Lamaholot adalah sebuah payung budaya yang megah, membentang melintasi Kepulauan Solor, Adonara, dan Lembata, di ujung timur Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lebih dari sekadar penanda geografis, Lamaholot merujuk pada sebuah kelompok etnis dan rumpun bahasa Austronesia yang kaya, menyimpan tradisi maritim yang kuat, sistem kekerabatan yang kompleks, serta seni tenun yang memancarkan kisah leluhur. Memahami Lamaholot berarti menyelami lapisan-lapisan sejarah migrasi, adaptasi ekologis, dan ketahanan budaya di tengah tantangan zaman yang terus berubah. Wilayah ini, meskipun terpencil dari pusat kekuasaan, telah memainkan peran penting sebagai titik pertemuan peradaban dan perdagangan sejak era pra-kolonial, terutama dalam jalur rempah dan komoditas laut.
Identitas Lamaholot terbentuk dari interaksi dinamis antara manusia dengan lingkungan laut dan darat yang keras. Kekuatan tradisi bukan hanya terletak pada ritual yang dijalankan, melainkan pada kemampuan mereka untuk mengikat komunitas melalui bahasa, hukum adat (Koke Bale), dan sistem aliansi pernikahan yang strategis. Artikel ini akan mengupas tuntas segala aspek kehidupan Lamaholot, mulai dari struktur linguistik yang rumit hingga praktik perburuan paus tradisional yang mendunia di Lamalera, memberikan penghormatan terhadap kedalaman warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Secara geografis, wilayah Lamaholot mencakup tiga pulau utama di gugusan Kepulauan Nusa Tenggara, yang sering disebut sebagai "Kepulauan Lamaholot" atau Flores Timur. Tiga pulau tersebut adalah Solor, Adonara, dan Lembata (sebelumnya dikenal sebagai Lomblen). Meskipun berada dalam satu kesatuan budaya dan linguistik, masing-masing pulau memiliki karakteristik topografi dan adaptasi ekologis yang unik, memengaruhi pola mata pencaharian dan dialek lokal.
Lamaholot terletak di wilayah yang dikenal kering, terutama selama musim kemarau panjang. Topografi pulau-pulau ini didominasi oleh perbukitan vulkanik yang curam, dengan sedikit dataran aluvial. Tanah yang relatif tandus dan curah hujan yang tidak menentu telah memaksa masyarakat Lamaholot mengembangkan sistem pertanian tadah hujan yang sangat bergantung pada musim. Sumber daya air tawar seringkali menjadi komoditas langka, membentuk nilai sosial yang tinggi terhadap lokasi mata air dan sumur tradisional.
Kondisi geografis ini juga menempatkan Lamaholot pada zona pertemuan arus laut yang kaya, menjadikannya wilayah maritim yang penting. Laut bukan hanya jalur transportasi, tetapi juga sumber kehidupan utama. Adaptasi ekologis ini terwujud dalam dualisme mata pencaharian: pertanian di darat (diwakili oleh istilah Lewotanah) dan penangkapan ikan/pelayaran di laut (diwakili oleh istilah Tana Lawi).
Solor, pulau terkecil di antara ketiganya, memegang peranan historis yang sangat vital. Secara historis, Solor adalah pusat interaksi awal dengan kekuatan asing, terutama Portugis dan Belanda. Kehadiran benteng Portugis di Lohayong menjadi bukti betapa strategisnya pulau ini sebagai titik henti perdagangan pada abad ke-16. Meskipun kecil, Solor memiliki pengaruh besar dalam penyebaran agama Katolik dan formasi awal struktur kekuasaan lokal yang berhadapan dengan pengaruh luar.
Masyarakat Solor umumnya lebih berorientasi pada perdagangan dan pelayaran jarak pendek. Wilayah pesisir Solor menjadi jembatan penghubung utama antara Flores daratan dan pulau-pulau di timur. Keberagaman dialek di Solor juga mencerminkan sejarah migrasi dan kontak yang intensif.
Adonara sering dianggap sebagai pulau yang relatif lebih subur dibandingkan Solor dan beberapa bagian Lembata. Meskipun memiliki topografi vulkanik yang menantang, lembah-lembah di Adonara, terutama di bagian tengah dan timur, memungkinkan praktik pertanian yang lebih intensif, seperti penanaman jagung, padi ladang, dan komoditas perkebunan seperti mete dan kelapa.
Sistem kekerabatan di Adonara sangat kental dan mempertahankan tradisi politik adat yang kuat. Desa-desa di Adonara sering kali diatur oleh sistem pemerintahan adat yang berakar kuat pada klan (Klen) dan garis keturunan. Konflik-konflik antarklan di masa lalu seringkali dipicu oleh perebutan lahan pertanian dan batas wilayah adat.
Lembata, yang terbesar, menawarkan keragaman lingkungan yang paling luas. Pulau ini memiliki dua kutub budaya yang ekstrem: komunitas maritim yang legendaris di pesisir selatan (terutama Lamalera) dan komunitas pedalaman yang sangat bergantung pada pertanian ladang dan hutan.
Desa Lamalera di Lembata adalah salah satu ikon Lamaholot yang paling dikenal di dunia karena tradisi perburuan paus sperma secara tradisional (Leva Nuang). Tradisi ini bukan sekadar mata pencaharian, tetapi ritual suci yang diatur oleh hukum adat yang ketat, dipimpin oleh tokoh ritual (Lamafa) dan dijalankan menggunakan perahu layar tradisional (Paledang). Kehidupan di Lamalera benar-benar berpusat pada laut, mencerminkan adaptasi maritim yang paripurna.
Sementara itu, wilayah Lembata bagian utara dan timur, seperti Kedang, memiliki sistem bahasa dan budaya yang menunjukkan pergeseran, meskipun masih berada dalam lingkup Lamaholot Raya. Wilayah Kedang bahkan memiliki struktur linguistik yang cukup berbeda, yang sering diklasifikasikan sebagai sub-rumpun terpisah dalam bahasa-bahasa Flores Timur. Ini menunjukkan bahwa Lamaholot bukan entitas tunggal, melainkan spektrum budaya yang terhubung namun terdiferensiasi.
Istilah "Lamaholot" sejatinya merujuk pada sebuah kelompok bahasa Austronesia yang kompleks, digunakan oleh sekitar 300.000 hingga 400.000 penutur. Keunikan Lamaholot adalah tingkat fragmentasi dialeknya yang sangat tinggi, seringkali berbeda secara signifikan antara satu lembah dengan lembah berikutnya, bahkan di dalam satu pulau. Para ahli linguistik sering menyebut Lamaholot sebagai sebuah *dialektal continuum* atau rantai dialek.
Lamaholot secara umum diklasifikasikan sebagai bagian dari kelompok Bima-Sumba dalam sub-cabang bahasa Austronesia. Namun, dalam konteks lokal, Lamaholot terbagi menjadi tiga kelompok utama, yang masing-masing masih memiliki sub-dialek minoritas:
Perbedaan utama antardialek ini terletak pada fonologi (pelafalan), leksikon (kosakata), dan struktur morfologi (pembentukan kata). Misalnya, kata untuk 'rumah' dapat berbeda dari lamin (umum) menjadi koke atau uma tergantung lokasi spesifik.
Bahasa Lamaholot memiliki struktur yang cenderung aglutinatif, di mana kata kerja dapat ditambahkan prefiks dan sufiks untuk menunjukkan waktu (tenses), aspek, dan hubungan subjek-objek.
Salah satu ciri khas Lamaholot adalah sistem penanda kepemilikan yang rumit, membedakan antara kepemilikan yang 'tak terpisahkan' (seperti bagian tubuh atau hubungan kekerabatan) dan kepemilikan yang 'terpisahkan' (barang atau harta benda). Penanda ini sering diletakkan setelah kata benda yang dimiliki.
Lamaholot memiliki register bahasa yang berbeda untuk penggunaan sehari-hari dan penggunaan ritualistik atau adat. Bahasa ritual (bahasa tanah) seringkali sangat metaforis, kaya akan kiasan, dan menggunakan kosakata kuno yang mungkin tidak lagi dipahami oleh penutur muda. Bahasa ini mutlak digunakan oleh juru bicara adat (kepala adat) saat bernegosiasi belis (mahar) atau saat upacara panen. Kekuatan bahasa terletak pada kemampuannya untuk menghubungkan generasi saat ini dengan leluhur.
Masyarakat Lamaholot diorganisir berdasarkan sistem kekerabatan yang sangat ketat, yang berfungsi sebagai kerangka sosial, ekonomi, dan politik. Unit dasar dari organisasi sosial ini adalah klan patrilineal, yang dikenal sebagai Klen atau Suku.
Setiap individu lahir ke dalam klen yang diwariskan dari garis ayah. Klen memiliki nama leluhur, wilayah adat (tanah ulayat) tertentu, dan seringkali memiliki totem atau simbol khusus. Fungsi utama klen adalah mengatur alokasi sumber daya, melaksanakan ritual komunal, dan menegakkan hukum adat.
Struktur sosial Lamaholot sangat dipengaruhi oleh prinsip dualistik dan aliansi pernikahan, yang paling menonjol adalah sistem Uhe-Wai (Pemberi dan Penerima Istri).
Sistem ini bersifat asimetris dan berulang. Klan A adalah Wai bagi Klan B, tetapi Klan A mungkin Uhe bagi Klan C. Hubungan ini menciptakan jaringan kewajiban timbal balik yang memastikan stabilitas sosial dan ekonomi. Aliansi ini seringkali bersifat eksogami (menikah ke luar klen) dan bersifat preferensial (di mana pernikahan dengan sepupu silang tertentu sangat dianjurkan atau diwajibkan).
Belis, atau mahar, adalah jantung dari sistem kekerabatan Lamaholot. Belis bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan simbol pengakuan martabat wanita dan sarana untuk memperkuat aliansi antarklan. Nilai dan bentuk belis sangat bervariasi tergantung dialek, status klen, dan sejarah perjanjian mereka.
Komponen belis tradisional seringkali meliputi:
Proses negosiasi belis bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, melibatkan ratusan anggota klan dari kedua belah pihak. Kegagalan memenuhi belis dapat menempatkan pihak Wai dalam posisi hutang adat yang diwariskan secara turun-temurun, sebuah konsep yang disebut Utang Bale.
Kepemimpinan di Lamaholot bersifat pluralistik, membagi wewenang antara pemimpin ritual dan pemimpin sekuler.
Hukum adat, atau Koke Bale, adalah pedoman yang mengikat seluruh komunitas. Koke Bale mengatur segala sesuatu, mulai dari batas-batas ladang, tata cara pernikahan, hingga hukuman untuk kejahatan (seperti pencurian atau perzinahan). Penegakan hukum ini sering dilakukan melalui sidang adat yang melibatkan seluruh klen terkait, dengan sanksi yang bisa berupa denda dalam bentuk hewan ternak atau ritual pembersihan. Penghormatan terhadap Koke Bale adalah indikator utama identitas Lamaholot.
Salah satu tradisi maritim Lamaholot yang paling terkenal, yang berada di Lembata bagian selatan, adalah Leva Nuang—perburuan paus secara tradisional. Tradisi ini adalah manifestasi paling jelas dari adaptasi Lamaholot terhadap lingkungan maritim yang ekstrem dan merupakan intisari spiritual serta ekonomi komunitas Lamalera.
Leva Nuang bukan semata-mata kegiatan ekonomi; ia adalah ritual eksistensial. Masyarakat Lamalera memegang teguh prinsip bahwa mereka hanya diperbolehkan mengambil apa yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, bukan untuk tujuan komersial yang berlebihan. Mereka hanya berburu paus sperma dan jenis ikan besar tertentu, dan dilarang keras memburu paus betina yang sedang menyusui atau paus yang terlalu kecil.
Perburuan dilakukan menggunakan Paledang, perahu layar tradisional yang dibuat tanpa menggunakan paku, hanya diikat dengan serat ijuk dan pasak kayu. Kecepatan dan kelincahan Paledang sangat vital. Peralatan inti adalah Tempuling (tombak berujung besi) yang dilempar oleh sang Lamafa.
Sosok Lamafa (juru tikam) adalah tokoh paling dihormati dalam tradisi Leva. Lamafa harus memiliki keberanian luar biasa, spiritualitas tinggi, dan garis keturunan yang bersih, karena ia adalah orang yang melompat dari haluan perahu untuk menancapkan tombak ke tubuh paus. Keselamatan seluruh awak kapal bergantung pada kemampuannya membaca laut dan momen yang tepat.
Sistem pembagian hasil tangkapan (Tubo) adalah cerminan sempurna dari struktur sosial Lamaholot. Daging paus yang berhasil ditangkap dibagi secara adil dan merata, tidak hanya kepada awak kapal, tetapi juga kepada:
Pembagian yang ketat ini memastikan bahwa sumber daya laut menopang seluruh komunitas, menjaga keseimbangan antara ketersediaan pangan dan keadilan sosial, dan menghilangkan motif keserakahan pribadi dalam perburuan.
Kekayaan Lamaholot tidak hanya terletak pada sistem sosialnya, tetapi juga pada warisan seni rupa, musik, dan tarian yang menjadi media utama dalam menceritakan sejarah, menghormati leluhur, dan menyambut siklus kehidupan.
Tenun ikat adalah salah satu puncak ekspresi budaya Lamaholot. Proses pembuatan tenun ikat, dari memintal kapas, mewarnai benang menggunakan pewarna alami (indigo, akar mengkudu), hingga proses mengikat (ikat) dan menenun, adalah pekerjaan yang memakan waktu dan melibatkan serangkaian ritual. Setiap helai kain tenun bukan hanya pakaian, tetapi dokumen sejarah, penanda status sosial, dan alat ritual.
Motif-motif pada tenun ikat Lamaholot kaya akan simbolisme, seringkali menggambarkan makhluk mitologis, flora dan fauna lokal, serta garis keturunan klen. Beberapa motif utama meliputi:
Warna juga memiliki makna penting. Merah (dari akar mengkudu) melambangkan keberanian dan kekuatan spiritual. Biru/Nila (dari indigo) melambangkan alam roh dan ketenangan. Tenunan yang paling sakral, seperti yang digunakan untuk ritual kematian atau pernikahan, hanya boleh ditenun oleh wanita tertentu yang telah melewati inisiasi adat.
Musik dan tarian adalah bagian integral dari setiap upacara adat. Tarian di Lamaholot berfungsi sebagai sarana untuk menyambut tamu, merayakan panen, atau sebagai ekspresi duka.
Dolo-Dolo adalah tarian massal yang paling umum dan dikenal luas. Tarian ini dilakukan dalam formasi melingkar, biasanya pada malam hari setelah panen raya atau saat festival besar. Gerakan Dolo-Dolo sederhana dan berulang, tetapi kekuatan utamanya terletak pada lirik dan lagu yang dinyanyikan. Liriknya seringkali spontan, berisi pujian kepada leluhur, kritik sosial yang disamarkan, atau cerita humor tentang kehidupan sehari-hari. Dolo-Dolo berfungsi sebagai katarsis sosial dan penguat solidaritas komunitas.
Instrumen musik tradisional Lamaholot cukup sederhana namun memiliki resonansi yang khas, seringkali terbuat dari bambu dan kulit hewan:
Kehidupan masyarakat Lamaholot diatur oleh serangkaian ritual yang menandai transisi dari satu tahap kehidupan ke tahap berikutnya, serta mengatur hubungan antara manusia dengan alam dan leluhur.
Meskipun praktik sunat (baik untuk pria maupun wanita) telah diserap dari pengaruh luar, inisiasi spiritual yang sesungguhnya berfokus pada pengenalan peran sosial dan tanggung jawab klen. Anak laki-laki dan perempuan harus memahami Koke Bale dan menghafal silsilah klen mereka sebelum dianggap dewasa dan siap menikah. Di beberapa daerah pedalaman Lembata, ritual ini masih melibatkan masa isolasi dan pembelajaran di rumah adat.
Karena pertanian ladang adalah penopang utama kehidupan darat, upacara panen adalah salah satu ritual tahunan terbesar. Pelela adalah persembahan syukur kepada leluhur dan dewa tanah agar panen berikutnya melimpah dan dijauhkan dari bencana.
Ritual ini dipimpin oleh Raja Tanah atau Ata Kewok di situs suci (Kuwu). Aktivitasnya meliputi:
Kematian dalam pandangan Lamaholot bukanlah akhir, melainkan transisi menuju alam leluhur (Nuba Lamen). Ritual kematian sangat kompleks, seringkali memakan waktu berhari-hari, dan melibatkan pertukaran Tenun Ikat yang signifikan antara klan Uhe dan Wai.
Wanita Lamaholot yang berasal dari klan Uhe (pihak yang memberikan istri kepada klan almarhum) memiliki peran sentral dalam ritual penguburan. Mereka bertanggung jawab untuk membungkus jenazah dengan kain tenun ikat terbaik sebagai bekal arwah menuju alam baka. Kain tenun ini melambangkan pelindung dan identitas spiritual sang arwah. Skala upacara dan jumlah hewan kurban yang disembelih sangat tergantung pada status sosial dan kekayaan almarhum.
Setelah penguburan, ada serangkaian ritual lanjutan yang bertujuan untuk memastikan arwah diterima dengan baik dan tidak mengganggu keturunan. Arwah leluhur kemudian menjadi pelindung klen dan dihormati melalui altar-altar di rumah adat.
Arsitektur tradisional Lamaholot adalah cerminan kosmologi mereka. Bangunan, terutama rumah adat, dirancang untuk mereplikasi tatanan alam semesta dan menghubungkan dunia manusia dengan dunia spiritual.
Rumah adat, yang dikenal sebagai Koke atau Lamin, adalah pusat ritual dan sosial klen. Bangunan ini umumnya berbentuk panggung, dibangun dari kayu lokal, bambu, dan atap ijuk yang tinggi. Struktur rumah adat mencerminkan konsep tripartit (tiga bagian) kosmos:
Di dalam rumah adat sering terdapat tiang utama yang dianggap sebagai pusat energi spiritual, tempat leluhur bersemayam. Pembangunannya harus mengikuti perhitungan hari baik dan melibatkan ritual persembahan agar rumah tersebut kokoh secara fisik dan spiritual.
Di setiap desa tradisional, terdapat lokasi suci yang disebut Kuwu (tempat persembahan) atau Keo (terkadang merujuk pada lapangan upacara). Kuwu seringkali berupa formasi batu besar atau altar yang diletakkan di bawah pohon keramat. Ini adalah tempat di mana ritual-ritual penting seperti sumpah adat, upacara panen, dan persembahan arwah dilaksanakan. Situs ini adalah penghubung langsung antara komunitas dengan Tana Ekan (Dewa Bumi) dan Lera Wulan (Dewa Matahari dan Bulan).
Sejak masuknya era kolonial, disusul dengan integrasi ke dalam Republik Indonesia, masyarakat Lamaholot telah menghadapi gelombang perubahan besar yang menantang kelestarian tradisi mereka. Interaksi dengan agama modern (Katolik dan Islam), pendidikan formal, dan ekonomi pasar telah mengubah banyak aspek kehidupan.
Lamaholot memiliki sejarah panjang dalam menerima pengaruh agama luar. Solor, misalnya, adalah pusat Katolik awal di Nusantara. Saat ini, sebagian besar masyarakat Lamaholot memeluk Katolik, disusul oleh Islam (terutama di wilayah pesisir Solor dan Adonara).
Uniknya, alih-alih menghilangkan adat, masyarakat Lamaholot berhasil mengintegrasikan nilai-nilai agama baru ke dalam kerangka adat yang sudah ada. Upacara pernikahan, misalnya, kini mencakup pemberkatan gereja atau ritual Islam, tetapi proses inti negosiasi belis dan aliansi Uhe-Wai tetap menjadi fondasi hukum yang tak terpisahkan. Pemimpin agama sering kali dihormati sejajar dengan pemimpin adat dalam menyelesaikan konflik sosial.
Lamaholot menghadapi masalah serius terkait keterbatasan sumber daya alam dan iklim yang kering. Hal ini menyebabkan tingginya angka migrasi keluar (merantau) ke kota-kota besar di Indonesia, terutama ke Flores daratan, Kupang, bahkan hingga Malaysia.
Migrasi ini memiliki dampak ganda: di satu sisi, ia membawa masuk uang (remitan) yang membantu menopang ekonomi lokal dan membiayai belis; di sisi lain, ia menyebabkan erosi pengetahuan budaya karena generasi muda kurang terlibat langsung dalam pertanian tradisional, tenun, atau ritual.
Upaya pelestarian kini menjadi fokus utama, terutama untuk tradisi yang bergantung pada ekosistem laut dan sumber daya langka. Tradisi Leva Nuang di Lamalera, misalnya, berada di bawah pengawasan internasional, menuntut keseimbangan antara praktik budaya yang diakui PBB dan isu konservasi paus global. Masyarakat Lamalera harus terus memperjuangkan pengakuan tradisi ini sebagai praktik subsisten murni yang dikelola oleh kearifan lokal.
Di sektor seni rupa, muncul gerakan dari para seniman muda untuk memodernisasi motif tenun tanpa menghilangkan maknanya. Penggunaan pewarna kimia semakin umum karena alasan efisiensi, namun banyak kelompok adat yang berjuang keras mempertahankan pewarna alam, menyadari bahwa nilai sakral tenun terletak pada proses tradisionalnya. Pendidikan bahasa Lamaholot di sekolah-sekolah lokal juga digalakkan untuk melawan dominasi Bahasa Indonesia dan memastikan kelangsungan dialek-dialek yang terancam punah.
Untuk memahami Lamaholot secara holistik, penting untuk kembali kepada konsep dualisme yang menjadi dasar hampir semua aspek kehidupan. Dualisme ini, bukan berarti oposisi mutlak, melainkan pasangan komplementer yang menciptakan keseimbangan dan harmoni.
Kosmologi Lamaholot berpusat pada dua entitas utama: Lera Wulan (Matahari dan Bulan, mewakili Langit/Alam Atas) dan Tana Ekan (Bumi, mewakili Alam Bawah/Tanah). Lera Wulan dianggap sebagai pemberi kehidupan, cahaya, dan kekuatan spiritual; Tana Ekan adalah sumber kesuburan, tempat tinggal leluhur, dan penyedia materi.
Interaksi antara kedua entitas ini diwakili dalam ritual dan arsitektur. Atap tinggi rumah adat menghadap Lera Wulan, sementara tiang-tiang rumah menancap ke Tana Ekan. Manusia berada di tengah, bertugas menjaga keseimbangan antara yang spiritual dan yang duniawi.
Dualisme Lewotana (Darat/Kampung) dan Lawi (Laut) memengaruhi pembagian kerja dan identitas klan. Klan yang berasal dari Darat (Raja Tana) bertanggung jawab atas upacara pertanian dan hukum tanah, sementara klan yang berasal dari Laut (Raja Lawi, seperti di Lamalera) bertanggung jawab atas pelayaran, perikanan, dan ritual laut. Meskipun tugas mereka berbeda, kedua pihak wajib berkolaborasi dalam pertukaran komoditas dan ritual, memastikan bahwa komunitas berfungsi sebagai satu kesatuan.
Konsep ini menjelaskan mengapa di Lamalera, bagi hasil dari perburuan paus tidak hanya diberikan kepada nelayan, tetapi juga kepada petani di darat yang menyediakan bekal dan kayu, menegaskan bahwa tidak ada entitas yang dapat bertahan sendiri. Dualisme ini adalah kunci untuk memahami ketahanan Lamaholot dalam menghadapi kerasnya alam.
Meskipun wilayah Lamaholot semakin terbuka terhadap dunia luar melalui infrastruktur dan teknologi, fondasi budaya mereka tetap kukuh. Perjuangan untuk mempertahankan identitas Lamaholot di era globalisasi adalah perjuangan multidimensi: melestarikan bahasa yang terfragmentasi, mempertahankan keadilan sosial dalam sistem belis di tengah inflasi modern, dan menjaga praktik maritim yang berkelanjutan.
Generasi muda Lamaholot saat ini menjadi aktor kunci dalam memodifikasi tradisi agar tetap relevan. Penggunaan media sosial dan teknologi digital telah memungkinkan penyebaran informasi tentang ritual dan tenun ikat ke kancah nasional dan internasional, mengubah persepsi "terpencil" menjadi "unik." Sekolah-sekolah dan inisiatif lokal mulai memasukkan pendidikan budaya, mengajarkan lagu-lagu Dolo-Dolo dan sejarah Koke Bale, memastikan bahwa kearifan lokal tidak hanya tersimpan di kepala para tetua, tetapi juga hidup dalam praktik generasi penerus.
Lamaholot, dengan warisan maritimnya yang luar biasa, struktur sosialnya yang canggih, dan bahasa yang kaya, berdiri sebagai bukti hidup akan ketahanan dan kedalaman peradaban di timur Indonesia. Warisan mereka adalah pengingat akan pentingnya hubungan harmonis antara manusia, leluhur, dan lingkungan alam yang keras namun murah hati. Kehidupan di Solor, Adonara, dan Lembata terus berdenyut, dipandu oleh suara Koke Bale yang bergema dari generasi ke generasi.
Kehidupan di Lamaholot adalah sebuah narasi panjang tentang adaptasi, spiritualitas, dan penghormatan abadi kepada leluhur.