ini menjaga sol tetap stabil.
Gelombang ultrasonik frekuensi tinggi (di atas 20 kHz) dapat menghasilkan kavitasi (pembentukan dan runtuhnya gelembung kecil) yang menciptakan gaya geser lokal yang sangat besar. Gaya ini mampu memecah agregat material menjadi ukuran koloid. Metode ini sangat bersih dan efisien, sering digunakan untuk membuat sol stabil dari material yang sulit dipecah secara mekanis.
Metode kondensasi melibatkan pembangunan partikel dari unit-unit molekul atau ion (larutan sejati) hingga mencapai ukuran koloid.
Sistem koloid sering dibuat melalui reaksi kimia yang menghasilkan produk yang tidak larut, seperti reduksi, hidrolisis, atau dekomposisi ganda. Partikel produk yang baru terbentuk (nukleasi) tumbuh hingga mencapai ukuran koloid sebelum akhirnya distabilkan atau mengendap.
Pengendalian laju nukleasi (pembentukan inti partikel baru) dan laju pertumbuhan sangat penting dalam metode kondensasi. Laju nukleasi yang cepat dan pertumbuhan yang lambat cenderung menghasilkan partikel koloid yang seragam dan stabil.
Metode ini digunakan ketika zat terlarut dalam pelarut tertentu, tetapi tidak larut dalam pelarut kedua. Jika larutan zat tersebut ditambahkan ke pelarut kedua yang merupakan medium pendispersi, zat tersebut akan mengalami presipitasi (pengendapan), tetapi jika dilakukan dengan cepat dan terkontrol, partikel yang terbentuk dapat ditahan dalam ukuran koloid. Contohnya, belerang larut dalam alkohol tetapi tidak dalam air. Menambahkan larutan belerang-alkohol ke dalam air akan menghasilkan sol belerang.
Metode ini digunakan khusus untuk membuat sol liofobik dari logam (seperti emas, perak). Dua elektroda logam dicelupkan ke dalam medium pendispersi (biasanya air dingin), dan busur listrik dialirkan di antara keduanya. Panas busur menguapkan logam yang kemudian mengembun dalam air dingin, membentuk partikel koloid. Metode ini menggabungkan dispersi (erosi logam) dan kondensasi (pengembunan uap logam).
Sifat unik sistem koloid adalah hasil langsung dari ukuran partikelnya yang besar (dibandingkan molekul) dan rasio luas permukaan terhadap volume yang sangat tinggi. Sifat-sifat ini dapat dibagi menjadi sifat kinetik, optik, dan listrik.
Pada tahun 1827, ahli botani Robert Brown pertama kali mengamati gerakan acak partikel serbuk sari dalam air. Kemudian dipahami bahwa gerakan acak, zig-zag, dan tak berujung ini, yang disebut Gerak Brown, disebabkan oleh tabrakan yang terus-menerus dan tidak seimbang antara partikel koloid dengan molekul-molekul medium pendispersi yang jauh lebih kecil.
Gerak Brown memiliki peran vital dalam menstabilkan koloid. Jika partikel koloid tetap diam, gravitasi akan menyebabkan pengendapan (sedimentasi). Namun, energi kinetik dari Gerak Brown yang konstan bekerja melawan gravitasi, menjaga partikel tetap tersuspensi. Intensitas Gerak Brown bergantung pada suhu (meningkat seiring suhu naik) dan berbanding terbalik dengan ukuran partikel (partikel yang lebih kecil bergerak lebih cepat).
Partikel koloid, seperti molekul dalam larutan sejati, juga berdifusi dari area berkonsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Namun, karena ukuran partikel koloid jauh lebih besar, laju difusi mereka jauh lebih lambat daripada molekul terlarut. Laju difusi yang lambat ini adalah salah satu alasan utama mengapa Thomas Graham awalnya mengelompokkan zat ini sebagai ‘koloid’.
Dalam hal tekanan osmotik, koloid menunjukkan tekanan osmotik yang sangat rendah. Tekanan osmotik bergantung pada jumlah partikel (konsentrasi molar). Karena partikel koloid adalah agregat dari ribuan molekul, konsentrasi molar partikel koloid dalam sistem koloid tipikal sangat rendah, sehingga menghasilkan tekanan osmotik yang hampir tidak terdeteksi dibandingkan dengan larutan sejati pada konsentrasi massa yang sama.
Gambar IV.1. Ilustrasi perbandingan antara larutan sejati yang tidak menunjukkan Efek Tyndall, dengan larutan koloid yang menunjukkan hamburan cahaya (Tyndall Cone).
Alt Text: Diagram yang menunjukkan perbedaan optik antara larutan sejati dan koloid. Dalam larutan sejati, berkas cahaya tidak terlihat, sementara dalam kolutan koloid, berkas cahaya tersebar ke samping dan menjadi terlihat (Efek Tyndall).
Efek Tyndall adalah sifat optik paling khas dari koloid. Ini dinamai dari fisikawan Irlandia, John Tyndall, yang menjelaskannya pada tahun 1869. Ketika berkas cahaya dilewatkan melalui larutan koloid, jalurnya menjadi terlihat. Fenomena ini terjadi karena partikel koloid cukup besar untuk menghamburkan cahaya ke segala arah (scattering). Hamburan cahaya ini yang membuat berkas cahaya terlihat sebagai kerucut atau sinar di dalam koloid (disebut Tyndall Cone).
Larutan sejati, yang memiliki partikel jauh lebih kecil daripada panjang gelombang cahaya tampak, tidak menunjukkan hamburan yang signifikan. Sebaliknya, suspensi seringkali memblokir cahaya atau menjadi buram. Efek Tyndall adalah alat diagnostik yang sangat penting untuk membedakan koloid dari larutan sejati.
Intensitas hamburan Tyndall sangat bergantung pada:
Penerapan praktis efek ini termasuk mendeteksi keberadaan partikel koloid dalam sampel dan membantu dalam penentuan konsentrasi koloid yang sangat encer (nefelometri).
Sifat listrik adalah kunci utama dalam memahami stabilitas koloid liofobik. Semua partikel koloid liofobik membawa muatan listrik. Muatan ini timbul karena adsorpsi ion secara selektif dari medium pendispersi ke permukaan partikel. Muatan yang sama (positif atau negatif) pada semua partikel menyebabkan tolakan elektrostatik, yang mencegah partikel bertabrakan dan membentuk agregat besar (koagulasi).
Ketika partikel koloid terpapar pada medium ionik, ia mengembangkan struktur muatan di sekitarnya yang dikenal sebagai lapisan ganda listrik (LGL). Teori LGL, yang dikembangkan oleh Helmholtz, Gouy-Chapman, dan Stern, menjelaskan mekanisme stabilisasi ini secara rinci:
Potensial listrik meluruh dari permukaan partikel ke medium. Potensial pada batas antara lapisan Stern dan lapisan difus disebut Potensial Zeta ($\zeta$). Potensial Zeta adalah parameter kinetik yang sangat penting; ia mewakili potensial listrik yang mengendalikan gerakan partikel dalam medan listrik. Nilai absolut potensial Zeta yang tinggi menunjukkan tolakan elektrostatik yang kuat dan koloid yang stabil, sementara nilai Zeta mendekati nol menandakan koloid tidak stabil dan rentan terhadap koagulasi.
Gambar V.1. Skema Elektroforesis. Partikel koloid bermuatan negatif bergerak menuju elektroda positif (Anoda) di bawah pengaruh medan listrik.
Alt Text: Diagram U-Tube dengan elektroda positif dan negatif. Partikel koloid di dalam tabung bergerak ke arah elektroda positif, menunjukkan bahwa partikel tersebut bermuatan negatif.
Elektroforesis adalah pergerakan partikel koloid terdispersi relatif terhadap mediumnya di bawah pengaruh medan listrik eksternal. Jika partikel bermuatan negatif, mereka akan bermigrasi menuju anoda (elektroda positif); jika bermuatan positif, mereka akan menuju katoda (elektroda negatif).
Elektroforesis digunakan secara luas untuk menentukan tanda dan besarnya muatan partikel koloid, serta untuk memisahkan molekul biologis besar seperti protein dan DNA (yang secara teknis merupakan koloid polimerik) berdasarkan muatan dan ukurannya.
Elektroosmosis adalah fenomena terkait, tetapi terjadi ketika partikel koloid tidak dapat bergerak (misalnya, jika koloid terperangkap dalam membran atau berada dalam media berpori). Dalam kasus ini, yang bergerak adalah medium pendispersi itu sendiri, relatif terhadap fase diam (partikel koloid). Jika partikel koloid bermuatan negatif, medium (yang memiliki muatan lawan di lapisan difus) akan bergerak menuju katoda.
Koagulasi (atau flokulasi) adalah proses di mana partikel koloid, yang awalnya stabil, kehilangan stabilitasnya, bertabrakan, dan bergabung menjadi agregat yang cukup besar untuk mengendap akibat gravitasi. Koagulasi adalah proses yang esensial dalam pengolahan air, pembuatan keju, dan pemrosesan karet.
Koagulasi koloid liofobik paling sering dipicu oleh penambahan elektrolit. Aturan Hardy-Schulze menyatakan bahwa:
Dua sol koloid yang memiliki muatan berlawanan, misalnya sol ferri hidroksida (positif) dan sol arsen(III) sulfida (negatif), dapat saling menetralkan muatan dan menyebabkan koagulasi timbal balik ketika dicampurkan dalam proporsi yang tepat. Proses ini efektif dan seringkali menghasilkan pengendapan total dari kedua sistem koloid.
Stabilitas koloid liofobik adalah keseimbangan rapuh antara gaya tarik (gaya van der Waals) dan gaya tolak (gaya elektrostatik). Jika gaya tolak lebih dominan, sistem stabil. Jika gaya tarik menang, terjadi agregasi.
Stabilitas koloid secara kuantitatif dijelaskan oleh Teori DLVO. Teori ini menggabungkan dua interaksi utama yang terjadi antara dua partikel koloid yang mendekat:
Energi interaksi total (V_T) adalah jumlah dari V_A dan V_R. Agar koloid stabil, kurva energi potensial harus memiliki puncak energi tolak yang tinggi, yang bertindak sebagai penghalang energi (energy barrier) yang harus dilampaui agar partikel dapat bersentuhan dan berkoagulasi. Penambahan elektrolit mengurangi ketebalan lapisan difus, meratakan penghalang energi tolak, dan memungkinkan partikel berkoagulasi pada tabrakan.
Koloid liofobik sangat tidak stabil. Namun, mereka dapat distabilkan dengan menambahkan sejumlah kecil koloid liofilik. Koloid liofilik yang ditambahkan ini disebut koloid pelindung.
Mekanisme kerjanya adalah partikel liofilik (misalnya, gelatin atau gum arab) membentuk lapisan pelindung di sekitar partikel liofobik. Lapisan pelindung ini memberikan stabilitas ganda:
Meskipun sol merupakan bentuk koloid yang paling banyak dipelajari secara kimia murni, emulsi dan gel adalah sistem koloid yang paling penting dalam industri makanan, farmasi, dan bioteknologi.
Emulsi adalah sistem koloid cair dalam cair (L/L). Terdapat dua jenis dasar emulsi:
Dua cairan yang tidak saling larut, seperti minyak dan air, memiliki energi bebas antarmuka (tegangan permukaan) yang tinggi, sehingga mereka cenderung memisah. Untuk menciptakan emulsi yang stabil, diperlukan zat pengemulsi. Emulsifier adalah zat aktif permukaan (surfaktan) yang memiliki gugus hidrofilik (suka air) dan gugus lipofilik (suka minyak).
Surfaktan menempati antarmuka minyak-air, mengurangi tegangan permukaan, dan membentuk lapisan pelindung di sekitar tetesan terdispersi. Dalam emulsi O/W, gugus hidrofilik menghadap air (medium luar), dan gugus lipofilik tertanam di minyak (fase terdispersi). Stabilitas emulsi sangat tergantung pada surfaktan yang digunakan dan rasio massa yang tepat.
Meskipun stabil, emulsi dapat mengalami beberapa jenis ketidakstabilan:
Gel adalah sistem koloid padat-cair, di mana medium cair terperangkap di dalam jaringan padat tiga dimensi. Sifat-sifat mekaniknya (kekakuan, elastisitas) membedakannya dari sol cair. Pembentukan gel dari sol disebut gelasi.
Transformasi Sol-Gel adalah proses yang melibatkan transisi dari sol cair ke struktur gel padat. Ini seringkali didorong oleh pendinginan (seperti gelatin), penambahan elektrolit, atau perubahan pH. Saat gel terbentuk, partikel sol mulai berinteraksi secara spesifik, membentuk ikatan silang fisik atau kimia yang mengunci medium cair di tempatnya.
Ilmu koloid merupakan landasan bagi banyak proses alamiah dan industri modern. Hampir semua yang kita sentuh, mulai dari makanan yang kita makan hingga pakaian yang kita kenakan, melibatkan setidaknya satu proses koloid.
Tubuh manusia adalah koleksi sistem koloid yang kompleks. Darah adalah sol koloid yang stabil, di mana protein plasma (albumin, globulin) bertindak sebagai koloid pelindung yang menjaga stabilitas komponen seluler. Protoplasma di dalam sel adalah sol polimerik yang menunjukkan tiksortropi dan perubahan fase sol-gel yang vital untuk gerakan sel dan pembelahan.
Nanoteknologi obat sangat bergantung pada koloid. Liposom dan misel (agregat koloid dari surfaktan) digunakan sebagai pembawa (carrier) untuk mengemas obat-obatan yang tidak larut dalam air. Ukuran koloid yang kecil (biasanya 50–200 nm) memungkinkan mereka melewati beberapa penghalang biologis, mengirimkan obat secara spesifik ke jaringan yang sakit (misalnya, tumor), dan mengurangi toksisitas sistemik.
Stabilisasi nanoemulsi yang mengandung obat sangat penting. Nanoemulsi, dengan ukuran tetesan di bawah 100 nm, menawarkan bioavailabilitas yang lebih baik dan sering digunakan dalam vaksin atau formulasi nutrisi parenteral.
Salah satu aplikasi terpenting dari koagulasi adalah pemurnian air. Air alami seringkali mengandung suspensi halus dan partikel koloid bermuatan negatif (seperti lumpur, kotoran organik). Untuk menghilangkan partikel-partikel ini, koagulan ditambahkan. Koagulan yang umum adalah garam aluminium (tawas, Al₂(SO₄)₃) atau garam besi(III). Kation Al³⁺ atau Fe³⁺ memiliki daya koagulasi yang tinggi (sesuai Aturan Hardy-Schulze), menetralkan muatan koloid, dan menyebabkan flokulasi (pembentukan flok besar) yang kemudian dapat diendapkan atau disaring.
Cat modern adalah suspensi koloid kompleks. Pigmen padat terdispersi dalam medium cair (pelarut atau air). Cat harus stabil (tidak mengendap) selama penyimpanan tetapi harus dapat mengeras (berkoagulasi) setelah diaplikasikan. Stabilitas ini sering dicapai melalui kombinasi penstabil sterik (polimer pelindung) dan penstabil elektrostatik. Banyak cat juga menunjukkan sifat tiksotropi, yang memungkinkannya mengalir dengan mudah saat disikat (sol), namun segera mengeras kembali di permukaan (gel), mencegah tetesan.
Banyak makanan adalah sistem koloid:
Teknologi koloid juga krusial dalam kontrol polusi. Misalnya, pengendap Cottrell adalah alat yang digunakan untuk menghilangkan partikel asap (aerosol padat) dari gas buang pabrik. Asap dilewatkan melalui medan listrik tegangan tinggi; partikel koloid bermuatan (akibat ionisasi) bergerak melalui elektroforesis menuju pelat pengumpul bermuatan berlawanan, di mana mereka dinetralkan dan mengendap, sehingga mengurangi emisi polusi udara.
Untuk mengendalikan perilaku koloid dalam aplikasi industri dan penelitian, diperlukan teknik karakterisasi yang presisi untuk mengukur sifat-sifat fundamental seperti ukuran, muatan, dan massa.
Karena partikel koloid tidak dapat dilihat dengan mikroskop optik standar, teknik canggih diperlukan:
Ultra-mikroskop menggunakan Efek Tyndall untuk melihat titik-titik cahaya yang dihasilkan oleh hamburan. Mikroskop elektron transmisi (TEM) dan mikroskop elektron pemindaian (SEM) memberikan gambaran visual langsung dari ukuran dan morfologi partikel koloid, dengan resolusi yang jauh lebih tinggi daripada batas optik.
DLS adalah teknik standar emas untuk mengukur ukuran partikel koloid. DLS mengukur fluktuasi intensitas cahaya yang dihamburkan sebagai fungsi waktu. Fluktuasi ini disebabkan oleh Gerak Brown partikel. Partikel yang lebih kecil bergerak lebih cepat, menyebabkan fluktuasi cepat. Dari data ini, koefisien difusi dapat dihitung, dan kemudian ukuran hidrodinamik partikel dapat ditentukan menggunakan persamaan Stokes-Einstein.
Pengukuran Potensial Zeta ($\zeta$) adalah esensial karena ia memprediksi stabilitas koloid liofobik. Pengukuran dilakukan dengan teknik elektroforesis mikro atau laser Doppler elektroforesis. Alat ini mengukur kecepatan partikel bergerak dalam medan listrik yang diterapkan (mobilitas elektroforetik). Hubungan antara mobilitas dan Potensial Zeta dapat dihitung melalui persamaan Henry, yang bervariasi tergantung pada kekuatan ionik medium.
Tingkat stabilitas yang direkomendasikan sering kali berkorelasi dengan nilai absolut Potensial Zeta:
Reologi adalah studi tentang aliran dan deformasi materi. Viskositas koloid liofilik sering kali sangat tinggi dan bergantung pada laju geser (non-Newtonian), terutama pada gel dan sol polimerik. Pengukuran viskositas menggunakan viskometer putar atau kapiler memberikan wawasan tentang interaksi antar partikel dan derajat solvasi, yang penting dalam formulasi cat, kosmetik, dan pelumas.
Larutan koloid mengisi ruang penting antara kimia makroskopik dan kimia molekuler. Mereka dicirikan oleh ukuran partikel yang unik, yang menghasilkan sifat-sifat spektakuler seperti Efek Tyndall, Gerak Brown, dan mobilitas elektroforetik. Stabilitas koloid, terutama koloid liofobik, adalah fenomena yang dikontrol oleh lapisan ganda listrik dan Potensial Zeta, menjadikannya sangat sensitif terhadap lingkungan ionik.
Dari sistem biologis yang kompleks hingga proses industri yang efisien, manipulasi sistem koloid telah menjadi pilar teknologi modern. Memahami mekanisme dasar dispersi, kondensasi, dan stabilisasi koloid tidak hanya menjadi fondasi dalam kimia fisik, tetapi juga kunci untuk inovasi berkelanjutan di bidang material nano, biomedis, dan solusi lingkungan.
Kajian mendalam ini menunjukkan bahwa koloid bukanlah sekadar campuran, melainkan sistem dinamis yang menantang dan mempesona, terus menawarkan kesempatan tak terbatas untuk penemuan dan pengembangan aplikasi praktis.