Di antara kekayaan kuliner Nusantara yang tak terhitung jumlahnya, terdapat sebuah sajian sederhana namun sarat makna, dikenal dengan nama sengkulun. Kue tradisional ini, yang diperkirakan telah ada sejak ratusan tahun lalu, mewakili keharmonisan rasa yang tercipta dari perpaduan dua bahan pokok Indonesia: tepung beras dan kelapa parut. Sengkulun bukan sekadar hidangan penutup atau teman minum teh; ia adalah narasi visual dan tekstural mengenai sejarah agraris, kearifan lokal dalam pengolahan pangan, serta simbolisasi kesederhanaan yang mendalam.
Popularitas sengkulun mungkin tidak selalu setenar kue-kue modern atau jajanan pasar lainnya yang telah berevolusi, namun posisinya dalam hati masyarakat, khususnya di wilayah Jawa, Betawi, dan beberapa daerah di Sumatera, tetap teguh. Ia sering muncul dalam acara-acara adat, perayaan, atau sebagai hidangan saat berkumpul keluarga, mencerminkan ikatan budaya yang kuat terhadap penganan warisan leluhur. Teksturnya yang unik, antara kenyal, lembut, dan sedikit berpasir (gritty) karena kelapa, memberikan pengalaman sensorik yang berbeda dari kue kukus berbahan dasar tapioka atau terigu lainnya. Kue ini memiliki daya tarik abadi yang harus dilestarikan.
Untuk memahami sengkulun sepenuhnya, kita harus menelusuri akar etimologis dan geografisnya. Meskipun tidak ada catatan sejarah tunggal yang secara eksplisit menunjuk pada tanggal pasti kelahirannya, sengkulun diyakini berasal dari tradisi pengolahan beras yang sangat tua. Nama "sengkulun" sendiri sering dikaitkan dengan bahasa lokal yang merujuk pada proses atau bahan dasarnya. Beberapa ahli kuliner tradisional menduga nama ini adalah modifikasi dari frasa lokal yang menggambarkan tekstur atau cara pembuatannya yang unik, yaitu melalui pencampuran dan pengukusan yang menghasilkan adonan yang padat namun rapuh.
Sengkulun tersebar luas di Jawa, namun identitasnya seringkali paling kuat dijumpai dalam tradisi kuliner Betawi dan Jawa Barat (Sunda). Di Jakarta dan sekitarnya, sengkulun adalah bagian integral dari jajanan pasar Betawi klasik, sering disajikan bersama kue rangi atau putu mayang. Sementara itu, di Jawa Tengah dan Timur, kue serupa mungkin dikenal dengan nama yang berbeda atau memiliki modifikasi bahan yang minor, namun esensi tepung beras yang diolah dengan kelapa tetap menjadi benang merahnya. Distribusi sengkulun menunjukkan betapa pentingnya beras sebagai sumber daya spiritual dan pangan di seluruh kepulauan, melampaui batas-batas suku dan bahasa.
Perbedaan regional juga memengaruhi penampilan. Sengkulun Betawi umumnya berwarna merah muda yang mencolok atau kombinasi merah muda dan putih, seringkali dicetak menggunakan cetakan loyang persegi panjang atau bulat yang besar, kemudian dipotong. Sementara di beberapa daerah pesisir, bentuknya bisa lebih sederhana, dicetak langsung menggunakan wadah bambu atau daun pisang, menghasilkan aroma yang lebih khas dan alami. Keseragaman dalam metode kukus basah (steaming) adalah ciri khas yang menghubungkan semua varian sengkulun di Nusantara, menjadikannya kategori kue yang berbeda dari kue panggang atau gorengan.
Kekuatan sengkulun terletak pada kesederhanaan bahan bakunya. Hanya membutuhkan tepung beras, kelapa parut, gula, sedikit garam, dan pewarna—jika diinginkan. Filosofi ini merefleksikan kearifan lokal untuk memanfaatkan hasil bumi secara maksimal tanpa memerlukan banyak bahan impor atau olahan. Tepung beras dipilih karena tekstur halus dan daya ikatnya saat dikukus, memberikan kepadatan yang diinginkan. Kelapa parut, yang melimpah di wilayah tropis, tidak hanya berfungsi sebagai pemberi rasa gurih tetapi juga sebagai pelembab alami yang mencegah kue menjadi terlalu kering. Proporsi antara kelapa dan tepung adalah kunci sukses sengkulun, di mana kelapa harus mendominasi untuk menciptakan sensasi berpasir yang khas.
Proses pembuatan sengkulun bukanlah sekadar mencampur bahan dan mengukusnya. Ada tahapan kritis yang harus diikuti, khususnya teknik pengadukan dan pengayakan, yang menentukan keberhasilan tekstur akhir yang diinginkan. Tekstur sengkulun yang ideal adalah rapuh di luar namun padat dan lembut saat dikunyah; tidak kenyal seperti mochi, dan tidak selembut bolu kukus. Tekstur ini sering disebut sebagai ‘beremah’ atau ‘berpasir’ (sandy/crumbly).
Dalam pembuatan sengkulun tradisional, tepung beras yang digunakan sering kali adalah tepung beras basah atau setidaknya tepung yang baru digiling. Mengapa kelembaban ini vital? Tepung beras yang terlalu kering (misalnya tepung kemasan pabrik yang sudah lama) akan cenderung menghasilkan kue yang keras atau hancur berantakan. Tepung beras yang masih memiliki sedikit kadar air—biasanya didapatkan dengan merendam beras, menggiling, dan mengangin-anginkannya sebentar—memungkinkan partikel-partikel kelapa dan gula menempel lebih baik tanpa membentuk adonan yang liat seperti pasta.
Proses ini, sering disebut sebagai ‘disangrai’ atau ‘dijemur sebentar’ setelah penggilingan basah, adalah seni tersendiri. Jika terlalu basah, kue akan lembek dan lengket. Jika terlalu kering, akan menjadi serbuk yang sulit menyatu. Keseimbangan ini hanya bisa dicapai melalui pengalaman dan sentuhan tangan para pembuat kue tradisional. Rasio antara kelapa parut dan tepung beras yang sempurna menjamin bahwa setiap gigitan sengkulun akan dipenuhi dengan letupan rasa gurih kelapa yang mendominasi.
Tahapan paling krusial dalam resep sengkulun adalah cara mencampur semua bahan kering (tepung, gula, garam) dengan kelapa parut. Proses ini disebut ‘menggosok’ atau ‘mengemulsi’ secara manual menggunakan tangan. Kelapa parut segar yang dipilih—sebaiknya kelapa tua agar minyaknya lebih banyak dan rasanya lebih gurih—digosokkan perlahan ke dalam campuran tepung dan gula hingga adonan menyerupai butiran pasir kasar atau remah roti. Proses ini memastikan distribusi gula dan kelapa merata ke setiap butir tepung beras.
Setelah penggosokan, adonan harus diayak (disaring) menggunakan ayakan kasar. Tujuan pengayakan ganda ini adalah untuk memastikan tidak ada gumpalan yang terbentuk dan untuk memberikan tekstur yang ringan dan aerasi (berongga) pada adonan sebelum dikukus. Butiran-butiran adonan yang seragam akan menghasilkan sengkulun yang matang merata dan tidak padat di bagian bawah. Pengayakan ini adalah jembatan antara bahan mentah dan tekstur unik sengkulun yang lembut namun tidak membal.
Sengkulun umumnya dikukus dalam cetakan yang telah dialasi daun pisang untuk menambah aroma. Pengukusan memerlukan panas yang stabil dan uap yang cukup. Durasi pengukusan bervariasi tergantung ukuran loyang, namun rata-rata berkisar antara 30 hingga 45 menit. Penting untuk tidak membuka tutup kukusan terlalu sering agar suhu tetap terjaga, memungkinkan gula meleleh dan mengikat butiran tepung beras dan kelapa secara perlahan. Kehadiran kelapa parut yang melimpah membantu proses pematangan internal, menjaga agar kue tetap lembab dari dalam.
Tekstur sengkulun adalah definisi unik. Ia bukanlah kue yang mengembang (seperti bolu) atau lentur (seperti klepon). Kekhasannya terletak pada butiran kelapa yang terasa dominan, memberikan sensasi 'remah' atau 'berpasir' yang menyatu dengan kepadatan tepung beras. Kegagalan mencapai tekstur ini sering terjadi karena penggunaan kelapa yang kurang segar atau tepung beras yang terlalu kering.
Untuk menciptakan sengkulun yang otentik, perhatian terhadap detail pada bahan baku adalah mutlak. Kue tradisional menuntut kualitas alami yang maksimal, jauh berbeda dari resep modern yang mungkin mengandalkan bahan pengawet atau pengembang.
Kelapa adalah komponen dominan sengkulun, seringkali menyumbang lebih dari 50% volume adonan. Pemilihan kelapa harus cermat. Idealnya, gunakan kelapa parut dari kelapa yang sudah tua (dewasa), bukan kelapa muda. Kelapa tua memiliki kandungan minyak dan santan yang lebih kaya, menghasilkan rasa gurih alami yang jauh lebih kuat dan tekstur yang lebih berminyak saat dikukus. Kelapa harus diparut segar dan segera digunakan. Menyimpan kelapa parut terlalu lama di lemari es dapat mengubah tekstur dan mengurangi aroma alami yang diinginkan.
Beberapa resep purba bahkan menyarankan agar kelapa parut dihangatkan sebentar sebelum dicampur untuk mengeluarkan aroma minyak alaminya lebih optimal, meskipun teknik ini kini jarang dilakukan. Kualitas kelapa parut yang baik adalah yang tidak terlalu kering, memiliki kelembaban alami, dan memiliki aroma yang manis dan segar.
Seperti yang telah dibahas, tepung beras yang ideal adalah yang basah atau setengah basah. Namun, jika menggunakan tepung beras kemasan kering, koki tradisional menyarankan untuk ‘melembabkannya’ sedikit sebelum digunakan. Teknik pelembaban ini melibatkan penambahan sedikit air atau santan hangat ke dalam tepung kering dan diaduk rata, kemudian didiamkan selama 10-15 menit agar butiran tepung menyerap kelembaban, mendekati sifat tepung beras giling basah.
Alternatif lain yang terkadang digunakan, terutama di daerah yang lebih mengedepankan tekstur kenyal, adalah sedikit campuran tepung sagu atau tapioka. Namun, penambahan ini harus sangat minim (tidak lebih dari 5% dari total berat tepung beras) karena dapat mengubah sengkulun menjadi lebih ‘getas’ atau ‘liat’ dan menghilangkan tekstur remah khasnya. Sengkulun yang otentik murni mengandalkan tepung beras untuk fondasinya.
Meskipun gula pasir putih sering digunakan untuk mendapatkan warna sengkulun yang cerah (pink atau putih bersih), beberapa varian tradisional menggunakan gula aren atau gula kelapa. Penggunaan gula merah ini akan menghasilkan sengkulun berwarna cokelat yang kaya dan aroma karamel yang mendalam. Pilihan gula juga mempengaruhi tekstur; gula pasir meleleh lebih cepat dan memberikan ikatan yang lebih kuat, sementara gula aren cenderung memberikan tekstur yang sedikit lebih lembut dan lengket.
Untuk pewarna, sengkulun klasik menggunakan pewarna merah muda (pink) yang cerah. Secara tradisional, warna ini bisa didapatkan dari ekstrak buah naga (di era modern) atau air abu merang/pewarna alami tertentu yang memberikan rona merah. Namun, yang paling umum digunakan adalah sedikit pewarna makanan merah yang dicampur dengan adonan putih, menghasilkan warna khas sengkulun yang sering terlihat di pasar.
Sengkulun memiliki peran yang melampaui sekadar penganan harian. Dalam konteks budaya Indonesia, jajanan pasar seringkali memiliki makna simbolis, dan sengkulun tidak terkecuali. Kehadirannya dalam ritual tertentu menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari warisan spiritual dan sosial masyarakat.
Kue yang dibuat dari butiran-butiran yang harus disatukan melalui uap panas dan ikatan kelapa dapat melambangkan persatuan dan kerja sama. Beras, sebagai makanan pokok, sering dihubungkan dengan kemakmuran dan keberuntungan. Oleh karena itu, menyajikan sengkulun dalam acara penting adalah harapan agar keluarga atau komunitas yang berkumpul selalu hidup dalam kesatuan, penuh berkah, dan berkelimpahan rezeki.
Di kalangan Betawi, sengkulun adalah salah satu dari sekian banyak ‘sayur mayur’ (istilah umum untuk penganan pasar) yang wajib hadir dalam acara lamaran atau pernikahan. Kue-kue tradisional ini disajikan sebagai persembahan dari pihak mempelai pria kepada pihak mempelai wanita, membawa harapan baik. Karena proses pembuatannya yang memerlukan ketelitian dan kesabaran, sengkulun juga melambangkan kesiapan dan ketekunan dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Selain pernikahan, kue ini juga sering ditemukan dalam perayaan keagamaan seperti Idul Fitri atau Idul Adha, serta acara selamatan atau syukuran kelahiran anak. Keberadaannya di tengah hidangan lain menegaskan kembali nilai-nilai tradisional dan ikatan kekeluargaan yang dihidupkan melalui penganan sederhana.
Meskipun rasa sengkulun relatif konsisten, bentuk penyajiannya bervariasi. Secara tradisional, ia dicetak menggunakan loyang besar dan dipotong berbentuk belah ketupat atau persegi panjang. Namun, di beberapa tempat, sengkulun juga dicetak dalam cetakan kecil individu seperti cetakan kue mangkok atau cetakan putu ayu, memberikan tampilan yang lebih modern namun tetap mempertahankan esensi bahannya. Pewarnaan merah muda yang cerah diyakini memberikan kesan meriah dan menarik, sangat cocok untuk hidangan perayaan.
Seperti banyak warisan kuliner tradisional lainnya, sengkulun menghadapi tantangan besar di era modern, terutama dari segi ketersediaan bahan baku otentik dan daya tarik pasar. Generasi muda cenderung lebih tertarik pada hidangan yang cepat saji, memiliki daya simpan lama, atau memiliki tampilan yang ‘Instagrammable’. Oleh karena itu, upaya pelestarian sengkulun harus mencakup adaptasi tanpa mengorbankan esensi resep aslinya.
Tantangan terbesar adalah memperoleh tepung beras yang memiliki tingkat kelembaban yang tepat. Industri makanan modern lebih banyak memproduksi tepung kering karena alasan penyimpanan dan distribusi. Menggunakan tepung kering murni seringkali menghasilkan sengkulun yang keras dan tidak otentik. Para pengrajin kue tradisional kini harus berjuang mendapatkan pasokan tepung giling basah dari pasar tradisional atau menggiling sendiri, sebuah proses yang memakan waktu dan biaya lebih tinggi.
Untuk menjaga relevansi sengkulun, beberapa produsen telah mulai bereksperimen dengan rasa. Selain rasa original (kelapa dan gula), muncul sengkulun dengan rasa pandan (hijau), ubi ungu (ungu), atau bahkan rasa cokelat. Meskipun inovasi ini membantu menarik pembeli baru, penting untuk memastikan bahwa tekstur sengkulun yang ‘beremah’ tidak hilang. Inovasi yang berhasil adalah yang mempertahankan tekstur dan hanya mengubah komponen rasa sekunder, seperti mengganti gula putih dengan gula merah atau menambahkan ekstrak daun pandan alami.
Adaptasi modern juga terlihat pada cara pengemasannya. Sengkulun yang dulunya dijual terbuka di pasar, kini banyak dikemas secara higienis dalam wadah plastik atau mika kecil, memperpanjang daya simpan beberapa jam dan memudahkan transportasi. Namun, para puritan rasa sering merindukan aroma daun pisang yang hanya bisa didapatkan dari metode pengukusan tradisional.
Pengalaman menyantap sengkulun adalah perjalanan sensorik yang kaya. Ia melibatkan kontras antara kepadatan dan kerapuhan, antara manisnya gula dan gurihnya kelapa, serta aroma khas kukusan tepung beras yang bercampur dengan keharuman kelapa.
Saat pertama kali digigit, sengkulun memberikan perlawanan yang padat, mirip kue basah yang ditekan. Namun, alih-alih menjadi kenyal, ia segera pecah di mulut, melepaskan butiran kelapa parut dan tepung yang lembut. Inilah kontras yang membuatnya unik: padat saat dipotong, tetapi remah saat dikunyah. Tekstur ini adalah indikator kualitas tertinggi; sengkulun yang gagal cenderung terlalu liat (karena terlalu banyak air atau tepung tapioka) atau terlalu hancur (karena kelapa terlalu sedikit).
Rasa sengkulun sangat bergantung pada kelapa. Gula memberikan rasa manis yang menyeimbangkan, tetapi kelapa parut memberikan komponen gurih yang kuat—sering disebut sebagai ‘umami’ ala Indonesia dalam konteks kue basah. Garam, meskipun hanya ditambahkan sedikit, memiliki fungsi krusial untuk mengangkat dan menonjolkan rasa gurih dari kelapa, mencegah kue terasa datar dan terlalu manis. Sengkulun yang baik harus terasa kaya, berminyak tipis dari kelapa, dan meninggalkan sensasi bersih di lidah.
Aroma sengkulun adalah perpaduan antara uap panas, tepung beras yang matang, dan lemak kelapa yang teruapkan. Jika dikukus dengan daun pisang, aroma earthy dan sedikit floral dari daun pisang akan meresap ke dalam kue, menambah dimensi keotentikan. Aroma ini adalah pembeda utama antara sengkulun buatan rumah dan versi pabrikan. Penggunaan pewarna alami seperti pandan atau suji (untuk warna hijau) juga akan memberikan lapisan aroma yang berbeda, namun versi merah muda klasik memiliki aroma kukusan murni yang paling khas.
Membuat sengkulun membutuhkan kesabaran, terutama dalam proses menggosok adonan. Berikut adalah panduan langkah demi langkah untuk memastikan sengkulun yang dihasilkan memiliki tekstur beremah yang sempurna.
Kualitas bahan sangat menentukan. Jangan berkompromi pada kesegaran kelapa.
Campurkan tepung beras, gula pasir, dan garam dalam wadah besar. Aduk rata. Masukkan kelapa parut segar. Inilah titik krusial: gunakan kedua tangan Anda untuk menggosok-gosok (meremas lembut) campuran ini. Tujuan dari penggosokan ini adalah untuk memecah butiran kelapa dan memastikan setiap butiran tepung diselimuti oleh gula dan minyak dari kelapa. Gosok terus hingga adonan menyerupai tekstur pasir basah atau remah roti yang lembab. Proses ini dapat memakan waktu 10 hingga 15 menit. Jika adonan terasa terlalu kering, tambahkan sedikit air kelapa, setetes demi setetes, hingga kelembaban ideal tercapai.
Tips Kritis: Jangan sampai adonan menjadi lengket atau kalis. Jika adonan membentuk bola ketika digenggam, itu sudah terlalu basah. Adonan yang benar harus tetap pecah ketika dilepaskan dari genggaman.
Setelah digosok, ayak adonan menggunakan ayakan kasar. Ayakan membantu memastikan tekstur sengkulun seragam dan mencegah gumpalan gula atau tepung yang tidak larut. Tekan lembut adonan melalui ayakan menggunakan spatula atau telapak tangan. Adonan yang jatuh akan berbentuk butiran-butiran halus dan ringan.
Jika ingin membuat sengkulun dua warna (misalnya putih dan pink), bagi adonan menjadi dua bagian yang sama besar. Biarkan satu bagian tetap putih. Pada bagian kedua, campurkan beberapa tetes pewarna merah muda. Aduk cepat menggunakan garpu hingga warna merata, hati-hati jangan sampai adonan terlalu tertekan dan menjadi padat.
Siapkan loyang atau cetakan yang telah diolesi minyak tipis dan dialasi daun pisang. Daun pisang harus dipotong rapi dan dilembutkan (misalnya dipanggang sebentar di atas api) agar mudah dibentuk dan aromanya keluar. Tata adonan secara bergantian jika menggunakan dua warna (misalnya lapisan pink, lalu lapisan putih). Saat menata, tekan adonan dengan sangat lembut, hanya cukup untuk membuatnya rata di permukaan. Menekan terlalu keras akan menghasilkan kue yang sangat padat dan keras.
Panaskan kukusan hingga uapnya banyak dan stabil. Masukkan loyang sengkulun. Kukus selama 35 hingga 45 menit dengan api sedang, atau hingga matang sempurna. Pastikan uap tidak menetes ke atas adonan (gunakan kain bersih untuk membungkus tutup kukusan).
Setelah matang, angkat loyang dari kukusan. Biarkan sengkulun benar-benar dingin pada suhu ruangan sebelum dipotong. Memotong sengkulun saat masih panas akan menyebabkan teksturnya hancur atau menjadi sangat lengket. Setelah dingin, balikkan kue dari loyang, lepaskan daun pisang, dan potong sesuai selera, biasanya berbentuk belah ketupat atau persegi. Sengkulun siap disajikan sebagai teman minum kopi atau teh.
Menciptakan sengkulun yang sempurna seringkali menemui beberapa kendala umum:
Di Indonesia, banyak kue tradisional yang juga menggunakan tepung beras dan kelapa, namun sengkulun memiliki profil yang berbeda. Memahami perbedaannya membantu kita mengapresiasi keunikan sengkulun.
Kue lapis beras menggunakan tepung beras, santan, dan gula, tetapi fokusnya adalah pada kekenyalan dan lapisan warna yang terpisah. Adonan lapis berbentuk cair dan dimasak per lapisan. Sengkulun, sebaliknya, adalah adonan yang kasar, remah, dan kering saat dimasukkan ke dalam kukusan. Sengkulun mengandalkan tekstur berpasir kelapa, sementara lapis mengandalkan tekstur kenyal tepung beras yang dilarutkan dalam santan.
Getuk lindri berbahan dasar singkong atau ubi kayu, bukan beras. Meskipun getuk juga sering disajikan dengan taburan kelapa parut, bahan dasar yang berbeda memberikan tekstur yang jauh lebih padat, paduan antara pati singkong yang liat dan gula. Sengkulun tetap mempertahankan karakter tepung beras yang lebih ringan dan rapuh.
Apem, meskipun juga berbasis tepung beras, melibatkan proses fermentasi ragi, memberikan kue tekstur berongga dan rasa sedikit asam. Apem juga dimasak dengan cara dipanggang atau dikukus dengan adonan cair. Sengkulun sama sekali tidak menggunakan ragi dan tidak memiliki proses fermentasi, fokusnya murni pada pengikatan butiran tepung oleh kelapa dan gula.
Keberagaman kue tradisional berbasis beras membuktikan kekayaan inventif masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan hasil bumi. Sengkulun menonjol karena kemampuannya menghasilkan tekstur ‘butiran’ yang unik hanya dengan teknik pengadukan manual dan pengukusan yang cermat.
Pelestarian kue sengkulun memerlukan kolaborasi antara pengrajin tradisional, akademisi kuliner, dan pemerintah daerah. Mengingat tren global yang kembali menghargai makanan otentik dan alami, sengkulun memiliki peluang besar untuk mendapatkan pengakuan yang lebih luas, baik di pasar domestik maupun internasional.
Dokumentasi yang akurat mengenai sejarah, varian regional, dan teknik otentik pembuatan sengkulun adalah kunci. Dengan memasukkan sengkulun ke dalam kurikulum sekolah tata boga atau melalui festival kuliner, pengetahuan ini dapat diteruskan kepada generasi penerus. Dokumentasi membantu mencegah hilangnya metode tradisional yang detail, seperti proses penggilingan beras basah atau teknik ‘menggosok’ yang telah dijelaskan sebelumnya.
Untuk meningkatkan daya saing sengkulun di pasar modern, perlu dipertimbangkan standarisasi kualitas. Walaupun resep tradisional bersifat fleksibel, standarisasi dapat mencakup penetapan rasio minimum kelapa parut dan kriteria tekstur (kepadatan, kelembaban, dan tingkat remah) agar produk yang dipasarkan membawa label ‘sengkulun otentik’ dan memenuhi ekspektasi konsumen.
Beberapa daerah di Indonesia telah berhasil mempromosikan jajanan pasar mereka sebagai ikon daerah. Sengkulun, dengan akar budaya yang kuat di Jawa dan Betawi, memiliki potensi serupa. Promosi yang efektif dapat menempatkan sengkulun sebagai oleh-oleh khas daerah yang wajib dicoba, setara dengan kue-kue populer lainnya. Hal ini juga memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi bagi produsen skala kecil dan menengah yang masih menjaga keaslian resep.
Sengkulun, dengan segala kesederhanaan bahannya, adalah monumen kuliner yang menceritakan sejarah, kearifan lokal, dan keharmonisan rasa yang hanya bisa ditemukan di Nusantara. Melalui upaya pelestarian yang gigih, mahakarya tepung beras dan kelapa ini akan terus dinikmati oleh banyak generasi mendatang.