Laksan bukan sekadar hidangan mi biasa; ia adalah manifestasi kekayaan budaya kuliner Nusantara, khususnya yang berakar kuat di wilayah Sumatra Selatan. Berbeda dengan Laksa dari Semenanjung Melayu atau bahkan varian Lakso dari daerah yang sama, Laksan menonjol dengan tekstur mi berasnya yang padat, kenyal, dan kuah santan kental yang sarat dengan aroma rempah serta cita rasa ikan yang lembut namun dominan. Hidangan ini merupakan perpaduan harmonis antara kekayaan hasil laut dan bumi tropis, menghasilkan pengalaman rasa yang mendalam dan memuaskan. Eksistensi Laksan adalah cerminan sejarah panjang perdagangan, akulturasi, dan warisan resep turun-temurun yang dijaga dengan penuh ketekunan.
Untuk memahami Laksan, kita harus menelusuri akarnya di Palembang, ibukota Sumatra Selatan. Palembang, dengan sejarahnya sebagai pusat perdagangan maritim yang sibuk sejak era Sriwijaya, telah lama menjadi wadah pertemuan berbagai budaya. Lokasi strategis ini memengaruhi kekayaan kuliner lokal, yang didominasi oleh hidangan berbasis ikan air tawar atau laut, seperti Pempek, Tekwan, dan tentu saja, Laksan.
Seringkali terjadi kekeliruan antara Laksan dan Lakso, dua hidangan khas Palembang yang serupa namun memiliki perbedaan fundamental dalam hal bentuk mi dan kuahnya. Laksan menggunakan mi yang dicetak padat dan diiris, mirip dengan pempek lenjer, yang memberikan tekstur kenyal dan substansial. Sementara itu, Lakso menggunakan mi yang dicetak langsung menjadi untaian tebal, menyerupai mi cacing atau mi putu mayang, dan disajikan dengan kuah santan kuning yang lebih encer dan ringan.
Perbedaan tekstur ini sangat menentukan sensasi makan. Laksan ditujukan untuk memberikan kekenyalan yang memuaskan, di mana irisan mi beras mampu menyerap kuah kental dengan sempurna. Kontrasnya, Lakso menawarkan tekstur yang lebih halus dan mudah lumer, menjadikannya pilihan untuk santapan yang lebih lembut. Kedua hidangan ini, meskipun menggunakan basis kuah rempah dan ikan yang serupa, diposisikan secara berbeda dalam peta kuliner Palembang.
Penggunaan ikan, terutama ikan gabus atau ikan tenggiri, dalam Laksan mencerminkan kedekatan masyarakat Palembang dengan Sungai Musi dan perairan sekitarnya. Ikan yang dihaluskan menjadi bahan utama adonan mi beras dan juga penambah rasa umami yang mendalam pada kuah. Teknik pembuatan mi beras yang diolah dengan tepung sagu atau tapioka ini memiliki kemiripan dengan proses pembuatan pempek, menunjukkan evolusi kuliner dari satu basis bahan baku yang sama.
Sejarah Laksan erat kaitannya dengan adaptasi bahan pangan. Ketika tepung terigu (yang didominasi gandum impor) sulit didapat, masyarakat beralih menggunakan sagu dan beras sebagai bahan dasar. Inilah yang melahirkan berbagai produk olahan ikan dan tepung beras/sagu yang kita kenal sekarang. Laksan adalah produk kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal.
Proses historis akulturasi juga terlihat pada bumbu kuahnya. Meskipun inti bumbu bersifat Melayu (santan, kunyit, serai), kehadiran bumbu-bumbu seperti ketumbar dan jintan menunjukkan pengaruh India dan Arab yang masuk melalui jalur perdagangan. Hasilnya adalah kuah yang kompleks, aromatik, dan memiliki kedalaman rasa yang tidak bisa ditiru hanya dengan bumbu instan.
Sebuah hidangan Laksan yang sempurna terdiri dari tiga pilar utama: adonan mi beras yang kenyal, kuah santan yang kaya rempah, dan sambal pelengkap yang memberikan tendangan pedas. Masing-masing komponen harus disiapkan dengan presisi untuk mencapai keseimbangan rasa yang optimal.
Mi Laksan bukanlah mi yang ditarik atau dipotong tipis seperti mi pada umumnya. Mi ini dibuat dari adonan yang sangat mirip dengan pempek lenjer atau pempek kapal selam, tetapi dengan penekanan pada penggunaan tepung beras yang lebih banyak atau komposisi tepung sagu yang lebih spesifik untuk menghasilkan tekstur yang lebih padat dan tidak terlalu membal seperti pempek. Prosesnya dimulai dengan menguleni adonan tepung beras, tepung sagu/tapioka, dan daging ikan yang sudah dihaluskan.
Kualitas ikan sangat memengaruhi rasa adonan. Ikan tenggiri (Scomberomorus) sering dipilih karena dagingnya yang putih, padat, dan aromanya yang gurih. Namun, di Palembang, banyak juga yang menggunakan ikan gabus (Channa striata) karena ketersediaannya yang melimpah dan kekhasan rasanya. Daging ikan harus dihaluskan sehalus mungkin, dicampur dengan air dingin, dan kemudian perlahan-lahan dimasukkan ke dalam campuran tepung beras dan sagu.
Adonan yang sudah kalis kemudian dibentuk menjadi bentuk silinder panjang, menyerupai batang sosis atau lenjer pempek. Batangan adonan ini direbus dalam air mendidih hingga mengapung dan matang sepenuhnya. Setelah matang, laksan didinginkan total. Pendinginan adalah tahap krusial; laksan yang panas akan lengket dan sulit diiris. Setelah dingin, laksan diiris tipis secara melintang, siap untuk disajikan. Irisan tipis inilah yang menjadi media utama penyerap kuah.
Kuah Laksan adalah elemen yang paling menentukan. Ia adalah kuah berbasis santan yang dimasak dengan bumbu kuning kaya rempah, memberikan warna khas dan aroma yang memikat. Kuah ini harus memiliki konsistensi yang kental, tetapi tetap mengalir, mampu melapisi irisan laksan tanpa terasa berminyak.
Santan yang digunakan idealnya adalah perpaduan antara santan kental (kepala santan) dan santan encer. Santan encer digunakan di awal untuk melarutkan bumbu yang ditumis, sementara santan kental ditambahkan di tahap akhir untuk memberikan kekayaan rasa dan tekstur yang pekat. Perbandingan yang tepat sangat penting; terlalu encer akan membuat rasa hambar, sementara terlalu kental bisa terasa enek.
Bumbu dasar Laksan adalah kunci kedalaman rasanya. Bumbu ini merupakan campuran kompleks yang ditumis hingga matang dan harum sebelum santan ditambahkan. Komponen utamanya meliputi:
Proses penumisan bumbu ini harus dilakukan dengan sabar, memastikan semua rempah matang sempurna (pecah minyak). Bumbu yang matang tidak hanya lebih harum tetapi juga lebih tahan lama, serta menjamin kuah tidak langu.
Memasak Laksan adalah seni yang membutuhkan perhatian terhadap detail, mulai dari persiapan bahan hingga penyelesaian kuah. Proses ini dibagi menjadi dua bagian besar: pembuatan laksan (mi beras) dan pembuatan kuah kuning yang kaya.
Kualitas laksan sangat tergantung pada perbandingan tepung dan ikan. Resep tradisional menekankan bahwa mi harus cukup padat untuk diiris tanpa hancur saat direndam dalam kuah panas.
Ikan yang sudah bersih direbus atau dikukus, lalu diambil dagingnya dan dihaluskan. Daging ikan dicampur dengan tepung beras, sedikit air es, dan bumbu halus (garam, gula, penyedap). Setelah adonan tercampur, tepung sagu atau tapioka ditambahkan sedikit demi sedikit, sambil diuleni ringan. Pengulenan tidak boleh terlalu kuat agar adonan tidak keras. Perbandingan yang sering digunakan adalah 1:1 antara daging ikan dan tepung total, dengan komposisi tepung beras lebih dominan daripada sagu.
Adonan yang sudah kalis dibentuk menjadi silinder dengan diameter sekitar 4-5 cm. Silinder ini kemudian direbus dalam air mendidih. Waktu perebusan sangat lama, bisa mencapai 45-60 menit, tergantung ketebalannya, untuk memastikan bagian tengahnya matang sempurna. Tanda matang adalah laksan mengapung dan permukaannya terasa kenyal saat disentuh.
Setelah diangkat, laksan harus dibiarkan dingin di suhu ruang selama minimal 4 jam, atau lebih baik lagi didinginkan di kulkas semalaman. Setelah benar-benar dingin dan padat, laksan diiris melintang dengan ketebalan ideal sekitar 0,5 cm. Irisan inilah yang akan diletakkan di mangkuk saji.
Kuah ini harus memiliki rasa umami ikan yang kuat, dibalut kehangatan rempah, dan dinetralkan oleh kekayaan santan. Langkah demi langkah sangat esensial.
Bumbu (bawang, kunyit bakar, jahe, ketumbar, jintan, cabai) dihaluskan hingga benar-benar lumat. Kunyit sebaiknya dibakar sebentar untuk mengeluarkan aroma terbaiknya dan mengurangi rasa langu.
Bumbu halus ditumis dalam minyak panas hingga harum dan warnanya berubah pekat. Setelah bumbu matang, masukkan bumbu aromatik (serai geprek, lengkuas, daun salam, daun jeruk). Bersamaan dengan itu, sebagian kecil daging ikan yang telah direbus dan dihaluskan (bukan sisa adonan mi) dimasukkan ke dalam tumisan bumbu. Langkah ini berfungsi untuk memperkaya rasa kuah dengan inti rasa ikan murni. Tumis hingga daging ikan menyatu sempurna dengan bumbu.
Tuang santan encer terlebih dahulu, aduk perlahan agar santan tidak pecah. Didihkan. Setelah mendidih, masukkan santan kental, garam, gula merah (untuk warna dan rasa manis alami), dan sedikit penyedap jika diperlukan. Masak dengan api kecil, aduk terus menerus, hingga kuah mengental, matang, dan minyak rempah muncul di permukaan. Proses memasak santan ini bisa memakan waktu 30-45 menit untuk memastikan kuah benar-benar tanak dan lezat. Kuah Laksan harus dimasak hingga ‘pecah minyak’ sempurna.
Laksan adalah hidangan yang berbicara melalui kontras. Kontras antara tekstur mi yang padat dan kuah yang lembut, kontras antara rasa gurih asin dan sedikit manis alami dari santan dan gula merah, serta kontras antara kehangatan rempah dan kesegaran taburan yang disajikan. Memahami filosofi rasa ini adalah kunci untuk menghargai Laksan secara keseluruhan.
Tidak seperti mi air (mie terigu) yang berfokus pada kelenturan (al dente), laksan menekankan pada kekenyalan (chewiness) dan kepadatan. Kekenyalan ini penting karena mi berfungsi sebagai kanvas rasa. Irisan mi yang padat mampu menahan kuah yang kental, memastikan setiap gigitan memberikan ledakan rasa kuah yang optimal. Jika mi terlalu lembek, ia akan cepat hancur dalam kuah dan menghilangkan karakteristik utama Laksan.
Tekstur yang ‘berat’ ini juga memberikan efek mengenyangkan yang luar biasa, menjadikannya bukan hanya camilan tetapi juga makanan utama. Dalam budaya Palembang, hidangan seperti Laksan dan Pempek sering kali disajikan sebagai pengganti nasi karena sifatnya yang padat dan berbahan dasar karbohidrat (tepung beras/sagu).
Kuah Laksan adalah perpaduan umami (dari ikan) dan kompleksitas rempah. Kunyit memberikan rasa tanah yang khas, jahe dan lengkuas memberikan kehangatan internal, sementara daun jeruk dan serai memberikan aroma citrus yang segar. Keseimbangan harus dicapai agar rasa ikan tidak terlalu amis, dan rempah tidak terlalu mendominasi.
Penggunaan gula merah (gula aren) dalam kuah memiliki peran ganda: tidak hanya menyeimbangkan rasa asin dari garam, tetapi juga memperkaya warna kuah menjadi kuning kemerahan yang menggugah selera. Gula merah juga menambahkan lapisan rasa karamel yang lembut, yang merupakan ciri khas banyak masakan Sumatra Selatan.
Laksan disajikan dengan beberapa pelengkap yang wajib ada. Pelengkap ini seringkali dianggap sepele, namun esensial untuk menyempurnakan pengalaman makan:
Tanpa bawang goreng dan sambal yang segar, Laksan terasa kurang lengkap. Bawang goreng menambahkan dimensi tekstur yang sangat dibutuhkan untuk melawan kelembutan mi dan kuah.
Meskipun Laksan Palembang adalah varian yang paling terkenal dan diakui, konsep mi beras dalam kuah santan kaya rempah juga ditemukan di berbagai daerah, seringkali dengan modifikasi bumbu dan jenis ikan yang digunakan, menunjukkan betapa fleksibelnya resep inti ini.
Kepulauan Bangka Belitung, yang memiliki kedekatan budaya dan geografis dengan Palembang, juga memiliki hidangan Laksan. Perbedaan utama sering terletak pada jenis ikan yang digunakan (lebih sering menggunakan ikan laut karena ketersediaan) dan intensitas bumbu. Laksan Bangka mungkin memiliki kuah yang sedikit lebih ringan atau menggunakan lebih banyak lada putih untuk menghasilkan kehangatan yang berbeda dari versi Palembang yang lebih mengandalkan kunyit dan cabai.
Selain itu, teknik pembuatan mi laksan di Bangka terkadang lebih sederhana atau mengadaptasi cetakan yang sedikit berbeda, namun prinsip mi padat yang diiris tetap dipertahankan. Konsistensi kuah cenderung lebih cair untuk menyegarkan, cocok dengan iklim pesisir. Namun, inti dari santan kental dan ikan tetap menjadi primadona.
Di luar Palembang, ketersediaan Ikan Gabus atau Ikan Tenggiri berkualitas tinggi dapat menjadi kendala. Oleh karena itu, adaptasi modern sering menggunakan ikan laut lain seperti Ikan Kakap atau bahkan Ikan Tuna. Meskipun rasa umami yang dihasilkan akan berbeda (hilangnya nuansa ‘daging’ dari ikan air tawar), penyesuaian bumbu dapat dilakukan untuk mempertahankan kekayaan kuah. Penting untuk diingat bahwa daging ikan harus benar-benar dihaluskan dan dimasak agar tidak meninggalkan serpihan atau tulang.
Beberapa inovasi Laksan, terutama yang disajikan di restoran modern, mungkin menambahkan kaldu udang atau bahkan pasta udang (terasi) untuk memperkaya rasa umami laut. Meskipun terasi bukan bagian dari bumbu inti Laksan otentik, penggunaannya secara bijaksana dapat memberikan dimensi gurih yang baru, menunjukkan bahwa kuliner tradisional terus berevolusi sesuai selera zaman.
Dahulu Laksan adalah hidangan yang sering disajikan pada acara-acara khusus atau sebagai menu sarapan yang mengenyangkan. Kini, seiring popularitas kuliner Palembang yang meluas, Laksan telah menjadi menu wajib di warung-warung makan, pasar tradisional, dan bahkan di gerai makanan cepat saji berbasis kuliner lokal. Pergeseran status ini menunjukkan keberhasilan Laksan dalam mempertahankan relevansinya di tengah gempuran makanan modern.
Beberapa penjual Laksan bahkan mulai bereksperimen dengan topping. Misalnya, menambahkan telur rebus, taburan ebi sangrai, atau bahkan potongan kecil udang kering. Meskipun demikian, Laksan yang paling otentik tetap mengandalkan kesederhanaan mi beras dan kuah yang kaya tanpa terlalu banyak gangguan topping.
Rempah-rempah adalah jiwa dari masakan Indonesia, dan dalam kasus Laksan, kombinasi bumbu-bumbu ini menciptakan sebuah simfoni rasa yang hangat dan kompleks. Setiap rempah memiliki tugas spesifik, baik dalam hal pengawetan, aroma, maupun rasa. Memahami fungsi individu setiap rempah akan mengungkap mengapa Laksan memiliki rasa yang begitu memikat.
Bawang merah adalah fondasi rasa manis dan gurih alami yang mendalam. Jumlah bawang merah yang digunakan dalam kuah Laksan seringkali jauh lebih banyak daripada bawang putih. Bawang merah yang ditumis dengan matang akan menghasilkan minyak beraroma yang menjadi pengikat rasa santan dan rempah lainnya. Kualitas tumisan bawang merah menentukan kematangan kuah. Jika bawang merah tidak matang, kuah akan terasa ‘mentah’ atau langu.
Meskipun jumlahnya lebih sedikit, bawang putih menambahkan ketajaman rasa dan aroma yang kuat, yang sangat penting untuk menyeimbangkan rasa ikan. Bawang putih juga dikenal sebagai agen anti-mikroba alami, berkontribusi pada daya tahan kuah santan.
Kunyit bukan hanya pewarna alami. Kunyit memberikan rasa sedikit pahit dan tanah yang menenangkan. Dalam kuah Laksan, kunyit berperan menetralkan aroma amis ikan secara efektif. Kunyit wajib dibakar sebelum dihaluskan untuk memaksimalkan aroma dan menghilangkan rasa langu yang tidak diinginkan.
Duo rempah biji ini bertanggung jawab atas aroma Timur Tengah yang hangat dan memberikan kedalaman rasa yang tidak bisa disediakan oleh bumbu segar saja. Ketumbar memberikan rasa yang lebih ringan dan citrusy, sementara jintan memberikan rasa yang lebih berat, hangat, dan sedikit pahit. Penggunaan yang seimbang dari keduanya memastikan kuah memiliki lapisan rasa yang kaya.
Batang serai yang digeprek memberikan aroma segar lemon yang sangat penting untuk kuah santan. Aroma ini melawan kekentalan santan sehingga hidangan tidak terasa terlalu ‘berat’ atau berminyak di lidah. Serai harus digeprek kuat-kuat agar minyak esensialnya keluar secara maksimal saat dimasak.
Keduanya memberikan sensasi hangat dan pedas yang berfungsi sebagai ‘penghangat’ tubuh. Lengkuas memiliki aroma yang lebih kuat dan sering digunakan sebagai pengawet alami, sementara jahe memberikan rasa pedas yang lebih tajam dan sangat baik untuk menghilangkan bau amis pada protein berbasis ikan.
Daun jeruk purut, ketika disobek, melepaskan minyak atsiri yang sangat wangi, memberikan karakter khas pada kuah. Sementara daun salam menambahkan aroma herbal yang lembut dan klasik, menyempurnakan bumbu dasar Nusantara.
Tanpa kombinasi rempah ini, kuah Laksan akan kehilangan identitasnya dan menjadi kuah santan biasa. Keahlian koki terletak pada kemampuan mereka menakar dan menumis semua rempah ini hingga mencapai titik ‘matang sempurna’ sebelum santan ditambahkan.
Laksan tidak dapat dipisahkan dari kuliner Palembang yang lebih besar, terutama dari tradisi olahan ikan dan sagu/beras yang melahirkan Pempek. Laksan sering dianggap sebagai ‘saudara’ kandung Pempek Lenjer, karena teknik pembuatan adonan dasarnya sangat mirip.
Baik Laksan, Pempek, maupun Tekwan memanfaatkan keahlian mengolah daging ikan dengan tepung sagu. Bedanya, Pempek disajikan dengan kuah cuka yang asam, manis, dan pedas (Kontras air dan api). Laksan, sebaliknya, disajikan dengan kuah santan yang kaya, gurih, dan hangat (Kontras air dan bumi).
Perbedaan ini menunjukkan adaptasi kuliner Palembang dalam memanfaatkan bahan dasar yang sama untuk menciptakan pengalaman rasa yang sangat berbeda. Jika Pempek adalah tentang penyegaran dan tendangan asam, Laksan adalah tentang kehangatan dan kekayaan. Keduanya menunjukkan fleksibilitas dalam penggunaan ikan, namun kuah mereka yang menentukan identitas akhir hidangan tersebut.
Di Palembang, Laksan sering muncul dalam acara-acara khusus. Pada perayaan besar, seperti Lebaran atau pernikahan, Laksan dan Lakso sering disajikan sebagai salah satu makanan utama, berdampingan dengan Pempek dan hidangan berat lainnya. Ini menunjukkan status Laksan sebagai hidangan yang dihormati, mewakili kekayaan budaya dan keramahan tuan rumah.
Proses pembuatan Laksan secara tradisional seringkali memakan waktu berhari-hari, mulai dari menangkap ikan, mengolah tepung, hingga memasak kuah santan. Tradisi memasak bersama ini juga menjadi bagian penting dari warisan budaya yang terkait dengan Laksan.
Untuk mereka yang ingin mendalami pembuatan Laksan, berikut adalah detail mengenai pemilihan dan penanganan bahan baku yang dapat meningkatkan kualitas hidangan secara signifikan, melewati resep standar.
Ikan Gabus memberikan rasa yang lebih ‘daging’ dan umami yang lebih kuat dibandingkan Tenggiri. Namun, Ikan Gabus memiliki aroma yang lebih khas yang harus dihilangkan melalui proses yang cermat. Setelah direbus atau dikukus, daging ikan harus dihaluskan dan diuleni dengan garam dan air es berkali-kali untuk memastikan teksturnya halus dan tidak berserat.
Untuk kuah, Ikan Gabus yang digunakan sebaiknya disangrai sebentar setelah direbus dan dihaluskan. Proses sangrai kering ini akan mengeluarkan minyak alami ikan dan memperkuat aroma gurihnya sebelum dicampur ke dalam tumisan bumbu, menghasilkan kuah yang lebih kaya dan beraroma panggang lembut.
Untuk mencapai kekentalan kuah Laksan yang luar biasa, beberapa koki tradisional menerapkan teknik memasak santan yang sangat lama, mirip dengan proses rendang, meskipun tidak sampai mengering. Tujuannya adalah agar santan pecah minyak sempurna dan bumbu meresap hingga ke molekul terkecil.
Proses ini memerlukan penggunaan santan segar yang berkualitas tinggi dan api yang sangat kecil, dimasak selama minimal dua jam. Pengadukan harus dilakukan secara berkala dan konsisten. Hasilnya adalah kuah yang sangat pekat, tahan lama, dan memiliki lapisan minyak kemerahan dari cabai dan kunyit yang sangat menggiurkan.
Pecahnya santan adalah masalah umum. Untuk menghindarinya, pastikan:
Kontrol panas yang presisi adalah kunci. Kuah Laksan yang baik haruslah homogen, kental, dan bebas dari gumpalan atau serpihan santan yang pecah.
Perjalanan memahami Laksan adalah perjalanan menguak salah satu harta karun kuliner Indonesia yang paling berharga. Lebih dari sekadar hidangan mi, Laksan adalah perwujudan keuletan, kearifan lokal, dan perpaduan rempah yang telah diwariskan lintas generasi. Dengan kuahnya yang memeluk, dan mi-nya yang padat, Laksan menawarkan kenyamanan dan rasa otentik Nusantara yang tak tergantikan. Kehadirannya di setiap meja makan adalah perayaan akan kekayaan bahari dan tradisi yang tak lekang oleh waktu.
Setiap irisan laksan yang direndam dalam kuah kuning pekat adalah sebuah narasi. Narasi tentang sungai Musi yang subur, tentang pedagang yang membawa rempah dari jauh, dan tentang tangan-tangan terampil ibu yang menjaga resep ini tetap hidup dan murni. Hidangan ini menuntut kesabaran dalam proses pembuatannya; dari proses pengulenan mi beras yang harus pas kekenyalannya, hingga penumisan bumbu dasar yang harus matang sempurna, menciptakan aroma yang menguar ke seluruh penjuru rumah.
Mengapa Laksan diiris, bukan dicetak panjang seperti mi pada umumnya? Bentuk irisan padat ini memaksimalkan luas permukaan yang kontak dengan kuah kental. Mi yang diiris mampu ‘menangkap’ kuah, bukannya hanya terendam. Ini berbeda dengan mi tipis yang cenderung hanya ‘terlapisi’ kuah. Dalam satu suapan Laksan, kita mendapatkan paduan sempurna antara kekenyalan karbohidrat dan intensitas rasa dari santan dan ikan. Konsistensi irisan juga memastikan bahwa setiap potong memiliki ukuran dan kepadatan yang seragam, menjamin pengalaman rasa yang stabil dari gigitan pertama hingga terakhir.
Faktor lain adalah asal-usulnya yang dekat dengan Pempek. Secara tradisional, adonan mi Laksan seringkali menggunakan sisa adonan pempek yang tidak dicetak menjadi bentuk lain, atau menggunakan formulasi yang sangat mirip, sehingga irisan menjadi cara penyajian yang logis dan efisien. Ini menunjukkan sifat praktis dan tidak ada limbah dalam kuliner tradisional Palembang.
Karena Laksan adalah hidangan yang kompleks dan melibatkan santan kental, penanganan dan penyajian ulangnya memerlukan perhatian khusus untuk mempertahankan kualitas rasa dan tekstur.
Jika Laksan tidak habis dalam sekali makan, sangat disarankan untuk menyimpan mi (irisan laksan) dan kuah secara terpisah. Kuah santan kental sangat rentan basi, terutama di iklim tropis. Kuah sebaiknya dididihkan kembali dan disimpan dalam wadah kedap udara di lemari es. Dengan dipisahkan, tekstur mi laksan akan tetap terjaga kekenyalannya dan tidak menyerap terlalu banyak air dari kuah, yang bisa membuatnya lembek.
Mi Laksan yang sudah diiris dapat disimpan dengan baik dalam wadah tertutup di lemari es hingga beberapa hari. Sebelum disajikan ulang, mi cukup dikukus sebentar atau disiram air panas untuk mengembalikan suhunya.
Menghangatkan kuah santan kental berulang kali dapat menyebabkan santan pecah atau bahkan kuah menjadi terlalu berminyak. Cara terbaik adalah menghangatkan kuah di atas api kecil, sambil diaduk perlahan. Jangan biarkan kuah mencapai didih yang mendesis terlalu cepat. Cukup panaskan hingga suam-suam kuku atau hingga muncul uap tipis. Jika kuah terasa terlalu kental setelah pendinginan, tambahkan sedikit santan encer segar saat memanaskan.
Laksan selalu disajikan panas. Panasnya kuah adalah kunci untuk melepaskan aroma rempah yang terkunci di dalamnya. Irisan laksan diletakkan di dasar mangkuk, disiram dengan kuah panas yang melimpah, dan kemudian ditaburi bawang goreng, irisan daun kucai, dan sambal cabai rawit (sesuai selera). Tradisi mengharuskan laksan segera disantap setelah disajikan untuk menikmati kontras suhu dan tekstur yang maksimal.
Dalam konteks acara adat, Laksan mungkin disajikan dalam wadah tanah liat atau mangkuk keramik berwarna sederhana untuk menonjolkan keindahan warna kuning kemerahan kuahnya. Penyajian yang elegan juga menekankan pentingnya hidangan ini dalam acara tersebut.
Untuk mencapai depth of flavor yang diinginkan dalam Laksan, kuantitas dan kualitas rempah jauh lebih penting daripada kerumitan resep. Mari kita telaah lebih jauh bagaimana rasio rempah memengaruhi kuah.
Laksan otentik Palembang tidak harus pedas, melainkan hangat. Cabai merah besar digunakan untuk warna dan sedikit rasa pedas yang lembut. Pedas yang menyengat biasanya disediakan oleh sambal pendamping (cabai rawit hijau atau merah yang direbus dan dihaluskan). Rasio cabai yang seimbang dalam bumbu dasar menghasilkan kuah yang kaya tanpa menutupi rasa utama ikan dan santan.
Gula merah (gula aren) memberikan rasa manis yang lebih kompleks dan warna cokelat gelap yang memperindah kuah kuning. Gula pasir hanya digunakan sebagai penyeimbang jika rasa asin atau pedas terlalu dominan. Kualitas gula aren yang baik, yang memiliki rasa karamel kuat, sangat dianjurkan. Gula aren juga membantu menjaga keawetan kuah secara alami.
Ikan Gabus (Channa striata) sering dipuja dalam kuliner Palembang karena dagingnya yang tidak berbau lumpur jika diolah dengan benar, serta kandungan umami yang tinggi. Laksan yang dibuat dengan ikan gabus premium akan memiliki rasa ‘kaldu daging’ yang lebih tebal pada kuah, berbeda dengan Tenggiri yang memberikan rasa umami yang lebih ‘ringan’ dan aromatik.
Untuk memaksimalkan rasa ikan gabus, jangan hanya menggunakan dagingnya pada adonan mi; masukkan juga ekstrak tulangnya ke dalam kuah santan. Tulang ikan yang direbus lama dapat menghasilkan kaldu yang sangat kaya, menjadi basis rasa kuah sebelum ditambahkan santan. Proses ini memakan waktu, namun hasilnya sangat berharga, menambahkan lapisan umami yang tak tertandingi.
Laksan merupakan cerminan dari kecerdasan masyarakat Nusantara dalam memanfaatkan hasil alam dan menciptakan hidangan yang seimbang secara nutrisi dan kaya rasa. Di dalamnya terkandung sejarah maritim Palembang, teknik pengolahan ikan yang rumit, dan sebuah penghormatan terhadap rempah-rempah yang tumbuh subur di tanah tropis.
Setiap penjual Laksan mungkin memiliki rahasia tersendiri dalam komposisi bumbu atau rasio ikan dan tepung, tetapi esensi Laksan selalu sama: sebuah hidangan yang hangat, padat, dan memuaskan. Kelezatan Laksan adalah kelezatan yang menenangkan, mengingatkan kita pada kekayaan warisan kuliner yang harus terus dilestarikan. Inilah Laksan, bukan sekadar makanan, melainkan identitas yang terhidang dalam kuah santan kental beraroma rempah.