Kolestasis: Panduan Lengkap Kondisi Hati dan Saluran Empedu

Kolestasis merupakan kondisi medis yang seringkali kurang dipahami namun memiliki dampak serius terhadap kesehatan hati dan fungsi pencernaan. Istilah kolestasis berasal dari bahasa Yunani, di mana "chole" berarti empedu dan "stasis" berarti berhenti atau terhenti. Secara harfiah, kolestasis mengacu pada terhentinya aliran empedu dari hati ke usus halus, tempat empedu seharusnya berfungsi dalam pencernaan lemak. Gangguan aliran empedu ini dapat terjadi karena berbagai alasan, mulai dari masalah di dalam hati itu sendiri hingga sumbatan pada saluran empedu di luar hati. Akibatnya, komponen empedu, termasuk bilirubin dan asam empedu, akan menumpuk di dalam hati dan masuk ke aliran darah, menyebabkan berbagai gejala yang khas.

Memahami kolestasis adalah langkah pertama untuk penanganan yang efektif. Artikel komprehensif ini akan membahas secara mendalam tentang kolestasis, mulai dari definisi, anatomi dan fisiologi terkait, berbagai jenis dan penyebabnya, bagaimana kondisi ini didiagnosis, pilihan pengobatan yang tersedia, hingga strategi pencegahan dan bagaimana hidup dengan kolestasis. Dengan informasi yang lengkap ini, diharapkan masyarakat umum dan pasien dapat memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi ini dan pentingnya intervensi medis yang tepat waktu.

Ilustrasi hati dengan saluran empedu yang tersumbat, melambangkan kolestasis. HATI Saluran Empedu Sumbatan

Ilustrasi ini menunjukkan hati dengan saluran empedu yang tersumbat (ditandai X merah), menggambarkan kondisi kolestasis.

1. Apa Itu Kolestasis? Definisi dan Mekanisme Dasar

Secara medis, kolestasis didefinisikan sebagai penurunan atau penghentian aliran empedu dari hati menuju duodenum. Empedu adalah cairan penting yang diproduksi oleh sel-sel hati (hepatosit) dan memiliki beberapa fungsi vital, termasuk membantu pencernaan dan penyerapan lemak serta vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, K), serta sebagai jalur ekskresi bagi produk limbah seperti bilirubin, kolesterol, dan obat-obatan tertentu. Ketika aliran empedu terganggu, bahan-bahan ini menumpuk di dalam hati, menyebabkan kerusakan sel hati dan peradangan, serta masuk ke dalam sirkulasi sistemik, menimbulkan gejala sistemik.

1.1 Fungsi Normal Empedu

Untuk memahami kolestasis, penting untuk mengetahui peran normal empedu. Empedu diproduksi di hati, kemudian dikumpulkan dalam saluran-saluran kecil (kanalikuli) di dalam hati, yang kemudian bergabung membentuk saluran empedu yang lebih besar. Saluran empedu ini mengalirkan empedu ke kandung empedu, tempat empedu disimpan dan dikonsentrasikan. Saat makanan berlemak masuk ke usus halus, kandung empedu berkontraksi dan melepaskan empedu ke duodenum melalui saluran empedu umum (ductus choledochus). Di usus, garam empedu yang terkandung dalam empedu mengemulsi lemak, memecahnya menjadi partikel-partikel kecil yang lebih mudah dicerna oleh enzim lipase pankreas.

1.2 Mekanisme Terjadinya Kolestasis

Kolestasis terjadi ketika ada gangguan pada salah satu tahap proses pembentukan dan aliran empedu. Gangguan ini bisa bersifat:

Akibatnya, terjadi retensi zat-zat yang seharusnya dikeluarkan melalui empedu, seperti bilirubin terkonjugasi, asam empedu, dan kolesterol. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dalam darah menyebabkan ikterus (kulit dan mata menguning), sementara penumpukan asam empedu di kulit menyebabkan gatal-gatal (pruritus) yang parah. Kurangnya empedu di usus menyebabkan malabsorpsi lemak dan vitamin larut lemak, yang dapat menimbulkan masalah nutrisi dan komplikasi serius lainnya.

2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Hepatobilier

Sistem hepatobilier adalah istilah yang merujuk pada hati, kandung empedu, dan saluran empedu. Memahami struktur dan fungsi normalnya sangat krusial dalam memahami patofisiologi kolestasis.

2.1 Hati (Hepar)

Hati adalah organ terbesar kedua di tubuh, terletak di kuadran kanan atas abdomen. Hati memiliki berbagai fungsi vital, termasuk metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak; detoksifikasi zat berbahaya; penyimpanan glikogen dan vitamin; serta produksi empedu. Sel-sel utama hati adalah hepatosit, yang membentuk sekitar 80% massa hati dan bertanggung jawab atas sebagian besar fungsi metabolik, termasuk produksi empedu.

2.2 Saluran Empedu (Biliary Tree)

Sistem saluran empedu adalah jaringan kompleks yang mengumpulkan dan mengangkut empedu. Sistem ini dibagi menjadi:

2.3 Kandung Empedu (Vesica Fellea)

Kandung empedu adalah organ berbentuk buah pir kecil yang terletak di bawah hati. Fungsinya adalah menyimpan dan mengkonsentrasikan empedu yang diproduksi oleh hati. Ketika ada sinyal pencernaan (misalnya, setelah makan makanan berlemak), kandung empedu berkontraksi dan melepaskan empedu yang terkonsentrasi ke duodenum.

2.4 Komposisi Empedu

Empedu adalah cairan kuning kehijauan yang terdiri dari air (97%), garam empedu, kolesterol, fosfolipid (terutama lesitin), bilirubin, protein, dan elektrolit. Garam empedu adalah komponen kunci untuk pencernaan lemak, sementara bilirubin adalah produk sampingan dari pemecahan hemoglobin yang diekskresikan melalui empedu.

3. Jenis-jenis Kolestasis

Klasifikasi kolestasis sangat penting untuk menentukan penyebab dan strategi pengobatan. Secara garis besar, kolestasis dibagi menjadi intrahepatik (di dalam hati) dan ekstrahepatik (di luar hati).

3.1 Kolestasis Intrahepatik

Jenis kolestasis ini terjadi ketika ada gangguan pada produksi atau aliran empedu di dalam sel hati atau saluran empedu terkecil di dalam hati. Fungsi ekskresi empedu oleh hepatosit terganggu atau terdapat kerusakan pada kanalikuli bilier.

Penyebab Kolestasis Intrahepatik:

  1. Kolestasis Obat-obatan (Drug-Induced Cholestasis): Beberapa obat dapat menyebabkan kolestasis sebagai efek samping, seperti antibiotik (misalnya amoksisilin-klavulanat, eritromisin), steroid anabolik, kontrasepsi oral, antipsikotik (misalnya klorpromazin), dan agen antijamur. Mekanisme bervariasi, termasuk kerusakan hepatosit, gangguan transporter empedu, atau reaksi hipersensitivitas.
  2. Kolangitis Biliar Primer (Primary Biliary Cholangitis/PBC): Sebelumnya dikenal sebagai sirosis biliar primer, ini adalah penyakit autoimun kronis yang secara progresif menghancurkan duktus bilier intrahepatik kecil. Lebih sering terjadi pada wanita paruh baya.
  3. Kolangitis Sklerosing Primer (Primary Sclerosing Cholangitis/PSC): Penyakit kronis progresif yang menyebabkan peradangan dan fibrosis pada duktus bilier intrahepatik dan ekstrahepatik. Sering dikaitkan dengan penyakit radang usus (inflammatory bowel disease/IBD), terutama kolitis ulseratif.
  4. Kolestasis Gravidarum (Intrahepatic Cholestasis of Pregnancy/ICP): Kondisi yang terjadi pada trimester ketiga kehamilan, ditandai dengan gatal-gatal hebat tanpa ruam dan peningkatan asam empedu serum. Umumnya membaik setelah melahirkan namun meningkatkan risiko komplikasi kehamilan (misalnya kelahiran prematur).
  5. Sepsis dan Infeksi Berat: Infeksi sistemik berat dapat menyebabkan disfungsi hati dan kolestasis, sering disebut sebagai "kolestasis sepsis". Mekanismenya melibatkan sitokin pro-inflamasi yang mengganggu transporter empedu.
  6. Hepatitis Virus Akut: Terkadang, hepatitis virus (misalnya Hepatitis A, B, C) dapat memiliki komponen kolestatik, terutama pada fase akut.
  7. Penyakit Genetik:
    • Progressive Familial Intrahepatic Cholestasis (PFIC): Kelompok kelainan genetik langka yang mempengaruhi transporter empedu di hepatosit, menyebabkan kolestasis progresif.
    • Sindrom Alagille: Kelainan genetik multisistem yang ditandai oleh kurangnya duktus bilier intrahepatik, kelainan jantung, tulang belakang, mata, dan wajah.
    • Fibrosis Kistik: Dapat menyebabkan penyumbatan duktus bilier intrahepatik karena empedu yang kental.
  8. Nutrisi Parenteral Total (TPN)-Associated Cholestasis: Kolestasis yang dapat terjadi pada pasien yang menerima nutrisi parenteral total jangka panjang, terutama pada bayi prematur.
  9. Penyakit Infiltratif Hati: Seperti limfoma, sarkoidosis, atau amiloidosis, yang dapat menyusup ke hati dan mengganggu aliran empedu.
  10. Sindrom Dubin-Johnson dan Rotor: Kelainan genetik langka yang menyebabkan gangguan ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh hepatosit, menghasilkan kolestasis ringan.

3.2 Kolestasis Ekstrahepatik

Kolestasis ekstrahepatik disebabkan oleh sumbatan fisik pada saluran empedu di luar hati, mencegah empedu mencapai usus. Ini seringkali membutuhkan intervensi bedah atau endoskopi.

Penyebab Kolestasis Ekstrahepatik:

  1. Batu Empedu (Choledocholithiasis): Ini adalah penyebab paling umum dari kolestasis ekstrahepatik, di mana batu empedu dari kandung empedu bermigrasi dan menyumbat saluran empedu umum (ductus choledochus).
  2. Striktur Biliaris (Biliary Strictures): Penyempitan saluran empedu dapat terjadi akibat peradangan kronis, cedera pasca operasi (terutama setelah kolesistektomi), pankreatitis, atau radiasi.
  3. Kanker Pankreas (Pancreatic Cancer): Tumor di kepala pankreas sering menekan dan menyumbat saluran empedu umum saat melewati pankreas.
  4. Kanker Saluran Empedu (Cholangiocarcinoma): Kanker yang berasal dari sel-sel duktus bilier. Ini bisa terjadi di intrahepatik atau ekstrahepatik, tetapi yang ekstrahepatik sering menyebabkan sumbatan.
  5. Kanker Ampula Vater (Ampullary Carcinoma): Kanker yang berasal dari ampula Vater, tempat saluran empedu dan pankreas bergabung, dapat menyumbat aliran empedu.
  6. Pankreatitis Akut atau Kronis: Peradangan pankreas dapat menyebabkan pembengkakan yang menekan saluran empedu umum, mengakibatkan kolestasis.
  7. Kista Choledochal: Kelainan kongenital berupa pelebaran abnormal pada saluran empedu, yang dapat menyebabkan stagnasi empedu dan sumbatan.
  8. Atresia Bilier: Penyebab utama kolestasis pada bayi baru lahir, di mana saluran empedu ekstrahepatik tidak terbentuk dengan baik atau hancur setelah lahir, menyebabkan sumbatan total aliran empedu. Ini adalah kondisi gawat darurat bedah pada bayi.
  9. Parasit: Infestasi cacing seperti Ascaris lumbricoides atau Fasciola hepatica dapat menyumbat saluran empedu.

3.3 Kolestasis Neonatal

Kolestasis pada bayi baru lahir adalah kondisi serius yang memerlukan diagnosis dan penanganan cepat. Ini didefinisikan sebagai ikterus persisten (kuning) lebih dari 14 hari pada bayi cukup bulan atau lebih dari 21 hari pada bayi prematur, disertai dengan peningkatan bilirubin terkonjugasi.

Penyebab Kolestasis Neonatal:

4. Patofisiologi Kolestasis: Bagaimana Ini Terjadi?

Pada tingkat seluler dan molekuler, patofisiologi kolestasis melibatkan serangkaian peristiwa kompleks yang mengganggu produksi dan aliran empedu. Gangguan ini dapat terjadi pada berbagai titik sepanjang jalur empedu.

4.1 Gangguan pada Transporter Empedu

Hepatosit memiliki berbagai transporter membran yang bertanggung jawab untuk mengambil komponen empedu dari darah dan mengeluarkan ke kanalikuli bilier. Kolestasis seringkali melibatkan gangguan pada transporter ini, seperti:

Peradangan, sitokin pro-inflamasi (misalnya TNF-α, IL-6) yang dilepaskan selama infeksi atau penyakit autoimun, serta efek toksik dari obat-obatan tertentu, dapat menekan ekspresi atau fungsi transporter ini, mengurangi aliran empedu.

4.2 Perubahan Morfologi Kanalikuli Biliaris

Pada kolestasis, kanalikuli biliaris dapat mengalami perubahan struktural. Mereka bisa menjadi lebih lebar, dengan hilangnya mikrovili pada membran apikal hepatosit, yang mengurangi luas permukaan untuk sekresi empedu. Tight junction antar hepatosit, yang biasanya mencegah kebocoran empedu, dapat menjadi lebih permeabel, memungkinkan komponen empedu kembali ke sirkulasi darah.

4.3 Akumulasi Asam Empedu Toksik

Penumpukan asam empedu di dalam hepatosit sangat toksik. Asam empedu yang hidrofobik dapat merusak membran sel, mitokondria, dan retikulum endoplasma, memicu stres oksidatif dan apoptosis (kematian sel terprogram). Ini menyebabkan peradangan kronis dan fibrosis hati, yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi sirosis.

4.4 Peradangan dan Fibrosis

Baik pada kolestasis intrahepatik maupun ekstrahepatik, penumpukan komponen empedu di hati memicu respons inflamasi. Sel Kupffer (makrofag hati) dan sel stelata hati menjadi aktif, melepaskan sitokin dan kemokin yang menarik sel-sel imun lainnya. Peradangan kronis ini merangsang sel stelata untuk memproduksi kolagen dan matriks ekstraseluler lainnya, yang menyebabkan fibrosis (pembentukan jaringan parut). Jika fibrosis terus berlanjut, akan berkembang menjadi sirosis, kondisi di mana struktur normal hati terganggu parah dan fungsinya menurun drastis.

4.5 Gangguan Aliran Mekanis

Pada kolestasis ekstrahepatik, patofisiologi utamanya adalah sumbatan fisik pada saluran empedu. Sumbatan ini dapat disebabkan oleh batu empedu, tumor, striktur, atau kista. Ketika saluran tersumbat, tekanan di dalam duktus bilier meningkat, menyebabkan dilatasi (pelebaran) saluran di atas sumbatan. Stagnasi empedu ini meningkatkan risiko infeksi bakteri (kolangitis) dan merusak epitel duktus, yang pada gilirannya dapat memicu peradangan dan fibrosis di sekitar duktus bilier.

5. Gejala Kolestasis: Tanda-tanda yang Perlu Diwaspadai

Gejala kolestasis dapat bervariasi tergantung pada penyebab, durasi, dan tingkat keparahan sumbatan. Namun, ada beberapa tanda dan gejala umum yang sering muncul akibat penumpukan komponen empedu di dalam tubuh dan malabsorpsi lemak.

5.1 Gejala Akibat Penumpukan Empedu

  1. Ikterus (Jaundice): Kulit dan bagian putih mata (sklera) menguning. Ini adalah gejala paling khas, disebabkan oleh penumpukan bilirubin terkonjugasi dalam darah, yang kemudian mengendap di jaringan. Urin juga bisa menjadi gelap, seperti teh, karena ekskresi bilirubin terkonjugasi melalui ginjal.
  2. Pruritus (Gatal-gatal): Gatal yang intens dan menyeluruh di seluruh tubuh, seringkali memburuk di malam hari. Ini adalah gejala yang sangat mengganggu dan disebabkan oleh penumpukan garam empedu di kulit.
  3. Feses Pucat (Akolia/Steatorrhea): Feses berwarna terang atau keputihan, seperti dempul. Ini terjadi karena empedu yang mengandung pigmen bilirubin tidak mencapai usus untuk memberi warna pada feses. Feses juga bisa berminyak dan berbau busuk (steatorrhea) karena malabsorpsi lemak.
  4. Xanthoma dan Xanthelasma: Penumpukan kolesterol di bawah kulit, terutama di sekitar mata (xanthelasma) atau pada tendon dan sendi (xanthoma), akibat gangguan metabolisme lipid yang terkait dengan kolestasis kronis.

5.2 Gejala Akibat Malabsorpsi Lemak

Karena empedu tidak dapat membantu pencernaan lemak, penyerapan lemak dan vitamin larut lemak (A, D, E, K) akan terganggu.

  1. Defisiensi Vitamin K: Vitamin K penting untuk sintesis faktor pembekuan darah. Kekurangan vitamin K dapat menyebabkan gangguan pembekuan, seperti mudah memar atau pendarahan, terutama pada gusi atau mimisan.
  2. Defisiensi Vitamin D dan Kalsium: Mengarah pada risiko osteoporosis (tulang keropos) dan osteomalasia (pelunakan tulang), yang dapat menyebabkan nyeri tulang dan patah tulang.
  3. Defisiensi Vitamin A: Dapat menyebabkan gangguan penglihatan, terutama rabun senja, dan masalah kulit.
  4. Defisiensi Vitamin E: Meskipun jarang, dapat menyebabkan masalah neurologis seperti ataksia (gangguan koordinasi) dan neuropati.
  5. Penurunan Berat Badan dan Malnutrisi: Terutama pada kolestasis kronis, karena penyerapan nutrisi yang buruk.
  6. Nyeri Perut: Terutama pada kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh batu empedu atau tumor, nyeri dapat terlokalisasi di kuadran kanan atas abdomen atau epigastrium, kadang menjalar ke punggung. Nyeri kolik biliaris adalah nyeri intens yang datang dan pergi.
  7. Demam dan Menggigil: Jika kolestasis diperparah oleh infeksi saluran empedu (kolangitis), demam dan menggigil dapat terjadi. Ini adalah kondisi darurat medis.
  8. Kelelahan: Rasa lelah yang signifikan dan tidak proporsional dengan aktivitas, sering terjadi pada penyakit hati kronis, termasuk kolestasis.

Pada bayi baru lahir, kolestasis seringkali terdeteksi karena ikterus persisten yang tidak membaik setelah usia 2 minggu, disertai feses pucat dan urin gelap. Ini adalah tanda bahaya yang memerlukan pemeriksaan segera.

6. Diagnosis Kolestasis: Pendekatan Komprehensif

Mendiagnosis kolestasis memerlukan pendekatan multi-langkah yang melibatkan riwayat medis, pemeriksaan fisik, tes laboratorium, dan studi pencitraan. Tujuannya adalah untuk mengkonfirmasi adanya kolestasis, menentukan apakah itu intrahepatik atau ekstrahepatik, dan mengidentifikasi penyebab spesifiknya.

6.1 Anamnesis (Riwayat Medis)

Dokter akan menanyakan riwayat gejala (kapan dimulai, seberapa parah, faktor pemicu), riwayat penyakit sebelumnya (hepatitis, penyakit autoimun, penyakit radang usus), riwayat konsumsi obat-obatan (termasuk herbal dan suplemen), riwayat perjalanan, riwayat keluarga (penyakit hati genetik), dan riwayat operasi.

6.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik akan mencari tanda-tanda kolestasis seperti ikterus pada kulit dan sklera, bekas garukan pada kulit (akibat pruritus kronis), xanthoma/xanthelasma, hepatomegali (pembesaran hati), splenomegali (pembesaran limpa), asites (penumpukan cairan di rongga perut), dan tanda-tanda penyakit hati kronis lainnya (misalnya spider angioma, eritema palmaris).

6.3 Tes Laboratorium

Tes darah sangat penting untuk mengkonfirmasi kolestasis dan menilai fungsi hati.

  1. Tes Fungsi Hati (Liver Function Tests/LFTs):
    • Bilirubin Total dan Terkonjugasi: Peningkatan bilirubin terkonjugasi adalah indikator utama kolestasis.
    • Alkaline Phosphatase (ALP) dan Gamma-Glutamyl Transferase (GGT): Enzim ini meningkat secara signifikan pada kolestasis, karena keduanya berada di saluran empedu. Peningkatan ALP tanpa peningkatan GGT yang sepadan mungkin menunjukkan masalah tulang atau non-hepatobilier.
    • Aspartate Aminotransferase (AST) dan Alanine Aminotransferase (ALT): Enzim ini meningkat pada kerusakan sel hati (hepatoseluler). Pada kolestasis murni, peningkatannya cenderung moderat dibandingkan ALP/GGT, tetapi bisa tinggi jika ada peradangan hati yang signifikan.
    • Albumin dan Prothrombin Time (PT)/INR: Mengukur fungsi sintetis hati. Penurunan albumin atau peningkatan PT/INR menunjukkan gangguan fungsi hati yang lebih parah atau kronis. Defisiensi vitamin K juga dapat meningkatkan PT/INR.
  2. Asam Empedu Serum: Peningkatan kadar asam empedu dalam darah adalah penanda sensitif untuk kolestasis, terutama pada ICP.
  3. Penanda Autoimun:
    • Antimitochondrial Antibody (AMA): Positif pada sebagian besar kasus PBC.
    • Antinuclear Antibody (ANA), Anti-Smooth Muscle Antibody (ASMA): Dapat positif pada penyakit hati autoimun lainnya.
    • pANCA (perinuclear Antineutrophil Cytoplasmic Antibody): Sering positif pada PSC.
  4. Penanda Virus: Tes untuk hepatitis virus (A, B, C) untuk menyingkirkan penyebab viral.
  5. Penanda Genetik/Metabolik: Untuk bayi, skrining penyakit metabolik (misalnya galaktosemia, defisiensi alfa-1 antitripsin), atau tes genetik untuk PFIC atau Sindrom Alagille.
  6. Penanda Tumor: CA 19-9 dapat meningkat pada kanker pankreas atau kolangiokarsinoma, meskipun tidak spesifik.

6.4 Studi Pencitraan (Imaging Studies)

Pencitraan digunakan untuk memvisualisasikan saluran empedu dan hati, membantu membedakan kolestasis intrahepatik dari ekstrahepatik, dan mengidentifikasi penyebab sumbatan.

  1. USG Abdomen (Ultrasonografi): Sering menjadi pemeriksaan awal. Dapat mendeteksi dilatasi saluran empedu ekstrahepatik (menunjukkan sumbatan), batu empedu di kandung empedu atau saluran empedu, kista koledokus, atau tumor pankreas. Tidak terlalu baik untuk melihat saluran intrahepatik kecil.
  2. CT Scan Abdomen (Computed Tomography): Memberikan gambaran lebih detail tentang hati, pankreas, dan saluran empedu. Dapat mengidentifikasi massa, striktur, atau peradangan.
  3. MRI/MRCP (Magnetic Resonance Imaging/Magnetic Resonance Cholangiopancreatography): MRCP adalah teknik MRI khusus yang memberikan gambaran detail non-invasif dari saluran empedu dan pankreas. Sangat baik untuk mendeteksi batu, striktur, atau tumor di saluran empedu tanpa paparan radiasi atau risiko invasif.
  4. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography): Prosedur invasif di mana endoskop dimasukkan melalui mulut ke duodenum, kemudian kateter dimasukkan ke saluran empedu. Pewarna disuntikkan dan rontgen diambil. ERCP tidak hanya diagnostik tetapi juga terapeutik (misalnya, mengangkat batu, memasang stent untuk striktur). Memiliki risiko komplikasi seperti pankreatitis atau pendarahan.
  5. PTC (Percutaneous Transhepatic Cholangiography): Prosedur invasif di mana jarum dimasukkan melalui kulit ke hati untuk menyuntikkan pewarna langsung ke saluran empedu intrahepatik. Digunakan ketika ERCP tidak berhasil atau tidak memungkinkan, atau untuk kasus sumbatan proksimal. Juga dapat bersifat terapeutik (drainase).
  6. Biopsi Hati: Dilakukan ketika diagnosis masih tidak jelas setelah tes lain, atau untuk menilai tingkat kerusakan hati, peradangan, dan fibrosis. Biopsi dapat membantu membedakan antara jenis-jenis kolestasis intrahepatik (misalnya PBC, PSC) atau untuk menilai prognosis.

Pada bayi dengan kolestasis, penanganan diagnostik sangat mendesak. Setelah USG, jika ada kecurigaan atresia bilier, dapat dilakukan scintigraphy hepatobilier (HIDA scan) untuk menilai aliran empedu ke usus. Jika hasilnya meragukan atau mendukung atresia bilier, biopsi hati dan/atau kolangiografi intraoperatif mungkin diperlukan untuk konfirmasi dan tindakan bedah.

7. Komplikasi Kolestasis

Jika tidak diobati, kolestasis kronis dapat menyebabkan serangkaian komplikasi serius yang mempengaruhi hati dan organ lainnya.

7.1 Komplikasi Hati

  1. Sirosis Hati: Peradangan dan fibrosis kronis yang disebabkan oleh penumpukan asam empedu dan kerusakan hepatosit dapat menyebabkan sirosis. Sirosis adalah jaringan parut ireversibel pada hati yang mengganggu fungsi normal hati.
  2. Gagal Hati (Hepatic Failure): Pada tahap akhir sirosis, hati kehilangan kemampuannya untuk berfungsi secara adekuat, menyebabkan gagal hati. Gejalanya termasuk asites, ensefalopati hepatik (disfungsi otak akibat penumpukan toksin), varises esofagus (pembengkakan pembuluh darah di kerongkongan yang berisiko pendarahan), dan gangguan pembekuan darah.
  3. Kolangitis: Infeksi bakteri pada saluran empedu, terutama pada kolestasis ekstrahepatik akibat sumbatan. Gejalanya meliputi demam, menggigil, nyeri perut kanan atas, dan ikterus (Charcot's triad). Ini adalah kondisi medis darurat yang membutuhkan antibiotik dan dekompresi saluran empedu.

7.2 Komplikasi Sistemik

  1. Malabsorpsi Lemak dan Defisiensi Vitamin Larut Lemak:
    • Osteoporosis dan Osteomalasia: Akibat defisiensi vitamin D dan kalsium, menyebabkan tulang lemah dan risiko patah tulang.
    • Gangguan Pembekuan Darah: Akibat defisiensi vitamin K, meningkatkan risiko pendarahan.
    • Gangguan Penglihatan: Akibat defisiensi vitamin A.
    • Neuropati dan Ataksia: Akibat defisiensi vitamin E, meskipun jarang.
  2. Malnutrisi dan Penurunan Berat Badan: Karena gangguan penyerapan lemak dan protein.
  3. Gagal Ginjal Akut (Hepatorenal Syndrome): Komplikasi serius pada gagal hati lanjut, di mana ginjal berhenti berfungsi tanpa adanya penyakit ginjal primer.
  4. Pruritus Kronis: Gatal-gatal yang parah dapat sangat mengganggu kualitas hidup, menyebabkan gangguan tidur, depresi, dan iritabilitas.
  5. Hipertensi Portal: Peningkatan tekanan di pembuluh darah portal yang mengalirkan darah ke hati, yang dapat menyebabkan varises esofagus dan asites.
  6. Kanker Hati (Hepatocellular Carcinoma/HCC): Kolestasis kronis yang menyebabkan sirosis meningkatkan risiko terjadinya HCC.

8. Pengobatan Kolestasis: Pendekatan Berbasis Penyebab

Penanganan kolestasis sangat tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Tujuannya adalah untuk mengatasi sumbatan (jika ada), mengurangi gejala, dan mencegah komplikasi jangka panjang.

8.1 Pengobatan Kolestasis Ekstrahepatik

Pada kolestasis ekstrahepatik, tujuan utama adalah menghilangkan sumbatan.

  1. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography): Jika penyebabnya adalah batu empedu di saluran empedu umum, ERCP dapat digunakan untuk mengeluarkan batu (sfingterotomi endoskopik dan pengangkatan batu dengan keranjang atau balon). Jika ada striktur atau tumor, stent (tabung kecil) dapat dipasang untuk menjaga saluran empedu tetap terbuka.
  2. PTC (Percutaneous Transhepatic Cholangiography): Mirip dengan ERCP, tetapi aksesnya melalui kulit. Dapat digunakan untuk drainase empedu atau pemasangan stent jika ERCP tidak berhasil atau tidak memungkinkan.
  3. Pembedahan:
    • Kolesistektomi: Pengangkatan kandung empedu jika batu empedu di sana adalah penyebabnya.
    • Operasi Bypass Biliaris: Pada kasus tumor yang tidak dapat diangkat (misalnya kanker pankreas), operasi dapat dilakukan untuk membuat jalur baru bagi aliran empedu, mengurangi sumbatan dan gejala.
    • Prosedur Kasai (Hepatoportoenterostomi): Operasi penting untuk bayi dengan atresia bilier, di mana bagian usus dijahit langsung ke hati untuk memungkinkan aliran empedu. Ini harus dilakukan sesegera mungkin (idealnya sebelum usia 60 hari) untuk hasil terbaik.

8.2 Pengobatan Kolestasis Intrahepatik

Pengobatan berfokus pada manajemen penyebab dan gejala, karena tidak ada sumbatan fisik yang bisa dihilangkan.

  1. Asam Ursodeoksikolat (UDCA): Obat ini adalah terapi lini pertama untuk PBC dan kadang digunakan pada PSC dan ICP. UDCA adalah asam empedu hidrofilik yang lebih tidak toksik, yang menggantikan asam empedu toksik yang lebih hidrofobik, serta melindungi hepatosit dari kerusakan.
  2. Obat untuk Pruritus (Gatal):
    • Kolestiramin atau Kolesevlam: Resin pengikat asam empedu yang bekerja di usus, mencegah reabsorpsi asam empedu dan meningkatkan ekskresinya.
    • Rifampisin: Antibiotik yang dapat mengurangi gatal dengan menginduksi enzim hati yang memetabolisme asam empedu dan zat lain penyebab gatal.
    • Naltrekson: Antagonis opioid yang dapat efektif pada gatal yang parah.
    • Antihistamin: Dapat membantu dengan gatal, terutama yang memiliki efek sedasi.
  3. Penanganan Penyakit Penyerta:
    • Obat-obatan imunosupresif: Untuk penyakit autoimun (misalnya PSC, PBC).
    • Menghentikan Obat Penyebab: Jika kolestasis disebabkan oleh obat-obatan.
    • Terapi untuk Sepsis: Antibiotik dan dukungan organ untuk kolestasis terkait sepsis.

8.3 Suplementasi Nutrisi

Penting untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan defisiensi vitamin larut lemak.

  1. Suplementasi Vitamin Larut Lemak (A, D, E, K): Diberikan dalam dosis tinggi untuk memastikan penyerapan yang cukup. Vitamin K dapat diberikan secara parenteral (suntikan) jika ada masalah pendarahan.
  2. Trigliserida Rantai Menengah (Medium-Chain Triglycerides/MCT): Minyak MCT lebih mudah diserap tanpa empedu dan dapat digunakan sebagai sumber kalori tambahan untuk mencegah malnutrisi.
  3. Suplementasi Kalsium: Untuk mencegah atau mengatasi osteoporosis.

8.4 Transplantasi Hati

Untuk kasus kolestasis kronis yang berkembang menjadi gagal hati atau sirosis tahap akhir, transplantasi hati mungkin menjadi satu-satunya pilihan pengobatan yang efektif. Ini adalah prosedur kompleks yang membutuhkan kecocokan donor dan perawatan pasca-transplantasi seumur hidup.

8.5 Pengelolaan Kolestasis pada Kehamilan (ICP)

Pengobatan utama adalah Asam Ursodeoksikolat (UDCA). Obat ini aman untuk ibu dan janin, membantu mengurangi asam empedu dan meredakan gatal. Pemantauan ketat janin diperlukan, dan persalinan dini mungkin diindikasikan untuk mengurangi risiko komplikasi pada janin.

9. Kolestasis pada Kehamilan (Intrahepatic Cholestasis of Pregnancy/ICP)

ICP adalah kondisi hati yang spesifik untuk kehamilan, ditandai dengan gangguan aliran empedu di dalam hati. Ini adalah penyebab paling umum dari penyakit hati pada kehamilan.

9.1 Etiologi dan Patofisiologi

Penyebab pasti ICP belum sepenuhnya dipahami, tetapi diyakini melibatkan kombinasi faktor genetik, hormonal, dan lingkungan. Peningkatan kadar estrogen dan progesteron pada kehamilan diyakini memiliki efek kolestatik pada hati, mengganggu fungsi transporter empedu di hepatosit pada wanita yang secara genetik rentan.

9.2 Gejala

Gejala utama adalah pruritus parah, yang biasanya dimulai pada trimester ketiga, terutama di telapak tangan dan telapak kaki, memburuk di malam hari. Ikterus dapat muncul pada sebagian kecil kasus. Gejala lain seperti mual, kelelahan, dan urin gelap jarang terjadi.

9.3 Diagnosis

Diagnosis didasarkan pada gejala gatal tanpa ruam, peningkatan asam empedu serum (lebih dari 10 µmol/L) dan, kadang-kadang, peningkatan ringan pada enzim hati (AST, ALT). Penting untuk menyingkirkan penyebab lain kolestasis atau penyakit hati pada kehamilan.

9.4 Komplikasi

Meskipun kondisi ini umumnya jinak bagi ibu dan akan sembuh setelah melahirkan, ICP dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi janin, termasuk:

9.5 Penanganan

Pengobatan utama adalah Asam Ursodeoksikolat (UDCA). UDCA membantu menurunkan kadar asam empedu serum ibu dan meredakan gatal. Pemantauan janin yang ketat, termasuk non-stress test (NST) dan profil biofisik, dianjurkan. Induksi persalinan pada usia kehamilan tertentu (misalnya minggu ke-37 atau ke-38) seringkali dipertimbangkan untuk mengurangi risiko komplikasi janin.

10. Kolestasis Neonatal

Kolestasis neonatal adalah kondisi serius yang ditandai dengan aliran empedu yang terganggu pada bayi baru lahir. Diagnosis dini sangat penting karena beberapa penyebab memerlukan intervensi medis atau bedah yang mendesak.

10.1 Penyebab Utama

Seperti yang telah disebutkan, penyebab kolestasis neonatal dapat dibagi menjadi:

10.2 Gejala dan Diagnosis

Gejala utama adalah ikterus persisten (kuning yang berlangsung lebih dari 2 minggu) disertai urin gelap dan feses pucat. Penting untuk segera mencari pertolongan medis jika tanda-tanda ini muncul. Diagnosis melibatkan pemeriksaan darah (bilirubin terkonjugasi tinggi, tes fungsi hati lainnya), USG hati dan saluran empedu, HIDA scan, dan kadang biopsi hati.

10.3 Penanganan

Penanganan sangat bergantung pada penyebabnya:

Deteksi dan intervensi dini sangat krusial pada kolestasis neonatal untuk mencegah kerusakan hati permanen dan komplikasi serius lainnya.

11. Pencegahan dan Prognosis

Pencegahan kolestasis sebagian besar tergantung pada penyebabnya. Untuk beberapa jenis, pencegahan mungkin tidak dimungkinkan, tetapi deteksi dini dan manajemen yang tepat dapat meningkatkan prognosis secara signifikan.

11.1 Pencegahan

11.2 Prognosis

Prognosis kolestasis sangat bervariasi tergantung pada penyebab, tingkat keparahan, dan waktu intervensi.

Pemantauan rutin oleh dokter spesialis hati (hepatolog) sangat penting untuk semua pasien dengan kolestasis kronis untuk memantau progresi penyakit, mengelola komplikasi, dan menyesuaikan terapi.

12. Hidup dengan Kolestasis Kronis

Bagi individu yang didiagnosis dengan kolestasis kronis, manajemen jangka panjang menjadi kunci untuk menjaga kualitas hidup dan mencegah komplikasi. Hal ini mencakup kombinasi pengobatan medis, penyesuaian gaya hidup, dan dukungan psikososial.

12.1 Kepatuhan Terapi Medis

Sangat penting untuk mengikuti regimen pengobatan yang diresepkan oleh dokter. Ini mungkin termasuk konsumsi UDCA secara teratur, obat-obatan untuk gatal, dan suplemen vitamin. Kepatuhan ini membantu memperlambat progresi penyakit dan mengurangi gejala.

12.2 Manajemen Gejala

12.3 Diet dan Nutrisi

Konsultasi dengan ahli gizi sangat dianjurkan untuk mengembangkan rencana diet yang tepat.

12.4 Pemantauan Rutin

Pemeriksaan rutin dengan hepatolog sangat penting. Ini melibatkan tes darah berkala untuk memantau fungsi hati, kadar vitamin, dan penanda penyakit lainnya. Studi pencitraan mungkin juga dilakukan secara berkala untuk memantau perubahan pada hati dan saluran empedu.

12.5 Dukungan Psikososial

Hidup dengan penyakit kronis seperti kolestasis dapat memengaruhi kesehatan mental. Mencari dukungan dari keluarga, teman, atau kelompok dukungan pasien dapat sangat membantu. Konsultasi dengan psikolog atau terapis juga bisa menjadi pilihan jika mengalami kecemasan, depresi, atau kesulitan dalam mengatasi kondisi tersebut.

13. Kesimpulan

Kolestasis adalah kondisi kompleks yang menggambarkan gangguan aliran empedu, baik di dalam maupun di luar hati. Dari kolestasis intrahepatik yang seringkali melibatkan masalah fungsional sel hati atau saluran empedu kecil, hingga kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh sumbatan fisik, spektrum penyebabnya sangat luas dan bervariasi dari kondisi yang relatif ringan hingga yang mengancam jiwa. Gejala yang umum seperti ikterus, gatal-gatal, feses pucat, dan urin gelap, serta komplikasi serius seperti malabsorpsi vitamin larut lemak, osteoporosis, sirosis, hingga gagal hati, menyoroti pentingnya diagnosis dini dan penanganan yang tepat.

Dengan kemajuan dalam teknologi diagnostik, mulai dari tes laboratorium hingga pencitraan canggih seperti MRCP dan ERCP, dokter kini dapat mengidentifikasi penyebab kolestasis dengan lebih akurat. Pendekatan pengobatan juga semakin bervariasi, meliputi intervensi bedah untuk sumbatan ekstrahepatik, terapi farmakologis seperti asam ursodeoksikolat untuk kondisi intrahepatik, hingga transplantasi hati sebagai pilihan terakhir untuk penyakit hati stadium akhir. Pemahaman yang mendalam tentang kolestasis, baik oleh tenaga medis maupun masyarakat umum, adalah kunci untuk meningkatkan kesadaran, memfasilitasi deteksi dini, dan pada akhirnya, memperbaiki prognosis bagi individu yang terkena dampak kondisi ini. Edukasi mengenai pentingnya kepatuhan terapi, penyesuaian gaya hidup, dan pemantauan rutin akan terus menjadi pilar utama dalam manajemen kolestasis kronis.