Permukiman kumuh, atau yang sering disebut sebagai kawasan informal, adalah manifestasi visual dan struktural paling nyata dari ketidaksetaraan dalam pembangunan perkotaan. Di tengah menjulang tingginya gedung-gedung pencakar langit dan gemerlap pusat perbelanjaan, kawasan kumuh berdiri sebagai cerminan kegagalan sistematis dalam menyediakan akses perumahan yang layak, sanitasi memadai, dan hak-hak dasar warga kota. Fenomena ini bukan hanya masalah estetika kota, melainkan merupakan krisis multidimensi yang mencakup aspek sosial, kesehatan, ekonomi, dan lingkungan, menuntut analisis mendalam dan solusi yang terintegrasi serta berkelanjutan.
Globalisasi dan urbanisasi yang masif telah mempercepat migrasi penduduk dari pedesaan ke pusat-pusat kota, melebihi kemampuan infrastruktur dan kebijakan perencanaan kota untuk menyerapnya. Akibatnya, jutaan jiwa terpaksa membangun tempat tinggal di lahan yang tidak layak huni, sering kali ilegal, dan tanpa akses dasar. Memahami kompleksitas kawasan kumuh memerlukan tinjauan holistik, mulai dari definisi dan karakteristik fisik, akar penyebab struktural, hingga dampak panjang yang ditimbulkannya terhadap kualitas hidup individu dan stabilitas kota secara keseluruhan.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa kawasan kumuh terus tumbuh subur, mengapa upaya penanganannya sering kali mengalami kebuntuan, dan bagaimana seharusnya pendekatan inovatif diterapkan untuk mencapai transformasi yang manusiawi dan berkeadilan, menjauh dari sekadar penggusuran ke arah pemberdayaan komunitas dan perencanaan kota yang inklusif.
Definisi permukiman kumuh bervariasi antar negara dan lembaga internasional, namun Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-Habitat) memberikan kerangka yang paling sering digunakan, berfokus pada lima dimensi utama kekurangan perumahan, yang mana setiap dimensi tersebut menunjukkan tingkat kerentanan hidup yang tinggi.
Suatu permukiman dianggap kumuh jika mayoritas penduduknya mengalami kekurangan pada satu atau lebih dari indikator berikut:
Selain kekurangan struktural di atas, permukiman kumuh memiliki ciri fisik lingkungan yang sangat khas. Jaringan jalan dan gang sempit (labirin) mendominasi, yang seringkali tidak dapat diakses oleh kendaraan darurat seperti ambulans atau pemadam kebakaran. Sistem drainase, jika ada, sering tersumbat atau terbuka, berfungsi sebagai tempat penampungan sampah dan media penyebaran penyakit vektor.
Tingkat polusi udara lokal sangat tinggi, akibat pembakaran sampah terbuka atau penggunaan bahan bakar masak yang tidak bersih. Sementara itu, minimnya ruang terbuka hijau dan ruang publik yang layak membatasi interaksi sosial yang sehat dan rekreasi.
Keberadaan permukiman kumuh bukan disebabkan oleh kemalasan atau kurangnya inisiatif individu, melainkan merupakan hasil dari kegagalan struktural yang kompleks pada tingkat pemerintahan, ekonomi, dan sosial. Memahami akar masalah adalah langkah krusial untuk merumuskan kebijakan yang efektif.
Salah satu penyebab utama adalah laju urbanisasi yang jauh melampaui kapasitas perencanaan kota. Kota-kota besar sering fokus pada pembangunan infrastruktur megah untuk kelas menengah ke atas dan investasi asing, sementara mengabaikan kebutuhan dasar perumahan bagi pekerja berpenghasilan rendah yang merupakan tulang punggung ekonomi kota. Kurangnya alokasi lahan yang terjangkau dan kebijakan zonasi yang kaku memaksa penduduk miskin untuk menempati lahan "sisa" seperti bantaran sungai, rel kereta api, atau lahan milik negara yang belum terpakai.
Ketidakmampuan Mengantisipasi Migrasi: Pemerintah daerah sering gagal mengantisipasi volume migrasi dan tidak menyiapkan infrastruktur pendukung yang memadai di pinggiran kota. Ini menciptakan celah besar antara permintaan perumahan layak dan penawaran yang tersedia.
Kemiskinan struktural adalah bahan bakar utama pertumbuhan kawasan kumuh. Penduduk yang bekerja di sektor informal, dengan penghasilan harian yang tidak menentu, tidak mampu mengakses pasar perumahan formal. Ketika harga tanah dan biaya sewa di kota terus melambung tinggi, satu-satunya pilihan yang tersisa adalah permukiman informal yang tidak menuntut biaya administrasi atau jaminan kepemilikan.
Akses Kredit dan Formalitas: Sistem perbankan dan kredit perumahan umumnya tidak dirancang untuk melayani masyarakat miskin kota. Mereka tidak memiliki jaminan atau pendapatan tetap yang cukup untuk memenuhi persyaratan hipotek, sehingga tertutup aksesnya terhadap perumahan formal yang didukung pemerintah.
Kelemahan pada tingkat kebijakan dan implementasi memperburuk situasi. Konflik antar-lembaga dalam pengelolaan lahan, korupsi dalam perizinan pembangunan, dan kurangnya koordinasi antara sektor perumahan, sanitasi, dan lingkungan sering kali menghambat upaya perbaikan. Program-program pengentasan kemiskinan sering kali bersifat sporadis dan tidak terintegrasi.
Pendekatan yang represif, seperti penggusuran paksa tanpa solusi relokasi yang manusiawi, hanya memindahkan masalah kumuh dari satu lokasi ke lokasi lain. Ketika penduduk kumuh dipindahkan jauh dari pusat kota (tempat mereka bekerja), biaya transportasi meningkat drastis, mengurangi sisa pendapatan, dan menciptakan kumuh baru di lokasi relokasi karena minimnya fasilitas sosial dan ekonomi.
Dampak dari keberadaan permukiman kumuh merembet ke berbagai aspek kehidupan, menciptakan lingkaran setan kemiskinan dan kerentanan yang sulit diputus, memengaruhi bukan hanya penghuninya tetapi juga stabilitas sosial dan ekonomi kota secara keseluruhan.
Kepadatan tinggi dan buruknya sanitasi menciptakan lingkungan ideal bagi penyebaran penyakit menular. Kurangnya akses air bersih memaksa penduduk menggunakan air yang terkontaminasi, menyebabkan tingginya insiden penyakit berbasis air seperti diare, kolera, dan tifus, terutama pada anak-anak di bawah lima tahun.
Kehidupan di permukiman kumuh ditandai dengan tingkat stres yang tinggi, ketidakpastian, dan paparan terhadap kekerasan. Stigma sosial yang melekat pada kawasan kumuh menciptakan rasa terpinggirkan dan mengurangi peluang integrasi sosial bagi penduduknya.
Rentan Kriminalitas: Kawasan kumuh sering kali menjadi tempat subur bagi masalah sosial seperti penyalahgunaan narkoba, prostitusi, dan kriminalitas kecil, yang dipicu oleh keputusasaan ekonomi dan kurangnya pengawasan hukum yang efektif.
Anak-anak yang tumbuh di kawasan kumuh menghadapi berbagai hambatan pendidikan. Infrastruktur sekolah sering jauh, orang tua tidak mampu membiayai kebutuhan sekolah (seperti seragam dan buku), dan lingkungan rumah yang bising serta padat tidak mendukung kegiatan belajar.
Putus Sekolah Dini: Banyak remaja terpaksa putus sekolah dini untuk mencari nafkah dan membantu keluarga, mempertahankan siklus kemiskinan antargenerasi. Kualitas pendidikan yang mereka terima, jika ada, seringkali lebih rendah dibandingkan dengan sekolah di kawasan formal.
Permukiman kumuh dibangun di lokasi yang secara inheren berbahaya, seperti dataran banjir, lereng rawan longsor, atau dekat jalur industri berbahaya. Mereka adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dan bencana alam.
Bencana Hidrometeorologi: Banjir bandang adalah ancaman tahunan di banyak kawasan kumuh karena terletak di bantaran sungai atau di area resapan air yang telah tertutup. Struktur bangunan yang rapuh dan minimnya sistem peringatan dini membuat kerugian jiwa dan materiil menjadi sangat besar ketika bencana terjadi.
Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, penting untuk meninjau dinamika internal kawasan kumuh. Permukiman ini bukan sekadar tumpukan rumah, melainkan entitas sosial-ekonomi yang kompleks dengan sistem informalnya sendiri yang sangat adaptif, namun rapuh.
Di banyak kota di Indonesia, Filipina, dan Thailand, kawasan kumuh sering kali tumbuh sebagai kampung kota (urban village) yang padat. Kampung-kampung ini menunjukkan ketahanan sosial yang luar biasa, membangun sistem dukungan komunitas, arisan, dan pinjaman mikro secara informal.
Di Jakarta atau Surabaya, misalnya, kawasan informal seringkali telah ada selama beberapa generasi. Meskipun fasilitasnya minim, penduduk memiliki jaringan sosial yang kuat. Mereka menciptakan pekerjaan informal (pedagang kaki lima, pemulung, buruh harian) yang secara vital menopang logistik kota. Intervensi pemerintah yang gagal mengenali nilai ekonomi informal ini dan hanya berfokus pada penggusuran selalu menemui resistensi karena mengancam sumber penghidupan seluruh komunitas.
Salah satu pelajaran penting adalah bagaimana komunitas kumuh menciptakan infrastruktur "paralel". Ketika pemerintah kota gagal menyediakan listrik atau air, komunitas membentuk koperasi kecil untuk membeli listrik curah dari tetangga atau menyalurkan air secara ilegal, menunjukkan kemampuan swakelola yang tinggi, meskipun tidak aman secara teknis.
Di beberapa belahan dunia, seperti di Afrika Sub-Sahara (misalnya, Kibera di Nairobi) atau Amerika Latin (misalnya, Favela di Rio de Janeiro), kawasan kumuh dapat mencapai skala 'kota di dalam kota', menampung ratusan ribu hingga jutaan penduduk. Skala ini menimbulkan tantangan tata kelola yang berbeda.
Di mega-slum, ketiadaan kehadiran negara seringkali digantikan oleh organisasi informal atau, yang lebih mengkhawatirkan, oleh kelompok kriminal atau kartel obat bius yang mengambil peran sebagai pengatur ketertiban, penyedia layanan, dan pemungut pajak. Intervensi untuk perbaikan infrastruktur di area ini harus disertai dengan program keamanan dan reintegrasi sosial yang masif dan terencana dengan hati-hati.
Pengalaman di Rio de Janeiro dengan program 'pacification' menunjukkan bahwa upaya keamanan tanpa disertai peningkatan layanan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan hanya memberikan solusi sementara. Begitu fokus keamanan dialihkan, masalah sosial dan kontrol geng kembali muncul dengan cepat. Permukiman kumuh memerlukan investasi yang holistik, bukan hanya penegakan hukum semata.
Seringkali dilupakan bahwa kawasan kumuh memiliki fungsi ekonomi yang vital dalam rantai pasok global. Pekerja yang tinggal di kawasan kumuh menyediakan tenaga kerja murah dan fleksibel yang mendukung industri manufaktur, jasa, dan konstruksi di perkotaan. Ironisnya, mereka yang membangun dan menjalankan kota tidak mampu membeli tempat tinggal yang layak di dalamnya.
Analisis ini menyoroti bahwa menghilangkan kawasan kumuh tanpa mengatasi kebutuhan ekonomi dan perumahan bagi tenaga kerja sektor informal akan melumpuhkan fungsi ekonomi kota. Solusi harus mempertimbangkan integrasi ekonomi penduduk kumuh ke dalam kota, bukan pemisahan mereka.
Sektor Daur Ulang Informal: Salah satu contoh paling jelas adalah sektor daur ulang. Para pemulung, yang mayoritas tinggal di kawasan kumuh, adalah komponen kunci dalam manajemen sampah perkotaan yang sering kali gagal dikelola oleh pemerintah kota. Mereka menyediakan layanan lingkungan yang efisien, meski dalam kondisi kerja yang sangat berbahaya dan tidak bermartabat. Pengakuan dan formalisasi peran ini dapat menjadi titik awal solusi.
Menanggulangi isu permukiman kumuh membutuhkan pergeseran paradigma dari pendekatan yang berorientasi pada infrastruktur semata (pembangunan fisik) menuju pendekatan yang berorientasi pada hak asasi manusia dan pemberdayaan komunitas. Solusi harus bersifat terintegrasi, melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
Pendekatan peningkatan di tempat, atau in situ upgrading, diakui secara global sebagai strategi paling efektif dan manusiawi, karena mempertahankan jaringan sosial, akses ke pekerjaan, dan modal sosial komunitas yang telah terbangun. Ini adalah kebalikan dari penggusuran dan relokasi paksa.
Peningkatan di tempat memungkinkan transformasi fisik tanpa memutuskan ikatan sosial. Gang-gang sempit diaspal, saluran air diperbaiki, dan rumah-rumah secara bertahap diperbaiki oleh pemiliknya sendiri, dengan dukungan teknis dan finansial dari pemerintah.
Pemerintah harus secara aktif berinvestasi dalam perumahan yang terjangkau (affordable housing) yang lokasinya strategis, yaitu dekat dengan pusat pekerjaan. Model perumahan sosial harus dipertimbangkan, seperti skema sewa-beli atau subsidi silang.
Untuk memastikan ketersediaan lahan di pusat kota, pemerintah dapat menerapkan kebijakan land banking (mengamankan tanah untuk tujuan sosial di masa depan) dan instrumen kontrol harga tanah untuk mencegah spekulasi properti yang mendorong peningkatan harga perumahan hingga tidak terjangkau.
Solusi jangka panjang harus mengatasi kemiskinan yang menjadi akar masalah. Ini berarti integrasi penuh pekerja sektor informal ke dalam ekonomi kota, dengan pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka.
Teknologi dapat memainkan peran besar dalam peningkatan kawasan kumuh. Penggunaan drone untuk pemetaan cepat (untuk mengatasi ketiadaan peta resmi), sistem informasi geografis (SIG) untuk melacak penyebaran penyakit, dan aplikasi seluler untuk menghubungkan penduduk dengan layanan sosial dan darurat adalah beberapa contoh potensi yang besar.
Di beberapa kota, model sanitasi modular yang dapat dipasang dengan cepat dan efisien, serta sistem pengolahan limbah mandiri berskala kecil (decentralized wastewater treatment), telah menunjukkan keberhasilan dalam mengatasi masalah sanitasi di lingkungan yang sangat padat di mana instalasi pipa besar sulit dilakukan.
Transformasi permukiman kumuh adalah maraton, bukan lari cepat. Ini membutuhkan komitmen politik jangka panjang, dana yang signifikan, dan yang paling penting, rasa hormat yang mendalam terhadap martabat dan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh komunitas penghuni itu sendiri.
Meskipun solusi-solusi telah teridentifikasi, implementasinya menghadapi hambatan besar, mulai dari resistensi politik hingga keterbatasan finansial dan birokrasi yang lambat. Mengatasi hambatan ini sangat penting jika kita ingin mewujudkan kota yang benar-benar inklusif di masa depan.
Keputusan untuk meningkatkan kawasan kumuh seringkali dihadapkan pada dilema politik. Peningkatan di tempat (upgrading) dapat dilihat oleh sebagian pihak sebagai ‘penghargaan’ terhadap pembangunan ilegal, sementara penggusuran sering didorong oleh kepentingan properti dan pengembang yang menginginkan lahan strategis. Kurangnya kemauan politik untuk mengorbankan keuntungan jangka pendek demi keadilan sosial jangka panjang menjadi penghalang utama.
Koordinasi Lintas Sektor: Penanganan kawasan kumuh memerlukan kolaborasi antara kementerian perumahan, pekerjaan umum, kesehatan, sosial, dan pemerintah daerah. Kegagalan koordinasi ini sering menghasilkan program yang tumpang tindih, atau sebaliknya, menyisakan celah layanan yang vital.
Tantangan terbesar adalah memutus siklus di mana anak-anak yang lahir di kawasan kumuh mewarisi kerentanan orang tua mereka. Ini memerlukan investasi besar dalam layanan publik sosial yang berkualitas tinggi dan mudah diakses di kawasan yang ditingkatkan, termasuk sekolah yang lebih baik, layanan kesehatan primer, dan pusat pengembangan anak usia dini.
Program intervensi dini yang menargetkan nutrisi dan pendidikan pada 1000 hari pertama kehidupan anak sangat penting untuk meningkatkan potensi mereka dan memberikan kesempatan yang sama dengan anak-anak dari latar belakang yang lebih makmur.
Organisasi non-pemerintah (LSM) dan organisasi berbasis komunitas (CBOs) seringkali menjadi kekuatan pendorong di balik keberhasilan program peningkatan. Mereka memiliki kepercayaan komunitas dan pemahaman lokal yang tidak dimiliki oleh birokrasi pemerintah. Kemitraan yang solid antara pemerintah dan CBOs sangat esensial.
Selain itu, dukungan dari lembaga multilateral seperti Bank Dunia, UN-Habitat, dan Bank Pembangunan Asia dalam bentuk pendanaan, transfer pengetahuan, dan dukungan teknis sangat diperlukan, terutama untuk kota-kota di negara berkembang yang menghadapi defisit anggaran yang besar untuk perumahan sosial.
Visi masa depan yang ideal adalah kota yang mengakui bahwa keberagaman dan inklusi adalah kekuatan, bukan kelemahan. Kota inklusif adalah kota yang dirancang bukan hanya untuk mobil dan modal, tetapi untuk manusianya, termasuk mereka yang berada di tingkat pendapatan terendah.
Ini berarti merangkul konsep "Kota 15 Menit", di mana layanan esensial, pekerjaan, dan rekreasi dapat diakses dalam jarak berjalan kaki atau bersepeda. Dalam konteks permukiman kumuh, ini berarti memastikan peningkatan kualitas hidup di tempat (in situ) agar kawasan tersebut terintegrasi secara fisik, sosial, dan ekonomi ke dalam struktur kota yang lebih besar, bukan hanya sebagai pinggiran yang terisolasi.
Pada akhirnya, penanganan permukiman kumuh adalah ujian moral dan praktis bagi setiap pemerintah kota. Ini mengukur seberapa jauh komitmen sebuah kota untuk memenuhi janji pembangunan yang berkeadilan, memastikan bahwa setiap warga negara, terlepas dari latar belakang ekonomi mereka, memiliki hak atas tempat tinggal yang aman, bermartabat, dan sehat.
Kesadaran kolektif, yang didukung oleh kebijakan berbasis bukti dan kemauan politik yang kuat, adalah satu-satunya jalan menuju penciptaan kota-kota yang benar-benar layak huni, di mana istilah 'kumuh' hanya tinggal kenangan sejarah kegagalan tata kelola di masa lalu. Upaya ini harus terus menerus, terperinci, dan melibatkan dialog tanpa henti dengan mereka yang paling merasakan dampaknya.
Tantangan terbesar di kawasan kumuh adalah penyediaan air dan sanitasi. Jaringan pipa tradisional sulit dipasang karena kepadatan dan status kepemilikan tanah. Oleh karena itu, solusi desentralisasi menjadi vital. Ini mencakup sistem pengolahan air limbah domestik berskala kecil (DEWATS) yang melayani sekelompok rumah atau satu blok komunal. Sistem ini lebih murah, lebih cepat dipasang, dan mengurangi kontaminasi air tanah secara signifikan. Pendekatan ini juga menciptakan peluang pekerjaan lokal dalam pemeliharaan sistem.
Pengelolaan air bersih seringkali melibatkan pengembangan sumur bor komunal yang diolah melalui filter sederhana (seperti saringan pasir cepat) dan dikelola oleh komite air setempat. Ini memberikan kepastian kualitas air dan harga yang terjangkau, mengurangi ketergantungan pada pedagang air yang mahal.
Kebakaran adalah ancaman kronis di kawasan kumuh karena bahan bangunan yang mudah terbakar, sambungan listrik ilegal yang semrawut, dan kepadatan yang ekstrem. Solusi infrastruktur harus mencakup jalur evakuasi yang jelas, meskipun sempit, serta penyediaan hidran air komunal yang mudah diakses. Program perbaikan rumah yang didukung pemerintah harus memprioritaskan penggunaan bahan bangunan yang lebih tahan api (misalnya, penggantian atap jerami atau papan kayu tipis dengan material non-organik).
Kegagalan manajemen sampah perkotaan selalu terasa paling parah di kawasan kumuh. Sampah menumpuk, menyebabkan polusi dan penyakit. Solusinya adalah mengintegrasikan sistem daur ulang informal ke dalam rantai pasok resmi. Ini mencakup pembangunan pusat daur ulang komunal yang dikelola komunitas, memberikan insentif finansial kepada pemulung, dan menyediakan pelatihan tentang pemilahan sampah yang efektif. Dengan demikian, sampah menjadi sumber daya ekonomi, bukan hanya masalah lingkungan.
Pemerintah perlu mengakui dan membayar kontribusi lingkungan yang diberikan oleh sektor informal ini, misalnya melalui skema pembayaran per ton bahan daur ulang yang berhasil dikumpulkan, sehingga meningkatkan pendapatan mereka dan secara simultan membersihkan lingkungan.
Penduduk kumuh, terutama anak-anak, sering mengalami trauma berkelanjutan akibat ketidakamanan kepemilikan (ancaman penggusuran), paparan kekerasan, dan kondisi hidup yang penuh tekanan. Dampak psikologis ini memengaruhi kemampuan belajar, produktivitas kerja, dan hubungan interpersonal. Intervensi peningkatan kawasan kumuh harus mencakup layanan kesehatan mental primer dan dukungan psikososial berbasis komunitas, yang disampaikan melalui pusat-pusat komunitas lokal.
Program yang berfokus pada ketahanan (resilience) komunitas, seperti kelompok dukungan orang tua dan program mentoring untuk remaja, sangat penting untuk membangun kembali rasa kendali dan harapan di tengah ketidakpastian. Ruang publik, meskipun kecil, seperti taman bermain anak atau lapangan serbaguna, memiliki peran terapeutik yang signifikan.
Kondisi kumuh memiliki dampak yang tidak proporsional terhadap perempuan dan anak perempuan. Mereka menanggung beban utama dalam mengumpulkan air (jika akses air sulit), mengurus sanitasi keluarga, dan merawat anggota keluarga yang sakit akibat lingkungan yang buruk. Kekerasan berbasis gender juga cenderung lebih tinggi di lingkungan yang padat dan minim pencahayaan.
Program peningkatan harus secara eksplisit menargetkan pemberdayaan ekonomi perempuan (misalnya melalui kelompok usaha mikro) dan melibatkan mereka secara penuh dalam pengambilan keputusan terkait infrastruktur (misalnya, lokasi toilet umum, pencahayaan jalan, dan keamanan). Ketika perempuan terlibat, prioritas pembangunan infrastruktur dasar (air, sanitasi) cenderung lebih diutamakan.
Peningkatan kualitas pencahayaan jalan dan jalur umum (lorong) di malam hari bukan hanya perbaikan infrastruktur, tetapi juga investasi langsung dalam keamanan perempuan dan pencegahan kejahatan di lingkungan yang rentan.
Di banyak kawasan kumuh yang berhasil bertransformasi, peran seni, budaya, dan identitas lokal sangat penting. Melalui mural, acara komunitas, dan revitalisasi ruang publik yang melibatkan seni, stigma negatif terhadap kawasan tersebut dapat dikurangi. Ini membantu penduduk dan masyarakat luar melihat kawasan tersebut sebagai pusat budaya yang kaya, bukan hanya sebagai masalah sosial. Proses ini menumbuhkan kebanggaan komunal dan memperkuat identitas positif, yang penting untuk keberlanjutan proyek peningkatan.
Revitalisasi estetika lingkungan, meskipun tampak sekunder, adalah faktor penting dalam meningkatkan kualitas hidup dan memicu investasi swadaya dari penghuni, karena mereka mulai melihat lingkungan mereka sebagai tempat yang layak untuk dipertahankan dan diperbaiki.
Untuk menghubungkan kawasan kumuh dengan ekonomi formal, diperlukan mekanisme keuangan yang inovatif. Bank-bank pembangunan harus bekerja sama dengan lembaga keuangan mikro untuk menyediakan pinjaman khusus 'perbaikan rumah' (home improvement loans) yang tidak memerlukan jaminan properti formal. Pinjaman ini harus didasarkan pada jaminan kelompok atau reputasi komunitas, yang terbukti berhasil di beberapa negara Asia Selatan.
Selain itu, konsep Incremental Housing (Perumahan Bertahap) harus dilembagakan. Ini mengakui bahwa keluarga berpenghasilan rendah tidak mampu membangun rumah layak dalam semalam. Pemerintah atau LSM menyediakan inti bangunan dasar (pondasi, toilet, dan atap) dan keluarga kemudian secara bertahap membangun atau memperluas rumah mereka sesuai dengan kemampuan finansial mereka dari waktu ke waktu. Kebijakan ini jauh lebih realistis daripada model perumahan standar yang kaku.
Pengalaman di India dengan Society for Promotion of Area Resource Centers (SPARC) menunjukkan bahwa ketika pemerintah menyediakan subsidi bahan bangunan dan dukungan teknis, komunitas kumuh dapat secara mandiri mengelola dan menyelesaikan proyek perumahan massal dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada kontraktor formal, sambil memastikan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kualitas udara dalam ruangan (Indoor Air Quality - IAQ) adalah isu kesehatan yang sering diabaikan. Di kawasan kumuh, ventilasi yang buruk dan penggunaan bahan bakar biomassa (kayu bakar, arang, atau kerosin) untuk memasak menyebabkan konsentrasi tinggi Partikulat Halus (PM2.5), yang jauh melebihi batas aman WHO. Ini adalah penyebab utama ISPA kronis dan TBC.
Solusi harus mencakup subsidi untuk kompor bersih (seperti kompor listrik atau gas terpusat komunal) dan desain rumah yang sederhana namun memastikan ventilasi silang yang memadai. Program edukasi tentang bahaya polusi udara dalam ruangan juga harus menjadi bagian integral dari peningkatan kesehatan masyarakat.