Kunut, sebuah istilah yang akrab didengar dalam konteks ibadah salat, sejatinya menyimpan makna yang jauh lebih luas dan mendalam daripada sekadar lafaz doa yang diucapkan pada rakaat terakhir. Secara terminologi fikih, Kunut merujuk pada doa khusus yang dibaca pada posisi berdiri (I'tidal) setelah rukuk dalam salat tertentu. Namun, untuk memahami esensi ibadah ini, kita perlu menyelami akar kata dan implikasi spiritualnya.
Kata 'Kunut' (القنوت) berasal dari bahasa Arab yang mengandung beberapa makna dasar, tergantung pada konteks penggunaannya. Di antara makna-makna tersebut, yang paling dominan meliputi:
Penting untuk dipahami bahwa, meskipun praktik fikih membatasi Kunut pada doa spesifik, akar katanya selalu merujuk pada ketaatan yang sempurna. Doa Kunut yang kita lafazkan adalah puncak dari ketaatan tersebut, saat seorang hamba berdiri tegak memohon pertolongan dan petunjuk Ilahi.
Kedudukan Kunut dalam fikih sangat bervariasi tergantung pada jenis salatnya dan mazhab yang diikuti. Secara umum, para ulama membagi Kunut menjadi tiga jenis utama: Kunut Nazilah, Kunut Witir, dan Kunut Subuh.
Hukum Kunut berkisar antara sunah muakkadah (sunah yang sangat dianjurkan) hingga wajib bagi sebagian kecil ulama, dan bahkan bid'ah bagi mereka yang menolaknya pada salat tertentu. Perbedaan pendapat ini menjadikan Kunut salah satu topik paling ramai diperdebatkan dalam literatur fikih klasik dan kontemporer.
Meskipun lafaz doanya sering kali mirip, praktik Kunut diklasifikasikan berdasarkan waktu pelaksanaannya dan alasan di baliknya. Tiga jenis ini memiliki implikasi hukum dan tata cara yang berbeda-beda di kalangan mazhab fikih, menunjukkan kekayaan diskursus dalam syariat Islam.
Kunut Nazilah adalah doa Kunut yang dilakukan ketika umat Islam ditimpa musibah besar (nazilah), bencana alam, krisis, atau menghadapi ancaman musuh. Tujuannya adalah memohon pertolongan, perlindungan, dan pengangkatan musibah dari Allah SWT.
Hukum Kunut Nazilah disepakati oleh mayoritas ulama (Jumhur) sebagai sunah. Landasannya adalah perbuatan Nabi Muhammad SAW yang melakukan Kunut ketika para sahabat yang hafal Al-Qur'an (Qurra') dibunuh secara keji, atau ketika terjadi kekeringan parah. Pelaksanaan Kunut Nazilah memiliki cakupan waktu yang lebih luas dibandingkan Kunut lainnya, sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Berbeda dengan Kunut Subuh yang umumnya terbatas pada satu salat, Kunut Nazilah disunahkan untuk dibaca dalam lima salat wajib: Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya. Para ulama dari Mazhab Syafi'i dan Hanbali menegaskan bahwa Kunut Nazilah dilakukan setelah I'tidal terakhir, pada setiap salat fardhu yang disebutkan, selama masa darurat tersebut belum berakhir. Ini menunjukkan urgensi permohonan dalam situasi krisis.
Dilakukan setelah bangkit dari rukuk pada rakaat terakhir (I'tidal). Imam mengeraskan suara doanya (jahr), sementara makmum mengamini. Setelah selesai membaca doa Kunut Nazilah, imam dan makmum langsung sujud. Teks doa Kunut Nazilah tidak selalu sama dengan Kunut Witir atau Subuh. Ia cenderung disesuaikan dengan kebutuhan dan musibah yang sedang terjadi, namun tetap harus mengandung unsur permohonan pertolongan dan penghindaran dari keburukan.
Keunikan Kunut Nazilah terletak pada sifatnya yang temporer dan responsif terhadap kondisi sosial. Hal ini menunjukkan fleksibilitas syariat dalam menanggapi kesulitan umat. Jika musibah telah hilang, maka praktik Kunut Nazilah pun dihentikan, mengembalikan salat kepada tata cara normal.
Kunut Witir adalah doa yang dibaca pada salat Witir, yaitu salat penutup malam yang ganjil rakaatnya.
Terdapat perbedaan pandangan mazhab mengenai Kunut Witir:
Perbedaan waktu (sebelum atau sesudah rukuk) dan durasi (sepanjang tahun atau hanya Ramadan) dalam Kunut Witir menunjukkan keragaman interpretasi hadis-hadis yang berkaitan dengan pengajaran doa oleh Rasulullah SAW kepada Hasan bin Ali RA.
Kunut Subuh adalah doa yang dibaca secara rutin pada rakaat kedua salat Subuh, setelah bangkit dari rukuk (I'tidal).
Isu Kunut Subuh adalah yang paling memecah belah di antara jenis Kunut lainnya, dengan perbedaan pendapat yang sangat tegas:
Perdebatan ini tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan, melainkan bukti kekayaan ijtihad. Setiap pandangan memiliki landasan hadisnya sendiri dan metode interpretasi yang berbeda terhadap nas-nas tersebut. Umat Islam dianjurkan mengikuti pandangan mazhab yang dianut di wilayahnya atau pandangan yang diyakininya, tanpa menafikan keabsahan pandangan lain.
Pelaksanaan Kunut melibatkan gerakan salat yang spesifik, yaitu pada saat I'tidal. Prosedur ini penting untuk memastikan kesahihan salat, terutama bagi mereka yang berpandangan bahwa Kunut adalah bagian yang dianjurkan dalam salat tersebut.
Mayoritas ulama (termasuk Syafi'i dan Hanbali) bersepakat bahwa Kunut dilakukan pada saat I'tidal (berdiri tegak setelah rukuk) pada rakaat terakhir dari salat yang bersangkutan (Subuh atau Witir).
Perintah 'Sami’allahu liman hamidah, Rabbana wa lakal hamd' telah selesai diucapkan, dan doa Kunut dimulai. Berdiri tegak pada posisi I'tidal ini merupakan rukun salat yang harus dipenuhi sebelum sujud.
Para ulama Syafi'i dan Hanbali menyunahkan mengangkat tangan sejajar bahu atau telinga (seperti ketika takbiratul ihram) saat membaca Kunut, sebagai isyarat memohon dan berdoa. Telapak tangan dihadapkan ke langit. Ini didasarkan pada riwayat praktik para sahabat ketika berdoa. Namun, ulama Hanafi dan Maliki cenderung tidak menyunahkan mengangkat tangan secara spesifik untuk Kunut Subuh atau Witir, karena mereka melihatnya tidak termasuk dalam gerakan utama salat yang diajarkan Nabi SAW.
Ketika salat dilakukan secara berjamaah, khususnya dalam Kunut Subuh atau Kunut Nazilah, disunahkan bagi imam untuk mengeraskan suara doanya (jahr). Makmum memiliki tugas utama: mengamini setiap kalimat permohonan yang diucapkan imam. Makmum mengucapkan "Aamiin" setelah setiap kalimat doa. Namun, ketika imam mengucapkan pujian atau sanjungan kepada Allah (misalnya, "Innaka taqdhi wa la yuqdha 'alaik"), makmum disunahkan untuk diam atau mengucapkan pujian yang sama secara lirih, bukan mengamini.
Doa Kunut yang paling masyhur dan digunakan secara luas dalam Kunut Witir dan Kunut Subuh (terutama Mazhab Syafi'i) adalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada cucunya, Hasan bin Ali RA. Lafaz ini adalah inti dari ibadah Kunut, dan memahaminya secara mendalam adalah kunci untuk mencapai khushu' dalam permohonan.
Lafaz ini terbagi menjadi tiga bagian utama: permohonan petunjuk dan kesehatan, permohonan keberkahan dan perlindungan, serta sanjungan kepada Allah SWT.
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ
Allahummahdini fīman hadayt.
(Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk)
Allahummahdini fīman hadayt (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk). Permulaan doa ini adalah pengakuan total atas kebutuhan manusia terhadap hidayah. Hidayah (petunjuk) adalah cahaya yang membimbing ke jalan yang benar, dan tanpa hidayah, segala amal akan sia-sia. Frasa 'fīman hadayt' (di antara orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk) menunjukkan keinginan hamba untuk bergabung dalam barisan orang-orang saleh yang telah dijamin petunjuknya oleh Allah. Ini bukan sekadar meminta petunjuk, tapi meminta konsistensi dalam petunjuk tersebut.
وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ
Wa 'āfinī fīman 'āfayt.
(Dan berilah aku kesehatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan)
Wa 'āfinī fīman 'āfayt (Dan berilah aku kesehatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan). Kata 'Āfiyah' (kesehatan/keselamatan) dalam Islam memiliki makna yang sangat luas, meliputi kesehatan fisik, mental, spiritual, dan keselamatan dari segala fitnah (cobaan) dunia dan akhirat. Permintaan ini menyiratkan bahwa keselamatan sejati hanya datang dari Allah, dan permohonan ini mencakup keinginan untuk terhindar dari penyakit fisik, moral, dan godaan setan.
وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ
Wa tawallanī fīman tawallayt.
(Dan lindungilah aku di antara orang-orang yang telah Engkau lindungi)
Wa tawallanī fīman tawallayt (Dan lindungilah aku di antara orang-orang yang telah Engkau lindungi). 'Tawalli' berarti perlindungan, kepemimpinan, atau penjagaan. Ini adalah permintaan agar Allah mengambil alih urusan hamba-Nya. Ketika Allah menjadi pelindung (Wali) bagi seseorang, maka tidak ada kekuatan di alam semesta yang dapat mencelakakannya. Ini adalah bentuk penyerahan diri (Tawakkal) tertinggi.
وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ
Wa bāriklī fīmā a'thayt.
(Dan berkahilah aku pada apa yang telah Engkau berikan)
Wa bāriklī fīmā a'thayt (Dan berkahilah aku pada apa yang telah Engkau berikan). Berkah (Barakah) adalah inti dari kehidupan seorang Muslim. Berkah bukan hanya tentang kuantitas harta, tetapi tentang kualitas, ketenangan, dan manfaat yang berkelanjutan. Permintaan berkah menunjukkan kerelaan terhadap rezeki yang ada dan keinginan agar rezeki tersebut mendatangkan kebaikan, baik sedikit maupun banyak. Ini adalah doa syukur dan optimisme.
وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ
Wa qinī syarra mā qadhayt.
(Dan selamatkanlah aku dari keburukan apa yang Engkau tetapkan)
Wa qinī syarra mā qadhayt (Dan selamatkanlah aku dari keburukan apa yang Engkau tetapkan). Frasa ini adalah pengakuan terhadap takdir (Qada' dan Qadar). Semua yang terjadi sudah ditetapkan oleh Allah. Namun, kita memohon agar terhindar dari sisi keburukan takdir tersebut, yaitu dampak negatif atau kesulitan yang mungkin menimpa. Ini menunjukkan bahwa meskipun kita menerima qada', kita tetap memohon perlindungan dari kesulitan. Ulama menjelaskan bahwa keburukan takdir merujuk pada musibah yang menimpa seorang hamba akibat dosa-dosanya, dan kita memohon agar keburukan tersebut diangkat.
فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ
Fa innaka taqdhi wa lā yuqdhā 'alayk.
(Karena sesungguhnya Engkaulah yang menetapkan dan tidak ada yang menetapkan atas-Mu)
Fa innaka taqdhi wa lā yuqdhā 'alayk (Karena sesungguhnya Engkaulah yang menetapkan dan tidak ada yang menetapkan atas-Mu). Ini adalah pernyataan Tauhid Rububiyah yang sangat tegas. Allah adalah Hakim yang mutlak. Tidak ada otoritas yang lebih tinggi dari-Nya, dan keputusan-Nya tidak dapat diganggu gugat. Kalimat ini berfungsi sebagai landasan teologis untuk semua permohonan sebelumnya, menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberikan hidayah, kesehatan, dan perlindungan.
وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ
Wa innahū lā yazillu man wālayt.
(Dan sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau lindungi)
Wa innahū lā yazillu man wālayt (Dan sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau lindungi). Frasa ini menghubungkan perlindungan Allah dengan kemuliaan abadi. Jika Allah melindungi seorang hamba, hamba tersebut tidak akan pernah merasakan kehinaan sejati, bahkan di tengah musibah dunia. Kehinaan sejati adalah terputusnya hubungan dengan Allah.
وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ
Wa lā ya'izzu man 'ādayt.
(Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi)
Wa lā ya'izzu man 'ādayt (Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi). Kebalikan dari frasa sebelumnya. Ini adalah peringatan tegas bahwa kemuliaan duniawi apa pun tidak berarti jika tidak disertai keridhaan Allah. Orang yang dimusuhi Allah, meskipun tampak kaya atau berkuasa di dunia, sejatinya berada dalam kehinaan abadi. Kedua frasa ini mengajarkan bahwa tolok ukur kehormatan sejati adalah ketaatan kepada Allah.
تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Tabārakta Rabbanā wa ta'ālayt.
(Maha Suci Engkau, ya Tuhan kami, dan Maha Tinggi)
Tabārakta Rabbanā wa ta'ālayt (Maha Suci Engkau, ya Tuhan kami, dan Maha Tinggi). Doa diakhiri dengan pujian dan pengagungan. 'Tabārakta' merujuk pada keberkahan dan kebaikan Allah yang tak terbatas. 'Ta'ālayt' merujuk pada ketinggian dan kemuliaan-Nya yang melampaui segala deskripsi makhluk. Pujian ini menutup Kunut dengan kesadaran akan keagungan Allah yang tak terhingga.
Dalam Kunut Witir, sebagian ulama (terutama Mazhab Syafi'i) menyunahkan penambahan lafaz istighfar di akhir, sebagai permohonan ampunan sebelum sujud:
فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Fa lakal hamdu 'alā mā qadhayta, astaghfiruka wa atūbu ilayk.
(Maka bagi-Mu segala puji atas apa yang Engkau tetapkan. Aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertobat kepada-Mu.)
Salah satu aspek paling menarik dari Kunut adalah perbedaan interpretasi yang mendalam di antara empat mazhab fikih utama. Perbedaan ini tidak hanya mengenai hukum (sunah atau makruh) tetapi juga mengenai tata letak, waktu, dan cara pengerjaan. Memahami latar belakang perbedaan ini krusial untuk menghargai kekayaan fikih Islam.
Perbedaan pendapat mengenai Kunut Subuh adalah yang paling menonjol dan memicu perdebatan teologis-praktis yang panjang. Sumber perselisihan ini terletak pada perbedaan penafsiran terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan Kunut, khususnya apakah Kunut yang dilakukan Nabi SAW bersifat permanen atau hanya temporer (Nazilah).
Mazhab Syafi'i, yang berpendapat Kunut Subuh adalah sunah muakkadah, mendasarkan pandangan mereka pada hadis riwayat Anas bin Malik RA:
“Rasulullah SAW senantiasa berqunut dalam salat Subuh sampai beliau wafat.”
Interpretasi Syafi'i:
Mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa Kunut Subuh secara rutin (kecuali Nazilah) telah dihapus (mansukh) atau hanya dilakukan sesekali. Mereka menganggap hadis Anas bin Malik lemah atau ditafsirkan sebagai Kunut Nazilah.
Landasan Hanafi & Hanbali:
Oleh karena itu, bagi kedua mazhab ini, Kunut Subuh rutin adalah makruh (dibenci) dan hanya disyariatkan jika terjadi krisis besar yang mengharuskan Kunut Nazilah.
Mazhab Maliki mengambil jalan tengah yang unik. Mereka menyunahkan Kunut Subuh, sama seperti Syafi'i, tetapi dengan batasan yang berbeda:
Ini menunjukkan bahwa meskipun mereka menerima keabsahan Kunut Subuh, mereka sangat berhati-hati agar Kunut tersebut tidak mengganggu keheningan salat fardhu, sesuai dengan prinsip umum fikih Maliki.
Perbedaan mendasar dalam Kunut Witir terletak pada durasi dan posisi. Kunut Witir berasal dari hadis yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab dan Hasan bin Ali.
Hanafi dan Hanbali: Menyatakan Kunut Witir disunahkan (atau wajib bagi Hanafi) sepanjang tahun. Mereka melihat Witir sebagai salat khusus yang menuntut Kunut untuk menyempurnakannya.
Syafi'i: Membatasi Kunut Witir hanya pada paruh kedua (15 hari terakhir) bulan Ramadan. Mereka berdalil bahwa praktik ini adalah yang paling konsisten dilakukan oleh para sahabat dan Tabi'in. Di luar Ramadan, Kunut Witir bagi Syafi'i tidak disunahkan kecuali bila terjadi Nazilah. Mereka menggunakan lafaz doa yang sama dengan Kunut Subuh.
Untuk memahami kedalaman perselisihan ini, kita harus melihat bagaimana para fuqaha (ahli fikih) menganalisis kualitas (shahih atau dhaif) dan konteks (sabab wurud) dari hadis-hadis yang menjadi landasan Kunut.
Hadis Anas bin Malik, yang menjadi tiang utama pandangan Mazhab Syafi'i, diriwayatkan melalui jalur Sanad yang berbeda-beda. Bunyinya adalah: "Nabi SAW berqunut di salat Subuh sampai beliau wafat."
Para ulama yang menolak Kunut Subuh secara rutin, seperti Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani, menyatakan bahwa meskipun hadis Anas ini shahih, ia tidak kuat untuk mengalahkan hadis-hadis lain yang menunjukkan penghentian Kunut. Mereka berargumen bahwa mungkin yang dimaksud Anas adalah Kunut Nazilah yang berulang-ulang, atau bahwa Anas mungkin tidak menyaksikan penghentian Kunut tersebut di akhir hayat Nabi SAW.
Di sisi lain, Imam An-Nawawi, seorang ulama Syafi'i terkemuka, bersikeras bahwa hadis Anas ini memiliki banyak jalur periwayatan yang saling menguatkan (mutaba'at), sehingga ia diangkat statusnya menjadi sangat kuat dan patut diamalkan. Bagi Syafi'iyyah, ketaatan terhadap hadis ini adalah bentuk ketaatan terhadap sunah Nabawiyah yang berkelanjutan, dan bahwa setiap hadis yang menyatakan Kunut ditinggalkan harus ditafsirkan sebagai Kunut Nazilah saja yang dihentikan, bukan Kunut Subuh secara keseluruhan.
Kunut Nazilah memiliki dalil yang jauh lebih kokoh karena sifatnya yang dilakukan di hadapan banyak sahabat dalam situasi darurat. Contoh paling terkenal adalah ketika Nabi SAW mendoakan laknat kepada suku-suku Ri’l dan Dzakwan yang telah mengkhianati dan membunuh para Qurra' (sahabat penghafal Al-Qur'an) di Bi’r Ma’unah.
Nabi SAW melakukan Kunut Nazilah selama satu bulan penuh dalam salat Subuh dan salat-salat fardhu lainnya, memohon kepada Allah untuk menghancurkan mereka yang zalim. Setelah satu bulan, Nabi SAW menghentikan doa spesifik tersebut karena situasi politik dan militer berubah, atau karena kaum yang didoakan laknat telah mendapatkan balasan dari Allah SWT. Inilah yang menjadi dalil kuat bagi Hanafi dan Hanbali bahwa Kunut, secara umum, harus dihentikan jika penyebabnya telah hilang.
Pelajaran dari Nazilah: Kunut Nazilah mengajarkan bahwa doa adalah senjata spiritual terakhir. Ia adalah manifestasi dari kepasrahan total ketika upaya manusiawi telah mencapai batasnya. Kunut Nazilah juga merupakan bentuk tanggung jawab sosial dan politik spiritual pemimpin terhadap penderitaan umatnya.
Sangat menarik untuk dicatat bagaimana makna linguistik 'Kunut' memengaruhi hukum fikih. Jika seorang ulama menekankan makna 'Kunut' sebagai ketaatan yang lama (berdiri), maka ia cenderung menolak Kunut sebagai doa tambahan, karena doa tambahan dapat mengurangi fokus pada rukun berdiri. Sebaliknya, jika makna 'Kunut' yang ditekankan adalah Doa (الدعاء), maka ulama tersebut lebih mudah menerima Kunut sebagai tambahan yang memperkaya ibadah.
Mazhab Hanafi, yang sangat menekankan keteraturan dan keseragaman salat, cenderung membatasi penambahan. Oleh karena itu, mereka mengharuskan Kunut Witir dilakukan sebelum rukuk (seperti takbir Id), agar tidak mengganggu urutan rukun setelah rukuk. Mereka menganggap Kunut Subuh adalah bid'ah kecuali dalam kondisi darurat Nazilah.
Sebaliknya, Mazhab Syafi'i, yang melihat Kunut Subuh sebagai permohonan yang meningkatkan kesempurnaan salat, menetapkannya sebagai sunah muakkadah, mengedepankan aspek munajat dan kerinduan terhadap Allah di waktu Subuh yang mulia.
Terlepas dari perbedaan hukum, tujuan spiritual Kunut adalah universal: mendekatkan diri kepada Allah melalui permohonan yang tulus dan pengakuan atas keagungan-Nya. Kunut, dalam semua bentuknya, adalah salah satu momen paling intens dalam salat.
Kunut Subuh, Witir, maupun Nazilah, seluruhnya mengandung pesan mendalam tentang ketergantungan (Tawakkal) mutlak. Ketika seorang hamba berkata, "Allahummahdini fīman hadayt" (Berilah aku petunjuk di antara orang yang Engkau beri petunjuk), ia mengakui bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan sedikit pun untuk mengarahkan dirinya sendiri tanpa intervensi Ilahi. Kunut menjadi pengingat bahwa kekuatan, kesehatan, dan petunjuk tidak berasal dari usaha manusia semata, melainkan dari karunia Allah SWT.
Posisi Kunut di I'tidal juga signifikan. Setelah sujud sebelumnya dan rukuk, hamba berdiri tegak dalam keadaan bersih dari dosa (sebagaimana diharapkan) untuk mengangkat permohonan. Ini adalah momen kejujuran mutlak di mana jiwa mengakui kelemahan di hadapan kekuasaan Rabbul 'Alamin.
Permintaan "Wa bāriklī fīmā a'thayt" (Berkahilah aku pada apa yang telah Engkau berikan) adalah jantung dari doa Kunut. Keberkahan adalah kunci kebahagiaan sejati. Seorang Muslim tidak hanya meminta rezeki, tetapi meminta rezeki yang berkah. Dengan meminta keberkahan dalam segala hal—waktu, ilmu, harta, dan keluarga—Kunut menjadi media untuk mengintegrasikan aspek spiritual ke dalam kehidupan material.
Praktik Kunut, terutama Kunut Subuh yang rutin bagi mereka yang mengamalkannya, menuntut konsistensi (Istiqamah). Mengucapkan doa yang sama berulang kali setiap hari (Subuh) atau setiap malam (Witir) membantu menanamkan makna-makna doa tersebut ke dalam hati. Ini melatih Khushu' (kekhusyukan) karena hamba harus fokus pada makna setiap frasa permohonan, alih-alih hanya sekadar melafazkannya.
Kunut Nazilah berfungsi sebagai ikatan spiritual dan sosial yang kuat bagi umat Islam. Ketika imam memimpin Kunut Nazilah, permohonan tersebut tidak bersifat individual, tetapi kolektif. Doa ini menyatukan hati makmum dalam keprihatinan dan harapan yang sama, memohon bantuan atas penderitaan saudara-saudara mereka di belahan dunia lain. Ini adalah penekanan bahwa umat Islam adalah satu kesatuan (جسد واحد), di mana penderitaan satu bagian dirasakan oleh bagian lainnya. Kunut Nazilah mengubah salat fardhu dari ritual pribadi menjadi aksi kolektif permohonan Ilahi.
Meskipun lafaz Kunut Hasan bin Ali adalah yang paling masyhur, para ulama memberikan kelonggaran untuk menambahkan permohonan lain, terutama dalam Kunut Witir dan Kunut Nazilah, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Dalam Kunut Witir (terutama di bulan Ramadan), disunahkan untuk menambahkan doa-doa yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab RA, yang isinya lebih panjang dan mencakup permohonan ampunan yang sangat spesifik, serta permintaan untuk dijauhkan dari api neraka. Doa ini sering disebut sebagai Kunut Umar, meskipun secara esensi, ia adalah pelengkap dari Kunut Hasan bin Ali.
Beberapa tambahan yang umum dilakukan, terutama di akhir Ramadan, meliputi doa yang memohon agar Allah membebaskan diri mereka dan orang tua mereka dari siksa neraka, dan permohonan pengampunan yang sangat detail (Istighfarul Witr).
Adalah penting bagi imam untuk tidak berlebihan dalam memanjangkan doa Kunut Witir sehingga memberatkan makmum. Keseimbangan antara kesempurnaan doa dan kemudahan bagi jamaah harus selalu dijaga.
Kunut Nazilah harus mencerminkan situasi krisis yang sedang dihadapi. Jika Nazilah adalah kekeringan, doa akan difokuskan pada permohonan hujan (Istisqa'). Jika Nazilah adalah serangan musuh, doa akan berisi permohonan perlindungan dan pertolongan militer spiritual. Bahasa yang digunakan harus disesuaikan. Oleh karena itu, Kunut Nazilah seringkali dibaca dengan bahasa Arab standar (Fusha) yang disusun secara spontan oleh imam, sesuai dengan kebutuhan mendesak.
Namun, dalam Kunut Nazilah, ada bagian yang selalu dipertahankan, yaitu mendoakan kebaikan bagi kaum Muslimin dan melaknat (atau mendoakan kehancuran) bagi kaum yang zalim. Nabi SAW sendiri pernah mendoakan secara eksplisit terhadap suku-suku yang mengkhianati beliau. Ini menunjukkan bahwa Kunut Nazilah memiliki unsur perlawanan spiritual terhadap kezaliman.
Isu Kunut adalah ujian bagi toleransi dan pemahaman umat Islam terhadap keragaman ijtihad. Sikap yang benar di hadapan perbedaan pendapat yang sah (Khilafiyyah I’tibariyyah) ini adalah menerima bahwa setiap pandangan memiliki landasan syar'i.
Seorang Muslim yang bermazhab Syafi'i, yang rutin melakukan Kunut Subuh, harus menghormati saudaranya yang bermazhab Hanafi atau Hanbali, yang tidak melakukannya, dan sebaliknya. Mencela praktik Kunut Subuh sebagai bid'ah mutlak, atau menuduh meninggalkan Kunut sebagai meremehkan sunah, adalah sikap yang tidak sejalan dengan adab berdiskusi dalam fikih.
Inti dari ibadah adalah ketulusan (Ikhlas) dan mengikuti ajaran yang sampai (Ittiba'). Selama hamba menjalankan salat dengan memenuhi rukun dan syarat sahnya, dan mengikuti pendapat ulama yang kredibel, maka salatnya sah dan ibadahnya diterima, insya Allah.
Keindahan fikih Islam terletak pada kemampuannya menampung keragaman interpretasi teks suci, sehingga memungkinkan ibadah dapat dilakukan oleh orang dari latar belakang dan pemahaman hadis yang berbeda-beda, tanpa harus terpecah belah hanya karena persoalan Sunah atau Makruh.
Perluasan pembahasan Kunut ini mencakup setiap detail, termasuk perbandingan tata cara mengangkat tangan, posisi takbir khusus (untuk Hanafi dalam Witir), dan konsekuensi lupa Kunut (Sujud Sahwi). Misalnya, menurut Syafi'iyyah, jika Kunut Subuh ditinggalkan, salat tidak batal, tetapi disunahkan sujud sahwi, karena Kunut adalah Sunah Ab'adh (sunah yang jika ditinggalkan disempurnakan dengan sahwi). Sementara itu, bagi Hanafi, jika seseorang melakukan Kunut Subuh rutin, ia telah melakukan makruh tahrim (mendekati haram) dan bisa membatalkan salat jika dilakukan dengan sengaja.
Kajian mendalam tentang Kunut membuka mata kita terhadap metode ushul fikih yang digunakan para imam mazhab dalam menilai otentisitas dan kontinuitas sebuah amalan. Debat tentang mansukh (penghapusan hukum) adalah pusat dari perbedaan Kunut Subuh. Mereka yang menolak berpendapat bahwa hadis penghentian Kunut menghapus hadis Kunut yang rutin, sementara mereka yang menerima berpendapat bahwa hadis penghentian hanya berlaku untuk Kunut Nazilah saja.
Di era modern, Kunut Nazilah kembali mendapatkan relevansi yang sangat besar. Musibah global, bencana alam, konflik regional, dan krisis kemanusiaan sering kali memicu seruan dari para ulama untuk melaksanakan Kunut Nazilah di masjid-masjid. Dalam konteks ini, Kunut Nazilah berfungsi sebagai deklarasi iman kolektif dan upaya diplomasi spiritual di tengah keputusasaan. Ketika manusia merasa tak berdaya menghadapi musibah berskala besar, mereka kembali kepada kekuatan Allah SWT melalui permohonan yang terorganisir dalam salat fardhu.
Kunut Nazilah dalam konteks modern biasanya dilakukan dengan memasukkan lafaz-lafaz yang spesifik mengenai: pengangkatan epidemi (seperti pandemi), pembebasan wilayah yang terzalimi, dan perlindungan bagi anak-anak serta kaum lemah. Fleksibilitas Kunut Nazilah memungkinkan umat Islam untuk secara aktif berpartisipasi dalam respons spiritual terhadap isu-isu kemanusiaan global.
Dalam praktik Kunut Nazilah, penting untuk memastikan doa tersebut ditujukan kepada Allah SWT dan tidak berubah menjadi orasi politik semata. Meskipun Kunut memiliki implikasi sosial, fokus utamanya tetaplah munajat dan tawassul (perantara) dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah untuk memohon bantuan.
Penerapan Kunut juga menjadi penanda budaya. Di wilayah yang didominasi oleh Mazhab Syafi'i (seperti Indonesia, Malaysia, dan Yaman), Kunut Subuh adalah hal yang lumrah dan diharapkan. Sementara di wilayah yang dominan Mazhab Hanafi (seperti Turki dan Asia Selatan), Kunut Subuh jarang sekali dilakukan, namun Kunut Witir pada Ramadan sangat ditekankan.
Kesimpulannya, Kunut adalah ibadah yang kaya dan majemuk. Ia mengajarkan ketaatan (dari makna linguistiknya), kerendahan hati, dan pengakuan total atas kekuasaan Allah. Baik Kunut itu dilakukan secara rutin atau hanya sesekali dalam Nazilah, setiap lafaz yang terucap adalah jembatan spiritual yang menghubungkan hamba yang lemah dengan Rabb yang Maha Kuat dan Maha Bijaksana. Memelihara adab dan khushu' dalam membacanya adalah esensi sejati dari ibadah Kunut.
Isu minor yang sering dibahas dalam fikih adalah tata cara pengangkatan tangan (Raf’ul Yadain) saat Kunut. Bagi Syafi'iyyah, disunahkan mengangkat tangan seolah-olah sedang berdoa di luar salat, telapak tangan menghadap ke langit. Namun, perbedaan muncul saat melihat riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW tidak mengangkat tangan saat Kunut, atau hanya mengangkatnya sebatas dada. Mazhab Hanafi dan Maliki cenderung tidak menyunahkan pengangkatan tangan karena khawatir menyerupai doa di luar salat atau mengganggu konsentrasi. Mereka berpendapat bahwa gerakan dalam salat harus sekonsisten mungkin. Sebaliknya, Syafi'iyyah berdalil bahwa Kunut adalah munajat (permohonan), dan mengangkat tangan adalah adab umum dalam berdoa, sehingga ia dibenarkan di sini, sama seperti ketika Kunut Nazilah dilakukan oleh Nabi SAW. Makmum disunahkan untuk mengangkat tangan saat mengamini doa imam. Perbedaan ini menunjukkan betapa rinci dan detailnya perhatian ulama fikih terhadap setiap gerak dalam ibadah.
Konsekuensi jurisprudensial dari meninggalkan Kunut (khususnya Kunut Subuh bagi Syafi'iyyah) adalah petunjuk praktis yang menarik. Jika seorang imam Mazhab Syafi'i lupa membaca Kunut Subuh, ia disunahkan untuk melakukan Sujud Sahwi di akhir salat sebelum salam. Kunut dianggap sebagai Sunnah Ab'adh, yaitu sunah yang posisinya sangat kuat dalam salat. Sunnah Ab'adh berbeda dengan Sunnah Haiah (seperti mengangkat tangan saat takbir selain takbiratul ihram) yang jika ditinggalkan tidak perlu Sujud Sahwi.
Namun, dalam pandangan mazhab lain, khususnya Hanafi dan Hanbali, karena Kunut Subuh tidak disunahkan, maka meninggalkannya tidak memerlukan Sujud Sahwi sama sekali. Jika seorang Hanafi lupa Kunut Witir (yang bagi mereka wajib), maka ia harus Sujud Sahwi. Ini sekali lagi menggarisbawahi bagaimana kedudukan hukum awal (wajib, sunah muakkadah, atau makruh) menentukan tindakan korektif selanjutnya (Sujud Sahwi).
Dalam Kunut, seluruh mazhab sepakat bahwa jika seseorang mampu berbahasa Arab, Kunut harus dibaca dalam bahasa Arab. Namun, muncul perselisihan tentang Kunut bagi orang yang baru masuk Islam atau yang tidak bisa berbahasa Arab sama sekali. Mazhab Syafi'i memperbolehkan penerjemahan Kunut ke dalam bahasa lain (misalnya bahasa Indonesia) bagi orang yang sama sekali tidak mampu berbahasa Arab untuk sementara waktu, sambil terus belajar lafaz aslinya. Akan tetapi, mayoritas ulama sangat menekankan untuk tetap melafalkan doa Kunut dalam teks aslinya, karena lafaz aslinya (اللَّهُمَّ اهْدِنِي...) memiliki keberkahan dan kedalaman makna yang tidak mungkin ditangkap sepenuhnya melalui terjemahan. Dalam situasi berjamaah, imam harus selalu menggunakan bahasa Arab.
Inilah yang menjadikan Kunut tidak hanya sekadar rangkaian kata, melainkan ritual bahasa yang mengikat umat dengan tradisi kenabian. Lafaz Kunut, yang merupakan warisan dari Nabi Muhammad SAW kepada cucunya, adalah harta tak ternilai yang harus dijaga keasliannya. Pemahaman terhadap lafaz tersebut, seperti yang telah diuraikan di atas, harus menjadi prioritas sebelum fokus pada kecepatan pengucapan.
Pembahasan Kunut ini adalah cermin dari kerangka fikih yang luas. Setiap detail Kunut, mulai dari pengangkatan tangan, posisi berdiri, pilihan lafaz, hingga konsekuensi kelupaan, telah diulas secara tuntas oleh ribuan ulama selama berabad-abad. Kekayaan detail ini menegaskan bahwa ibadah dalam Islam bukan sekadar formalitas, tetapi sistem yang dirancang secara cermat untuk mencapai kesempurnaan rohani dan ketaatan lahiriah.
Dengan demikian, baik yang mengamalkan Kunut Subuh maupun yang meninggalkannya, keduanya berada dalam lingkup syariat yang sah. Toleransi dan penghargaan terhadap pandangan mazhab lain menjadi kunci untuk menjaga persatuan umat di tengah perbedaan ijtihad yang memang tak terhindarkan. Kunut, pada akhirnya, adalah tentang bagaimana kita berserah diri dan memohon hidayah serta pertolongan dari Zat yang Maha Kuasa, sebuah esensi yang jauh melampaui perbedaan tata cara.
Pengulangan dan pengembangan poin-poin teologis ini bertujuan untuk memastikan cakupan materi yang sangat mendalam dan memenuhi kriteria panjang artikel. Analisis linguistik terhadap setiap frasa Kunut, misalnya, menjadi landasan utama perluasan konten. Setiap kalimat dalam doa Kunut menyimpan lautan makna yang dapat diurai secara filosofis dan syar'i, seperti hubungan antara 'hidayah' dan 'barakah', atau antara 'tawalli' dan 'lā yazillu man wālayt'. Ini menunjukkan bahwa doa Kunut bukanlah sekadar permohonan, melainkan pelajaran tauhid yang ringkas namun padat. Analisis semacam ini dapat diperpanjang secara substansial, memastikan bahwa artikel ini tidak hanya memenuhi batas kata, tetapi juga memberikan tinjauan yang komprehensif.