Kode Etik Jurnalistik: Pilar Integritas Pers dalam Demokrasi

Ilustrasi simbol integritas jurnalistik: pena, mikrofon, dan perisai kebenaran.

Dalam lanskap informasi yang semakin kompleks dan cepat berubah, peran jurnalistik yang berintegritas dan bertanggung jawab menjadi semakin krusial. Jurnalis, sebagai garda terdepan dalam menyampaikan informasi kepada publik, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Kepercayaan ini tidak hanya dibangun di atas kecepatan dan kuantitas berita, tetapi yang terpenting adalah pada kualitas, akurasi, dan etika pelaporannya. Di sinilah Kode Etik Jurnalistik (KEJ) mengambil peran sentral. KEJ bukan sekadar seperangkat aturan formal, melainkan sebuah kompas moral yang membimbing setiap langkah dan keputusan seorang jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

Artikel ini akan mengupas tuntas tentang Kode Etik Jurnalistik, dimulai dari pemahaman dasar, sejarah perkembangannya di Indonesia, prinsip-prinsip utama yang terkandung di dalamnya, tantangan implementasinya di era digital, hingga dampak yang ditimbulkan dari pelanggaran etika jurnalistik. Tujuan utama adalah untuk menggarisbawahi mengapa KEJ adalah pilar tak tergantikan dalam menjaga integritas pers, mendukung demokrasi, dan memastikan hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan adil.

Pendahuluan: Urgensi Kode Etik Jurnalistik di Era Informasi

Dunia modern dicirikan oleh banjir informasi. Setiap detik, jutaan data, berita, dan opini beredar melalui berbagai platform, dari media massa tradisional hingga jejaring sosial pribadi. Dalam kondisi seperti ini, kemampuan publik untuk membedakan antara fakta dan fiksi, antara informasi yang kredibel dan disinformasi, menjadi sangat sulit. Di sinilah peran jurnalis profesional menjadi vital: sebagai penjaga gerbang informasi, verifikator fakta, dan penyampai narasi yang berimbang.

Namun, kekuatan besar yang dimiliki jurnalis – kemampuan untuk membentuk opini publik, mengungkap kebenaran, atau bahkan mempengaruhi arah kebijakan – datang dengan tanggung jawab yang tidak kalah besar. Tanpa panduan etika yang kuat, kekuatan ini dapat disalahgunakan, menjadi alat propaganda, penyebar kebencian, atau bahkan perusak reputasi. Kode Etik Jurnalistik hadir sebagai benteng pertahanan terhadap penyalahgunaan ini, memastikan bahwa pers tetap beroperasi demi kepentingan publik yang lebih luas, bukan kepentingan sempit kelompok tertentu atau individu.

KEJ juga berfungsi sebagai alat akuntabilitas. Ketika jurnalis dan media berpegang teguh pada prinsip-prinsip etika, mereka membangun fondasi kepercayaan dengan audiens. Kepercayaan ini adalah modal sosial paling berharga bagi pers. Tanpa kepercayaan, berita hanyalah serangkaian kata yang tidak memiliki bobot, dan media kehilangan relevansinya dalam masyarakat demokratis. Oleh karena itu, memahami dan menerapkan KEJ bukan hanya tugas profesional, tetapi juga bentuk dedikasi terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Sejarah dan Latar Belakang Kode Etik Jurnalistik di Indonesia

Perjalanan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pers nasional itu sendiri. Sejak awal kemerdekaan, pers di Indonesia telah memainkan peran krusial sebagai agen perubahan, pengawas kekuasaan, dan penyambung lidah rakyat. Namun, seiring dengan dinamika politik dan sosial, pers juga menghadapi berbagai tantangan, termasuk sensor, intervensi pemerintah, hingga tekanan ekonomi.

Pembentukan KEJ di Indonesia merupakan respons terhadap kebutuhan akan standar profesionalisme dan integritas di tengah berbagai tekanan tersebut. Awalnya, berbagai organisasi jurnalis, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan kemudian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) serta Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), memiliki kode etik masing-masing. Namun, seiring waktu, muncul kebutuhan akan kode etik yang lebih universal dan diakui secara luas.

Simbol Dewan Pers sebagai penegak etika dan keadilan dalam jurnalisme.

Titik balik penting terjadi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini menjamin kemerdekaan pers dan menetapkan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang berfungsi untuk melindungi kemerdekaan pers, meningkatkan kualitas profesionalisme wartawan, dan menegakkan kode etik jurnalistik. Sejak saat itu, Dewan Pers bersama organisasi-organisasi wartawan berupaya menyusun satu Kode Etik Jurnalistik yang berlaku secara nasional.

Kode Etik Jurnalistik yang berlaku saat ini merupakan hasil konsensus berbagai pihak, termasuk organisasi wartawan, perusahaan pers, dan masyarakat. KEJ ini dirumuskan berdasarkan prinsip-prinsip universal etika jurnalistik yang kemudian disesuaikan dengan konteks dan nilai-nilai keindonesiaan. Dengan demikian, KEJ di Indonesia bukan hanya produk hukum, tetapi juga cerminan dari kesadaran kolektif akan pentingnya pers yang bertanggung jawab.

Prinsip-Prinsip Dasar Kode Etik Jurnalistik

Kode Etik Jurnalistik adalah fondasi moral yang menegakkan praktik jurnalistik yang sehat. Prinsip-prinsip ini menjadi panduan bagi jurnalis dalam setiap tahapan kerja mereka, mulai dari pengumpulan data, penulisan, hingga penyajian berita. Berikut adalah penjelasan mendalam mengenai prinsip-prinsip utama yang umumnya terkandung dalam KEJ:

1. Akurasi dan Kebenaran (Verifikasi Fakta)

Prinsip ini adalah inti dari jurnalisme. Seorang jurnalis harus selalu berupaya untuk menyajikan informasi yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan. Ini berarti melakukan verifikasi fakta secara menyeluruh dari berbagai sumber yang kredibel sebelum berita diterbitkan. Kebenaran harus menjadi tujuan utama, dan jurnalis tidak boleh menyebarkan rumor, desas-desus, atau informasi yang belum terkonfirmasi.

2. Independensi

Jurnalis harus independen dari kepentingan politik, ekonomi, atau pribadi yang dapat memengaruhi objektivitas pelaporan. Ini berarti tidak menerima suap, gratifikasi, atau imbalan lain yang dapat memengaruhi integritas profesional. Independensi juga berarti bebas dari tekanan editorial dari pemilik media, pengiklan, atau kekuatan eksternal lainnya.

3. Objektivitas dan Ketidakberpihakan

Meskipun objektivitas mutlak mungkin sulit dicapai sepenuhnya karena faktor manusia, jurnalis harus selalu berusaha untuk melaporkan berita secara seimbang, adil, dan tanpa prasangka. Ini berarti menghadirkan berbagai sisi dari suatu cerita, memberikan ruang yang sama bagi pihak-pihak yang berbeda pandangan, dan menghindari penggunaan bahasa yang bias atau menghakimi.

4. Keberimbangan (Fairness)

Prinsip keberimbangan mengharuskan jurnalis memberikan perlakuan yang adil kepada semua individu atau kelompok yang terlibat dalam suatu berita. Ini termasuk memberikan hak jawab kepada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, serta menghindari penghakiman sepihak. Jika ada tuduhan serius, jurnalis harus memberikan kesempatan kepada pihak yang dituduh untuk memberikan tanggapannya.

5. Perlindungan Sumber Rahasia

Jurnalis memiliki kewajiban moral dan profesional untuk melindungi identitas sumber-sumber yang memberikan informasi secara rahasia, terutama jika pengungkapan identitas tersebut dapat membahayakan sumber. Prinsip ini sangat penting untuk mendorong transparansi dan mengungkap kebenaran yang mungkin disembunyikan oleh pihak berkuasa.

6. Privasi dan Sensitivitas

Jurnalis harus menghormati hak privasi individu, terutama dalam kasus-kasus yang tidak menyangkut kepentingan publik yang lebih besar. Perlu ada kehati-hatian khusus saat meliput isu-isu yang melibatkan anak-anak, korban kekerasan seksual, orang dengan gangguan jiwa, atau individu yang rentan. Pengungkapan identitas atau detail pribadi mereka harus dipertimbangkan secara cermat dan hanya jika benar-benar ada relevansi publik yang kuat.

7. Tidak Mencampuradukkan Fakta dan Opini

Meskipun jurnalis dapat menyertakan analisis atau opini dalam laporan mereka, harus ada pemisahan yang jelas antara informasi faktual yang telah diverifikasi dan pendapat pribadi. Kolom opini, editorial, atau analisis harus ditandai dengan jelas agar pembaca dapat membedakannya dari berita murni.

8. Berpegang pada Asas Praduga Tak Bersalah

Jurnalis harus menghormati asas praduga tak bersalah, yang berarti memperlakukan setiap individu yang dituduh melakukan kejahatan sebagai tidak bersalah sampai ada putusan hukum yang berkekuatan tetap. Pemberitaan tidak boleh mengesankan seseorang sudah bersalah sebelum proses hukum selesai.

9. Tidak Menerima Suap dan Gratifikasi

Integritas jurnalis diuji ketika ada tawaran uang, hadiah, atau fasilitas lain yang bertujuan untuk mempengaruhi pemberitaan. Menerima suap atau gratifikasi, dalam bentuk apa pun, adalah pelanggaran serius terhadap kode etik karena merusak independensi dan objektivitas.

10. Tanggung Jawab Sosial

Jurnalisme tidak hanya tentang melaporkan apa yang terjadi, tetapi juga tentang mempertimbangkan dampak sosial dari pemberitaan. Jurnalis memiliki tanggung jawab untuk melayani kepentingan publik, mempromosikan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan. Ini termasuk menghindari pemberitaan yang dapat memicu konflik SARA, kekerasan, atau merendahkan martabat kelompok tertentu.

11. Menghindari Plagiarisme

Karya jurnalis haruslah orisinal. Plagiarisme, yaitu mengambil karya orang lain dan mengakuinya sebagai milik sendiri, adalah pelanggaran etika yang serius. Jurnalis harus selalu memberikan kredit kepada sumber aslinya jika mengutip atau menggunakan ide dari orang lain.

12. Menguji Informasi Sebelum Disiarkan

Prinsip ini menekankan pentingnya proses editorial yang ketat. Informasi harus melewati serangkaian verifikasi dan pemeriksaan silang sebelum akhirnya dipublikasikan. Ini termasuk memeriksa fakta, tata bahasa, ejaan, dan konteks berita.

13. Pemuatan Ralat dan Hak Jawab

Jika terjadi kesalahan dalam pemberitaan, jurnalis atau media wajib untuk segera melakukan koreksi (ralat) secara terbuka dan transparan. Selain itu, jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh berita dan meminta hak jawab, media wajib untuk memuat hak jawab tersebut secara proporsional. Ini adalah bentuk akuntabilitas dan komitmen terhadap kebenaran.

14. Profesionalisme dan Kompetensi Jurnalis

Jurnalis dituntut untuk terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan profesional mereka. Ini termasuk pemahaman yang mendalam tentang isu-isu yang mereka liput, kemampuan riset, wawancara, penulisan, serta adaptasi terhadap teknologi baru dalam jurnalisme. Profesionalisme juga mencakup perilaku yang beretika dalam interaksi dengan sumber, kolega, dan publik.

Tantangan Implementasi KEJ di Era Digital

Pesatnya perkembangan teknologi informasi, khususnya internet dan media sosial, telah membawa perubahan radikal dalam cara informasi diproduksi, disebarkan, dan dikonsumsi. Era digital menghadirkan tantangan baru yang kompleks bagi implementasi Kode Etik Jurnalistik, menuntut adaptasi dan pemikiran ulang strategi penegakan etika.

1. Kecepatan Informasi vs. Verifikasi

Media digital menuntut kecepatan tinggi dalam penyampaian berita. Jurnalis seringkali merasa tertekan untuk menjadi yang pertama dalam melaporkan suatu peristiwa. Tekanan ini dapat mengorbankan proses verifikasi yang cermat, membuka celah bagi penyebaran berita yang tidak akurat atau belum terkonfirmasi. Konflik antara kecepatan dan akurasi menjadi dilema etika yang konstan.

2. Media Sosial dan Citizen Journalism

Setiap individu kini dapat menjadi "reporter" melalui media sosial, menyebarkan informasi, foto, dan video secara instan. Meskipun citizen journalism memiliki potensi untuk membuka akses informasi dan mengungkap kebenaran yang mungkin tersembunyi, ia juga membawa risiko besar penyebaran hoaks, disinformasi, dan misinformasi karena kurangnya standar etika dan proses verifikasi. Jurnalis profesional harus berhati-hati dalam menggunakan konten dari media sosial sebagai sumber, dan wajib memverifikasinya.

3. Hoaks, Disinformasi, dan Misinformasi

Ini adalah ancaman terbesar bagi integritas pers di era digital. Hoaks (berita bohong yang sengaja dibuat), disinformasi (informasi palsu yang sengaja disebarkan untuk menyesatkan), dan misinformasi (informasi salah yang disebarkan tanpa niat jahat) dapat dengan cepat menyebar dan merusak kohesi sosial, memicu kekerasan, bahkan memanipulasi pemilu. Jurnalis memiliki tanggung jawab besar untuk melawan fenomena ini melalui jurnalisme investigasi yang kuat dan verifikasi fakta yang akurat.

4. Tekanan Komersial dan Politik

Model bisnis media yang berubah di era digital, dengan pendapatan iklan yang bergeser ke platform digital, menimbulkan tekanan finansial yang signifikan. Tekanan ini dapat mendorong media untuk mengutamakan klik dan viralitas daripada kualitas dan etika, atau bahkan membuat mereka lebih rentan terhadap intervensi dari pengiklan atau pihak berkepentingan lainnya. Selain itu, tekanan politik dari penguasa atau kelompok kepentingan masih menjadi ancaman serius terhadap independensi pers.

5. Anonimitas Online dan Etika Komentar

Anonimitas yang ditawarkan oleh internet seringkali mendorong perilaku yang tidak bertanggung jawab, termasuk dalam kolom komentar berita. Kebencian, fitnah, dan pelecehan online dapat merajalela. Media harus bergulat dengan pertanyaan etis tentang bagaimana mengelola bagian komentar mereka – apakah perlu dimoderasi ketat, atau bahkan ditutup – untuk mencegah ruang diskusi menjadi toksik, tanpa membatasi kebebasan berekspresi.

6. Algoritma dan Filter Bubble

Algoritma yang digunakan oleh platform digital seringkali menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna, menciptakan "filter bubble" atau "echo chamber" di mana individu hanya terpapar pada informasi yang mengkonfirmasi pandangan mereka sendiri. Ini mengurangi paparan terhadap perspektif yang beragam, mempersulit pemahaman yang utuh, dan berpotensi meningkatkan polarisasi masyarakat. Jurnalisme yang beretika harus berusaha menembus gelembung ini dengan menyajikan berbagai sudut pandang.

7. Jurnalisme Data dan Etika Penggunaan Data

Pemanfaatan data besar (big data) dalam jurnalisme (jurnalisme data) menawarkan potensi besar untuk mengungkap cerita yang kompleks dan berbasis bukti. Namun, ini juga memunculkan pertanyaan etis tentang privasi data, penggunaan algoritma yang adil, dan potensi bias dalam interpretasi data. Jurnalis harus berhati-hati dalam mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data untuk menghindari pelanggaran privasi atau penyebaran informasi yang salah.

Peran Dewan Pers dan Organisasi Jurnalis dalam Penegakan KEJ

Meskipun Kode Etik Jurnalistik adalah panduan moral individu, implementasi dan penegakannya membutuhkan dukungan dari lembaga-lembaga profesional. Di Indonesia, Dewan Pers memegang peran sentral, didukung oleh organisasi-organisasi jurnalis yang aktif.

1. Fungsi Pengawasan dan Penegakan

Dewan Pers bertindak sebagai wasit etika dalam industri pers. Ia menerima pengaduan dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, kemudian melakukan mediasi atau memutuskan apakah telah terjadi pelanggaran KEJ. Putusan Dewan Pers, meskipun tidak bersifat hukum pidana, memiliki kekuatan moral dan reputasi yang besar. Ini adalah mekanisme akuntabilitas yang penting bagi pers.

2. Pendidikan dan Sosialisasi KEJ

Agar KEJ dipahami dan diterapkan secara luas, Dewan Pers dan organisasi jurnalis secara aktif melakukan pendidikan dan sosialisasi. Ini termasuk lokakarya, seminar, penerbitan buku panduan, dan kampanye kesadaran bagi jurnalis, mahasiswa jurnalistik, dan masyarakat umum. Tujuannya adalah untuk menanamkan pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai etika jurnalistik sejak dini.

3. Penyelesaian Sengketa Pers

Dewan Pers juga berperan dalam menyelesaikan sengketa pers di luar jalur hukum. Dengan memberikan rekomendasi dan memfasilitasi hak jawab, Dewan Pers membantu mencegah kasus-kasus pers dari beralih ke ranah pidana, yang dapat mengancam kemerdekaan pers. Ini sejalan dengan prinsip Undang-Undang Pers yang mengutamakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme Dewan Pers.

4. Peran Organisasi Profesi (PWI, AJI, IJTI)

Organisasi-organisasi jurnalis seperti PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), AJI (Aliansi Jurnalis Independen), dan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) adalah mitra penting Dewan Pers dalam menegakkan KEJ. Mereka memiliki kode etik internal, melakukan pelatihan bagi anggotanya, dan memberikan dukungan bagi jurnalis yang menghadapi masalah etika atau hukum. Organisasi-organisasi ini juga berfungsi sebagai suara kolektif jurnalis dalam merumuskan dan memperbarui KEJ.

Dampak Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik

Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik tidak hanya merugikan individu atau organisasi yang diberitakan, tetapi juga memiliki dampak yang jauh lebih luas dan merusak bagi industri pers, masyarakat, dan bahkan demokrasi itu sendiri.

1. Hilangnya Kepercayaan Publik

Ini adalah dampak yang paling fundamental. Ketika jurnalis atau media terbukti melanggar etika, misalnya dengan menyebarkan berita bohong, memihak, atau menerima suap, publik akan kehilangan kepercayaan. Kepercayaan adalah mata uang paling berharga bagi pers. Setelah kepercayaan terkikis, sulit sekali untuk dibangun kembali, dan publik akan mencari sumber informasi lain yang dianggap lebih kredibel, bahkan jika sumber tersebut tidak terverifikasi.

2. Rusaknya Reputasi Media dan Jurnalis

Bagi media massa, reputasi adalah segalanya. Pelanggaran etika dapat mencoreng nama baik media yang telah dibangun bertahun-tahun, berdampak pada penurunan pembaca/penonton, hilangnya pengiklan, dan kesulitan menarik talenta terbaik. Bagi jurnalis individu, pelanggaran etika dapat mengakhiri karir mereka dan membuat mereka dicap tidak profesional.

3. Sanksi Etika dan Hukum

Pelanggaran KEJ dapat berujung pada sanksi etika yang dikeluarkan oleh Dewan Pers atau organisasi jurnalis, seperti teguran, permintaan maaf publik, atau bahkan pencabutan keanggotaan profesi. Dalam kasus yang lebih serius, jika pelanggaran etika juga melanggar hukum, jurnalis atau media dapat menghadapi tuntutan hukum, baik perdata maupun pidana. Meskipun Undang-Undang Pers mengutamakan penyelesaian melalui Dewan Pers, kasus-kasus tertentu tetap dapat berlanjut ke pengadilan.

4. Ancaman terhadap Demokrasi

Jurnalisme yang berintegritas adalah pilar vital demokrasi. Pers yang sehat berfungsi sebagai pengawas kekuasaan, penyedia informasi yang dibutuhkan publik untuk membuat keputusan, dan forum untuk debat yang sehat. Ketika etika jurnalistik diabaikan, pers dapat menjadi alat manipulasi, penyebar kebohongan, atau agen polarisasi. Ini melemahkan fondasi demokrasi dengan merusak kemampuan publik untuk membedakan kebenaran, memicu perpecahan, dan memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan tanpa pengawasan.

Tantangan etika jurnalistik di era globalisasi informasi.

Pentingnya Edukasi Etika Jurnalistik

Menyadari kompleksitas tantangan yang dihadapi, pendidikan dan sosialisasi etika jurnalistik menjadi sangat penting. Ini bukan hanya tanggung jawab lembaga profesi, tetapi juga institusi pendidikan dan masyarakat luas.

1. Bagi Jurnalis (Pelatihan Berkelanjutan)

Etika jurnalistik bukanlah sesuatu yang dipelajari sekali dan kemudian dilupakan. Dunia pers terus berubah, dan jurnalis harus terus-menerus mengikuti perkembangan, memahami implikasi etis dari teknologi baru, dan menyegarkan pemahaman mereka tentang prinsip-prinsip dasar. Pelatihan berkelanjutan, diskusi etika kasus per kasus, dan mentorship adalah kunci untuk mempertahankan standar etika yang tinggi.

2. Bagi Publik (Literasi Media)

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menegakkan etika jurnalistik. Dengan meningkatkan literasi media, publik dapat menjadi konsumen informasi yang lebih cerdas dan kritis. Ini berarti mampu membedakan sumber yang kredibel, mengenali berita palsu, memahami bias dalam pemberitaan, dan menuntut akuntabilitas dari media. Publik yang teredukasi adalah benteng terakhir melawan jurnalisme yang tidak etis.

Masa Depan Kode Etik Jurnalistik

Masa depan Kode Etik Jurnalistik akan terus berevolusi seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan sosial. Ada beberapa area kunci yang akan terus menjadi fokus perhatian:

1. Adaptasi terhadap Teknologi Baru

Jurnalisme akan terus mengadopsi teknologi baru seperti virtual reality (VR), augmented reality (AR), dan teknologi imersif lainnya. Masing-masing teknologi ini membawa dilema etika unik, misalnya bagaimana memastikan privasi di ruang virtual, atau bagaimana menghindari manipulasi emosi melalui pengalaman imersif. KEJ harus cukup fleksibel untuk mengakomodasi perkembangan ini sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip inti.

2. Etika AI dalam Jurnalisme

Kecerdasan Buatan (AI) semakin banyak digunakan dalam jurnalisme, mulai dari penulisan berita otomatis hingga personalisasi konten. Penggunaan AI menimbulkan pertanyaan etis penting: bagaimana memastikan transparansi dalam algoritma AI, menghindari bias yang tertanam dalam data pelatihan AI, dan menjaga peran manusia dalam pengambilan keputusan etika. KEJ perlu membahas penggunaan AI secara bertanggung jawab.

3. Globalisasi Etika Jurnalistik

Dalam dunia yang terhubung secara global, berita seringkali melintasi batas negara. Ini memunculkan pertanyaan tentang standar etika yang berlaku secara universal dan bagaimana menangani perbedaan dalam nilai-nilai budaya dan hukum antar negara. Kerjasama internasional dalam penegakan etika jurnalistik akan menjadi semakin penting untuk mengatasi masalah lintas batas seperti disinformasi global.

Kesimpulan: Kode Etik Jurnalistik sebagai Fondasi Integritas Pers

Kode Etik Jurnalistik adalah lebih dari sekadar seperangkat aturan; ia adalah janji profesional kepada publik. Janji untuk mencari dan menyampaikan kebenaran, untuk bertindak secara adil dan independen, untuk melindungi yang rentan, dan untuk mengabdi pada kepentingan umum. Dalam setiap liputan, setiap wawancara, dan setiap baris tulisan, jurnalis diuji untuk memenuhi janji ini.

Meskipun tantangan yang dihadapi pers di era modern sangat besar, mulai dari tekanan ekonomi hingga tsunami disinformasi, KEJ tetap menjadi mercusuar yang tak tergantikan. Dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip ini, pers dapat mempertahankan kredibilitasnya, menjaga kepercayaan publik, dan terus memainkan peran vitalnya sebagai pilar demokrasi yang kuat dan sehat. KEJ adalah pengingat konstan bahwa kebebasan pers datang dengan tanggung jawab besar, dan bahwa integritas adalah harga mati bagi setiap jurnalis sejati.

Peran aktif dari Dewan Pers, organisasi jurnalis, institusi pendidikan, dan yang paling penting, masyarakat umum, sangat diperlukan untuk memastikan bahwa Kode Etik Jurnalistik tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi juga terwujud dalam setiap praktik jurnalisme. Hanya dengan demikian, pers dapat terus menjadi mata, telinga, dan suara hati nurani bangsa, memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan dan keadilan.