Kuih, sebuah kata yang sederhana namun membawa beban sejarah, kekayaan budaya, dan kerumitan rasa yang mendalam di seluruh wilayah Asia Tenggara Maritim. Kata ini, yang identik dengan manisan tradisional kecil, makanan ringan, atau penganan yang disajikan di antara waktu makan utama, bukan sekadar makanan; ia adalah narasi visual dan gastronomi dari warisan nenek moyang.
Dalam konteks Malaysia, Singapura, Brunei, dan merentang hingga ‘kue’ di Indonesia, kuih memegang peranan vital dalam setiap perayaan, upacara adat, dan bahkan rutinitas minum petang. Artikel ini merupakan eksplorasi ekstensif, menyelami filosofi bahan, klasifikasi yang rumit, teknik pembuatan, serta peran tak tergantikan kuih dalam permadani budaya Nusantara.
Secara etimologi, kata kuih diyakini berasal dari dialek Hokkien Tiongkok, ‘koé’ atau ‘kueh’, yang merujuk pada penganan berbahan dasar tepung. Namun, di Nusantara, kuih telah berevolusi menjadi kategori kuliner yang jauh melampaui akar Tionghoa-nya, menyerap pengaruh Melayu asli, India, Arab, dan Eropa (terutama Belanda dan Portugis), menghasilkan fusi rasa yang unik.
Setiap daerah memiliki ‘signature kuih’ tersendiri. Kuih di Pantai Timur Semenanjung Malaysia (Kelantan, Terengganu) cenderung lebih manis dan padat, sering menggunakan gula nipah atau gula melaka dengan teknik pembakaran atau pengukusan yang lambat. Sebaliknya, kuih Nyonya/Peranakan, yang berpusat di Melaka dan Pulau Pinang, menonjolkan penggunaan pewarna alami yang cerah, aroma pandan yang kuat, dan keseimbangan tekstur yang kenyal (chewy) berkat penggunaan tepung sagu atau ubi kayu.
Kuih sering diklasifikasikan berdasarkan waktu penyajian. Terdapat kuih yang disajikan saat sarapan ringan (seperti Roti Jala atau Lempeng), kuih untuk minum petang (kebanyakan kategori manis dan gurih), dan kuih yang wajib hadir dalam perayaan besar (seperti Hari Raya, Tahun Baru Imlek, atau Deepavali), yang mana masing-masing memiliki makna simbolis yang mendalam.
Alt text: Ilustrasi berbagai jenis kuih tradisional dalam bakul bambu, menampilkan kuih berlapis pink dan kuih beras hijau.
Kunci keunikan kuih terletak pada ketergantungan utamanya pada sumber daya alam lokal. Berbeda dengan kue-kue Barat yang didominasi gandum dan mentega, kuih Nusantara adalah perayaan pati non-gandum, santan murni, dan pemanis alami.
Bahan dasar pati menentukan tekstur, yang merupakan aspek paling krusial dalam penilaian kuih. Tekstur kuih harus mencapai titik yang sempurna: tidak terlalu lembek, tidak terlalu keras, dan seringkali membutuhkan kekenyalan yang pas (kenyal) atau kerapuhan yang lembut (rapuh).
Warna, aroma, dan rasa kuih sangat bergantung pada trio bahan inti ini:
Untuk memahami kekayaan kuih, penting untuk membaginya ke dalam kategori yang jelas. Klasifikasi ini sering tumpang tindih, tetapi membantu dalam mengidentifikasi teknik pembuatan dan konteks penyajian.
Perbedaan antara Kuih Basah dan Kuih Kering sangat signifikan, terutama dalam konteks daya tahan dan presentasi.
Kuih basah adalah manifestasi artistik paling murni dari masakan Melayu dan Peranakan. Mereka mewakili harmoni bahan lokal dan kesabaran teknik pengukusan. Bagian ini mendalami varietas kuih basah yang paling ikonik.
Seri Muka adalah mahakarya dualitas. Terdiri dari dua lapisan yang kontras namun saling melengkapi: lapisan bawah adalah pulut (beras ketan) yang dikukus dengan santan asin, dan lapisan atas adalah kastard hijau lembut beraroma pandan yang dimaniskan. Kesempurnaan Seri Muka terletak pada tekstur ketan yang padat dan sedikit berminyak, dipadukan dengan kehalusan dan aroma wangi kastard di atasnya. Filosofinya: representasi keseimbangan rasa gurih (pulut) dan manis (kastard) dalam satu gigitan.
Salah satu kuih yang paling memakan waktu dan paling menakjubkan secara visual. Kuih Lapis, dengan tumpukan lapisan warna yang cerah (biasanya pink, hijau, dan putih) yang dikukus satu per satu. Masing-masing lapisan harus cukup kuat untuk dipisahkan, namun cukup lembut untuk meleleh di mulut. Proses pengukusan yang berlapis (setiap lapisan dikukus 5-10 menit sebelum ditambahkan lapisan berikutnya) membutuhkan ketepatan waktu yang tinggi. Kuih Lapis melambangkan persatuan dan kemakmuran, sering disajikan dalam jumlah besar di acara-acara penting.
Representasi klasik dari kemasan alami. Pulut Inti adalah beras ketan biru (diwarnai dengan bunga Telang, Clitoria ternatea) yang dikukus dengan santan, di atasnya ditambahkan ‘inti’—kelapa parut yang dimasak dengan Gula Melaka hingga menjadi karamel manis dan lengket. Semuanya kemudian dibungkus dalam daun pisang yang dilipat menyerupai piramida atau kerucut. Aroma daun pisang yang meresap saat pengukusan adalah ciri khas Pulut Inti.
Bingka adalah penganan yang dipanggang (walaupun terkadang dikukus) yang menunjukkan kekayaan ubi kayu (singkong). Ubi kayu diparut, dicampur dengan santan pekat, gula, telur, dan sedikit garam. Kunci kelezatan Bingka terletak pada pemanggangan yang menghasilkan lapisan luar yang berwarna cokelat gelap dan karamelisasi, sementara bagian dalamnya tetap lembab dan padat. Tekstur akhirnya harus kenyal tetapi tidak liat, dengan rasa manis dan gurih yang berimbang.
Seperti Seri Muka, Talam adalah penganan dua lapis. Lapisan bawah biasanya terbuat dari tepung beras, gula, dan pewarna alami (hijau pandan atau cokelat Gula Melaka). Lapisan atas adalah lapisan santan kental yang mengandung garam dan tepung Hunkwe (tepung kacang hijau), dikukus hingga keras dan padat, memberikan rasa asin yang tajam. Kontras rasa asin-gurih di atas dan manis-lembut di bawah adalah esensi Talam, menjadikannya salah satu kuih yang paling dicari.
Spesialisasi dari Pantai Timur (Kelantan dan Terengganu). Akok memiliki tekstur yang sangat unik, menyerupai spons yang padat dan lembap, dengan lapisan luar yang sedikit hangus. Ia dibuat dari campuran telur, santan, dan Gula Melaka dalam jumlah besar, kemudian dipanggang perlahan dalam acuan tembikar kecil. Tingginya kandungan telur memberikan rasa yang kaya dan umami, jauh berbeda dari kuih yang berbasis pati.
Warisan kuliner Peranakan (akulturasi Tiongkok dan Melayu) menghasilkan kuih yang paling berwarna dan rumit. Kekenyalan (chewiness) adalah ciri utama, dicapai melalui penggunaan sagu atau tepung tapioka.
Bola adonan kenyal yang terbuat dari tepung ketan, diisi dengan inti kelapa yang dimasak dengan Gula Melaka, kemudian dibungkus rapi dalam daun pisang yang diolesi minyak dan dikukus. Versi Nyonya seringkali berwarna hitam karena penambahan abu sekam padi (pulut hitam) pada adonan tepung, yang memberikan aroma tanah yang khas. Kuih Koci melambangkan kebersamaan karena proses pembuatannya sering dilakukan secara beramai-ramai.
Penganan kecil berbentuk bola yang direbus hingga mengambang. Adonan dibuat dari tepung ketan yang diwarnai hijau pandan. Isiannya adalah Gula Melaka padat. Kuncinya adalah saat digigit, Gula Melaka yang meleleh di dalamnya akan menyembur keluar. Setelah direbus, Onde-Onde digulingkan dalam kelapa parut segar yang dikukus ringan untuk menjaga kebersihan dan kesegaran. Ini adalah salah satu kuih yang menawarkan elemen kejutan yang menyenangkan.
Menggunakan biji sagu (sago pearls) yang direbus hingga matang dan dicampur dengan pewarna (seringkali pink cerah) dan dibentuk menjadi lapisan atau balok. Disajikan dengan taburan kelapa parut segar. Kuih Sagu menawarkan tekstur yang ringan, berbutir, dan kenyal secara bersamaan, sangat menyegarkan di iklim tropis.
Meskipun kuih sering diasosiasikan dengan rasa manis, kategori gurih (savouri) memiliki peranan yang tak kalah penting dalam lanskap kuliner. Kuih gurih adalah solusi cepat, padat gizi, dan seringkali disajikan sebagai hidangan pembuka atau makanan ringan pengisi perut.
Karipap adalah kuih goreng yang paling universal. Ia adalah kulit pastry yang renyah (biasanya dibuat dengan teknik *water dough* dan *oil dough* untuk menghasilkan lapisan) yang diisi dengan kentang dan daging cincang (ayam atau sapi) yang dimasak dengan bumbu kari yang kaya. Kualitas karipap dinilai dari lipatan atau ‘kelim’ yang rumit di tepi adonan, yang menunjukkan keterampilan pembuatnya. Ada varian yang lebih kecil, Karipap Pusing, yang kulitnya menyerupai ratusan lapisan tipis yang melingkar, menawarkan kerenyahan maksimal.
Cucur, atau jemput-jemput, merujuk pada adonan tepung yang digoreng secara *deep-fried*. Cekodok biasanya berbahan dasar pisang yang dihaluskan, dicampur tepung dan digoreng hingga bola-bola kecil berwarna cokelat keemasan. Sementara Cucur Udang adalah adonan tepung terigu yang dicampur dengan tauge, kucai, dan udang segar, disajikan dengan saus sambal pedas-manis. Kuih jenis ini mewakili kesederhanaan dan kecepatan kuliner jalanan tradisional.
Jemputan unik yang menggunakan kacang hijau rebus yang dihaluskan, dibentuk menjadi bola-bola padat, dicelupkan ke dalam adonan tepung ringan, dan digoreng. Hasilnya adalah luaran yang renyah dan bagian dalam yang padat, bertepung, dan sedikit manis. Penggunaan kacang hijau memberikan nilai gizi yang lebih tinggi dan tekstur yang lebih ‘berat’ dibandingkan cucur biasa.
Pulut (ketan) adalah dasar dari banyak kuih gurih. Pulut Panggang adalah ketan yang diisi dengan sambal udang kering (serunding udang) atau ikan yang berbumbu kaya, kemudian dibungkus daun pisang dan dipanggang di atas bara. Pemanggangan memberikan aroma asap yang khas pada ketan. Lepat, di sisi lain, adalah ketan yang diisi dengan parutan kelapa muda atau keladi, lalu dikukus hingga lembut.
Walaupun namanya Roti (roti), teksturnya lebih menyerupai kuih. Roti Jala dibuat dari adonan tepung cair yang dibentuk seperti jala (jaring) menggunakan acuan khusus, kemudian dimasak sebentar di atas wajan datar. Roti Jala hampir selalu disajikan dengan kuah kari ayam, menjadikannya kuih gurih yang berfungsi sebagai pengganti nasi atau roti utama.
Kuih Kering adalah kategori yang mendominasi saat perayaan besar, terutama Hari Raya Aidilfitri, karena daya tahannya yang lama dan kemudahan penyimpanannya. Mereka adalah representasi keahlian memanggang tradisional tanpa oven modern.
Secara harfiah berarti ‘kuih yang naik’ atau ‘bangkit’ saat dipanggang. Kuih Bangkit dibuat dari pati sagu yang dimasak kering (disangai) terlebih dahulu untuk menghilangkan kelembaban, kemudian dicampur dengan santan pekat dan gula. Teksturnya adalah ciri khas utamanya: sangat ringan, rapuh, dan meleleh di mulut (melt-in-your-mouth). Aroma daun pandan sering ditambahkan untuk menyempurnakan rasanya.
Kuih tipis, renyah, dan rapuh yang dibuat dari adonan telur, santan, dan tepung, dimasak di antara dua plat besi di atas api. Ketika adonan matang, ia segera dilipat atau digulung (dikapit) saat masih panas. Versi modern sering memiliki isian, tetapi versi tradisional murni berfokus pada kerenyahan dan aroma santan yang dibakar.
Kuih kering yang tidak dipanggang, melainkan dicetak. Terbuat dari kacang hijau sangrai yang dihaluskan menjadi tepung, dicampur gula halus, kemudian dipadatkan di dalam acuan kayu tradisional. Penganan ini sangat manis dan kering, melambangkan ketahanan dan ketekunan.
Pembuatan kuih tradisional sangat bergantung pada teknik memasak yang lambat dan suhu rendah, berlawanan dengan kecepatan memanggang modern.
Mayoritas kuih basah dikukus. Pengukusan memberikan kelembaban maksimal, mencegah kekeringan, dan memastikan tekstur yang lembut atau kenyal. Namun, pengukusan memerlukan perhatian khusus:
Daun pisang (dan kadang daun nipah atau daun kelapa) adalah kemasan alami yang tidak tergantikan. Daun tidak hanya berfungsi sebagai wadah, tetapi juga sebagai penyedap. Ketika dipanaskan (dikukus atau dipanggang), minyak alami dalam daun pisang dilepaskan, memberikan aroma hijau, wangi, dan sedikit pahit yang meresap ke dalam kuih (misalnya pada Kuih Koci, Lepat Pisang, atau Nagasari). Ini adalah penanda otentik kuih Nusantara.
Alt text: Ilustrasi tiga bola onde-onde (buah melaka) berwarna hijau pandan yang dilapisi kelapa parut.
Meskipun inti dari kuih tetap sama—penggunaan pati, santan, dan gula—nama dan variasi resepnya menunjukkan keragaman geografis dan sejarah migrasi di kawasan ini.
Di Semenanjung Malaysia dan Singapura, istilah kuih digunakan secara universal. Namun, kuih Peranakan di kedua wilayah ini seringkali menunjukkan pengaruh Thailand dan Jawa. Misalnya, teknik membatik yang rumit dalam Kuih Bangkit atau penggunaan bunga Telang untuk mewarnai ketan menjadi biru.
Di Indonesia, penganan ini dikenal sebagai Kue, dan cakupannya bahkan lebih luas, merangkul ratusan varian. Meskipun filosofi bahan dasarnya serupa, ada beberapa perbedaan dalam teknik dan bahan.
Pembahasan tentang kuih tidak lengkap tanpa pemahaman mendalam tentang ilmu di balik teksturnya. Tekstur—apakah ia *kenyal*, *lembut*, *rapuh*, atau *berlendir*—adalah hasil dari interaksi kompleks antara pati, air, gula, dan lemak santan selama proses pemanasan (gelatinisasi dan retrogradasi).
Gelatinisasi terjadi ketika pati (dari beras, sagu, atau tapioka) dipanaskan dengan cairan (santan dan air). Butiran pati menyerap cairan, membengkak, dan melepaskan amilosa dan amilopektin, yang merupakan rantai polimer yang membentuk struktur jaringan gel. Dalam pembuatan kuih, pengendalian gelatinisasi adalah kunci:
Lemak dalam santan kelapa memainkan peran ganda: penambah rasa gurih dan penghambat gelatinisasi. Lemak akan melapisi butiran pati, memperlambat penyerapan air. Hal ini penting dalam kuih yang membutuhkan struktur yang lebih padat, seperti Bingka atau Wajik. Santan yang sangat pekat akan menghasilkan kuih yang lebih "kaya" dan tidak se-kenyal kuih yang hanya menggunakan air.
Retrogradasi adalah proses di mana pati yang telah digelatinisasi kembali ke struktur kristal seiring pendinginan, menyebabkan kuih menjadi keras atau basi. Inilah mengapa sebagian besar kuih basah hanya enak dikonsumsi pada hari yang sama. Untuk meminimalkan retrogradasi, pembuat kuih tradisional seringkali menggunakan sedikit minyak atau lemak tambahan dan penyimpanan pada suhu ruangan (tidak di kulkas), karena suhu dingin mempercepat pengerasan pati.
Pembuatan kuih secara tradisional adalah ritual yang menuntut alat spesifik, meskipun banyak yang kini digantikan oleh peralatan dapur modern.
Sebelum adanya blender dan mesin parut, kelapa diparut manual, dan beras direndam lalu digiling dengan batu gilingan untuk mendapatkan tepung beras segar. Penggilingan basah ini (menggunakan air) menghasilkan tepung yang sangat halus dan lembab, yang dipercaya memberikan tekstur superior pada kuih Talam dibandingkan dengan tepung beras kemasan kering.
Acuan (cetakan) kuih adalah karya seni tersendiri. Kuih Bulan (untuk Peranakan) atau Ang Koo (kuih kura-kura) menggunakan cetakan kayu ukiran tangan. Kuih Akok menggunakan acuan tembikar atau loyang tembaga kecil. Bentuk acuan ini tidak hanya untuk estetika, tetapi juga mempengaruhi distribusi panas saat pengukusan atau pemanggangan.
Di era modern, banyak pembuat kuih beralih ke pewarna makanan sintetis untuk efisiensi dan warna yang lebih cerah, serta bubuk santan instan. Meskipun mempercepat proses, hal ini seringkali mengorbankan kedalaman rasa dan aroma otentik yang berasal dari pewarna alami seperti daun suji, bunga telang, atau kunyit, serta rasa gurih murni dari santan segar.
Setiap kuih membawa makna simbolis, terutama ketika disajikan dalam upacara adat atau perayaan. Kuih berfungsi sebagai bahasa bisu yang menyampaikan harapan dan doa.
Dalam upacara pernikahan Melayu tradisional, beberapa jenis kuih wajib disajikan sebagai bagian dari hantaran (seserahan). Kehadiran kuih yang dibuat dengan sempurna menunjukkan keterampilan dan kesungguhan mempelai wanita dalam mengurus rumah tangga. Kuih yang terlalu manis melambangkan kehidupan yang bahagia, sementara yang kenyal (seperti Dodol) melambangkan kelekatan kasih sayang.
Selain pandan dan santan, ada beberapa bahan tambahan yang memberikan dimensi rasa yang mendalam pada kuih yang kurang dikenal.
Bunga Cengkeh dan Bunga Lawang: Meskipun lebih umum dalam masakan gurih, beberapa kuih yang dipanggang lambat, seperti beberapa varian Akok, menggunakan sedikit bubuk rempah ini untuk memberikan aroma hangat dan pedas, menyeimbangkan rasa manis gula. Penggunaan rempah ini menunjukkan pengaruh India dan Arab pada resep kuih tertentu.
Tapai Ubi/Nasi: Fermentasi adalah teknik kuno dalam pembuatan kuih. Tapai (fermentasi beras atau ubi) menghasilkan rasa asam-manis dan aroma alkoholik ringan. Kue apam yang menggunakan tapai sebagai agen ragi, dikenal sebagai Apam Tapai, memiliki tekstur yang sangat ringan dan berongga dibandingkan apam biasa.
Tidak semua kuih harus menggunakan beras atau ubi kayu. Keladi (talas) adalah bahan yang menghasilkan tekstur lembut dan sedikit berpasir. Kuih Keladi adalah varian Talam atau Bingka yang menggunakan keladi parut. Demikian pula, Kuih Jagung (sering berbentuk puding jagung kukus) adalah favorit karena rasa manis alaminya dan butiran jagung yang memberikan tekstur yang menarik.
Di era modern, kuih telah menjadi subjek eksperimen fusion. Contohnya adalah kuih Nyonya yang disajikan dengan rasa asing, seperti Kuih Lapis dengan matcha, atau Karipap yang diisi dengan keju. Walaupun kreasi ini menarik generasi muda, perdebatan tetap ada mengenai apakah modifikasi yang terlalu jauh masih layak disebut sebagai kuih, ataukah ia telah bertransformasi menjadi kue modern yang baru.
Namun, adaptasi yang paling sukses adalah yang mempertahankan esensi tekstur dan teknik tradisional (seperti kekenyalan pati) sambil memperkenalkan isian baru. Hal ini memastikan relevansi kuih di tengah derasnya arus kuliner global.
Warisan kuih menghadapi tantangan signifikan dalam mempertahankan keasliannya di tengah modernisasi.
Penggunaan Gula Melaka atau Gula Kabung asli semakin sulit dan mahal, karena proses pembuatannya yang manual dan memakan waktu. Pembuat kuih seringkali terpaksa beralih ke gula merah olahan yang lebih murah, yang mengurangi kedalaman rasa karamel yang berasap.
Teknik pembuatan kuih, seperti membuat kelim sempurna pada Karipap atau mengatur suhu pengukusan untuk Kuih Lapis, seringkali merupakan pengetahuan turun-temurun yang sulit didokumentasikan. Generasi muda mungkin kurang tertarik mempelajari proses yang memakan waktu dan melelahkan ini, menyebabkan risiko hilangnya keahlian vital.
Upaya konservasi, melalui dokumentasi resep leluhur, kelas memasak tradisional, dan festival kuih, kini menjadi penting. Fokus harus diletakkan pada pendidikan konsumen tentang nilai bahan-bahan asli dan kesabaran yang dibutuhkan dalam proses pembuatan, memastikan bahwa Kuih tetap menjadi harta karun kuliner yang dihormati di masa depan.
Kuih bukan hanya tentang rasa manis atau gurih; ia adalah tentang memori kolektif, ikatan sosial, dan komitmen terhadap warisan. Dari kesederhanaan Cekodok hingga kerumitan berlapis Kuih Lapis, setiap penganan kecil ini adalah cerminan dari kekayaan dan kedalaman budaya yang tak terbatas di Nusantara.
Eksplorasi ini menegaskan bahwa kuih adalah sebuah seni. Dibutuhkan ketepatan seorang ahli kimia untuk menyeimbangkan pati dan santan, kesabaran seorang seniman untuk membentuk dan mewarnai adonan, dan gairah seorang sejarawan untuk menjaga resep-resep yang telah bertahan melintasi generasi.
Warisan ini akan terus hidup, selama aroma wangi daun pandan dan manisnya Gula Melaka masih tercium dari dapur-dapur di seluruh kepulauan.