Secara etimologis, kakofonofili berasal dari bahasa Yunani:
Selama berabad-abad, peradaban manusia cenderung mengasosiasikan keindahan akustik dengan harmoni, ritme, dan melodi. Keheningan dianggap sebagai kemurnian, sementara kebisingan adalah gangguan, penanda kekacauan, atau bahkan penyakit sosial. Tetapi, Kakofonofili menantang dikotomi ini. Ia berpendapat bahwa lanskap suara kota yang ramai, bunyi mesin yang berdentum, atau distorsi musik yang agresif, memiliki nilai estetika, filosofis, dan bahkan psikologis yang sama pentingnya dengan sebuah simfoni yang terstruktur rapi atau bisikan alam yang sunyi.
Ketakutan terhadap keheningan, atau
Penting untuk membedakan antara
Apresiasi terhadap disonansi bukanlah fenomena modern, tetapi baru pada awal abad ke-20 kebisingan diangkat dari latar belakang menjadi subjek utama seni dan filosofi.
Titik balik paling penting dalam sejarah kakofonofili adalah gerakan Futurisme Italia yang muncul sebelum Perang Dunia I. Seniman dan komposer Futurisme, seperti Luigi Russolo, secara eksplisit menyatakan perang terhadap tradisi musik klasik yang "terlalu murni" dan "kuno".
"Kehidupan kuno adalah keheningan. Di abad kesembilan belas, dengan penemuan mesin, Kebisingan lahir. Hari ini, Kebisingan berkuasa dan mendominasi indra manusia." — Luigi Russolo,L'Arte dei Rumori (Seni Kebisingan, 1913).
Russolo berargumen bahwa telinga modern telah menjadi terbiasa dengan suara mesin, kereta api, pabrik, dan pertempuran kota. Oleh karena itu, musik tradisional tidak lagi memuaskan. Ia menyerukan integrasi "Enam Keluarga Kebisingan" ke dalam orkestra masa depan, termasuk suara-suara seperti
Setelah kengerian Perang Dunia I, gerakan Dada di Zurich dan kemudian Surrealisme menggunakan kebisingan dan ketidaklogisan sebagai alat untuk memprotes rasionalitas yang gagal membawa perdamaian. Dadais merangkul suara-suara acak, kolase audio, dan performa yang disengaja mengganggu. Dalam konteks ini, kakofoni berfungsi sebagai bahasa pemberontakan, menolak struktur yang mapan dan merayakan kegilaan yang ditemukan dalam kehidupan modern.
Pada pertengahan abad ke-20, komposer Amerika John Cage membawa eksplorasi kebisingan ke tingkat filosofis yang baru. Karya terkenalnya,
Kakofonofili bukan hanya masalah pilihan estetika; ia berakar dalam cara otak memproses informasi sensorik. Bagi sebagian individu, kebisingan yang teratur atau terstruktur kompleks dapat memberikan stimulasi yang diperlukan, bahkan menghasilkan rasa nyaman atau fokus.
Otak manusia terus mencari pola dan stimulasi. Dalam lingkungan yang terlalu tenang atau monoton, beberapa individu—terutama mereka dengan kecenderungan neurodivergen seperti ADHD atau spektrum autisme—mungkin merasa kurang terstimulasi. Kebisingan yang intens atau kompleks (kakofoni) mengisi kekosongan ini dengan data sensorik yang padat. Kebisingan yang konstan, seperti suara kota, menyediakan lapisan latar belakang yang menstabilkan, mencegah pikiran dari penyimpangan internal yang mengganggu.
Aspek penting dari kakofonofili adalah bagaimana pengalaman masa lalu membentuk penerimaan kita terhadap suara. Seringkali, kebisingan yang dicintai adalah kebisingan yang diasosiasikan dengan vitalitas, keamanan, atau pekerjaan yang produktif. Misalnya:
Seseorang yang dibesarkan di sebelah jalur kereta api mungkin menemukan bunyi gerbong yang menderu dan rel yang berderak sebagai penanda normalitas dan keamanan, suara yang berlawanan dengan ancaman sunyi. Bagi mereka, suara-suara ini adalah sinyal kehidupan, bukan gangguan. Ketika mereka menghadapi keheningan pedesaan, dapat terjadi perasaan aneh dan terasing, seolah-olah dunia telah berhenti berfungsi. Kenyamanan psikologis yang ditemukan dalam kebisingan ini menjelaskan mengapa banyak penduduk kota mengalami kesulitan tidur tanpa kehadiran samar-samar lalu lintas di kejauhan.
Secara kognitif, otak sering menghargai kompleksitas. Ketika mendengarkan musik harmonis, otak mungkin dengan cepat mengenali pola dan menjadi bosan. Namun, kakofoni, dengan lapisannya yang tebal, tekstur yang berubah, dan kurangnya resolusi yang jelas, memaksa otak untuk terus memproses, mencari struktur dalam kekacauan. Proses ini dapat memicu sensasi yang menyenangkan secara intelektual, mirip dengan memecahkan teka-teki yang sangat sulit atau memahami karya seni abstrak.
Jika Russolo membuka pintu, abad ke-20 dan ke-21 mengisinya dengan berbagai genre yang secara eksplisit merangkul disonansi dan kebisingan sebagai tujuan artistik utama, bukan hanya sebagai efek samping.
Salah satu manifestasi paling murni dari kakofonofili adalah genre
Pengalaman mendengarkan Noise Music adalah pengalaman yang menuntut dan imersif. Ini bukan musik latar. Ia menuntut perhatian penuh dan sering kali memicu respons fisik (getaran dada, pusing ringan). Bagi penganut kakofonofili, intensitas ini adalah katarsis. Suara tersebut bertindak sebagai pembersihan auditori, membersihkan pendengar dari harapan harmonis yang lunak dan menempatkan mereka langsung dalam realitas sonik yang keras dan tanpa kompromi.
Di luar musik, seniman suara seringkali menggunakan kebisingan lingkungan atau disonansi yang dibuat-buat untuk mempertanyakan batas-batas ruang dan pendengaran. Instalasi suara di galeri seni atau ruang publik seringkali menempatkan pendengar dalam lanskap sonik yang tidak nyaman—misalnya, menumpuk rekaman suara percakapan yang tak jelas, sirene, dan derau statis. Tujuan instalasi ini bukanlah untuk memberikan pengalaman harmonis, melainkan untuk meningkatkan kesadaran pendengar terhadap realitas auditori yang mereka abaikan setiap hari.
Dengan menempatkan kebisingan sehari-hari dalam konteks formal galeri, seniman memaksa audiens untuk mengakui nilai intrinsik dari suara-suara yang biasanya mereka saring (filter) atau abaikan dalam upaya mencari ketenangan.
Tidak ada tempat di mana kakofonofili bermanifestasi lebih jelas selain di pusat kota-kota besar yang padat penduduk. Kota-kota seperti Jakarta, Mumbai, New York, atau Beijing adalah orkestra kakofonik yang tak pernah berhenti, dan bagi jutaan penduduknya, suara-suara ini adalah irama vitalitas mereka.
Lanskap suara kota adalah kolase akustik yang ekstrem. Ia terdiri dari klakson yang tak sabar, pengumuman publik yang samar, deru knalpot yang dimodifikasi, musik yang bocor dari toko-toko, tangisan pedagang kaki lima, dan hiruk pikuk percakapan yang bertumpuk. Bagi pendengar non-kakofonofil, ini adalah sumber stres dan polusi suara. Bagi kakofonofil urban, ini adalah lanskap yang kaya, dinamis, dan berfungsi sebagai latar belakang yang meyakinkan.
Urbanis dan ahli akustik R. Murray Schafer memperkenalkan konsep
Bagi kakofonofil, kota adalah ekosistem di mana setiap suara—betapapun mengganggu bagi yang lain—adalah penanda aktivitas dan peluang. Keheningan di pusat kota, sebaliknya, dapat terasa seperti bencana, penanda blokade, atau krisis. Kota mengajarkan kakofonofili bahwa makna keindahan tidak terletak pada kemurnian, tetapi pada keragaman dan energi yang dihasilkan dari interaksi tak terduga.
Selama beberapa dekade, desain perkotaan berusaha meniadakan kebisingan. Namun, pendekatan yang lebih baru menyarankan pengakuan terhadap kakofoni. Desain yang jujur secara akustik tidak berusaha meredam setiap suara, tetapi mengelola ruang agar suara yang kompleks dapat terdistribusi dengan cara yang menarik. Contohnya adalah pasar terbuka, yang memiliki akustik gema yang berisik, tetapi justru membuat tempat tersebut terasa hidup dan kaya akan interaksi sosial, sebuah pengalaman yang dicari oleh para kakofonofil.
Secara filosofis, kakofonofili dapat dilihat sebagai penolakan terhadap pemikiran dualistik yang mendominasi estetika Barat—yaitu, penolakan bahwa ada pemisahan jelas antara 'baik' dan 'buruk', 'indah' dan 'jelek'. Kebisingan adalah zona abu-abu, sebuah wilayah ketidakpastian yang menantang upaya kategorisasi.
Filsuf Gilles Deleuze dan Félix Guattari menggunakan konsep 'deterritorialization' (deterritorialisasi) untuk menjelaskan proses di mana sesuatu dilepaskan dari konteks atau struktur yang mapan. Kebisingan dapat dianggap sebagai kekuatan deterritorialisasi utama. Musik harmonis adalah teritorial; ia beroperasi dalam batas-batas skala, kunci, dan waktu yang diprediksi.
Kakofoni, sebaliknya, melarikan diri dari teritorialitas ini. Ia tidak terikat pada skala, tidak memiliki resolusi yang wajib, dan tidak mematuhi harapan. Mencintai kakofoni berarti mencintai pelepasan, menyukai potensi tak terbatas yang diciptakan ketika struktur lama hancur. Dalam kebisingan, ada kebebasan yang tidak ditemukan dalam urutan yang ketat.
Kebisingan seringkali dianggap lebih 'nyata' atau 'otentik' daripada musik yang diolah dengan cermat. Suara mesin yang berderak atau jeritan industri adalah produk sampingan yang jujur dari materialitas fisik. Mereka tidak berusaha menjadi sesuatu yang mereka tidak. Musik komersial berusaha untuk menyenangkan; kakofoni hanya ada. Bagi kakofonofil, ini adalah bentuk integritas auditori.
Dalam kebisingan, kita menghadapi entropi—kecenderungan alam semesta menuju kekacauan. Kakofoni adalah pengakuan dan penerimaan bahwa dunia pada dasarnya berantakan dan tidak teratur. Apresiasi terhadap kekacauan ini dapat menjadi latihan filosofis dalam menerima realitas daripada memaksakan kehendak struktural kita padanya.
Cinta terhadap kakofoni adalah pengakuan bahwa keindahan sejati tidak harus berbentuk simetris atau terstruktur. Keindahan bisa ditemukan dalam benturan energi, dalam interaksi antara sumber-sumber yang tidak dimaksudkan untuk bertemu. Ini adalah keindahan keberanian akustik.
Di era digital, kakofonofili mengambil bentuk baru. Dunia kita dipenuhi bukan hanya oleh kebisingan fisik (pabrik, lalu lintas) tetapi juga oleh kebisingan informasi dan kebisingan digital (statik,
Penggunaan
Lebih jauh,
Subkultur digital tertentu menghargai
Apresiasi ini adalah penolakan terhadap 'kesempurnaan' yang dijanjikan oleh teknologi. Glitch adalah tanda bahwa mesin pun memiliki kerentanan, dan bahwa di dalam kegagalan tersebut terdapat potensi artistik yang tak terduga.
Meskipun kakofonofili adalah apresiasi, penting untuk diakui bahwa ada garis tipis antara kebisingan yang dihargai dan polusi suara yang merusak. Tidak semua kebisingan diciptakan setara. Kebisingan yang dicintai biasanya memiliki karakteristik tertentu:
Paradoks besar masyarakat maju adalah upaya kolektif untuk menciptakan keheningan. Dengan munculnya teknologi peredam bising, ruang kerja yang steril, dan lingkungan perumahan yang diisolasi, kita secara aktif menghilangkan keragaman akustik alamiah. Bagi kakofonofil, lingkungan yang terlalu disaring dan tenang dapat terasa artifisial, mati, dan bahkan mengisolasi.
Pencarian keheningan yang obsesif dapat menghilangkan stimulasi yang sehat. Kakofonofili menjadi respons budaya terhadap sanitasi akustik, sebuah penegasan bahwa manusia adalah makhluk yang berevolusi dalam lingkungan yang bising (alam liar, kemudian api, kemudian kota).
Bagi sebagian orang, pengalaman mendengarkan kebisingan ekstrem dapat menjadi ritual pembersihan emosional. Volume keras dan intensitas disonan memaksa pelepasan energi atau emosi yang terpendam. Mirip dengan bagaimana orang menggunakan musik keras dalam genre punk atau metal untuk menyalurkan kemarahan atau frustrasi, kakofoni menyediakan saluran non-verbal yang murni. Setelah gelombang kebisingan berlalu, seringkali muncul rasa tenang yang mendalam, sebuah ketenangan yang hanya dapat dicapai melalui penenggelaman total dalam kekacauan.
Di banyak budaya, kebisingan tidak hanya ditoleransi, tetapi merupakan bagian penting dari ritual dan perayaan komunal. Bunyi gong yang gemuruh, genderang yang memekakkan telinga, terompet yang disonan—semua ini diciptakan untuk menghasilkan pengalaman akustik yang melampaui musik dan masuk ke wilayah yang mendalam dan intens. Kebisingan ritual berfungsi untuk menyatukan komunitas, menarik perhatian dewa, atau menandai transisi penting. Ini adalah kakofoni yang disakralkan.
Dalam konteks ini, kebisingan adalah simbol kekuatan, kekayaan, dan vitalitas spiritual. Penolakan terhadap kebisingan di lingkungan Barat modern mungkin mencerminkan pergeseran dari nilai komunal yang bising ke nilai individual yang sunyi.
Seiring kita bergerak maju dalam desain perkotaan dan teknologi audio, kesadaran terhadap kakofonofili menawarkan jalan baru: daripada hanya berfokus pada peredaman, kita harus fokus pada pengayaan lanskap suara. Ini berarti:
Kakofonofili bukanlah kelainan, melainkan sebuah spektrum pendengaran yang mendalam. Ia adalah sebuah undangan untuk mempertanyakan: Apakah kita mencintai musik karena strukturnya, atau karena ketidakteraturan yang nyaris tersembunyi di dalamnya? Apakah kita mencintai keheningan karena kedamaiannya, atau karena ketakutan kita akan kekacauan yang akan muncul jika kita tidak mengendalikannya?
Kakofonofili adalah pengakuan bahwa pengalaman sensorik manusia adalah subyektif dan beragam. Cinta terhadap kebisingan—baik itu gema mesin pabrik, lapisan padat dari musik noise eksperimental, atau hiruk pikuk kota yang abadi—adalah sebuah filosofi yang merangkul realitas sonik secara jujur dan tanpa filter.
Alih-alih memimpikan utopia keheningan yang mustahil, kakofonofil merayakan lanskap suara yang ada, di mana disonansi dan keragaman adalah sumber informasi, energi, dan keindahan artistik yang tak habis-habisnya. Dalam setiap benturan, setiap desisan, dan setiap raungan yang tak beraturan, terdapat sebuah simfoni yang menunggu untuk didengarkan oleh telinga yang terbuka.
Kebisingan adalah denyut nadi kehidupan, dan bagi mereka yang mendengarkan dengan penuh gairah, itu adalah musik kita yang paling mendasar.