Prinsip laissez faire—sebuah frasa Prancis yang secara harfiah berarti "biarkan melakukan"—adalah pilar filosofis dan doktrin ekonomi yang paling berpengaruh dalam sejarah modern. Doktrin ini menganjurkan agar pemerintah tidak melakukan intervensi, baik dalam bentuk regulasi, subsidi, tarif, maupun campur tangan lainnya, terhadap aktivitas ekonomi di pasar. Laissez faire mewakili idealisme pasar murni, di mana kepentingan individu dan persaingan bebas secara otomatis akan mengarah pada alokasi sumber daya yang paling efisien dan kesejahteraan sosial yang maksimal. Namun, perjalanan ideologi ini, dari era Pencerahan hingga tantangan globalisasi kontemporer, penuh dengan paradoks dan kritik mendalam.
Untuk memahami sepenuhnya dampak dan kompleksitasnya, kita harus menelusuri akar historisnya, melihat penerapan praktisnya selama Revolusi Industri, dan menganalisis mengapa, meskipun kegagalan historisnya, semangat laissez faire terus menjadi kekuatan pendorong dalam perdebatan ekonomi dan politik global hingga hari ini.
Frasa lengkapnya sering dikutip sebagai "Laissez faire, laissez passer", yang berarti "biarkan melakukan, biarkan berlalu." Ungkapan ini menjadi mantra utama bagi para pedagang dan ekonom yang menentang kebijakan proteksionis dan intervensi yang rumit dari negara absolutis. Walaupun sering dikaitkan dengan Adam Smith, penggunaan frasa ini mendahului karyanya. Ia pertama kali populer di Prancis pada abad ke-18.
Kisah terkenal mengenai asal usul frasa ini melibatkan menteri keuangan Prancis, Jean-Baptiste Colbert, yang dikenal karena kebijakan merkantilismenya yang ketat. Ketika ditanya oleh Colbert mengenai apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk membantu perdagangan, seorang pedagang bernama François Legendre dilaporkan menjawab, "Laissez-nous faire"—biarkan kami melakukannya. Jawaban sederhana ini menjadi teriakan perang bagi mereka yang percaya bahwa birokrasi dan regulasi negara hanya menghambat kemakmuran alamiah.
Prinsip laissez faire tidak hanya didasarkan pada argumen pragmatis ekonomi, tetapi juga pada pandangan filosofis yang mendalam tentang sifat manusia dan tatanan alam semesta. Ideologi ini sangat dipengaruhi oleh era Pencerahan, khususnya keyakinan bahwa ada tatanan alamiah (ordre naturel) yang mengatur masyarakat dan ekonomi. Dalam tatanan alamiah ini, individu didorong oleh kepentingan diri sendiri, dan ketika kepentingan diri ini dilepaskan dari ikatan buatan pemerintah, hasilnya adalah harmoni dan efisiensi sosial.
Para penganut laissez faire percaya bahwa campur tangan pemerintah—yang merupakan campur tangan buatan (ordre positif)—hanya akan merusak mekanisme alami ini, menyebabkan distorsi harga, alokasi sumber daya yang tidak optimal, dan akhirnya, kemiskinan. Kebebasan ekonomi, dalam pandangan ini, adalah hak alamiah yang tidak boleh dilanggar oleh otoritas politik.
Kelahiran doktrin laissez faire adalah respons langsung dan tajam terhadap praktik ekonomi yang dominan di Eropa antara abad ke-16 dan ke-18: Merkantilisme. Merkantilisme mengajarkan bahwa kekayaan suatu negara diukur dari jumlah emas dan perak yang dimilikinya, dan bahwa negara harus secara aktif mengintervensi untuk memaksimalkan ekspor dan membatasi impor (proteksionisme). Ini melibatkan regulasi yang intensif, pemberian hak monopoli kepada perusahaan tertentu, kontrol harga, dan sistem pajak yang rumit.
Bagi para pendukung pasar bebas, Merkantilisme adalah sistem yang korup dan tidak efisien, di mana kekayaan tidak diciptakan tetapi hanya dialihkan dari satu kelompok ke kelompok lain melalui perlindungan pemerintah. Laissez faire muncul sebagai alternatif radikal yang menjanjikan pertumbuhan kekayaan sejati melalui produksi, pertukaran sukarela, dan persaingan yang tidak dibatasi.
Meskipun ide laissez faire sudah beredar, ia baru mendapatkan kerangka ilmiah dan filosofis yang kuat melalui karya dua kelompok pemikir utama: Fisiokrat di Prancis dan Adam Smith di Skotlandia.
Fisiokrat, dipimpin oleh François Quesnay, adalah kelompok pemikir yang beroperasi di Prancis. Mereka memberikan fondasi teoritis awal untuk laissez faire. Nama mereka sendiri, "Fisiokrat," berarti "aturan alam." Mereka berpendapat bahwa hanya pertanianlah yang menghasilkan kekayaan bersih (produit net), sementara industri dan perdagangan hanya mengubah bentuk kekayaan.
Keyakinan inti mereka adalah bahwa pemerintah harus membatasi perannya hanya pada fungsi "kedaulatan malam" (nuit souveraine): perlindungan hak milik, penegakan kontrak, dan pertahanan. Semua aktivitas ekonomi lainnya harus dibiarkan berjalan sesuai dengan hukum alam. Quesnay menggambarkan aliran ekonomi dalam Tableau Économique, menunjukkan bagaimana kekayaan beredar dalam sistem yang tertutup, asalkan tidak ada campur tangan eksternal yang mengganggu sirkulasi alamiah ini. Fisiokrat secara eksplisit menggunakan frasa "Laissez faire, laissez passer" untuk menyerukan penghapusan pajak internal dan hambatan perdagangan.
Adam Smith, melalui karyanya yang monumental, The Wealth of Nations (1776), mengambil filosofi dasar laissez faire dan memberikannya mekanisme pasar yang canggih yang kemudian dikenal sebagai ekonomi klasik. Smith berfokus pada dua konsep kunci yang membenarkan non-intervensi negara.
Smith berpendapat bahwa motivasi utama individu adalah kepentingan diri sendiri. Dalam masyarakat yang dibiarkan bebas, pengejaran kepentingan diri ini, asalkan dilakukan dalam batas-batas hukum dan etika, secara tidak terduga akan menghasilkan manfaat sosial yang lebih besar daripada upaya altruistik yang dipaksakan. Seorang tukang roti membuat roti berkualitas bukan karena ia peduli pada perut masyarakat, tetapi karena ia ingin mendapatkan untung. Namun, hasilnya adalah masyarakat mendapatkan roti yang mereka butuhkan.
Ini adalah jantung dari justifikasi ekonomi laissez faire. Tangan Tak Terlihat adalah mekanisme pasar yang mengoordinasikan jutaan keputusan ekonomi yang terdesentralisasi. Harga dan keuntungan berfungsi sebagai sinyal yang tak terlihat. Ketika permintaan melebihi penawaran, harga naik, memberi sinyal kepada produsen untuk meningkatkan produksi atau menarik pesaing baru ke pasar. Ketika penawaran berlebihan, harga turun, memberi sinyal bahwa sumber daya harus dialokasikan ke penggunaan yang lebih produktif.
Mekanisme Tangan Tak Terlihat: Keyakinan bahwa pasar akan mengoreksi dirinya sendiri menuju keseimbangan tanpa intervensi eksternal.
Smith menyimpulkan bahwa intervensi negara hanya diperlukan ketika pasar gagal menyediakan barang publik tertentu (seperti pertahanan dan hukum), atau ketika terdapat ancaman terhadap persaingan yang sehat. Di luar fungsi-fungsi terbatas ini, pemerintah harus menerapkan laissez faire secara ketat, memungkinkan kebebasan perdagangan, upah, dan harga.
Setelah teori diletakkan, abad ke-19 menjadi panggung bagi eksperimen global yang paling luas dalam penerapan laissez faire, terutama di Britania Raya dan Amerika Serikat. Periode ini dikenal sebagai Era Liberal Klasik.
Britania Raya, dengan kekayaan sumber daya alamnya dan kelas pedagang yang kuat, dengan cepat mengadopsi prinsip-prinsip laissez faire. Serangkaian reformasi besar dilakukan untuk menghapus sisa-sisa Merkantilisme dan feodalisme:
Di bawah panduan para ekonom seperti David Ricardo dan John Stuart Mill (pada tahap awal pemikirannya), Inggris menjadi mesin ekonomi dunia, didorong oleh kebebasan pasar yang radikal. Peningkatan dramatis dalam produksi dan inovasi membuktikan, bagi para pendukungnya, validitas mutlak dari non-intervensi.
Di Amerika Serikat, laissez faire terintegrasi dengan filosofi individualisme dan batas tak terbatas. Abad ke-19 ditandai oleh pertumbuhan perusahaan raksasa (Robber Barons) dalam suasana regulasi yang sangat minim. Pemerintah federal fokus pada pembangunan infrastruktur (rel kereta api) tetapi hampir sepenuhnya meninggalkan pengawasan terhadap praktik bisnis, perbankan, dan tenaga kerja.
Kebebasan kontrak dianggap sakral, bahkan jika itu berarti perusahaan dapat memaksakan jam kerja yang panjang dan berbahaya. Para industrialis besar seperti Vanderbilt, Carnegie, dan Rockefeller berkembang pesat karena ketiadaan undang-undang antimonopoli, perlindungan konsumen, atau regulasi lingkungan. Periode ini adalah puncak dari kapitalisme laissez faire di mana kekuatan ekonomi terpusat tanpa hambatan politik.
Meskipun laissez faire menghasilkan kekayaan agregat yang luar biasa selama Revolusi Industri, konsekuensi sosial dari non-intervensi negara mulai terlihat sangat jelas. Kritik terhadap pasar bebas murni didasarkan pada tiga kegagalan utama: kegagalan pasar, ketidakadilan sosial, dan ketidakstabilan ekonomi.
Kegagalan pasar terjadi ketika pasar bebas gagal mengalokasikan sumber daya secara efisien. Masalah utama yang diabaikan oleh model laissez faire adalah eksternalitas—biaya atau manfaat yang dikenakan pada pihak ketiga yang tidak terlibat dalam transaksi. Contoh klasik adalah polusi.
Dalam sistem laissez faire murni, perusahaan memiliki insentif untuk membuang limbah ke udara atau sungai karena itu adalah cara termurah untuk beroperasi. Biaya polusi (kesehatan yang buruk, air yang tidak dapat diminum) ditanggung oleh masyarakat, bukan oleh perusahaan. Karena biaya ini tidak tercermin dalam harga produk, pasar gagal menghitung biaya sosial yang sebenarnya. Laissez faire menyediakan lingkungan yang sempurna bagi eksploitasi sumber daya alam karena tidak ada entitas yang bertanggung jawab untuk melindungi sumber daya yang dianggap sebagai milik bersama.
Paradoks terbesar dari laissez faire adalah bahwa kebebasan tanpa batas sering kali menghancurkan kebebasan itu sendiri. Dalam pasar bebas yang tidak diatur, perusahaan yang paling kuat dan paling efisien (atau yang paling tidak etis) cenderung menghilangkan semua pesaingnya, yang mengarah pada monopoli atau oligopoli. Ketika sebuah perusahaan mendominasi pasar, ia dapat menaikkan harga, menekan inovasi, dan mengabaikan kualitas tanpa takut kehilangan pelanggan.
Prinsip Adam Smith didasarkan pada persaingan sempurna, tetapi dalam kondisi laissez faire di AS pada akhir abad ke-19 (Era Gilded Age), persaingan sering kali digantikan oleh kartel dan trust. Kritikus mulai berargumen bahwa untuk mempertahankan persaingan yang merupakan jantung dari pasar bebas, pemerintah harus campur tangan untuk MENGATUR monopoli. Ini adalah titik balik filosofis yang penting.
Aspek sosial yang paling menghancurkan dari laissez faire klasik adalah pengabaian terhadap kaum miskin dan tenaga kerja. Tanpa undang-undang upah minimum, perlindungan keselamatan, atau hak berserikat, pekerja berada pada posisi tawar yang sangat lemah melawan pemilik modal. Konsekuensinya adalah kemiskinan massal, kerja paksa anak-anak, dan ketimpangan pendapatan yang ekstrem.
Banyak kritikus, termasuk Karl Marx, melihat kegagalan ini bukan sebagai anomali, tetapi sebagai hasil logis dari sistem laissez faire. Mereka berpendapat bahwa kebebasan ekonomi yang mutlak bagi pemilik modal berarti kurangnya kebebasan substansial bagi pekerja, yang hanya memiliki sedikit pilihan selain menjual tenaga kerja mereka dengan harga serendah mungkin untuk bertahan hidup. Pada titik ini, laissez faire mulai dipandang bukan sebagai prinsip kebebasan, tetapi sebagai alat pembenaran bagi ketidakadilan struktural.
Ujian terberat bagi doktrin laissez faire datang pada abad ke-20. Keyakinan bahwa pasar bebas akan selalu mengoreksi dirinya sendiri dan kembali ke keseimbangan terbukti fatal selama Depresi Besar tahun 1930-an.
Periode 'Roaring Twenties' didasarkan pada keyakinan teguh terhadap pasar bebas, terutama di sektor keuangan. Deregulasi perbankan dan spekulasi pasar saham yang tidak terkendali menyebabkan gelembung aset besar. Ketika pasar saham runtuh pada tahun 1929, mekanisme Tangan Tak Terlihat gagal berfungsi. Bukannya cepat pulih, ekonomi global jatuh ke dalam resesi yang berkepanjangan.
Keyakinan laissez faire mendikte bahwa pemerintah harus diam dan menunggu pasar menyesuaikan diri. Namun, proses penyesuaian ini melibatkan pengangguran yang mencapai 25% di AS, kegagalan bank secara massal, dan deflasi yang menghancurkan. Intervensi terbatas dari pemerintah yang didorong oleh dogma non-intervensi klasik hanya memperburuk situasi.
John Maynard Keynes menjadi arsitek ideologis bagi berakhirnya dominasi laissez faire. Dalam karyanya, The General Theory of Employment, Interest and Money (1936), Keynes secara fundamental menantang premis Smithian bahwa pasar selalu cenderung pada lapangan kerja penuh.
Keynes berpendapat bahwa selama resesi, permintaan agregat dapat terjebak pada tingkat yang rendah, dan pasar mungkin tidak dapat mengoreksi diri selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun. Oleh karena itu, ia menyerukan intervensi fiskal dan moneter yang aktif dari pemerintah—kebalikan dari laissez faire—untuk menstimulasi permintaan melalui pengeluaran publik (stimulus spending). Doktrin Keynesian menempatkan peran pemerintah sebagai stabilisator, bukan sekadar pelindung, sistem ekonomi.
Era pasca-Perang Dunia II, khususnya di Eropa dan Amerika Utara, ditandai oleh 'Konsensus Keynesian,' di mana negara memainkan peran besar dalam menciptakan jaring pengaman sosial, mengatur keuangan, dan mengelola permintaan. Laissez faire, dalam bentuk murninya, dianggap sebagai relik sejarah yang menyebabkan keruntuhan.
Meskipun laissez faire murni dicoret setelah tahun 1930-an, semangat non-intervensi tidak pernah hilang sepenuhnya. Pada tahun 1970-an, ketika ekonomi Keynesian menghadapi masalah baru (inflasi tinggi bersamaan dengan stagnasi—stagflasi), ide-ide pro-pasar bebas mulai hidup kembali dalam bentuk Neoliberalisme.
Para ekonom baru, seperti Milton Friedman (Monetarisme) dan pemikir dari Mazhab Chicago, mengkritik keras intervensi pemerintah yang berlebihan. Mereka berpendapat bahwa birokrasi, defisit anggaran, dan regulasi yang rumit adalah penyebab stagflasi dan inefisiensi. Mereka kembali ke doktrin inti laissez faire: pemerintah adalah masalahnya, bukan solusinya.
Friedman khususnya berargumen bahwa campur tangan pemerintah, bahkan dengan niat baik (seperti mencoba menstabilkan pengangguran melalui inflasi), hanya menciptakan distorsi dan ketidakpastian. Hanya pasar bebas, dibimbing oleh kebijakan moneter yang stabil, yang dapat menjamin pertumbuhan jangka panjang.
Puncak dari kebangkitan kembali laissez faire terjadi pada tahun 1980-an dengan Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di AS. Kedua pemimpin ini secara eksplisit menganut kebijakan deregulasi (penghapusan aturan pemerintah), privatisasi (penjualan aset milik negara), dan pemotongan pajak—semua elemen inti dari doktrin non-intervensi.
Mereka berpendapat bahwa mengurangi ukuran dan peran negara akan melepaskan semangat kewirausahaan dan investasi yang tertekan oleh intervensi Keynesian. Deregulasi sektor-sektor kunci, seperti maskapai penerbangan, telekomunikasi, dan khususnya keuangan, secara dramatis mengubah lanskap ekonomi global. Era ini menegaskan kembali kepercayaan pada laissez faire sebagai motor utama kemakmuran, meskipun dalam bentuk yang dimodifikasi (Neoliberalisme masih mengakui peran bank sentral).
Kebijakan laissez faire juga menjadi motor penggerak utama di balik gelombang globalisasi akhir abad ke-20. Institusi seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Bank Dunia, dan Dana Moneter Internasional (IMF) mendorong negara-negara berkembang untuk membuka pasar mereka, menghapus tarif, dan memprivatisasi industri milik negara—sebuah paket kebijakan yang sering disebut "Konsensus Washington." Prinsip non-intervensi di tingkat nasional diubah menjadi prinsip non-intervensi perdagangan di tingkat internasional.
Sejak giliran Neoliberal pada tahun 1980-an, ekonomi global telah menyaksikan siklus ekstrem yang diwarnai oleh kebebasan finansial yang besar dan krisis sistemik yang parah. Perdebatan mengenai batas-batas laissez faire kini lebih relevan dari sebelumnya.
Krisis keuangan 2008 dianggap oleh banyak kritikus sebagai kegagalan monumental dari model laissez faire yang diterapkan pada sektor keuangan. Deregulasi besar-besaran di AS, khususnya penghapusan batasan yang memisahkan bank komersial dari bank investasi (Undang-Undang Glass-Steagall), memungkinkan praktik spekulasi yang sangat berisiko.
Krisis tersebut mengungkap bahwa Tangan Tak Terlihat tidak hanya gagal mencegah krisis, tetapi juga bahwa kegagalan di satu sektor yang tidak diatur dapat menyebar ke seluruh sistem ekonomi. Ketika sistem perbankan global berada di ambang kehancuran, responsnya adalah intervensi pemerintah yang masif dan cepat, termasuk suntikan modal (bailout) dan stimulus besar-besaran—sebuah pengakuan praktis bahwa laissez faire telah gagal dalam momen krisis sistemik.
Laissez Faire: Mengangkat batasan agar pelaku ekonomi dapat bergerak bebas.
Di abad ke-21, laissez faire menemukan bentuk baru dalam ekonomi digital. Platform teknologi raksasa (Google, Amazon, Meta) beroperasi dalam ruang yang awalnya hampir tidak diatur. Para pendukungnya berargumen bahwa inovasi dan pertumbuhan luar biasa yang mereka capai adalah bukti keunggulan non-intervensi.
Namun, muncul kritik baru. Meskipun platform digital menciptakan efisiensi, mereka cenderung menghasilkan monopoli yang sangat kuat. Data, dalam ekonomi modern, bertindak seperti sumber daya vital. Kontrol atas data dan jaringan menghasilkan network effects yang membuat persaingan menjadi mustahil. Debat saat ini berpusat pada apakah pemerintah harus menerapkan regulasi antimonopoli ketat (kebalikan dari laissez faire) untuk memastikan bahwa pasar digital tetap inovatif dan adil, atau apakah intervensi regulasi akan menghambat kemajuan teknologi.
Isu lingkungan merupakan salah satu argumen terkuat melawan laissez faire murni. Perubahan iklim adalah eksternalitas negatif terbesar dalam sejarah manusia. Pasar bebas, yang didorong oleh kepentingan jangka pendek dan mengabaikan biaya eksternal, tidak memiliki insentif internal untuk mengatasi krisis ini.
Konsensus ekonomi saat ini secara luas mengakui bahwa untuk mengatasi masalah seperti perubahan iklim, diperlukan intervensi pemerintah dalam bentuk penetapan harga karbon (pajak atau sistem perdagangan emisi), regulasi standar efisiensi, dan investasi besar dalam infrastruktur energi terbarukan. Hal ini menempatkan batasan yang jelas pada sejauh mana prinsip non-intervensi dapat diterapkan dalam isu-isu yang berkaitan dengan keberlangsungan global.
Dalam analisis yang lebih mendalam, konsep laissez faire murni (pemerintah yang benar-benar pasif) adalah fiksi, setidaknya sejak Revolusi Industri. Bahkan para pendukung terberat pun mengakui adanya peran minimal bagi negara, yang sering disebut sebagai "negara penjaga malam" (night-watchman state).
Setidaknya ada tiga peran dasar yang harus diemban oleh pemerintah agar pasar bebas, yang disukai oleh laissez faire, dapat berfungsi:
Oleh karena itu, perdebatan modern bukanlah antara intervensi dan non-intervensi total, tetapi mengenai tingkat dan jenis intervensi yang optimal. Sejauh mana peran negara meluas dari sekadar menyediakan kerangka hukum menjadi mitigasi risiko, pemerataan pendapatan, dan stabilisasi siklus bisnis?
Salah satu kritik filosofis abadi terhadap laissez faire adalah hubungannya yang rumit dengan keadilan. Laissez faire mengutamakan kebebasan individu untuk berproduksi dan berdagang. Jika seseorang memulai dengan modal atau keterampilan yang lebih besar, kebebasan ini akan secara eksponensial memperbesar perbedaan kekayaan.
Ekonom berpendapat bahwa pasar bebas menghasilkan meritokrasi, di mana imbalan sesuai dengan kontribusi produktif. Namun, kritikus berpendapat bahwa tanpa intervensi negara dalam bentuk pendidikan publik, transfer kekayaan (pajak progresif), dan jaring pengaman sosial, ketidaksetaraan akan menjadi sedemikian rupa sehingga kebebasan ekonomi hanya tersedia bagi segelintir orang. Sistem yang benar-benar laissez faire tidak mengakui kebutuhan untuk menyediakan peluang yang setara, melainkan hanya menjamin kebebasan untuk bersaing di medan perang yang tidak rata.
Untuk memahami posisi laissez faire saat ini, penting untuk membedakannya dari sistem ekonomi modern yang paling sukses, yang sering disebut kapitalisme pasar bebas terregulasi (atau ekonomi pasar sosial di Eropa).
Laissez faire murni menentang regulasi apa pun yang membatasi pilihan bisnis, termasuk regulasi lingkungan, keselamatan produk, atau batasan jam kerja. Sebaliknya, pasar bebas terregulasi menerima bahwa regulasi diperlukan untuk mengatasi eksternalitas dan asimetri informasi (ketika pembeli dan penjual tidak memiliki informasi yang sama).
Sebagai contoh, pasar bebas terregulasi mendukung undang-undang yang memastikan makanan aman dikonsumsi (regulasi produk), atau bahwa bank harus menjaga cadangan tertentu (regulasi keuangan), sementara laissez faire akan berpendapat bahwa reputasi pasar dan tuntutan hukum adalah mekanisme koreksi yang cukup.
Dalam laissez faire, peran pajak harus minimal dan rata, hanya cukup untuk mendanai fungsi inti 'negara penjaga malam'. Redistribusi kekayaan (melalui pajak progresif atau program kesejahteraan) dianggap sebagai pelanggaran hak milik dan distorsi insentif untuk bekerja dan berinvestasi.
Ekonomi pasar terregulasi menerima pajak progresif dan program transfer untuk mencapai tujuan sosial seperti mengurangi kemiskinan dan menyediakan akses universal ke layanan kesehatan dan pendidikan. Mereka berpendapat bahwa redistribusi adalah bagian integral dari menjaga stabilitas sosial dan legitimasi sistem kapitalis itu sendiri, memastikan bahwa semua warga negara dapat berpartisipasi secara produktif.
Meskipun ada perdebatan dalam kubu laissez faire tentang apakah bank sentral harus ada, kaum Neoliberal modern umumnya mendukung bank sentral independen yang fokus pada stabilitas harga, tetapi menentang intervensi bank sentral dalam mengelola suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (seperti yang dianut Keynesian).
Keyakinan mendasar dalam laissez faire adalah bahwa kebebasan pasar yang optimal terjadi ketika pemerintah dan badan-badan terkait menahan diri dari segala upaya untuk "memperbaiki" atau "mempercepat" siklus bisnis, membiarkan sumber daya mengalir ke mana pun sinyal harga mengarahkannya, meskipun itu berarti terjadi resesi yang menyakitkan.
Bahkan di tengah perdebatan kontemporer mengenai peran pemerintah dalam menanggapi krisis seperti pandemi global atau ketegangan geopolitik, dogma laissez faire terus menjadi penarik kuat dalam kebijakan publik, mendorong narasi tentang pentingnya efisiensi, inovasi, dan pengurangan utang publik.
Doktrin laissez faire telah memberikan kontribusi tak terhapuskan pada teori dan praktik ekonomi. Kritik terhadap Merkantilisme yang dilakukannya adalah benar, dan penekanannya pada pentingnya kebebasan individu, persaingan, dan spesialisasi (pembagian kerja) adalah dasar dari pertumbuhan ekonomi modern yang kita kenal.
Namun, sejarah telah mengajarkan kita bahwa laissez faire, ketika diterapkan secara dogmatis dalam bentuk murni, mengandung benih kehancuran sosial dan ekonomi sistemik. Tanpa kerangka regulasi yang kuat, kebebasan ekonomi cenderung merusak dirinya sendiri, menghasilkan monopoli, eksploitasi, dan ketidakstabilan finansial yang memerlukan intervensi negara yang jauh lebih besar daripada yang seharusnya.
Laissez faire adalah pengingat abadi bahwa kekuatan pasar, ketika dilepaskan, adalah motor kemakmuran yang tak tertandingi, tetapi juga bahwa pasar adalah alat yang membutuhkan pengendalian etis dan regulasi struktural agar dapat melayani kepentingan publik, bukan hanya kepentingan pribadi yang paling kuat.
Dalam perdebatan masa depan mengenai kecerdasan buatan, energi, dan kesenjangan global, kita tidak akan pernah kembali ke kondisi laissez faire murni di abad ke-19. Namun, pemikirannya terus berfungsi sebagai kompas, mengingatkan para pembuat kebijakan tentang risiko birokrasi yang berlebihan, bahaya insentif yang salah, dan nilai abadi dari kebebasan ekonomi—selama kebebasan tersebut beroperasi dalam batas-batas yang menjamin keadilan sosial dan stabilitas ekologis.
Pelajaran yang paling mendasar adalah bahwa kebebasan harus diimbangi dengan tanggung jawab, dan bahwa 'Tangan Tak Terlihat' Adam Smith memerlukan 'Tangan Penjaga' yang bijaksana untuk melindungi integritas sistem yang begitu kuat dan rentan.
***
Melanjutkan pembahasan mendalam mengenai interaksi antara pasar bebas dan intervensi negara, kita perlu mengeksplorasi secara rinci bagaimana prinsip laissez faire diterapkan dalam kebijakan spesifik, dan mengapa penerapannya yang ekstrem sering kali memicu respons balik yang keras dalam bentuk gerakan sosial dan politik. Eksplorasi ini membawa kita pada analisis tentang kebijakan fiskal versus moneter, peran inovasi dalam konteks non-regulasi, serta tantangan etika yang dihadapi oleh perusahaan yang beroperasi tanpa batasan.
Dalam pandangan laissez faire ortodoks, kebijakan fiskal (pengeluaran pemerintah dan perpajakan) dan kebijakan moneter (pengendalian suplai uang) harus sangat terbatas. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa keputusan alokasi sumber daya tidak dipengaruhi oleh agenda politik.
Doktrin non-intervensi menuntut bahwa belanja pemerintah harus dibatasi hanya pada penyediaan barang publik yang tidak dapat disediakan oleh pasar (pertahanan, polisi, sistem pengadilan). Setiap pengeluaran di luar ini, seperti proyek infrastruktur besar, program kesejahteraan, atau subsidi, dianggap sebagai pemborosan dan distorsi.
Pajak, dari sudut pandang laissez faire, harus serendah mungkin dan non-diskriminatif (pajak rata), untuk meminimalkan distorsi insentif kerja dan investasi. Pajak progresif, yang mengenakan tarif lebih tinggi pada pendapatan yang lebih tinggi, dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak milik yang diperoleh melalui kerja keras, dan sebagai mekanisme yang mengurangi modal yang seharusnya digunakan untuk investasi produktif.
Para penganut aliran ini percaya bahwa defisit anggaran yang timbul dari pengeluaran pemerintah yang berlebihan akan ‘mengusir’ (crowd out) investasi swasta, karena pemerintah harus meminjam dari pasar, yang pada gilirannya menaikkan suku bunga. Dengan demikian, pengeluaran pemerintah tidak meningkatkan pertumbuhan secara riil, melainkan hanya mengalihkan modal dari sektor swasta yang efisien.
Terdapat dua sub-aliran dalam laissez faire mengenai moneter: sebagian kecil menganjurkan penghapusan total bank sentral dan kembali ke standar komoditas (misalnya, standar emas), atau bahkan pasar mata uang pribadi. Mereka berpendapat bahwa mata uang yang dikelola oleh pemerintah atau bank sentral (uang fiat) rentan terhadap inflasi dan manipulasi politik.
Namun, aliran Neoliberal yang lebih modern (seperti Monetarisme yang dipelopori oleh Friedman) mengakui keberadaan bank sentral, tetapi bersikeras bahwa bank sentral harus bertindak secara independen dari politik dan hanya fokus pada menjaga stabilitas harga (mengendalikan inflasi) melalui kontrol ketat terhadap pertumbuhan suplai uang. Mereka menentang penggunaan kebijakan moneter diskresioner (mengubah suku bunga untuk merespons siklus ekonomi) karena dianggap mengganggu mekanisme koreksi diri pasar.
Aspek paling kontroversial dari penerapan laissez faire adalah implikasinya pada layanan sosial dan pemerataan akses terhadap kesempatan dasar.
Dalam sistem laissez faire murni, pendidikan adalah barang pribadi yang harus disediakan oleh pasar. Jika pendidikan menghasilkan keuntungan (seperti gaji yang lebih tinggi), individu harus menanggung biayanya. Argumennya adalah bahwa ketika pendidikan disediakan oleh negara, ia menjadi birokratis, tidak responsif terhadap kebutuhan pasar tenaga kerja, dan menghilangkan pilihan orang tua.
Namun, kritikus berpendapat bahwa pendidikan memiliki eksternalitas positif yang masif (masyarakat yang lebih terinformasi, tingkat kejahatan yang lebih rendah, produktivitas yang lebih tinggi). Jika akses ke pendidikan bergantung sepenuhnya pada kemampuan membayar, hal itu akan melanggengkan ketidaksetaraan antargenerasi, bertentangan dengan cita-cita masyarakat yang didasarkan pada kebebasan peluang.
Demikian pula, laissez faire menentang sistem kesehatan universal atau program jaminan sosial yang didanai pemerintah. Kesejahteraan dilihat sebagai tanggung jawab pribadi atau amal sukarela, bukan hak yang didanai oleh pajak. Program sosial dianggap mengurangi insentif untuk bekerja keras dan mempromosikan ketergantungan pada negara.
Perdebatan ini mencapai puncaknya di AS, di mana sektor kesehatan sebagian besar beroperasi di bawah prinsip pasar bebas, dibandingkan dengan sistem kesehatan sosial di banyak negara Eropa. Sementara sistem pasar bebas di AS memimpin dalam inovasi medis, ia juga menghasilkan jutaan orang tanpa asuransi dan biaya yang sangat tinggi, yang menunjukkan kegagalan pasar dalam menyediakan layanan esensial bagi semua warga negara.
Meskipun laissez faire berarti minimalisasi peran negara, ini tidak berarti tidak adanya hukum. Sebaliknya, pasar bebas membutuhkan kerangka hukum yang sangat kuat dan spesifik untuk berfungsi secara adil.
Pasar bebas bergantung pada pertukaran sukarela. Jika salah satu pihak dapat melanggar kontrak tanpa sanksi, seluruh sistem akan runtuh. Oleh karena itu, hukum kontrak yang efisien dan sistem peradilan yang cepat dan tidak korup adalah pra-syarat mutlak bagi keberhasilan laissez faire. Ironisnya, untuk mencapai non-intervensi ekonomi, diperlukan intervensi negara yang kuat di bidang hukum dan tata kelola.
Salah satu dilema terbesar bagi pendukung laissez faire muncul pada awal abad ke-20: apakah hukum antimonopoli (antitrust) itu sah? Jika pemerintah dilarang ikut campur, maka seharusnya ia membiarkan perusahaan terbesar tumbuh dan mendominasi.
Namun, para pendukung Smithian sejati berpendapat bahwa monopoli adalah hasil dari intervensi pemerintah (melalui hak paten yang berlebihan atau perizinan), atau setidaknya merupakan ancaman terhadap persaingan. Oleh karena itu, tindakan antimonopoli dapat dibenarkan, bukan sebagai pelanggaran terhadap laissez faire, tetapi sebagai tindakan perlindungan untuk MENGEMBALIKAN kondisi persaingan pasar bebas yang alami. Ini menunjukkan fleksibilitas pragmatis yang diperlukan untuk mempertahankan pasar bebas yang dinamis.
Kritik modern terhadap laissez faire melampaui kegagalan siklus bisnis Keynesian, berfokus pada dinamika institusional dan kekuatan struktural yang membentuk pasar.
Para ekonom neo-institusional berpendapat bahwa pasar bebas tidak muncul secara spontan; ia dibangun melalui institusi yang didukung oleh negara. Hak kekayaan intelektual (paten dan hak cipta), yang merupakan pilar inovasi, adalah bentuk monopoli yang diberikan oleh negara. Tanpa kerangka paten ini, inovasi akan melambat. Namun, paten itu sendiri bertentangan dengan idealisme laissez faire murni tentang persaingan terbuka tanpa hambatan.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi tidak dapat memilih antara regulasi dan non-regulasi; ia hanya dapat memilih jenis regulasi. Bahkan sistem yang paling pro-pasar pun bergantung pada kebijakan yang jelas—seperti pemberian paten selama 20 tahun—yang secara teknis merupakan campur tangan.
Setelah deregulasi finansial yang didorong oleh semangat laissez faire, fenomena risiko moral menjadi endemik. Risiko moral terjadi ketika pihak yang diasuransikan (seperti bank besar) mengambil risiko yang berlebihan karena mereka tahu bahwa pihak lain (pemerintah) akan menanggung kerugiannya.
Doktrin laissez faire menuntut agar perusahaan yang gagal dibiarkan bangkrut. Namun, di sektor keuangan, perusahaan-perusahaan besar dianggap 'terlalu besar untuk gagal' (too big to fail). Penyelamatan (bailout) oleh pemerintah setelah 2008 menunjukkan bahwa, dalam praktiknya, bahkan pemerintahan yang pro-pasar pun tidak mampu menanggung konsekuensi politik dan ekonomi dari keruntuhan sistemik. Keberadaan risiko moral memaksa pemerintah untuk menerapkan regulasi ketat (seperti Dodd-Frank Act) sebagai respons terhadap kegagalan laissez faire, menunjukkan bahwa non-intervensi di satu area menciptakan kebutuhan mendesak untuk intervensi di area lain.
Di arena internasional, laissez faire diterjemahkan sebagai dukungan terhadap perdagangan bebas (penghapusan tarif dan kuota) dan pergerakan bebas modal. Penerapan prinsip ini telah menciptakan sistem global yang terintegrasi, tetapi juga memunculkan tantangan kedaulatan.
Teori klasik perdagangan (Ricardo) menunjukkan bahwa perdagangan bebas selalu menguntungkan semua pihak yang terlibat. Namun, implementasi laissez faire dalam perdagangan sering mengabaikan dampak distribusi. Sementara kekayaan agregat global meningkat, pekerja di industri yang tidak kompetitif di negara maju kehilangan pekerjaan. Negara-negara berkembang, meskipun mendapatkan akses pasar, sering kali dipaksa untuk mengadopsi struktur ekonomi yang tidak stabil.
Gelombang proteksionisme dan populisme di berbagai negara baru-baru ini dapat dilihat sebagai reaksi terhadap dampak sosial dan regional yang tidak merata dari perdagangan yang terlalu berorientasi pada laissez faire.
Prinsip laissez faire yang meluas ke pergerakan modal berarti penghapusan kontrol modal (pembatasan seberapa banyak uang dapat masuk atau keluar dari suatu negara). Meskipun ini meningkatkan efisiensi pendanaan, hal ini juga membuat negara-negara rentan terhadap penerbangan modal tiba-tiba (capital flight).
Krisis Keuangan Asia 1997 adalah contoh utama. Setelah membuka akun modal mereka sesuai dengan anjuran laissez faire dari IMF, negara-negara ini mengalami arus masuk modal asing yang besar, diikuti oleh penarikan dana yang panik, yang menghancurkan nilai mata uang dan sistem perbankan mereka. Peristiwa ini memicu debat ulang tentang perlunya kontrol modal yang selektif—sebuah konsep yang bertentangan langsung dengan idealisme laissez faire.
Warisan laissez faire adalah dualistik. Di satu sisi, ia adalah mesin inovasi dan penciptaan kekayaan. Di sisi lain, ia adalah kekuatan yang jika tidak dikendalikan, dapat menghasilkan kerusakan sosial, krisis sistemik, dan konsentrasi kekuasaan yang ekstrem. Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa pasar, dalam kepentingannya sendiri, tidak selalu bersifat adil atau stabil. Pasar membutuhkan aturan.
Ekonomi modern yang stabil telah berkembang menjadi model yang tidak murni. Model ini menggabungkan dinamisme dan efisiensi yang diwarisi dari laissez faire—kebebasan harga, kebebasan berusaha—dengan kerangka regulasi sosial dan keuangan yang mengakui adanya kegagalan pasar, kebutuhan akan barang publik, dan pentingnya solidaritas sosial.
Debat terus berlanjut tentang di mana garis tersebut harus ditarik. Haruskah regulasi teknologi baru lebih ringan untuk mendorong inovasi (semangat laissez faire)? Atau haruskah regulasi privasi data dan antimonopoli diperketat untuk melindungi konsumen dan persaingan (semangat intervensi)? Jawaban yang paling fungsional di masa depan kemungkinan besar akan berada dalam sintesis yang cerdas, yang menghormati energi kreatif dari pasar bebas sambil memitigasi risiko terburuknya melalui tata kelola yang adaptif dan etis.
Prinsip laissez faire akan selalu menjadi ideal teoretis yang kuat. Namun, realitas sosial menuntut pragmatisme: kita membutuhkan pasar bebas untuk menjadi kaya, tetapi kita membutuhkan negara yang kompeten untuk memastikan kekayaan tersebut dinikmati secara berkelanjutan dan adil oleh masyarakat luas.