Gunung Ciremai, mahkota Kabupaten Kuningan.
Kabupaten Kuningan, sebuah permata yang terselip di bagian timur Provinsi Jawa Barat, adalah entitas geografis dan kultural yang tak terpisahkan dari lanskap alamnya yang dominan—Gunung Ciremai. Berada tepat di kaki gunung berapi tertinggi di Jawa Barat, Kuningan menawarkan perpaduan harmonis antara sejarah panjang, kekayaan adat istiadat Sunda yang kental, serta panorama alam yang memukau dan sejuk. Kabupaten ini sering kali disebut sebagai daerah konservasi, mengingat lebih dari separuh wilayahnya merupakan zona penyangga Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Eksplorasi mendalam atas Kuningan memerlukan pemahaman tidak hanya pada aspek pariwisata, tetapi juga pada pondasi geologis dan historisnya yang membentuk karakter masyarakatnya yang ulet dan bersahaja.
Nama Kuningan sendiri telah memicu beragam interpretasi, seringkali dikaitkan dengan kata 'kuning' yang merujuk pada emas atau kemakmuran, atau secara historis dikaitkan dengan Kerajaan Sunda Galuh. Namun, narasi yang paling kuat tertanam dalam memori kolektif adalah perannya sebagai titik penting dalam jaringan kekuasaan di Jawa Barat dan Cirebon.
Jauh sebelum hadirnya konsep kabupaten modern, wilayah Kuningan adalah bagian integral dari sistem kekuasaan Kerajaan Sunda, khususnya saat era Pajajaran mencapai puncak kejayaannya. Berada di jalur strategis antara pedalaman Sunda dengan pesisir utara (Cirebon), Kuningan berfungsi sebagai wilayah penghubung dan penyedia logistik. Situs-situs megalitik dan peninggalan prasejarah yang tersebar di beberapa kecamatan, seperti di daerah Cipari, memberikan bukti konkret mengenai eksistensi permukiman manusia yang telah ada sejak era Neolitikum.
Masa transisi dari Hindu-Buddha menuju Islam merupakan periode yang sangat krusial bagi Kuningan. Kedekatannya dengan Cirebon, yang menjadi salah satu pusat utama penyebaran Islam di Jawa, membuat Kuningan segera terpengaruh. Tokoh lokal yang paling terkenal dalam narasi ini adalah Adipati Kuningan atau biasa dikenal sebagai Sang Adipati Ewangga, yang merupakan salah satu panglima penting di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati. Perannya dalam menyebarkan Islam dan menjaga stabilitas politik di perbatasan wilayah Sunda dan Jawa menjadi legenda yang abadi. Adipati Kuningan menjadi simbol perlawanan lokal dan identitas wilayah yang mandiri dalam lingkup kekuasaan Kesultanan Cirebon.
Di bawah kekuasaan kolonial Belanda, Kuningan diorganisir sebagai sebuah Afdeeling, dan lanskap ekonominya mulai dibentuk oleh perkebunan besar, terutama kopi dan teh, yang memanfaatkan iklim sejuk di lereng Ciremai. Namun, pengakuan global atas Kuningan tidak terjadi karena hasil agrikultur, melainkan karena perannya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Linggarjati: Titik Balik Sejarah Nasional
Desa Linggarjati, yang kini menjadi salah satu destinasi wisata sejarah utama, adalah saksi bisu lahirnya Perundingan Linggarjati pada tahun 1946. Perundingan ini adalah upaya diplomatik krusial antara Republik Indonesia dan pihak Belanda untuk mencapai pengakuan kedaulatan. Kehadiran tokoh-tokoh penting seperti Sutan Sjahrir dan para pemimpin Belanda di sebuah gedung sederhana di kaki Ciremai menunjukkan betapa strategis dan amannya wilayah Kuningan saat itu, jauh dari pusat konflik di kota-kota besar.
Monumen Gedung Perundingan Linggarjati, Kuningan.
Peristiwa Linggarjati tidak hanya meninggalkan monumen bersejarah, tetapi juga menanamkan rasa kebanggaan pada masyarakat Kuningan sebagai penjaga salah satu tonggak utama diplomasi Indonesia. Konservasi atas Gedung Perundingan Linggarjati terus dilakukan, menjadikannya pusat studi sejarah yang vital, yang mana setiap sudutnya menyimpan gema dari perdebatan sengit tentang masa depan bangsa.
Kuningan berada pada ketinggian yang bervariasi, dari dataran rendah yang berbatasan langsung dengan Cirebon di utara, hingga dataran tinggi di selatan dan barat yang didominasi oleh lereng curam Gunung Ciremai (3.078 mdpl). Struktur geologis ini adalah kunci utama yang mendefinisikan seluruh aspek kehidupan, mulai dari iklim, mata pencaharian, hingga keanekaragaman hayati.
Gunung Ciremai adalah gunung berapi strato yang masih aktif, meskipun masa letusan terbesarnya telah berlalu. Tanah vulkanik yang kaya nutrisi di Kuningan adalah hasil dari aktivitas purba Ciremai. Ini menciptakan tanah yang sangat subur, mendukung pertanian padi sawah, hortikultura, dan perkebunan. Topografi Kuningan dicirikan oleh kemiringan yang curam di bagian hulu (sekitar 70% wilayahnya berbukit dan bergunung), yang berimplikasi pada sistem irigasi yang unik dan tantangan konservasi tanah.
Kuningan merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) penting. Sumber mata air alami melimpah ruah di kaki Ciremai. Air yang sangat jernih dan sejuk ini mengalir ke berbagai sungai seperti Sungai Cisanggarung yang menjadi batas alami dengan Jawa Tengah, serta anak-anak sungai lain yang mengairi sawah di Kuningan, Cirebon, dan Majalengka. Ketersediaan air bersih yang stabil ini menjadi modal dasar bagi ketahanan pangan dan pariwisata berbasis air.
Sebagai wilayah penyangga utama TNGC, Kuningan memiliki tanggung jawab besar dalam konservasi ekosistem hutan hujan tropis. Kawasan ini merupakan habitat bagi flora endemik seperti beberapa jenis anggrek dan rotan. Untuk fauna, TNGC adalah rumah bagi Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) yang terancam punah, Owa Jawa (Hylobates moloch), serta berbagai jenis burung langka. Program konservasi di Kuningan tidak hanya berfokus pada perlindungan satwa, tetapi juga pada pemberdayaan masyarakat desa penyangga hutan agar turut serta dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Masyarakat Kuningan memiliki kearifan lokal yang kuat dalam memanfaatkan dan mengelola hutan. Contohnya adalah tradisi ‘Ngertakeun Bumi Lamba’ yang merupakan ritual adat untuk memohon keselamatan dan kesuburan alam, menunjukkan hubungan spiritual yang erat antara penduduk dan Gunung Ciremai sebagai sumber kehidupan dan perlindungan.
Sektor pariwisata di Kuningan sangat berbasis pada keindahan alam dan warisan sejarah, menawarkan pengalaman yang beragam bagi pengunjung, dari pendakian yang menantang hingga relaksasi di sumber air panas.
Selain destinasi besar, Kuningan juga mengembangkan konsep Desa Wisata. Contohnya adalah Desa Cibuntu yang pernah meraih penghargaan internasional karena keberhasilannya memadukan budaya lokal, keramahan, dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Di desa-desa ini, wisatawan dapat belajar membuat kerajinan tangan tradisional, mencoba bertani padi sawah secara tradisional, atau menginap di rumah-rumah penduduk untuk merasakan kehidupan Sunda pedalaman yang otentik.
Sumber mata air alami di kaki Ciremai, tempat konservasi Ikan Dewa.
Salah satu fenomena unik yang menjadi daya tarik Kuningan adalah keberadaan Ikan Dewa atau Ikan Kancra Bodas (Tor soro) di beberapa kolam keramat, seperti di Balong Dalem, Cibulan, dan Cigugur. Ikan ini tidak boleh dipancing atau dikonsumsi karena dianggap suci dan merupakan simbol penjaga mata air. Fenomena ini bukan hanya sekadar mitos, tetapi telah menjadi mekanisme konservasi alam yang efektif secara turun temurun. Kepercayaan lokal ini secara langsung melindungi ekosistem air tawar yang vital di kawasan tersebut.
Meskipun Kuningan berada di wilayah perbatasan Sunda (Priangan Timur) dan Cirebon (Jawa Pesisir), identitas budayanya tetap kental dengan nuansa Sunda. Namun, ada persinggungan unik dengan budaya Cirebon, terutama dalam dialek dan seni pertunjukan.
Bahasa Sunda Kuningan memiliki kekhasan tersendiri. Di wilayah utara dan timur, pengaruh dialek Cirebon (yang lebih banyak menggunakan kosakata Jawa) terasa kuat, menghasilkan campuran yang unik. Di sisi lain, di wilayah selatan dan barat (dekat kaki Ciremai), bahasa Sunda yang digunakan cenderung lebih halus dan mirip dengan dialek Priangan, meskipun tetap memiliki intonasi khas Kuningan.
Seni tradisional di Kuningan berfungsi sebagai media ritual, hiburan, dan edukasi:
Buncis: Kesenian tradisional yang menggabungkan musik, tari, dan drama komedi. Musik pengiring Buncis biasanya menggunakan alat musik sederhana seperti angklung, dogdog, dan suling. Kesenian ini sering dipentaskan dalam acara syukuran panen atau perayaan desa. Pesan moral yang disampaikan dalam Buncis seringkali berkaitan dengan kritik sosial dan pelestarian lingkungan.
Rengkong: Walaupun umum ditemukan di Jawa Barat, Rengkong di Kuningan memiliki ciri khas dalam ritme. Ini adalah pertunjukan musik yang berasal dari alat pikul padi tradisional yang digerakkan sehingga menghasilkan bunyi ritmis saat berjalan. Rengkong melambangkan rasa syukur atas hasil panen dan keselarasan antara petani dengan alam.
Kecamatan Cigugur di Kuningan adalah pusat spiritual yang penting. Di sini, terdapat komunitas adat Sunda Wiwitan yang masih teguh memegang tradisi leluhur. Salah satu ritual paling menonjol adalah Seren Taun, upacara adat syukuran panen raya yang dilaksanakan setiap tahun. Seren Taun bukan hanya perayaan, tetapi juga manifestasi dari filosofi hidup Sunda yang menghargai alam, kesuburan, dan keseimbangan kosmik.
Prosesi Seren Taun sangat mendetail dan melibatkan seluruh elemen masyarakat. Inti dari upacara ini adalah penyerahan hasil bumi ke lumbung padi (Leuit), yang melambangkan penyimpanan cadangan pangan dan jaminan keberlangsungan hidup. Leuit, atau lumbung padi tradisional, di Kuningan dibangun dengan arsitektur khusus yang disesuaikan dengan kondisi iklim, memastikan padi dapat tersimpan dengan aman selama bertahun-tahun. Filosofi Leuit bukan sekadar tempat penyimpanan, melainkan simbol ketahanan pangan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kuliner Kuningan, dipengaruhi oleh kekayaan hasil pertanian pegunungan dan letaknya yang dekat dengan Cirebon, menyajikan cita rasa yang khas—segar, pedas, dan berbasis fermentasi.
Hucap (Kupat Tahu Kecap): Ini adalah ikon kuliner Kuningan yang membedakannya dari kupat tahu di daerah lain. Hucap terdiri dari ketupat (kupat), tahu goreng, dan tauge, yang disiram dengan kuah kacang kental bercampur kecap manis Kuningan yang khas. Rahasia kelezatan Hucap terletak pada kualitas kecap lokal yang diolah secara tradisional dan memiliki rasa manis legit yang dalam, serta keunikan kuah kacang yang lebih sederhana dibandingkan bumbu pecel Jawa.
Kwecang: Sebuah camilan tradisional yang wajib ada saat perayaan tertentu, khususnya dalam ritual Seren Taun. Kwecang terbuat dari ketan yang dicampur dengan air abu (abu dari tangkai padi) dan dibungkus daun pisang, menghasilkan tekstur kenyal dan rasa gurih yang unik. Proses pembuatan Kwecang sangat memerlukan ketelitian, menjadikannya warisan kuliner yang harus dilestarikan.
Nasi Kasreng: Makanan khas Kuningan yang sederhana namun mengenyangkan, biasa disajikan dengan lauk pauk sederhana seperti ikan asin, sambal terasi, dan lalapan segar yang baru dipetik dari lereng Ciremai. Nasi Kasreng mencerminkan kehidupan petani yang bersahaja, mengandalkan kesegaran bahan baku.
Peuyeum Ketan: Berbeda dengan peuyeum dari Bandung yang terbuat dari singkong, peuyeum Kuningan dibuat dari beras ketan, difermentasi hingga menghasilkan rasa manis asam menyegarkan dengan kandungan alkohol alami yang sangat rendah. Peuyeum ketan sering dibungkus dalam wadah kecil dari daun pisang atau daun jambu air, dan menjadi oleh-oleh favorit. Proses fermentasi ini membutuhkan suhu yang stabil, yang sangat terbantu oleh iklim sejuk Kuningan.
Opak Ketan: Kerupuk tradisional yang terbuat dari ketan, memiliki tekstur renyah dan rasa gurih alami. Pembuatannya masih dilakukan secara manual, melibatkan penumbukan ketan yang memakan waktu lama, mencerminkan ketekunan masyarakat lokal dalam menjaga kualitas produk warisan.
Meskipun Kuningan terkenal sebagai lumbung pangan dan daerah wisata, dinamika ekonominya terus berkembang menghadapi tantangan modernisasi dan perlindungan lingkungan.
Pertanian tetap menjadi tulang punggung ekonomi. Selain padi sawah, Kuningan adalah produsen signifikan komoditas hortikultura seperti sayuran dataran tinggi dan buah-buahan. Salah satu komoditas spesifik Kuningan adalah buah manggis dari daerah Subang dan sekitarnya, yang dikenal memiliki kualitas ekspor dengan kulit mulus dan rasa manis yang sempurna.
Pemanfaatan potensi alam telah mengarahkan Kuningan pada pengembangan Agrowisata. Masyarakat mulai membuka kebun kopi (kopi arabika Ciremai), kebun buah, dan area perikanan untuk tujuan edukasi dan rekreasi. Ini adalah upaya strategis untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian tanpa merusak lingkungan.
Industri kecil menengah (IKM) di Kuningan berfokus pada kerajinan tangan dan pengolahan makanan. Salah satu kerajinan yang menonjol adalah anyaman bambu dan rotan, yang memanfaatkan sumber daya alam lokal. Di beberapa desa, tradisi menenun masih dipertahankan, menghasilkan kain tenun dengan motif-motif tradisional Sunda yang unik, meskipun skala produksinya belum sebesar sentra tekstil di Jawa Barat lainnya.
Tantangan terbesar Kuningan adalah menjaga keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Sebagai daerah penyangga TNGC, pembangunan infrastruktur besar seringkali dibatasi untuk melindungi kawasan resapan air dan keanekaragaman hayati. Namun, konektivitas Kuningan dengan pusat-pusat ekonomi seperti Cirebon dan Bandung terus diperbaiki melalui pembangunan jalan dan peningkatan fasilitas transportasi publik. Akses yang lebih baik diharapkan mampu mendorong pertumbuhan sektor pariwisata dan perdagangan hasil bumi.
Kuningan kaya akan cerita rakyat yang tidak hanya menghibur, tetapi juga berfungsi sebagai panduan moral dan sejarah lisan. Cerita-cerita ini seringkali berpusat pada Gunung Ciremai dan sumber air suci.
Banyak petilasan di Kuningan yang dikaitkan dengan tokoh-tokoh sakti dari masa Kerajaan Pajajaran atau masa penyebaran Islam. Situs-situs ini, seperti Sumur Tujuh di Cipari atau makam keramat di Cigugur, seringkali menjadi tujuan ziarah dan tempat dilakukannya ritual adat. Keyakinan akan kekuatan spiritual leluhur (karuhun) masih sangat kuat di kalangan masyarakat pedalaman Kuningan.
Salah satu legenda yang paling melekat adalah tentang asal muasal air danau atau telaga. Misalnya, kisah tentang **Situ Balong Dalem** yang diyakini merupakan bekas tancapan tongkat sakti. Cerita-cerita ini mengajarkan pentingnya menjaga kesucian air, karena air dianggap sebagai anugerah langsung dari gunung.
Ikan Kancra Bodas (Ikan Dewa) yang hanya hidup di air sangat jernih dan diyakini memiliki hubungan spiritual dengan para wali atau tokoh keramat. Kepercayaan ini telah menciptakan sistem perlindungan alami bagi ikan tersebut, yang kini menjadi salah satu daya tarik ekowisata. Dalam beberapa versi mitos, ikan-ikan ini adalah jelmaan prajurit atau pengikut setia Adipati Kuningan yang diberi tugas menjaga mata air agar tetap murni. Mitos ini secara tidak langsung menciptakan kepatuhan kolektif untuk tidak mencemari sumber air.
Melihat potensi alam dan budayanya, arah pembangunan Kabupaten Kuningan di masa depan sangat berfokus pada konsep ekowisata berkelanjutan dan pertanian organik. Pemerintah daerah dan masyarakat bekerja sama untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mengorbankan integritas lingkungan Gunung Ciremai.
Proyek restorasi hutan di lereng Ciremai yang gundul akibat kebakaran atau penebangan liar menjadi prioritas utama. Melalui program penanaman pohon endemik dan edukasi lingkungan, Kuningan berupaya memperkuat perannya sebagai paru-paru Jawa Barat. Masyarakat lokal dilibatkan sebagai penjaga hutan (Masyarakat Peduli Api/MPA) untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Pengembangan destinasi wisata kini menekankan pada aspek edukasi, seperti geopark dan pusat penelitian flora/fauna, yang bertujuan menarik wisatawan dengan minat khusus pada ilmu pengetahuan dan lingkungan. Ini adalah langkah strategis untuk beranjak dari sekadar pariwisata massal menuju pariwisata berkualitas yang menghormati daya dukung alam.
Di masa depan, Kuningan diharapkan dapat menjadi model bagi daerah lain dalam memadukan modernitas dengan kearifan lokal. Tradisi Sunda Wiwitan, Seren Taun, dan kesenian tradisional terus didukung untuk memastikan identitas kultural Kuningan tidak tergerus oleh globalisasi. Dengan mempertahankan nilai-nilai kesederhanaan, gotong royong, dan penghormatan terhadap alam, Kuningan membangun fondasi masyarakat yang kuat secara budaya dan stabil secara ekonomi.
Kuningan, dengan segala kompleksitas sejarah, keindahan alam vulkanik Ciremai, dan kehangatan budayanya, menawarkan lebih dari sekadar persinggahan; ia menawarkan sebuah pengalaman mendalam tentang kehidupan di Pasundan Timur. Dari perundingan bersejarah di Linggarjati hingga kesunyian telaga yang diselimuti kabut, Kuningan adalah babak penting yang terus ditulis dalam narasi Indonesia, sebuah wilayah yang menjanjikan ketenangan, kekayaan spiritual, dan cita rasa autentik yang sulit dicari tandingannya. Eksplorasi atas kabupaten ini adalah perjalanan kembali ke akar budaya Sunda yang abadi, dijaga oleh kearifan lokal yang terwariskan dan dibingkai oleh kemegahan gunung yang senantiasa menaungi.
Hucap Kuningan, kelezatan yang tiada dua.