Konstituante: Pergulatan Konstitusi dan Demokrasi Indonesia
Sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan adalah tapestri kompleks yang dijalin oleh benang-benang perjuangan, idealisme, dan realitas politik. Salah satu babak paling krusial, namun seringkali kurang mendapat sorotan mendalam, adalah periode Konstituante. Lembaga ini, yang lahir dari Pemilihan Umum 1955 – pemilu paling demokratis dalam sejarah awal bangsa – mengemban amanat luhur untuk merumuskan konstitusi permanen bagi Republik Indonesia. Perjalanan Konstituante adalah cermin pergulatan ideologi, perdebatan mendalam tentang jati diri bangsa, dan ujian nyata terhadap fondasi demokrasi yang baru seumur jagung.
Konstituante bukan sekadar badan perumus undang-undang dasar. Ia adalah panggung di mana berbagai aliran pemikiran, mulai dari nasionalis sekuler, Islamis, sosialis, hingga komunis, saling beradu argumen dengan gagah berani untuk menentukan arah masa depan Indonesia. Debat-debat yang terjadi di gedung Konstituante di Bandung merupakan refleksi dari keragaman masyarakat Indonesia dan keinginan kuat untuk membangun negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Namun, di balik semangat musyawarah, tersimpan pula benih-benih ketegangan politik dan perbedaan fundamental yang pada akhirnya membawa lembaga ini pada kebuntuan, dan berujung pada pembubarannya oleh Dekrit Presiden.
Memahami Konstituante adalah memahami esensi demokrasi di Indonesia pada masa-masa paling awal kemerdekaan. Ini adalah kisah tentang harapan besar akan sebuah konstitusi yang kokoh, upaya tak kenal lelah para pendiri bangsa, serta pelajaran pahit tentang kompleksitas membangun konsensus di tengah heterogenitas yang ekstrem. Artikel ini akan menyelami lebih jauh sejarah Konstituante, mulai dari latar belakang pembentukannya, dinamika persidangannya, isu-isu krusial yang diperdebatkan, hingga faktor-faktor yang menyebabkan kegagalannya, serta warisan yang ditinggalkannya bagi perjalanan bangsa Indonesia.
Latar Belakang dan Pembentukan Konstituante
Proklamasi Kemerdekaan dan UUD 1945
Pada 17 Agustus, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Sehari kemudian, pada 18 Agustus, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi negara. UUD 1945 ini bersifat sementara. Hal ini secara eksplisit disebutkan dalam Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan: "Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar." Pernyataan ini menunjukkan bahwa UUD 1945 memang dirancang sebagai konstitusi transisional, menunggu pembentukan badan legislatif yang lebih permanen untuk merumuskan konstitusi yang lebih lengkap dan mapan.
Konstitusi yang baru itu diharapkan dapat mencerminkan aspirasi rakyat yang lebih luas, setelah kondisi negara memungkinkan untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Namun, kondisi revolusi fisik dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang berlanjut hingga beberapa membuat gagasan pembentukan konstitusi definitif tertunda. Indonesia harus menghadapi agresi militer Belanda dan intrik politik internasional yang kompleks.
Periode RIS dan UUDS 1950
Setelah berakhirnya Perang Kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada akhir, Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk. Namun, RIS dengan cepat dibubarkan karena tidak sesuai dengan aspirasi persatuan bangsa. Pada 17 Agustus, RIS kembali menjadi Republik Indonesia, dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS ) sebagai konstitusi. UUDS merupakan konstitusi parlementer, yang sangat berbeda dengan UUD 1945 yang cenderung presidensial. UUDS inilah yang menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan di era Demokrasi Parlementer dan, yang paling penting, menjadi dasar hukum bagi pembentukan Konstituante.
Dalam UUDS, terdapat ketentuan yang jelas mengenai pembentukan Konstituante. Pasal 134 UUDS menyatakan: "Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah secepat-cepatnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini." Amanat ini sangat jelas: lembaga khusus harus dibentuk untuk merumuskan konstitusi permanen. Ini menunjukkan kesadaran para pemimpin bangsa akan pentingnya konstitusi yang kokoh dan partisipatif, yang tidak hanya disahkan oleh segelintir orang seperti pada masa PPKI, tetapi oleh representasi rakyat yang lebih luas.
Pemilihan Umum 1955: Fondasi Konstituante
Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) pada 1955 adalah tonggak sejarah penting. Ini adalah pemilu pertama di Indonesia dan diakui sebagai salah satu pemilu paling bebas dan adil pada zamannya. Pemilu ini dibagi menjadi dua tahap: tahap pertama pada September untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tahap kedua pada Desember untuk memilih anggota Konstituante. Tingginya partisipasi rakyat menunjukkan antusiasme yang luar biasa terhadap proses demokrasi dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Pemilu Konstituante berhasil memilih 514 anggota dari berbagai partai politik dan golongan. Empat partai besar yang mendominasi hasil pemilu adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, banyak partai-partai kecil dan wakil golongan daerah serta minoritas juga berhasil memperoleh kursi, mencerminkan pluralitas politik dan sosial Indonesia. Keterwakilan yang luas ini diharapkan dapat memperkaya perdebatan dan legitimasi konstitusi yang akan dirumuskan.
Peresmian dan Lokasi Sidang
Para anggota Konstituante yang terpilih kemudian dilantik di Bandung, Jawa Barat, pada 10 November, sebuah tanggal yang kebetulan bertepatan dengan Hari Pahlawan. Kota Bandung dipilih sebagai tempat persidangan karena memiliki fasilitas yang memadai dan untuk menghindari intrik politik Jakarta yang terlalu panas. Gedung Concordia (sekarang Gedung Merdeka), tempat Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan, menjadi saksi bisu awal mula perjuangan para wakil rakyat merumuskan konstitusi. Peresmian Konstituante oleh Presiden Soekarno kala itu penuh dengan harapan dan optimisme. Soekarno menekankan pentingnya persatuan dan musyawarah mufakat dalam menjalankan tugas mulia ini.
Struktur dan Mekanisme Kerja Konstituante
Setelah dilantik, Konstituante mulai menyusun struktur dan mekanisme kerjanya untuk menjalankan amanat perumusan konstitusi. Proses ini tidak kalah kompleksnya dengan perdebatan substansi konstitusi itu sendiri, karena melibatkan perwakilan dari berbagai partai dan ideologi yang harus mencapai kesepakatan dalam tata kerja.
Pimpinan Konstituante
Pimpinan Konstituante dipilih melalui proses voting di antara para anggotanya. Mohammad Hatta, yang baru saja mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sempat diharapkan menjadi Ketua, namun menolak karena ingin menjaga jarak dari hiruk-pikuk politik partisan. Akhirnya, hasil pemilihan menetapkan Mr. Wilopo dari PNI sebagai Ketua Konstituante. Wilopo adalah seorang negarawan berpengalaman yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri. Ia didampingi oleh beberapa wakil ketua yang berasal dari partai-partai besar lainnya, seperti K.H. Isa Anshary (Masyumi), R. Subagio (NU), dan lainnya. Komposisi pimpinan ini dirancang untuk mencerminkan keseimbangan kekuatan politik yang ada dan memastikan semua golongan merasa terwakili.
Tugas pimpinan sangat berat, yaitu mengarahkan jalannya persidangan, menjaga ketertiban, serta memfasilitasi dialog dan kompromi di antara anggota yang seringkali memiliki pandangan sangat bertentangan. Keberhasilan atau kegagalan Konstituante sangat bergantung pada kemampuan pimpinan untuk mengelola dinamika internal dan eksternal.
Komisi-Komisi dan Panitia Ad Hoc
Untuk efektivitas kerja, Konstituante membentuk beberapa komisi atau panitia kerja yang lebih kecil. Tugas komisi-komisi ini adalah membahas secara mendalam topik-topik spesifik yang berkaitan dengan konstitusi. Contohnya, ada Komisi I yang membahas dasar negara, Komisi II yang membahas hak asasi manusia, Komisi III tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan, dan seterusnya. Pembentukan komisi memungkinkan diskusi yang lebih terfokus dan detail sebelum hasilnya dibawa ke sidang pleno untuk diputuskan.
Setiap komisi terdiri dari anggota-anggota yang memiliki keahlian atau minat pada bidang tertentu. Mereka bertugas mengumpulkan data, merumuskan pasal-pasal, dan menyiapkan rekomendasi untuk sidang pleno. Selain komisi-komisi permanen, Konstituante juga sering membentuk panitia ad hoc (sementara) untuk menangani isu-isu khusus yang muncul selama proses perumusan.
Prosedur Persidangan dan Pengambilan Keputusan
Persidangan Konstituante dilakukan secara terbuka, dengan beberapa sesi tertutup untuk pembahasan yang sangat sensitif. Proses pengambilan keputusan diatur dalam tata tertib yang ketat. Awalnya, diharapkan keputusan dapat diambil secara musyawarah mufakat, sesuai dengan semangat Pancasila. Namun, dengan banyaknya perbedaan pandangan yang fundamental, metode voting menjadi tak terhindarkan. Untuk pengesahan suatu pasal dalam konstitusi, dibutuhkan suara mayoritas dua pertiga dari anggota yang hadir.
Aturan mayoritas dua pertiga ini ternyata menjadi salah satu faktor penentu kebuntuan Konstituante. Ketika perdebatan mengenai dasar negara mencapai puncaknya, tidak ada satu pun kelompok yang mampu mengumpulkan dukungan dua pertiga untuk gagasannya. Akibatnya, setiap usulan selalu mentok karena tidak mencapai kuorum yang disyaratkan. Ini menciptakan lingkaran setan di mana perdebatan terus berlanjut tanpa hasil yang konklusif.
Atmosfer Perdebatan
Atmosfer di gedung Konstituante digambarkan sebagai sangat hidup dan intelektual. Para anggota, meskipun berbeda pandangan, umumnya menunjukkan semangat kebangsaan yang tinggi dan kemampuan berargumentasi yang luar biasa. Banyak pidato yang mengalir indah dengan retorika yang kuat, mencerminkan kekayaan intelektual para pendiri bangsa. Setiap sudut pandang disajikan dengan dalil-dalil hukum, filosofis, historis, dan sosiologis yang mendalam.
Namun, di sisi lain, perdebatan juga seringkali berjalan sangat emosional dan penuh ketegangan. Perseteruan ideologis antara kubu nasionalis-sekuler, Islamis, dan komunis, khususnya dalam masalah dasar negara, menjadi sangat sengit. Meskipun demikian, pada umumnya, rasa hormat antaranggota tetap terjaga, menunjukkan kematangan politik yang cukup tinggi pada saat itu.
Isu-isu Krusial dalam Perdebatan Konstituante
Perjalanan Konstituante dipenuhi dengan perdebatan sengit mengenai berbagai isu fundamental yang menyangkut masa depan bangsa. Dari sekian banyak isu, masalah dasar negara adalah yang paling dominan dan menjadi biang keladi kebuntuan.
1. Dasar Negara: Pancasila vs. Islam
Inilah inti dari seluruh perdebatan Konstituante, yang pada akhirnya membawa lembaga ini pada kegagalan. Terdapat tiga kubu utama dalam perdebatan dasar negara:
a. Kubu Pancasila
Kubu ini, yang dipelopori oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dan didukung oleh partai-partai Kristen (Parkindo, Partai Katolik), PNI, PSI, serta beberapa partai nasionalis kecil lainnya, berpegang teguh pada Pancasila sebagai dasar filosofi negara. Mereka berargumen bahwa Pancasila adalah kompromi terbaik yang telah disepakati oleh pendiri bangsa dan merupakan perekat bagi kemajemukan Indonesia. Pancasila diyakini mampu menaungi semua agama dan golongan, memastikan kesetaraan bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi.
Argumentasi mereka seringkali menekankan aspek historis (Pancasila lahir dari penggalian nilai-nilai luhur bangsa oleh Soekarno), filosofis (sebagai pandangan hidup bangsa), dan praktis (sebagai satu-satunya dasar yang dapat menyatukan berbagai etnis, agama, dan budaya di Indonesia). Mereka khawatir bahwa dasar negara agama akan memecah belah bangsa dan mengancam persatuan.
Tokoh-tokoh seperti Mr. Wilopo (PNI), R.K. Aditjokro (Parkindo), dan Mr. Teuku Mohammad Hasan (PNI) adalah beberapa dari suara lantang yang membela Pancasila. Mereka berpendapat bahwa negara tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan agama secara institusional, tetapi harus menjamin kebebasan beragama bagi setiap warganya.
b. Kubu Islam
Kubu Islam, yang dimotori oleh Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), serta didukung oleh partai-partai Islam lainnya seperti Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Mereka berargumen bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim dan oleh karena itu, konstitusi harus mencerminkan identitas keislaman bangsa.
Masyumi, yang lebih modernis dan ideologis, cenderung mengusulkan negara Islam dalam bentuk formal dengan syariat Islam sebagai dasar hukumnya. Mereka melihat Islam sebagai *din wa daulah* (agama dan negara) yang tidak dapat dipisahkan. Tokoh-tokoh seperti Moh. Natsir dan K.H. Isa Anshary adalah pembela gigih dasar Islam. Mereka berpendapat bahwa Islam memiliki sistem hukum dan etika yang komprehensif untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Sementara itu, NU, yang lebih tradisionalis, meskipun juga menginginkan dasar Islam, cenderung lebih fleksibel dalam bentuk implementasinya. NU lebih menekankan pada nilai-nilai Islam yang masuk ke dalam undang-undang, tanpa harus secara eksplisit menyatakan "negara Islam". K.H. Wahab Chasbullah dan K.H. Idham Chalid adalah tokoh penting dari NU yang memberikan sumbangsih dalam perdebatan ini. Mereka seringkali merujuk pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dan peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan.
Kedua kelompok Islam ini berkeyakinan bahwa dengan Islam sebagai dasar negara, keadilan sosial dan moralitas akan lebih terjamin, dan mereka khawatir bahwa Pancasila yang terlalu "netral" akan membuka pintu bagi pengaruh ideologi-ideologi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.
c. Kubu Komunis
Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan perolehan suara yang signifikan dalam Pemilu 1955, juga memiliki pandangan tersendiri mengenai dasar negara. Meskipun tidak secara eksplisit mengusung dasar "negara komunis" atau "Marxisme-Leninisme" dalam perdebatan Konstituante, mereka cenderung mendukung Pancasila sebagai dasar negara, namun dengan interpretasi yang menekan aspek kerakyatan, keadilan sosial, dan anti-feodalisme/imperialisme.
Strategi PKI adalah mendukung Pancasila agar tidak terisolasi dan untuk menarik simpati kelompok nasionalis, sambil terus mengkampanyekan ideologi mereka melalui interpretasi Pancasila yang "pro-rakyat" dan "anti-kapitalis". Mereka berhati-hati untuk tidak secara langsung menentang Pancasila, yang sudah menjadi konsensus umum, tetapi mencoba menggeser makna Pancasila ke arah yang sesuai dengan garis partai mereka. Tokoh-tokoh PKI seperti D.N. Aidit dan M.H. Lukman secara cerdik memainkan peran ini di Konstituante.
Kebuntuan dalam Dasar Negara
Perdebatan mengenai dasar negara terus berlanjut tanpa titik temu. Setiap kali dilakukan voting, tidak ada kubu yang mampu mencapai mayoritas dua pertiga. Kelompok Pancasila dan kelompok Islam memiliki kekuatan yang hampir seimbang, sementara PKI berperan sebagai penyeimbang yang kadang mendukung Pancasila, kadang netral, atau bahkan sesekali menunjukkan dukungannya pada Islam untuk menciptakan perpecahan di kubu Pancasila. Kondisi ini membuat Konstituante terjebak dalam lingkaran debat yang tak berujung, menciptakan frustrasi di kalangan anggota dan masyarakat umum.
2. Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan
Meskipun isu dasar negara mendominasi, perdebatan tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan juga penting. UUD 1945 menganut sistem presidensial, sementara UUDS yang berlaku saat itu menganut sistem parlementer. Konstituante harus memutuskan apakah akan mempertahankan sistem parlementer, kembali ke presidensial, atau mencari bentuk hybrid.
Mayoritas anggota cenderung mempertahankan sistem kesatuan, mengingat pengalaman RIS yang singkat dan tidak populer. Namun, perdebatan tentang sistem pemerintahan cukup intens. Partai-partai yang mendukung Demokrasi Parlementer ingin melanjutkan sistem tersebut, di mana kekuasaan eksekutif dipegang oleh kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen. Mereka melihat sistem ini lebih demokratis dan akuntabel. Namun, kritik terhadap sistem ini semakin menguat karena seringnya jatuh bangun kabinet yang menyebabkan ketidakstabilan politik.
Di sisi lain, ada juga suara-suara yang menginginkan kembalinya sistem presidensial seperti UUD 1945, dengan argumen bahwa sistem ini akan memberikan stabilitas pemerintahan yang lebih besar, terutama di tengah kondisi negara yang masih rawan konflik dan pergolakan.
3. Hak Asasi Manusia (HAM)
Perumusan bab tentang Hak Asasi Manusia juga menjadi topik diskusi yang panjang dan mendalam. Para anggota Konstituante berusaha keras untuk merumuskan daftar HAM yang komprehensif, mencakup hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perdebatan berkisar pada sejauh mana negara harus melindungi hak-hak tersebut, apakah ada batasan tertentu, dan bagaimana mekanisme penegakannya.
Masyumi, misalnya, sangat gigih memperjuangkan kebebasan beragama, termasuk hak untuk memeluk dan menyiarkan agama. Kubu nasionalis dan sosialis cenderung menekankan hak-hak ekonomi dan sosial, seperti hak atas pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan. Meskipun banyak pasal HAM yang berhasil dirumuskan dengan baik di tingkat komisi, pembahasannya seringkali terhambat oleh perbedaan prinsip dan ideologi yang mendasar.
4. Hubungan Pusat dan Daerah
Isu otonomi daerah dan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah juga menjadi perhatian. Pengalaman federalisme RIS yang gagal menimbulkan trauma, sehingga mayoritas anggota setuju dengan bentuk negara kesatuan. Namun, bagaimana wewenang pusat dan daerah diatur agar daerah memiliki cukup ruang untuk berkembang tanpa mengancam kesatuan bangsa menjadi perdebatan tersendiri. Beberapa daerah yang merasa kurang diperhatikan oleh pusat mengadvokasi otonomi yang lebih luas, sementara pusat ingin menjaga integritas negara.
5. Kedudukan dan Peran Militer
Pada masa itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) sudah mulai menunjukkan pengaruh politiknya. Perdebatan tentang kedudukan TNI dalam konstitusi – apakah sebagai alat negara yang profesional dan apolitis, atau memiliki peran yang lebih aktif dalam kehidupan politik dan sosial – mulai muncul. Sebagian anggota Konstituante ingin militer tetap berada di bawah kendali sipil yang ketat, sementara yang lain melihat peran militer yang lebih luas sebagai stabilisator keamanan dan pembangunan.
6. Sistem Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial
Perumusan pasal-pasal mengenai sistem ekonomi negara juga memicu perdebatan. Apakah Indonesia akan menganut sistem ekonomi kapitalis, sosialis, ataukah ekonomi campuran dengan ciri khas Indonesia (ekonomi kerakyatan/Pancasila)? Partai-partai sosialis dan komunis mengusung ide-ide ekonomi terencana dan nasionalisasi industri strategis, sementara kelompok kanan cenderung mendukung peran swasta yang lebih besar. Meskipun Pasal 33 UUD 1945 sudah memberikan kerangka dasar tentang ekonomi berdasarkan kekeluargaan, implementasinya dalam konstitusi baru tetap menjadi arena perdebatan yang sengit.
Dinamika Politik dan Tantangan Eksternal
Perjalanan Konstituante tidak hanya diwarnai oleh perdebatan internal di antara anggotanya, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh dinamika politik eksternal dan tantangan yang dihadapi negara pada saat itu. Lingkungan politik yang tidak stabil, ancaman disintegrasi, serta peran Presiden Soekarno yang semakin dominan turut membentuk jalannya persidangan Konstituante.
1. Ketidakstabilan Kabinet dan Demokrasi Parlementer
Periode Konstituante berlangsung di bawah sistem Demokrasi Parlementer, yang ditandai oleh seringnya pergantian kabinet. Sejak Konstituante mulai bersidang, Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian pemerintahan. Ketidakstabilan ini disebabkan oleh fragmentasi partai politik yang ekstrem, di mana tidak ada satu pun partai yang memiliki mayoritas absolut. Koalisi-koalisi yang terbentuk seringkali rapuh dan mudah pecah akibat perbedaan kepentingan atau konflik pribadi antar politisi.
Seringnya jatuh bangun kabinet ini berdampak langsung pada kinerja Konstituante. Fokus pemerintah terpecah antara menangani krisis kabinet dan mendampingi Konstituante merumuskan konstitusi. Perubahan kebijakan yang mendadak akibat pergantian kabinet juga mempersulit upaya Konstituante untuk mendapatkan dukungan pemerintah terhadap usulan-usulan tertentu.
2. Ancaman Disintegrasi Bangsa
Pada pertengahan, Indonesia dihadapkan pada serangkaian pemberontakan di berbagai daerah, seperti PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Perjuangan Semesta) di Sulawesi. Pemberontakan-pemberontakan ini dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, masalah otonomi daerah, serta perbedaan ideologi. Konflik bersenjata ini mengancam persatuan dan keutuhan Republik Indonesia.
Kondisi keamanan yang tidak stabil ini menciptakan tekanan besar bagi Konstituante untuk segera menyelesaikan tugasnya. Ada harapan bahwa konstitusi permanen yang kokoh dapat menjadi salah satu solusi untuk meredam gejolak di daerah. Namun, ironisnya, perdebatan yang berlarut-larut di Konstituante justru seringkali dianggap sebagai salah satu faktor yang memperburuk ketidakpastian dan memberikan celah bagi gerakan-gerakan separatis.
3. Peran Presiden Soekarno dan Konsepsi Demokrasi Terpimpin
Sejak awal, Presiden Soekarno telah menunjukkan ketidakpuasannya terhadap Demokrasi Parlementer yang dinilainya tidak efektif dan hanya menyebabkan perpecahan. Soekarno, sebagai "penyambung lidah rakyat" dan proklamator, merasa terpanggil untuk memberikan solusi. Pada 1957, ia melontarkan gagasan "Konsepsi Presiden" yang kemudian berkembang menjadi ide "Demokrasi Terpimpin".
Dalam Konsepsi Presiden, Soekarno mengusulkan beberapa hal krusial:
- Pembentukan Kabinet Gotong Royong yang anggotanya terdiri dari perwakilan semua partai politik besar, termasuk PKI.
- Pembentukan Dewan Nasional sebagai penasihat kabinet, yang terdiri dari perwakilan golongan-golongan fungsional.
- Kembali ke UUD 1945.
Gagasan kembali ke UUD 1945 secara langsung menempatkan Konstituante dalam posisi yang sulit. Jika UUD 1945 kembali diberlakukan, maka tugas Konstituante untuk merumuskan konstitusi baru akan menjadi tidak relevan. Soekarno memandang UUD 1945 lebih sesuai dengan jiwa dan semangat revolusi, serta mampu memberikan stabilitas pemerintahan yang kuat dengan sistem presidensialnya.
Soekarno secara aktif mulai mengkampanyekan gagasannya ini, baik melalui pidato-pidato di depan publik maupun dalam pertemuan-pertemuan dengan tokoh politik. Tekanan dari Soekarno ini memberikan beban psikologis yang berat bagi anggota Konstituante. Mereka merasa dihadapkan pada pilihan sulit: melanjutkan pekerjaan merumuskan konstitusi baru atau tunduk pada keinginan Presiden untuk kembali ke UUD 1945.
4. Intervensi Militer
Angkatan Darat, yang dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution, semakin menunjukkan perannya dalam politik. Militer mendukung gagasan Soekarno mengenai Demokrasi Terpimpin dan kembalinya ke UUD 1945. Mereka melihat sistem Demokrasi Parlementer yang gaduh dan Konstituante yang mandek sebagai ancaman terhadap keamanan dan stabilitas negara.
Pada 14 Maret, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) mengeluarkan larangan kegiatan politik, yang dikenal sebagai “Maklumat Darurat Militer”. Ini adalah langkah signifikan yang menunjukkan peningkatan peran militer dalam kehidupan politik dan secara tidak langsung menekan Konstituante untuk segera mengambil keputusan. Tekanan dari militer ini, yang mendukung Soekarno, semakin mempersempit ruang gerak Konstituante.
Kebuntuan dan Pembubaran Konstituante
Setelah tiga tahun bersidang, Konstituante menghadapi kebuntuan yang tak terhindarkan, terutama dalam masalah dasar negara. Situasi ini, ditambah dengan tekanan politik dari Presiden Soekarno dan militer, akhirnya mengarah pada pembubaran lembaga tersebut.
1. Kemacetan yang Berlarut-larut
Meski telah berupaya keras melalui berbagai kompromi dan lobi-lobi, perdebatan tentang dasar negara tetap tidak menemukan jalan keluar. Setiap kali usulan dasar negara diajukan untuk divoting, baik Pancasila maupun Islam, tidak ada yang berhasil meraih dukungan dua pertiga suara yang disyaratkan oleh tata tertib Konstituante. Polarisasi antara kubu Pancasila dan Islam terlalu kuat, dan masing-masing kelompok terlalu teguh pada pendiriannya.
Faksi-faksi dalam Konstituante menjadi sangat terkonsolidasi berdasarkan ideologi, membuat mobilitas suara antar faksi menjadi sangat sulit. Anggota dari Masyumi dan NU umumnya akan memilih Islam, sementara PNI dan partai-partai non-Muslim lainnya akan memilih Pancasila. PKI, dengan porsi kursinya, cenderung menjadi penentu tapi tidak pernah benar-benar menggerakkan voting secara mayoritas untuk salah satu opsi. Mereka kadang memilih abstain, atau memilih opsi Pancasila dengan tafsiran mereka sendiri.
Kemacetan ini tidak hanya terjadi pada isu dasar negara, tetapi juga meluas ke pasal-pasal lain yang memiliki korelasi kuat dengan ideologi dasar. Misalnya, perdebatan tentang hak asasi manusia, pendidikan, agama, dan sistem ekonomi seringkali kembali pada pertanyaan fundamental tentang identitas negara.
2. Usulan Kembali ke UUD 1945
Di tengah kebuntuan, Presiden Soekarno semakin gencar mengkampanyekan idenya untuk kembali ke UUD 1945. Ia berulang kali menyatakan bahwa UUD 1945 adalah "Jiwa Proklamasi" dan "Konstitusi Revolusi" yang paling tepat untuk Indonesia, serta akan membawa stabilitas yang diperlukan. Soekarno menyampaikan pidato-pidato yang sangat mempengaruhi opini publik, menekankan pentingnya persatuan dan stabilitas di atas perdebatan konstitusi yang tak berujung.
Pada Februari, pemerintah mengajukan usul resmi kepada Konstituante untuk kembali ke UUD 1945 secara penuh. Usulan ini menimbulkan perdebatan baru di Konstituante. Beberapa anggota melihatnya sebagai jalan keluar dari kebuntuan, sementara yang lain menganggapnya sebagai bentuk intervensi eksekutif terhadap kedaulatan legislatif dan pengkhianatan terhadap amanat Pemilu 1955.
Voting untuk usulan kembali ke UUD 1945 juga dilaksanakan beberapa kali di Konstituante. Meskipun mayoritas anggota setuju, namun lagi-lagi, jumlah suara tidak mencapai dua pertiga yang disyaratkan untuk mengubah atau memberlakukan kembali konstitusi. Kubu Islam, khususnya Masyumi, cenderung menolak usulan ini, karena mereka melihatnya sebagai upaya untuk mengakhiri perjuangan mereka untuk dasar negara Islam.
3. Tekanan dari Luar Konstituante
Situasi politik di luar Konstituante semakin memanas. Masyarakat mulai jenuh dengan perdebatan yang tak kunjung usai. Kekhawatiran akan disintegrasi bangsa dan ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi masalah ekonomi dan keamanan semakin meningkat. Pers dan opini publik banyak yang menyoroti kegagalan Konstituante.
Angkatan Darat, di bawah kepemimpinan Jenderal Nasution, juga memberikan tekanan kuat. Mereka secara terbuka mendukung kembali ke UUD 1945 dan mengancam akan mengambil tindakan jika Konstituante terus berlarut-larut tanpa hasil. Kondisi ini menciptakan suasana yang sangat mencekam bagi para anggota Konstituante.
4. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Setelah serangkaian upaya dan voting yang gagal di Konstituante, kesabaran Presiden Soekarno dan militer habis. Pada 5 Juli, dalam sebuah upacara yang dramatis di Istana Merdeka, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit tersebut sangat jelas dan tegas:
- Pembubaran Konstituante.
- Pernyataan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
- Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Dekrit ini menandai berakhirnya era Demokrasi Parlementer dan awal dari era Demokrasi Terpimpin. Ini juga secara efektif mengakhiri tugas dan eksistensi Konstituante yang telah bersidang selama hampir tiga tahun tanpa menghasilkan konstitusi permanen.
5. Reaksi terhadap Dekrit
Pengeluaran Dekrit Presiden menimbulkan beragam reaksi. Mayoritas partai politik, terutama yang tergabung dalam kubu Pancasila dan juga PKI, menyatakan dukungan mereka terhadap Dekrit. Mereka melihatnya sebagai langkah yang diperlukan untuk menyelamatkan negara dari kekacauan dan kebuntuan politik. Militer, tentu saja, memberikan dukungan penuh terhadap Dekrit, bahkan menjadi motor penggerak di baliknya.
Namun, tidak semua setuju. Beberapa partai Islam, terutama Masyumi, menyatakan keberatan dan penolakan mereka terhadap pembubaran Konstituante. Mereka merasa bahwa Dekrit adalah tindakan inkonstitusional yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan mengakhiri upaya perjuangan mereka untuk dasar negara Islam. Namun, dengan dukungan militer dan kekuatan politik Soekarno yang begitu besar, penolakan ini tidak memiliki dampak yang signifikan.
Warisan dan Signifikansi Historis Konstituante
Meskipun Konstituante secara formal berakhir dengan kegagalan merumuskan konstitusi baru, perjalanannya meninggalkan warisan penting dan pelajaran berharga bagi sejarah politik Indonesia. Lembaga ini adalah cerminan kompleksitas dalam membangun sebuah bangsa dan negara.
1. Ujian Demokrasi dan Pluralisme
Konstituante adalah ujian sesungguhnya bagi demokrasi Indonesia pasca-kemerdekaan. Proses Pemilu 1955 yang bebas dan adil, serta keterwakilan yang luas di Konstituante, menunjukkan potensi demokrasi di Indonesia. Perdebatan yang terbuka dan intens di dalamnya adalah bukti bahwa masyarakat Indonesia, bahkan di era awal kemerdekaan, telah memiliki pemahaman tentang pentingnya dialog, argumentasi, dan partisipasi politik.
Lembaga ini juga menunjukkan kekuatan dan kelemahan pluralisme. Keragaman ideologi yang luar biasa, di satu sisi memperkaya perdebatan dan memastikan semua suara terwakili, namun di sisi lain menjadi penyebab kebuntuan ketika konsensus sulit dicapai dalam isu-isu fundamental. Ini adalah pelajaran bahwa pluralisme membutuhkan kematangan politik yang tinggi dan kesediaan untuk berkompromi demi kepentingan yang lebih besar.
2. Pergulatan Ideologi Bangsa
Debat mengenai dasar negara adalah inti dari pergulatan ideologi bangsa Indonesia. Apakah negara ini akan berdasarkan Pancasila, Islam, atau ideologi lain? Pertanyaan ini bukanlah sekadar masalah hukum, melainkan masalah identitas dan arah masa depan bangsa. Perdebatan di Konstituante mengklarifikasi posisi masing-masing kelompok ideologis dan menunjukkan bahwa pertanyaan tentang identitas dasar negara adalah isu yang paling sensitif dan sulit untuk disepakati.
Meskipun Pancasila akhirnya menjadi dasar negara melalui Dekrit Presiden, perdebatan di Konstituante menunjukkan bahwa penerimaan Pancasila tidaklah monolitik, melainkan hasil dari pertarungan ideologis yang panjang dan intens. Perdebatan ini terus berlanjut dalam bentuk yang berbeda di era-era berikutnya, menunjukkan bahwa persoalan ideologi dasar selalu relevan dalam politik Indonesia.
3. Pengalaman Berharga dalam Perumusan Konstitusi
Meski tidak menghasilkan konstitusi baru, Konstituante telah merampungkan banyak pasal dan bab dari rancangan konstitusi. Ribuan jam perdebatan dan ratusan draf yang dihasilkan oleh berbagai komisi merupakan kekayaan intelektual yang tak ternilai. Ini menunjukkan betapa seriusnya para anggota dalam menjalankan tugas mereka.
Pengalaman Konstituante juga memberikan pelajaran tentang pentingnya kerangka konstitusional yang jelas dan mekanisme pengambilan keputusan yang efektif. Kegagalan mencapai mayoritas dua pertiga dalam isu-isu kunci menyoroti perlunya keseimbangan antara deliberasi yang mendalam dan efisiensi dalam proses legislasi. Ini juga menunjukkan betapa sulitnya merancang sebuah konstitusi yang dapat memuaskan semua pihak dalam masyarakat yang sangat beragam.
4. Jalan Menuju Demokrasi Terpimpin
Kebuntuan Konstituante menjadi salah satu legitimasi utama bagi Presiden Soekarno untuk memberlakukan Demokrasi Terpimpin. Kegagalan lembaga perwakilan rakyat yang terpilih secara demokratis untuk menyelesaikan tugasnya, memberikan argumen bagi Soekarno bahwa sistem parlementer tidak cocok untuk Indonesia. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bukan hanya mengakhiri Konstituante, tetapi juga mengakhiri era Demokrasi Parlementer dan membuka jalan bagi sentralisasi kekuasaan di tangan Presiden, dengan dukungan militer.
Maka, Konstituante dapat dilihat sebagai jembatan yang menghubungkan periode Demokrasi Parlementer yang liberal dengan Demokrasi Terpimpin yang otoriter. Kegagalannya menjadi justifikasi bagi pergeseran arah politik negara yang signifikan, dengan konsekuensi jangka panjang terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.
5. Pelajaran tentang Konsensus dan Kompromi
Salah satu pelajaran terbesar dari Konstituante adalah pentingnya konsensus dan kompromi dalam negara majemuk. Para anggota Konstituante, meskipun memiliki kemampuan intelektual yang tinggi dan semangat kebangsaan yang kuat, gagal mencapai titik kompromi yang cukup dalam masalah dasar negara. Setiap kelompok terlalu terpaku pada idealisme mereka sendiri, sehingga mengabaikan kebutuhan akan solusi praktis yang dapat diterima oleh semua pihak.
Pengalaman ini mengajarkan bahwa dalam sebuah negara yang sangat beragam seperti Indonesia, tidak mungkin ada satu ideologi atau pandangan yang dapat sepenuhnya mendominasi tanpa menyebabkan perpecahan. Konsensus adalah kunci, dan konsensus seringkali membutuhkan pengorbanan dan penyesuaian dari semua pihak. Tanpa kemampuan untuk berkompromi, bahkan lembaga yang paling demokratis sekalipun dapat jatuh ke dalam kebuntuan.
6. Warisan Semangat Perjuangan Konstitusional
Terlepas dari kegagalannya, semangat para anggota Konstituante dalam memperjuangkan ide-ide mereka patut dihargai. Mereka adalah patriot yang percaya pada kekuatan hukum dan konstitusi sebagai pijakan negara. Perdebatan mereka, meskipun sengit, seringkali dilakukan dengan tata krama dan argumentasi yang cerdas, menunjukkan tingkat peradaban politik yang tinggi.
Warisan ini mengingatkan kita akan pentingnya perumusan konstitusi yang matang, yang mampu menampung aspirasi seluruh rakyat dan menjadi landasan kokoh bagi perjalanan bangsa. Setiap upaya untuk merevisi atau mengubah konstitusi di masa depan harus belajar dari pengalaman Konstituante, khususnya dalam hal membangun konsensus yang inklusif dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Konstituante adalah babak monumental dalam sejarah Indonesia yang mencerminkan ambisi dan tantangan sebuah bangsa muda untuk membangun fondasi hukum yang kokoh. Lahir dari Pemilu paling demokratis pada masanya, lembaga ini mengemban tugas suci untuk merumuskan konstitusi permanen yang akan menggantikan UUD Sementara. Selama hampir tiga tahun, para wakil rakyat dari berbagai ideologi – nasionalis, Islamis, sosialis, hingga komunis – berdebat dengan gagah berani di Bandung, berusaha menemukan titik temu atas pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai jati diri dan arah masa depan Indonesia.
Perdebatan paling sengit berpusat pada dasar negara, di mana kubu Pancasila dan kubu Islamis sama-sama kuat, sehingga tidak ada yang mampu mencapai mayoritas dua pertiga suara yang disyaratkan untuk pengesahan. Kebuntuan ini, ditambah dengan ketidakstabilan politik Demokrasi Parlementer, ancaman disintegrasi bangsa, serta tekanan dari Presiden Soekarno dan militer yang menginginkan kembali ke UUD 1945, pada akhirnya membawa Konstituante pada nasib yang tidak menguntungkan.
Pada 5 Juli, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945, dan menandai berakhirnya era Demokrasi Parlementer serta dimulainya Demokrasi Terpimpin. Ini adalah akhir yang tragis bagi sebuah lembaga yang lahir dari harapan besar rakyat.
Namun, kegagalan Konstituante bukanlah tanpa makna. Ia menjadi pelajaran berharga tentang kompleksitas membangun konsensus di tengah pluralisme ekstrem. Ia menunjukkan betapa krusialnya kemampuan berkompromi dan menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan. Konstituante adalah bukti nyata bahwa demokrasi bukanlah proses yang mudah, terutama bagi negara yang baru merdeka dengan keragaman yang begitu kaya.
Warisan Konstituante tetap relevan hingga hari ini. Ia mengingatkan kita akan pentingnya konstitusi sebagai tiang negara, serta urgensi untuk senantiasa menjaga semangat musyawarah mufakat dalam setiap pengambilan keputusan besar bangsa. Kisah Konstituante adalah narasi abadi tentang perjuangan Indonesia dalam mencari bentuk terbaik untuk menaungi seluruh rakyatnya, sebuah pergulatan yang terus berlanjut dalam setiap babak sejarah kebangsaan kita.