Konsep ‘lalim’ melampaui sekadar deskripsi kezaliman atau kekejaman yang bersifat insidental. Ia adalah sebuah struktur, sebuah sistem terorganisir yang menjadikan ketidakadilan sebagai fondasi operasionalnya. Dalam lanskap etika politik dan sejarah peradaban, lalim (seringkali diterjemahkan sebagai tirani atau despotisme) merupakan salah satu bentuk kegagalan kolektif yang paling purba dan paling merusak. Ia bukan hanya mengenai seorang individu penguasa yang jahat, melainkan mengenai erosi progresif terhadap hukum, moralitas publik, dan, yang terpenting, martabat manusia.
Studi mengenai lalim menuntut kedalaman, karena ia merangkumi aspek psikologis penguasa, kerentanan masyarakat, dan mekanisme tersembunyi yang memungkinkan segelintir orang menguasai nasib jutaan lainnya. Fenomena ini bersifat abadi; meskipun bentuknya berevolusi dari monarki absolut menjadi rezim otoriter modern yang terselubung dalam birokrasi, intisari penindasannya tetap sama: penggunaan kekuasaan yang tidak sah dan tanpa batas untuk kepentingan pribadi atau kelompok, dengan mengorbankan kesejahteraan umum.
Untuk memahami sepenuhnya dampak lalim, kita harus terlebih dahulu menetapkan batas-batas terminologisnya. Dalam banyak tradisi, termasuk pemikiran Islam dan Yunani kuno, 'lalim' berakar pada penyimpangan dari tatanan ilahi atau alamiah. Di Yunani, tyrannos awalnya merujuk pada penguasa yang merebut kekuasaan secara tidak konstitusional, meskipun tidak selalu berarti kejam. Namun, seiring waktu, khususnya setelah kritik tajam dari para filsuf seperti Plato dan Aristoteles, istilah tersebut identik dengan pemerintahan yang menempatkan kehendak penguasa di atas hukum dan keadilan.
Bagi Aristoteles, lalim adalah bentuk pemerintahan terburuk, sebuah penyimpangan (degenerasi) dari monarki. Monarki ideal memerintah demi kebaikan bersama, sementara tirani memerintah demi kepentingan sang tiran semata. Perbedaan krusial ini terletak pada motivasi: apakah kekuasaan digunakan sebagai alat pelayanan atau sebagai tujuan eksploitasi? Tiran, menurut Aristoteles, mempertahankan kekuasaan melalui tiga strategi utama: (1) melenyapkan semua individu yang memiliki harga diri atau jiwa besar, (2) menciptakan kecurigaan dan ketidakpercayaan di antara warga negara, dan (3) memiskinkan rakyat agar mereka terlalu sibuk bertahan hidup untuk merencanakan pemberontakan. Analisis kuno ini tetap relevan karena menggambarkan cetak biru perilaku despotik yang melintasi zaman.
Inti dari kelaliman adalah penolakan terhadap keadilan distributif—prinsip bahwa sumber daya, hak, dan kewajiban harus dialokasikan secara adil. Rezim lalim secara fundamental menolak premis kesetaraan di hadapan hukum. Hukum di bawah kekuasaan lalim berubah fungsinya; ia bukan lagi pelindung rakyat, melainkan senjata ampuh di tangan penguasa untuk melegitimasi tindakan sewenang-wenangnya. Hukum menjadi lentur, diterapkan secara selektif, dan sering kali digunakan untuk menghukum kepatuhan (karena kepatuhan adalah tanda ancaman bagi otoritas mutlak) dan memberdayakan kepatuhan buta.
Kelaliman tidak pernah puas hanya dengan ketaatan; ia menuntut pemujaan. Ia bukan hanya merampas kebebasan fisik, tetapi berusaha mendominasi ruang batin dan kognitif individu.
Bagaimana sebuah sistem lalim mampu bertahan melampaui usia individu penguasa? Kelaliman bukanlah sekadar aksi kekerasan tunggal, melainkan sebuah ekosistem yang dibangun di atas pilar-pilar ketakutan, manipulasi informasi, dan atomisasi sosial.
Ketakutan adalah mata uang utama rezim lalim. Ini berbeda dari ketakutan rasional yang mungkin timbul dari ancaman eksternal. Ketakutan yang ditanamkan oleh lalim adalah ketakutan internal, ketakutan terhadap negara itu sendiri, terhadap tetangga, bahkan terhadap pikiran sendiri. Metode ini menciptakan masyarakat yang rentan terhadap paranoia dan memprioritaskan keamanan palsu di atas kebebasan substansial.
Kelaliman memaksimalkan ketidakpastian. Ketika hukum dapat diubah sewaktu-waktu dan sanksi tidak proporsional dengan pelanggaran (atau bahkan dijatuhkan tanpa pelanggaran), warga negara dipaksa untuk terus-menerus mengantisipasi bencana. Ketidakpastian ini melumpuhkan inisiatif, menghancurkan kreativitas, dan memastikan bahwa energi masyarakat difokuskan pada kelangsungan hidup pribadi dan bukan pada urusan publik.
Kekuasaan lalim modern sangat bergantung pada kontrol total terhadap informasi. Tirani tidak hanya melarang kebenaran; ia secara aktif menciptakan realitas alternatif—sebuah 'kebenaran' resmi yang harus diinternalisasi oleh semua warga negara. Propaganda di sini berfungsi ganda:
Penghancuran sejarah merupakan aspek vital dari monopoli narasi ini. Lalim harus mengontrol masa lalu untuk mengontrol masa kini. Dengan merevisi buku teks, meruntuhkan monumen, dan menghapus memori kolektif, rezim tersebut memastikan bahwa tidak ada standar moral atau historis yang dapat digunakan warga negara untuk menilai perilaku penguasa saat ini.
Ancaman terbesar bagi lalim adalah organisasi kolektif yang independen. Oleh karena itu, semua rezim opresif secara sistematis bekerja untuk memecah belah masyarakat, suatu proses yang disebut atomisasi sosial. Ini dilakukan melalui:
Efek kumulatif dari atomisasi adalah munculnya 'manusia lalim'—individu yang terlalu fokus pada keselamatan diri sendiri sehingga mengabaikan penderitaan tetangganya, suatu kondisi yang sangat memudahkan konsolidasi kekuasaan absolut.
Di era kontemporer, lalim tidak selalu menampilkan wajah tiran yang berteriak atau kekerasan yang terbuka. Seringkali, lalim beroperasi melalui apa yang disebut "tirani lunak" atau "despotisme birokratis"—sebuah bentuk kontrol yang lebih halus namun sama-sama efektif.
Kemajuan teknologi menyediakan alat yang belum pernah ada sebelumnya bagi penguasa lalim. Pengawasan digital massal mengubah sifat ketakutan. Jika di masa lalu tiran harus mengandalkan informan manusia, kini algoritma dapat memantau komunikasi, pergerakan, dan bahkan sentimen publik secara real-time.
Data besar (Big Data) menjadi senjata kontrol. Dengan memetakan jaringan sosial, mengidentifikasi kritikus potensial, dan membatasi akses mereka ke sumber daya ekonomi atau sosial (misalnya, melalui sistem kredit sosial), rezim dapat melakukan penindasan preventif. Ancaman pemantauan konstan ini menciptakan Panopticon mental, di mana setiap individu bertindak seolah-olah mereka sedang diawasi, yang menghasilkan kepatuhan diri (self-censorship) yang jauh lebih efektif daripada pengekangan fisik.
Di banyak rezim lalim kontemporer, kekuasaan negara bersekutu erat dengan kepentingan korporasi besar. Lalim ekonomi terjadi ketika penguasa menggunakan kontrol regulasi dan lisensi untuk memperkaya kroni-kroni mereka, sambil menghancurkan pesaing independen dan usaha kecil. Ini menciptakan sistem di mana keberhasilan finansial tidak didasarkan pada inovasi atau kerja keras, melainkan pada kedekatan politik.
Ekonomi yang dikendalikan secara lalim ini menciptakan lapisan penguasa (oligarki) yang memiliki kepentingan mendalam dalam mempertahankan status quo, karena sumber daya mereka berasal dari rente politik, bukan pasar yang kompetitif. Kerusakan yang diakibatkannya ganda: (1) memiskinkan mayoritas, dan (2) memastikan bahwa kelas menengah yang berpendidikan—yang seringkali menjadi sumber kritik dan perubahan—gagal berkembang atau malah bergantung sepenuhnya pada negara.
Dampak kelaliman jauh melampaui kerugian material atau hilangnya kebebasan politik. Ia secara mendasar merusak jiwa kolektif dan individual, meninggalkan luka yang membutuhkan generasi untuk sembuh.
Lalim menghancurkan konsep 'ruang publik'—tempat di mana warga negara dapat bertemu sebagai setara untuk mendiskusikan urusan bersama. Ketika diskusi politik hanya diperbolehkan jika mendukung narasi resmi, ruang publik berubah menjadi panggung sandiwara, tempat pemujaan palsu. Akibatnya, warga negara kehilangan kapasitas untuk berpikir kritis secara kolektif. Mereka berhenti melatih keterampilan kewarganegaraan: berdebat, berkompromi, dan mencapai kesepakatan berdasarkan bukti.
Kehancuran kebenaran objektif adalah dampak yang paling mengerikan. Ketika kebohongan diulang-ulang oleh otoritas hingga diterima sebagai fakta, dasar untuk penalaran logis dan etis terkikis. Dalam lingkungan di mana fakta dan fiksi dapat ditukar, nilai-nilai moral pun menjadi relatif dan ditentukan oleh penguasa. Ini adalah kondisi prasyarat untuk kejahatan besar, karena ia membebaskan pelaku dari beban nurani.
Paparan terus-menerus terhadap ketidakadilan yang tidak dapat diperbaiki menyebabkan apa yang psikolog sebut sebagai learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari). Masyarakat yang berada di bawah cengkeraman lalim sering menunjukkan sindrom kepasifan: keyakinan bahwa tindakan individu tidak relevan dan bahwa perlawanan hanya akan menghasilkan hukuman yang lebih parah.
Keputusasaan ini menjadi alat kontrol yang sangat kuat. Ketika harapan akan masa depan yang lebih baik padam, energi dialihkan dari perjuangan politik ke pelarian hedonistik atau fokus ekstrem pada keluarga terdekat saja. Kehidupan publik menjadi mati, dan masyarakat kehilangan kemampuan untuk membayangkan alternatif bagi tirani yang ada.
Setiap hari di bawah lalim adalah tantangan moral. Individu harus memilih: menolak dan menghadapi konsekuensinya (pengasingan, penjara, kematian), atau berkompromi dengan berpartisipasi dalam kebohongan rezim. Kelaliman memaksa manusia untuk hidup dalam dualitas: berbicara kebohongan di depan umum sambil mencoba mempertahankan sedikit integritas pribadi secara diam-diam.
Kompromi moral yang terus-menerus ini merusak integritas. Jaringan birokrasi, penegak hukum, dan bahkan pendidik didorong untuk mengkhianati nilai-nilai profesional mereka. Ketika orang-orang baik dipaksa melakukan hal-hal buruk hanya untuk bertahan hidup, garis antara korban dan pelaku menjadi kabur, yang semakin memperumit upaya pemulihan setelah rezim jatuh.
Meskipun kelaliman memiliki mekanisme pertahanan yang kompleks, sejarah menunjukkan bahwa ia pada akhirnya adalah sebuah sistem yang rapuh. Ia mengandalkan kebohongan, dan kebohongan membutuhkan energi tak terbatas untuk dipertahankan. Kebenaran, sebaliknya, memiliki sifat resiliensi yang melekat. Perlawanan terhadap lalim tidak selalu berbentuk revolusi bersenjata; ia sering dimulai sebagai penolakan kecil terhadap penyerahan mental.
Karena lalim bergantung pada penghapusan sejarah, tindakan perlawanan pertama adalah tindakan mengingat. Mempertahankan memori yang jujur tentang korban, tentang kejahatan yang dilakukan, dan tentang kemungkinan tatanan yang lebih baik, adalah vital. Aktivis dan sejarawan yang bekerja di bawah tirani sering menjadi 'penjaga api' memori, mendokumentasikan kebenaran secara rahasia untuk memastikan bahwa ketika rezim runtuh, ada catatan objektif yang tersedia untuk pembangunan kembali.
Arsip-arsip tersembunyi, kisah-kisah lisan yang diwariskan, dan karya seni bawah tanah berfungsi sebagai jangkar moral, mengingatkan masyarakat bahwa realitas yang diciptakan oleh penguasa adalah palsu dan bahwa keadilan sejati adalah mungkin.
Lalim membutuhkan partisipasi yang luas untuk berfungsi. Setiap birokrat, setiap guru, setiap petugas polisi yang melaksanakan perintah sewenang-wenang adalah roda penggerak dalam mesin penindasan. Perlawanan non-kekerasan dan penolakan kecil dapat secara perlahan melumpuhkan sistem tersebut. Ketika sejumlah besar orang memutuskan untuk menolak berpartisipasi dalam ritual kebohongan (misalnya, menolak bertepuk tangan, menolak mengucapkan slogan, menolak melaporkan tetangga), biaya kontrol bagi rezim meningkat secara eksponensial.
Penolakan kecil ini adalah latihan moral kolektif. Ia membangun kembali kepercayaan sosial yang telah dihancurkan oleh rezim. Ketika individu melihat orang lain mengambil risiko kecil, solidaritas mulai bersemi, dan ketakutan berkurang, membuka jalan bagi aksi yang lebih berani.
Jatuhnya rezim lalim seringkali hanyalah awal dari tantangan baru: membangun tatanan politik yang menjamin bahwa kelaliman tidak akan pernah kembali. Proses ini membutuhkan dedikasi yang tak tergoyahkan terhadap supremasi hukum dan akuntabilitas.
Lalim tidak hanya memenjarakan tubuh; ia memenjarakan pikiran. Dampak psikologisnya sering diabaikan dalam analisis politik, padahal inilah yang memungkinkan sistem tersebut bertahan lama. Kelaliman secara sistematis memproduksi trauma transgenerasi.
Dalam masyarakat yang dikuasai lalim, identitas individu terancam. Ketika seseorang dipaksa untuk terus-menerus bertindak bertentangan dengan keyakinan batinnya demi kelangsungan hidup, ia mengalami alienasi dari dirinya sendiri. Seseorang menjadi aktor dalam panggung publik yang dikendalikan oleh negara, sebuah cangkang yang mengucapkan slogan-slogan yang ia tahu palsu.
Kehilangan diri ini merusak hubungan sosial yang otentik. Sulit untuk membentuk ikatan persahabatan yang dalam ketika rasa takut akan pengkhianatan selalu hadir. Hasilnya adalah populasi yang terisolasi secara emosional, mudah dikelola, dan tidak mampu melakukan tindakan kolektif berdasarkan empati.
Trauma yang disebabkan oleh lalim (penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan) tidak terbatas pada korban langsung. Mereka merembes ke seluruh masyarakat, menciptakan ketakutan mendalam yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Anak-anak yang tumbuh di bawah rezim lalim mungkin belajar sejak dini bahwa kerahasiaan, kehati-hatian ekstrem, dan kurangnya ekspresi emosi adalah kunci untuk bertahan hidup.
Setelah rezim jatuh, ketidakpercayaan yang ditanamkan oleh negara sulit untuk dihilangkan. Warga negara terus mencurigai institusi, bahkan institusi yang baru dan demokratis, karena pengalaman masa lalu mengajarkan bahwa kekuasaan selalu korup. Membangun kembali kepercayaan publik—yaitu, meyakinkan warga negara bahwa pemerintah mereka tidak akan lagi menyakiti mereka—adalah tugas rekonstruksi psikologis dan politik yang paling berat.
Lalim adalah antitesis dari kontrak sosial yang sehat. Kontrak sosial, seperti yang diutarakan oleh para filsuf Pencerahan, didasarkan pada kesepakatan bahwa warga negara melepaskan sebagian kecil kebebasan mereka sebagai imbalan atas perlindungan hak-hak dasar dan jaminan tatanan hukum yang adil. Lalim merusak kontrak ini dengan cara yang mendasar.
Ciri khas lalim adalah penolakan terhadap batasan konstitusional. Di bawah lalim, tidak ada perbedaan fungsional antara negara, partai penguasa, dan pemimpin. Semua otoritas menyatu dalam satu kehendak. Ketika tidak ada batasan, tidak ada pula tanggung jawab. Penguasa lalim tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, baik di hadapan hukum (karena mereka mengendalikan hukum) maupun di hadapan publik (karena mereka mengendalikan informasi dan pemilu, jika ada).
Dalam konteks modern, hal ini sering diwujudkan melalui 'keadaan darurat permanen'. Dengan terus-menerus mengklaim adanya ancaman internal atau eksternal yang parah, penguasa membenarkan penangguhan hak-hak sipil dan perluasan kekuasaan eksekutif, mengubah pengecualian menjadi norma pemerintahan.
Bagi rezim lalim, korupsi bukanlah sekadar efek samping; ia adalah strategi politik. Korupsi sistematis berfungsi untuk dua tujuan utama:
Dengan demikian, korupsi mengubah struktur negara menjadi jaringan patronase yang rumit, di mana keadilan, meritokrasi, dan efisiensi dikorbankan demi kepatuhan hierarkis.
Setiap rezim lalim memiliki ketakutan yang mendalam terhadap pemikiran independen. Intelektual, seniman, dan jurnalis, yang tugasnya adalah mempertanyakan dan merefleksikan, secara otomatis menjadi musuh negara.
Lalim secara aktif menciptakan lingkungan di mana kegiatan intelektual yang jujur menjadi tidak mungkin. Ini dilakukan melalui sensor, pemecatan akademisi kritis, dan, dalam kasus yang parah, pemenjaraan atau pengasingan. Tujuan utamanya adalah untuk memutus mata rantai kritis antara elit intelektual dan publik luas. Ketika masyarakat kehilangan akses ke analisis independen, mereka terpaksa hanya mengonsumsi narasi yang disetujui oleh negara.
Seniman juga menghadapi dilema yang sama. Seni sejati bersifat eksploratif dan subversif; ia menantang status quo. Rezim lalim hanya mengizinkan 'seni resmi' yang memuliakan penguasa atau yang berfungsi sebagai alat propaganda. Akibatnya, budaya menjadi steril dan kehilangan kemampuan untuk membantu masyarakat memproses trauma dan mengartikulasikan harapan mereka.
Kontrol pikiran dimulai dengan kontrol bahasa. Lalim secara sistematis merusak makna kata-kata. Istilah-istilah seperti ‘kebebasan’, ‘keadilan’, dan ‘demokrasi’ dipertahankan, tetapi maknanya diubah sepenuhnya. Misalnya, 'kebebasan' diartikan sebagai 'kebebasan untuk memuji negara', dan 'keadilan' diartikan sebagai 'hukuman bagi musuh-musuh negara'.
Penyimpangan bahasa ini menciptakan jurang antara realitas yang dihidupi oleh warga negara dan realitas yang dipaksakan oleh rezim. Ini adalah salah satu bentuk lalim yang paling halus: ia memaksa korban untuk menggunakan bahasa penindasnya sendiri, menginternalisasi logika yang merusak diri sendiri.
Melawan lalim adalah tugas yang berkelanjutan, bahkan di masyarakat yang dianggap bebas. Benteng pertahanan terhadap despotisme tidak hanya berupa undang-undang, tetapi juga mentalitas dan praktik sehari-hari.
Pencegahan lalim membutuhkan warga negara yang tidak hanya pasif menikmati hak, tetapi secara aktif mempertahankan dan melatihnya. Ini termasuk keterlibatan dalam politik lokal, mendukung media independen, dan bersedia mempertanyakan otoritas, bahkan ketika otoritas tersebut populer. Lalim selalu mengambil langkah kecil di bawah selubung urgensi. Masyarakat harus waspada terhadap erosi hak-hak kecil, karena hak-hak besar akan segera menyusul.
Institusi perantara yang kuat—lembaga swadaya masyarakat, pers bebas, universitas independen, dan organisasi keagamaan yang tidak dikontrol negara—bertindak sebagai penyangga antara individu dan kekuasaan negara. Mereka adalah sumber informasi alternatif, sarana untuk mengorganisasi perlawanan, dan gudang pemikiran bebas. Mendukung dan melindungi independensi institusi-institusi ini adalah garis pertahanan krusial.
Lalim berhasil ketika ia mengisolasi korbannya. Empati, kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain, adalah obat penawar yang kuat. Solidaritas—tindakan berdiri bersama dengan mereka yang tertindas, meskipun risiko yang diambil kecil—menghancurkan atomisasi yang diinginkan oleh rezim. Setiap tindakan solidaritas adalah pengingat bahwa kebenasan dan martabat manusia adalah nilai-nilai yang tidak dapat dinegosiasikan dan harus diperjuangkan secara kolektif.
Kelaliman, dalam segala manifestasinya, adalah pengingat pahit bahwa kekuasaan, jika tidak diawasi dan dibatasi oleh moralitas dan hukum, akan selalu cenderung menuju kezaliman. Sejarah mengajarkan kita bahwa harga kebebasan adalah kewaspadaan abadi, bukan hanya terhadap ancaman dari luar, tetapi terutama terhadap sifat internal kekuasaan itu sendiri.
Perjuangan melawan lalim adalah perjuangan untuk mempertahankan kemanusiaan itu sendiri—sebuah komitmen untuk tatanan di mana setiap individu, terlepas dari kekuasaan atau status mereka, diperlakukan dengan keadilan dan hormat. Kesadaran mendalam terhadap anatomi lalim adalah langkah pertama untuk memastikan bahwa ia tidak pernah lagi menguasai nasib peradaban kita.