Khawarij: Akar Sejarah, Doktrin, dan Pelajaran Berharga dari Sebuah Perpecahan

Simbol Perpecahan dan Ekstremisme: sebuah gulungan yang terpecah dan tertusuk pedang

Dalam sejarah Islam yang kaya dan kompleks, munculnya berbagai mazhab, kelompok, dan aliran pemikiran adalah sebuah keniscayaan yang mencerminkan dinamika intelektual dan sosial umat. Salah satu kelompok yang paling awal dan paling kontroversial adalah Khawarij (الخوارج), yang secara harfiah berarti "mereka yang keluar" atau "pembangkang." Kemunculan mereka pada abad pertama Islam menandai perpecahan signifikan pertama dalam barisan umat Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, meninggalkan jejak sejarah dan teologis yang mendalam hingga hari ini.

Khawarij bukan sekadar sebuah faksi politik; mereka mengembangkan doktrin teologis yang radikal dan eksklusif, yang membedakan mereka secara fundamental dari mayoritas Muslim, baik Sunni maupun Syiah. Pemahaman mereka yang kaku tentang iman, kekufuran, dan kepemimpinan Islam telah menjadi subjek studi dan peringatan selama berabad-abad, menawarkan pelajaran berharga tentang bahaya ekstremisme, takfir (pengkafiran), dan perpecahan dalam agama. Artikel ini akan menggali secara mendalam tentang Khawarij, meliputi akar sejarah kemunculan mereka, doktrin-doktrin utama yang mereka anut, kelompok-kelompok yang terbentuk di antara mereka, konflik-konflik besar yang melibatkan mereka, dampak teologis dan sosial yang mereka timbulkan, serta relevansi ajaran mereka dalam konteks tantangan ekstremisme di masa kini.

Akar Historis dan Kemunculan Awal Khawarij

Kemunculan Khawarij tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan puncak dari serangkaian peristiwa politik dan sosial yang bergejolak di masa kekhalifahan Utsman bin Affan dan kemudian pada masa Ali bin Abi Thalib. Periode ini, yang dikenal sebagai 'Fitnah Kubra' (Perpecahan Besar), adalah masa-masa penuh ujian bagi umat Islam yang baru saja kehilangan pemimpinnya, Nabi Muhammad ﷺ.

Masa Khalifah Utsman bin Affan

Benih-benih ketidakpuasan mulai tumbuh pada paruh kedua kekhalifahan Utsman bin Affan. Meskipun Utsman adalah seorang sahabat senior yang dihormati dan menantu Nabi, keputusannya dalam beberapa kebijakan pemerintahan, terutama terkait penunjukan kerabatnya dari Bani Umayyah ke posisi-posisi penting, menimbulkan kegelisahan di beberapa provinsi, khususnya di Kufah, Basra, dan Mesir. Tuduhan nepotisme dan favoritisme mulai disuarakan oleh sekelompok oposisi yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad bin Abi Hudzaifah dan Abdurrahman bin Udays.

Kritik ini, meskipun tidak secara langsung membentuk Khawarij, menciptakan iklim ketidakpuasan dan keberanian untuk menentang otoritas pusat. Kelompok-kelompok oposisi ini, yang memiliki beragam motif mulai dari idealisme agama hingga ambisi politik, akhirnya memuncak pada pengepungan dan pembunuhan Utsman bin Affan pada tahun 35 H (656 M). Tragedi ini menjadi titik balik krusial yang mengikis persatuan umat dan membuka pintu bagi konflik-konflik yang lebih besar.

Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Perang Siffin

Setelah pembunuhan Utsman, Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah keempat. Namun, legitimasi kekhalifahannya segera ditentang oleh beberapa pihak. Talhah dan Zubair, dua sahabat senior, bersama Aisyah, istri Nabi, menuntut Ali untuk segera menghukum pembunuh Utsman. Konflik ini meledak menjadi Perang Jamal (Perang Unta) pada tahun 36 H (656 M), yang dimenangkan oleh Ali.

Namun, tantangan yang lebih besar datang dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam (Suriah) dan kerabat Utsman, yang menolak membaiat Ali sebelum keadilan atas kematian Utsman ditegakkan. Mu'awiyah menuntut qisas (hukuman setimpal) atas pembunuh Utsman dan memandang Ali bertanggung jawab karena tidak segera menindak mereka. Konflik antara Ali dan Mu'awiyah memuncak dalam Perang Siffin pada tahun 37 H (657 M).

Insiden Tahkim (Arbitrase)

Perang Siffin adalah pertempuran yang panjang dan berdarah, dengan kerugian besar di kedua belah pihak. Ketika pasukan Ali hampir mencapai kemenangan, pasukan Mu'awiyah, atas saran Amr bin Ash, mengangkat mushaf Al-Qur'an ke ujung tombak mereka, menyerukan untuk menjadikan Al-Qur'an sebagai hakim atas perselisihan mereka.

Ali, yang menyadari bahwa pasukannya sendiri terpecah belah dan banyak yang enggan melanjutkan pertumpahan darah saudara sesama Muslim, terpaksa menerima usulan arbitrase ini, meskipun ia pribadi meragukan ketulusan di baliknya. Dua arbiter kemudian ditunjuk: Abu Musa Al-Asy'ari mewakili Ali, dan Amr bin Ash mewakili Mu'awiyah. Mereka dijadwalkan untuk bertemu di Dumatul Jandal untuk mencapai keputusan.

Munculnya Slogan "La hukma illa lillah" dan Perpecahan

Penerimaan arbitrase oleh Ali inilah yang menjadi titik pecah bagi kelompok yang kemudian dikenal sebagai Khawarij. Sekitar 12.000 pengikut Ali, yang awalnya sangat gigih dalam memerangi Mu'awiyah, tiba-tiba memprotes keputusan Ali. Mereka berpendapat bahwa menerima arbitrase manusia dalam masalah yang telah "dihukumi" oleh Allah adalah bentuk kekafiran (kufr). Bagi mereka, satu-satunya hukum adalah hukum Allah, dan manusia tidak berhak menjadi hakim dalam urusan yang telah jelas menurut Al-Qur'an. Slogan terkenal mereka adalah:

"La hukma illa lillah!" (Tidak ada hukum kecuali hukum Allah!)

Mereka menganggap bahwa dengan menerima arbitrase, Ali telah keluar dari hukum Allah dan oleh karenanya menjadi kafir. Demikian pula, mereka mengkafirkan Mu'awiyah, kedua arbiter (Abu Musa Al-Asy'ari dan Amr bin Ash), serta siapa saja yang menerima dan menyetujui arbitrase tersebut. Mereka kemudian memisahkan diri dari pasukan Ali, berkumpul di suatu tempat bernama Harura, lalu pindah ke Nahrawan. Dari sinilah nama "Khawarij" (mereka yang keluar) berasal, karena mereka keluar dari barisan dan ketaatan kepada Khalifah Ali.

Doktrin dan Ideologi Utama Khawarij

Setelah memisahkan diri, Khawarij tidak hanya menjadi faksi politik, tetapi juga mengembangkan seperangkat doktrin teologis yang menjadi ciri khas mereka. Doktrin-doktrin ini sangat kaku dan ekstrem, membedakan mereka dari kelompok Muslim lainnya.

1. Konsep Takfir (Pengkafiran)

Ini adalah doktrin sentral dan paling berbahaya dari Khawarij. Mereka percaya bahwa seorang Muslim yang melakukan dosa besar (kabirah) secara otomatis keluar dari Islam dan menjadi kafir. Bagi mereka, iman adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, di mana amal adalah bagian integral dari iman. Jika seseorang melakukan dosa besar, maka imannya hilang seluruhnya.

2. Konsep Imamah (Kepemimpinan)

Khawarij memiliki pandangan unik dan revolusioner tentang kepemimpinan (imamah) dalam Islam.

3. Amar Ma'ruf Nahi Munkar (Menyeru Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran)

Prinsip Islam tentang amar ma'ruf nahi munkar diterapkan oleh Khawarij secara ekstrem dan literal.

4. Hijrah dan Jihad

Khawarij juga memiliki pandangan khusus tentang hijrah (migrasi) dan jihad (perjuangan).

5. Eksklusivitas dan Klaim Kebenaran Tunggal

Khawarij meyakini bahwa hanya merekalah satu-satunya golongan yang benar (Firqah An-Najiyah) dan yang akan selamat di akhirat. Semua Muslim lainnya, yang tidak mengikuti doktrin mereka, dianggap sesat atau kafir. Pandangan eksklusif ini menciptakan tembok pemisah yang tebal antara mereka dengan mayoritas umat Islam, dan menjadi salah satu penyebab utama konflik dan kekerasan.


Kelompok-kelompok Khawarij Setelahnya

Meskipun Khawarij muncul sebagai satu kelompok yang bersatu menentang arbitrase, mereka sendiri tidak lama kemudian terpecah belah menjadi berbagai faksi yang bahkan lebih radikal satu sama lain. Perpecahan ini sering kali didasarkan pada perbedaan interpretasi doktrin takfir dan tingkat ekstremisme dalam penerapannya. Beberapa kelompok utama Khawarij meliputi:

1. Al-Azariqa (الازارقة)

Dipimpin oleh Nafi' bin Azraq, kelompok Azariqa adalah faksi Khawarij yang paling ekstrem dan radikal. Mereka muncul di Basra pada masa kekhalifahan Abdullah bin Zubair.

2. An-Najdat (النجدات)

Dipimpin oleh Najdah bin Amir Al-Hanafi, kelompok Najdat muncul di Yamamah. Mereka sedikit lebih moderat daripada Azariqa, namun tetap mempertahankan banyak doktrin inti Khawarij.

3. As-Sufriyyah (الصُّفْرِيَّة)

Dinamai dari Ziyad bin Al-Asfar atau Abdullah bin Asfar, kelompok Sufriyyah menduduki posisi antara Azariqa dan Najdat dalam tingkat ekstremisme. Mereka muncul di Afrika Utara.

4. Al-Ibadhiyyah (الاباضية)

Al-Ibadhiyyah, yang didirikan oleh Abdullah bin Ibadh dan kemudian dipimpin oleh Jabir bin Zaid dan Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karimah, adalah kelompok Khawarij yang paling moderat dan paling lama bertahan. Mereka memiliki perbedaan fundamental dengan Khawarij lainnya dan saat ini merupakan mazhab Islam resmi di Oman, dengan komunitas signifikan di Afrika Utara dan Zanzibar.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun Ibadhiyyah memiliki akar sejarah yang sama dengan Khawarij, mereka telah mengembangkan teologi yang berbeda secara signifikan dari kelompok-kelompok Khawarij ekstrem seperti Azariqa. Mereka seringkali dipandang sebagai mazhab Islam yang terpisah dan moderat dalam konteks kontemporer, yang menolak kekerasan dan takfir yang menjadi ciri khas Khawarij ekstrem. Mereka sendiri tidak suka disebut "Khawarij" dalam konotasi negatif.


Konflik dan Konfrontasi Khawarij

Sejak kemunculan mereka, Khawarij secara konsisten terlibat dalam berbagai konflik bersenjata, baik dengan Khalifah Ali, dinasti Umayyah, maupun bahkan di antara sesama kelompok Khawarij.

1. Perang Nahrawan

Setelah insiden arbitrase, Khawarij mundur ke Nahrawan, sebuah tempat antara Baghdad dan Wasit, dan mulai melakukan tindakan kekerasan. Mereka menyerang dan membunuh Muslim yang tidak sepaham dengan mereka, termasuk utusan Ali yang mencoba bernegosiasi, dan bahkan membunuh Abdurrahman bin Khabbab, seorang sahabat Nabi, beserta istrinya yang sedang hamil.

Ali, setelah gagal bernegosiasi dengan mereka dan menyaksikan kekejaman mereka, merasa terpaksa untuk bertindak. Pada tahun 38 H (658 M), ia memimpin pasukannya melawan Khawarij di Nahrawan. Sebelum pertempuran, Ali memberikan amnesti kepada siapa saja yang mau meninggalkan kelompok Khawarij dan kembali ke barisan umat. Sebagian besar Khawarij menolak, berkeras pada pendirian mereka.

Perang Nahrawan adalah pertempuran yang brutal. Pasukan Ali berhasil mengalahkan Khawarij dengan telak. Mayoritas Khawarij tewas, termasuk sebagian besar pemimpin mereka. Hanya sedikit yang selamat dan berhasil melarikan diri, menyebarkan ideologi Khawarij ke wilayah lain dan menjadi cikal bakal kelompok-kelompok Khawarij berikutnya. Perang ini, meskipun merupakan kemenangan militer bagi Ali, secara politik sangat merugikan dan memperlemah kekhalifahannya.

2. Pembunuhan Ali bin Abi Thalib

Kekalahan telak di Nahrawan tidak memadamkan semangat Khawarij yang tersisa, justru membakar kebencian mereka. Tiga orang Khawarij yang selamat dari Nahrawan—Abdurrahman bin Muljam, Bark bin Abdullah At-Tamimi, dan Amr bin Bakr At-Tamimi—bersumpah untuk membunuh tiga tokoh yang mereka anggap bertanggung jawab atas perpecahan umat: Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah bin Abi Sufyan, dan Amr bin Ash.

Pada pagi hari tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H (661 M), Abdurrahman bin Muljam berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib dengan pedang yang dilumuri racun saat Ali hendak memimpin salat subuh di Kufah. Mu'awiyah dan Amr bin Ash selamat dari upaya pembunuhan tersebut, meskipun Mu'awiyah terluka. Kematian Ali adalah tragedi besar bagi umat Islam dan menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin, membuka jalan bagi kekuasaan Dinasti Umayyah. Pembunuhan ini menjadi bukti ekstremisme Khawarij yang tidak segan menumpahkan darah pemimpin Muslim yang mereka anggap kafir.

3. Konflik dengan Dinasti Umayyah

Setelah wafatnya Ali dan penyerahan kekhalifahan Hasan bin Ali kepada Mu'awiyah, Dinasti Umayyah mulai berkuasa. Khawarij terus menjadi ancaman serius bagi otoritas Umayyah. Mereka melancarkan pemberontakan di berbagai wilayah, terutama di Irak (Kufah dan Basra), Iran, dan Arabia.

Konflik-konflik ini tidak hanya mengakibatkan hilangnya banyak nyawa, tetapi juga menyebabkan ketidakstabilan politik dan sosial yang signifikan di berbagai wilayah kekhalifahan, serta memperdalam perpecahan ideologis dalam umat Islam.


Dampak Teologis dan Sosial Khawarij

Kemunculan Khawarij dan doktrin-doktrin ekstrem mereka tidak hanya memicu konflik fisik, tetapi juga meninggalkan dampak yang mendalam pada perkembangan pemikiran teologis dan struktur sosial umat Islam.

1. Pembentukan Mazhab-Mazhab Teologi Islam

Ancaman ideologis yang diajukan oleh Khawarij memaksa para ulama Muslim untuk merumuskan dan mengklarifikasi posisi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (mayoritas Muslim) mengenai isu-isu fundamental seperti iman, kekafiran, dosa besar, dan kepemimpinan.

2. Perpecahan Sosial dan Politik

Khawarij menciptakan perpecahan yang mendalam dalam masyarakat Islam.

3. Kontribusi pada Pemikiran Hukum Islam

Meskipun radikal, keberadaan Khawarij secara tidak langsung mendorong perkembangan pemikiran hukum Islam. Para fuqaha (ahli fikih) terpaksa untuk lebih cermat dalam merumuskan definisi dan batasan hukum, khususnya terkait dengan status pelaku dosa, hukuman, dan interaksi dengan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan. Mereka juga memicu pembahasan tentang kriteria kepemimpinan dan bagaimana umat harus berinteraksi dengan penguasa.


Relevansi Kontemporer Khawarij dan Pelajaran Berharga

Meskipun Khawarij sebagai sebuah kelompok politik yang dominan telah lenyap dari sejarah, pemikiran dan metodologi mereka tetap menjadi fenomena yang berulang dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah Islam hingga era modern. Memahami Khawarij bukan hanya tentang menengok masa lalu, tetapi juga tentang menarik pelajaran berharga untuk menghadapi tantangan ekstremisme di masa kini.

1. Pola Ekstremisme yang Berulang

Karakteristik inti Khawarij—takfir, pengkafiran terhadap Muslim yang tidak sepaham; militansi, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan; dan eksklusivitas, klaim kebenaran tunggal—dapat ditemukan dalam berbagai kelompok ekstremis yang muncul di berbagai zaman, termasuk di era kontemporer.

2. Pentingnya Moderasi dan Toleransi

Sejarah Khawarij mengajarkan pentingnya moderasi (wasatiyyah) dan toleransi dalam beragama. Islam menekankan jalan tengah, keseimbangan, dan menghindari ekstremisme dalam segala hal.

3. Peran Ulama dan Pendidikan Agama

Krisis Khawarij juga menyoroti peran krusial ulama dan pendidikan agama yang benar dalam membimbing umat.

4. Menghargai Otoritas dan Institusi

Pemberontakan Khawarij terhadap Khalifah Ali yang sah mengajarkan pentingnya menghargai otoritas yang sah dan institusi pemerintahan, demi menjaga stabilitas dan ketertiban sosial. Meskipun ada kewajiban untuk menasehati dan mengkritik pemimpin dengan cara yang baik, memberontak secara bersenjata seringkali membawa pada kerusakan yang lebih besar daripada kebaikan yang diharapkan.

5. Membangun Masyarakat yang Inklusif

Pelaksanaan doktrin Khawarij yang eksklusif dan segregatif mengarah pada kekerasan dan perpecahan. Pelajaran yang dapat diambil adalah pentingnya membangun masyarakat yang inklusif, di mana perbedaan dihargai, dialog didorong, dan kekerasan ditolak sebagai cara untuk menyelesaikan perselisihan.


Kesimpulan

Khawarij adalah salah satu fenomena paling awal dan paling kompleks dalam sejarah Islam. Kemunculan mereka sebagai respons terhadap krisis politik di masa awal kekhalifahan Islam, terutama insiden arbitrase Siffin, menciptakan perpecahan yang mendalam dan melahirkan doktrin teologis yang radikal. Pemahaman mereka yang kaku tentang iman dan kekafiran (takfir), kewajiban memberontak terhadap pemimpin yang dianggap zalim, serta interpretasi ekstrem terhadap amar ma'ruf nahi munkar, telah memicu konflik berdarah yang menewaskan banyak Muslim, termasuk Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Meskipun telah lenyap sebagai kekuatan politik, pemikiran Khawarij terus bergaung dalam sejarah dan relevan hingga hari ini. Pola ekstremisme, takfir, dan kekerasan yang mereka tunjukkan merupakan peringatan abadi bagi umat Muslim di sepanjang zaman. Pelajaran berharga yang dapat dipetik adalah pentingnya menjaga moderasi dalam beragama, menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan persatuan, menolak segala bentuk ekstremisme dan pengkafiran yang tidak berdasar, serta membentengi diri dengan pemahaman agama yang komprehensif dan seimbang.

Dengan memahami sejarah Khawarij dan akar-akar ideologis mereka, umat Islam dapat lebih waspada terhadap bahaya serupa di masa kini, serta bekerja sama untuk membangun masyarakat yang damai, adil, dan harmonis berdasarkan ajaran Islam yang autentik dan moderat.