Drama, sebagai salah satu bentuk seni naratif tertua dan paling berpengaruh, tidak pernah terlepas dari serangkaian prinsip atau kaidah yang mengatur konstruksi, pementasan, dan penerimaannya. Kaidah drama bukan sekadar aturan kaku yang membatasi kreativitas, melainkan fondasi struktural yang memungkinkan sebuah kisah mampu menciptakan dampak emosional dan intelektual yang mendalam. Eksplorasi mendalam terhadap kaidah-kaidah ini mengungkap inti sari seni teater, mulai dari warisan Yunani Kuno hingga inovasi avant-garde masa kini. Kaidah ini mencakup bagaimana lakon harus dibangun, bagaimana karakter harus berinteraksi, dan bagaimana waktu serta ruang harus dimanipulasi untuk mencapai tujuan artistik tertentu.
Kaidah drama yang paling mendasar dan berpengaruh berasal dari karya Aristoteles, Poetika. Meskipun Aristoteles utamanya menganalisis drama Yunani, terutama tragedi, prinsip-prinsipnya menjadi cetak biru abadi yang mendominasi teater Barat selama lebih dari dua milenium. Prinsip-prinsip ini berpusat pada penciptaan karya yang kohesif, kuat, dan berdampak melalui konsep yang dikenal sebagai Tiga Kesatuan (The Three Unities).
Ini adalah kaidah yang paling vital menurut Aristoteles. Kesatuan aksi menuntut bahwa sebuah drama hanya boleh fokus pada satu alur cerita utama yang lengkap dan utuh. Tidak boleh ada subplot atau adegan yang tidak relevan yang mengalihkan perhatian dari tujuan sentral pahlawan atau konflik utama. Setiap elemen—setiap dialog, setiap adegan—harus berfungsi untuk memajukan aksi utama menuju resolusi yang tak terhindarkan.
Kaidah ini menjamin bahwa drama memiliki integritas struktural yang tinggi. Jika sebuah peristiwa dapat dihilangkan tanpa mengganggu alur sebab-akibat, maka peristiwa tersebut dianggap cacat dan harus dibuang. Fokus yang ketat ini menghasilkan efisiensi naratif dan intensitas dramatis yang maksimal. Dalam tragedi, ini berarti jalur nasib pahlawan harus lurus dan tak terhindarkan, dari kesalahan awal (hamartia) hingga bencana (katastrofe).
Kesatuan aksi menuntut lebih dari sekadar menghindari subplot; ia menuntut rangkaian sebab-akibat yang ketat, sering disebut sebagai rangkaian logis dramatis. Komplikasi (rising action) harus muncul secara alami dari eksposisi, dan setiap langkah komplikasi harus mempersiapkan penonton untuk klimaks. Prinsip ini memastikan bahwa penonton tidak merasa bahwa plot diatur secara kebetulan atau intervensi dewa (deus ex machina), tetapi sebaliknya, merupakan konsekuensi logis dari tindakan dan karakter manusia. Penolakan terhadap kaidah ini pada era modern, seperti dalam drama Brechtian, justru menyoroti betapa kuatnya kaidah aksi ini telah membentuk ekspektasi penonton terhadap narasi yang padu.
Kaidah ini menyatakan bahwa seluruh aksi drama idealnya harus berlangsung dalam periode waktu yang relatif singkat, biasanya tidak lebih dari 24 jam. Tujuannya adalah untuk menciptakan ilusi realitas yang lebih kuat. Perubahan waktu yang drastis atau lompatan kronologis yang besar dapat mengganggu rasa tenggelam (immersion) penonton dalam kisah yang sedang berlangsung. Meskipun Aristoteles tidak secara eksplisit menetapkan batas 24 jam, para Neoklasik pada era Renaisans menafsirkannya dengan sangat ketat.
Ketika aksi panggung mencerminkan waktu nyata, penonton lebih mudah menerima bahwa apa yang mereka saksikan sedang terjadi "sekarang." Kesatuan waktu membatasi lingkup kisah, memaksa penulis untuk fokus pada krisis yang akut dan mendesak. Pembatasan ini ironisnya justru dapat memicu kreativitas, memaksa penulis untuk menyampaikan latar belakang (eksposisi) melalui dialog dan konflik saat ini, bukan melalui adegan kilas balik yang panjang.
Kaidah kesatuan tempat menyatakan bahwa seluruh aksi drama harus terjadi dalam satu lokasi geografis tunggal, atau setidaknya, dalam serangkaian lokasi yang sangat berdekatan dan dapat dicapai dalam waktu singkat. Sama seperti kesatuan waktu, tujuannya adalah memelihara koherensi dan ilusi realitas. Jika drama berpindah-pindah dari kota ke kota atau dari satu benua ke benua lain, ini akan merusak ilusi kontinuitas yang diupayakan oleh Kesatuan Aksi dan Waktu.
Di panggung Yunani Kuno, kaidah ini mudah dipatuhi karena panggung sering kali mewakili alun-alun kota atau pintu masuk istana, lokasi yang secara logis dapat mengakomodasi semua interaksi karakter utama. Pelanggaran kesatuan tempat dalam drama modern, yang sering memanfaatkan sinematografi dan perubahan adegan cepat, menunjukkan pergeseran fokus dari ilusi realitas Aristotelian menuju eksplorasi tematik yang lebih bebas.
Di luar Tiga Kesatuan, Aristoteles juga menguraikan kaidah-kaidah intrinsik yang harus dipenuhi oleh lakon itu sendiri. Ini adalah fondasi dari seni penceritaan dramatis.
Aristoteles mengklaim bahwa plot (rangkaian peristiwa) adalah 'jiwa' drama. Plot harus mengikuti struktur yang ketat untuk mencapai efek yang diinginkan. Kaidah plot menuntut adanya awal, tengah, dan akhir yang jelas, yang masing-masing memiliki fungsi spesifik:
Kaidah sentral dalam tragedi adalah pencapaian katarsis. Katarsis didefinisikan sebagai pemurnian atau pelepasan emosi, khususnya rasa kasihan (pity) dan ketakutan (fear), pada penonton. Penulis drama, menurut kaidah ini, harus menyajikan penderitaan karakter sedemikian rupa sehingga penonton, dengan menyaksikan nasib pahlawan yang lebih mulia dari mereka, dapat membersihkan emosi mereka sendiri.
Kaidah katarsis berfungsi sebagai tujuan etis dan emosional dari seni dramatis. Drama yang gagal memicu rasa kasihan terhadap pahlawan yang menderita atau rasa takut bahwa bencana yang sama bisa menimpa diri kita sendiri, dianggap gagal mencapai fungsi tertingginya. Implementasi kaidah ini menuntut karakter yang memiliki campuran sifat baik dan buruk, sehingga kejatuhannya terasa layak dikasihani, bukan sekadar menjijikkan.
Karakter (ethos) adalah kekuatan pendorong di balik aksi. Kaidah-kaidah berikut harus dipatuhi untuk memastikan karakter berfungsi secara efektif dalam struktur plot:
Karakter harus konsisten sepanjang drama. Tindakan, perkataan, dan motif mereka pada akhir drama harus dapat dilacak secara logis kembali ke tindakan dan perkataan mereka di awal. Jika seorang karakter yang digambarkan sebagai pengecut tiba-tiba menjadi pahlawan tanpa ada pengembangan atau justifikasi yang meyakinkan, kaidah konsistensi telah dilanggar. Kaidah ini memastikan bahwa karakter terasa organik dan dapat dipercaya, bahkan dalam situasi yang paling fantastis.
Karakter, terutama pahlawan tragis, harus lebih baik dari rata-rata (memiliki kebajikan yang tinggi), tetapi tidak sempurna. Kejatuhan mereka tidak boleh disebabkan oleh kejahatan total, melainkan oleh hamartia (kesalahan fatal atau cacat karakter). Kaidah hamartia adalah penting; itu memungkinkan penonton merasakan kasihan, karena pahlawan adalah orang baik yang membuat kesalahan yang menghancurkan, bukan penjahat yang menerima hukuman yang pantas. Kesalahan ini haruslah bagian integral dari karakternya, bukan sekadar kecelakaan luar.
Dalam kaidah karakter modern, motivasi menjadi sama pentingnya dengan aksi itu sendiri. Setiap tindakan dramatis harus memiliki dasar psikologis yang jelas dan dapat dipahami. Kaidah motivasi menuntut bahwa penulis harus memahami latar belakang internal karakter mereka—apa yang mereka inginkan (tujuan), apa yang menghalangi mereka (hambatan), dan mengapa mereka bertindak seperti yang mereka lakukan (dorongan psikologis).
Kegagalan dalam mematuhi kaidah ini sering menghasilkan karakter yang hanya berfungsi sebagai alat plot, bukan manusia sejati. Di era realisme psikologis, kaidah ini diperkuat oleh teori Stanislavski, yang menuntut bahwa aktor harus memahami tujuan bawah sadar (subtext) karakter untuk mewujudkan kebenaran dramatis di atas panggung.
Dialog adalah cara utama untuk menyampaikan informasi, mengembangkan karakter, dan memajukan plot di atas panggung. Kaidah dialog jauh melampaui sekadar percakapan; ia harus berfungsi dalam berbagai dimensi secara simultan.
Setiap baris dialog harus memenuhi setidaknya dua dari tiga fungsi berikut:
Kaidah fungsi ganda ini mencegah dialog menjadi membosankan atau redundant. Penulis yang kuat menghindari dialog yang hanya melaporkan informasi yang sudah diketahui penonton atau dialog yang hanya berfungsi sebagai deskripsi puitis tanpa aksi.
Khususnya dalam teater realis, kaidah subteks menjadi fundamental. Subteks adalah apa yang sebenarnya dirasakan atau dipikirkan karakter, tersembunyi di balik kata-kata yang diucapkan. Dialog yang efektif sering kali tidak langsung; karakter jarang mengatakan persis apa yang mereka maksudkan karena takut, malu, atau manipulasi.
Kaidah subteks menuntut bahwa penulis harus menyusun dialog sehingga apa yang diucapkan bertentangan atau menyembunyikan kebenaran internal karakter. Ini menciptakan ketegangan dramatis yang kaya, memaksa penonton untuk membaca di antara baris-baris. Pelanggaran kaidah ini menghasilkan drama yang terasa datar, di mana setiap emosi diungkapkan secara eksplisit, menghilangkan misteri manusia.
Dalam drama verse (seperti Shakespeare), kaidah ritme (meter) sangat penting, seringkali menggunakan pentameter iambik untuk memberikan irama dan nuansa musikal pada bahasa. Bahkan dalam drama prosa modern, kaidah ritme tetap berlaku; dialog harus memiliki tempo dan dinamika yang bervariasi. Jeda (pauses), interupsi, dan kecepatan bicara yang berbeda harus digunakan untuk mencerminkan intensitas emosional. Penulis drama harus bertindak sebagai komposer, memastikan dialog beresonansi secara auditori, bukan hanya secara naratif.
Kaidah umum drama dipersulit oleh kaidah spesifik genre. Ekspektasi kaidah untuk tragedi sangat berbeda dari komedi, dan keduanya berbeda dari melodrama atau teater absurd.
Selain katarsis, tragedi harus mematuhi kaidah kehormatan dan kehancuran. Pahlawan harus menghadapi takdir dengan martabat, bahkan saat ia menyadari kesalahannya. Tragedi modern, meskipun sering mengabaikan status sosial tinggi pahlawan, tetap mempertahankan kaidah bahwa kehancuran haruslah total dan mutlak, menyoroti kegagalan fundamental kondisi manusia.
Kaidah utama komedi adalah resolusi yang bahagia dan penggunaan humor untuk mengoreksi kelemahan sosial atau individu. Berbeda dengan tragedi, di mana kaidah berfokus pada ketakutan, komedi berfokus pada ironi dan disproporsi. Kaidah ironi menuntut situasi di mana apa yang diharapkan bertentangan dengan apa yang sebenarnya terjadi, atau di mana karakter tidak menyadari implikasi sebenarnya dari tindakan mereka, yang lucu bagi penonton.
Kaidah Blocking Sosial: Komedi sering kali menggunakan kaidah blocking sosial, yaitu tokoh-tokoh yang mewakili tipe sosial yang kaku (misalnya, si pelit, si sombong). Kaidah genre ini memungkinkan penonton untuk tertawa pada absurditas masyarakat tanpa harus merasakan ancaman pribadi yang serius.
Melodrama beroperasi di bawah kaidah polarisasi moral yang ketat. Kaidah ini menuntut pemisahan yang jelas antara kebaikan absolut (pahlawan) dan kejahatan absolut (penjahat). Tidak ada ambiguitas moral. Kaidah melodrama juga menuntut resolusi yang sangat didorong oleh emosi, seringkali mengorbankan realisme psikologis, menggunakan musik (melo-) untuk meningkatkan dampak emosional yang ekstrem pada setiap pergantian plot.
Sejarah teater adalah sejarah negosiasi ulang dan pelanggaran kaidah. Setiap gerakan teater baru muncul sebagai respons langsung terhadap kaidah-kaidah yang dominan sebelumnya.
Pada abad ke-17 dan ke-18, Neoklasikisme memberlakukan kembali Tiga Kesatuan secara ketat. Namun, gerakan Romantisisme, terutama dipimpin oleh tokoh seperti Victor Hugo, secara eksplisit menolak kaidah kesatuan waktu dan tempat. Kaidah Romantisisme mengutamakan kebebasan subjek, eksplorasi emosi yang ekstrem, dan pencampuran genre (tragedi dan komedi). Mereka berpendapat bahwa alam tidak teratur, dan oleh karena itu, seni (drama) tidak boleh dibatasi oleh keteraturan buatan.
Pada akhir abad ke-19, kaidah realisme dan naturalisme muncul, dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan psikologi. Kaidah ini menuntut representasi kehidupan yang akurat, dengan fokus pada lingkungan sosial sebagai penentu nasib karakter. Dalam konteks ini:
Bertolt Brecht secara radikal menolak kaidah katarsis dan ilusi. Kaidah Brechtian berpusat pada efek distansiasi (Verfremdungseffekt). Tujuannya adalah mencegah penonton tenggelam dalam emosi dan sebaliknya, memaksa mereka untuk berpikir kritis tentang masalah sosial yang disajikan.
Pelanggaran Kaidah yang Dilakukan Brecht meliputi:
Kaidah Brechtian ini mengubah fungsi drama dari sekadar hiburan atau pemurnian emosi menjadi alat agitasi politik dan edukasi sosial.
Teater absurd, muncul pasca Perang Dunia II, melanggar hampir semua kaidah tradisional. Kaidah absurditas mencerminkan pandangan bahwa hidup tidak memiliki makna yang kohesif atau logis. Akibatnya:
Meskipun melanggar kaidah struktural, Teater Absurd menciptakan kaidah estetiknya sendiri: kaidah pengulangan dan kaidah keheningan yang bermakna.
Kaidah drama juga mencakup tanggung jawab moral dan sosial penulis, terutama mengenai representasi dan dampak karya pada masyarakat.
Verisimilitude, atau kepercayaan, adalah kaidah bahwa drama harus tampak benar atau mungkin, bahkan jika itu fiksi. Ini bukan tentang fakta, tetapi tentang konsistensi internal. Jika sebuah drama berlatar di dunia fantasi, kaidah internal dunia tersebut harus tetap dipertahankan. Pelanggaran kaidah kepercayaan (seperti penyelesaian yang terlalu mudah atau kebetulan yang tidak masuk akal) akan merusak kredibilitas dan dampak emosional drama.
Kaidah kepatutan (yang sangat kuat pada era Neoklasik) menyatakan bahwa bahasa, tindakan, dan perilaku karakter harus sesuai dengan status sosial, usia, dan jenis kelamin mereka. Raja tidak boleh berbicara seperti orang rendahan, dan tragedi tidak boleh dicampur dengan elemen komedi. Meskipun kaidah ini telah dilonggar secara signifikan di teater modern, prinsip dasarnya—bahwa gaya harus sesuai dengan subjek—tetap relevan. Misalnya, drama yang membahas isu serius dengan gaya yang terlalu santai akan melanggar kaidah kepatutan modern.
Dalam konteks kontemporer, kaidah representasi menuntut bahwa drama harus merefleksikan keragaman pengalaman manusia secara adil dan akurat. Pelanggaran kaidah ini meliputi penggunaan stereotip yang merugikan atau penghapusan kelompok tertentu dari narasi historis. Kaidah representasi modern juga menuntut agar panggung menjadi ruang untuk suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan, memberikan kesempatan bagi narasi baru yang menantang kaidah struktural lama.
Kaidah drama tidak hanya berlaku pada naskah (teks dramatis), tetapi juga pada bagaimana naskah tersebut diwujudkan dalam pementasan (teater).
Kaidah ruang adalah tentang penggunaan efektif panggung. Dalam teater proscenium tradisional, kaidah mengatur bagaimana panggung dibagi menjadi zona-zona kekuatan: area depan panggung (downstage) dianggap lebih kuat dan intim daripada area belakang (upstage). Kaidah penataan panggung (blocking) menuntut bahwa posisi fisik karakter harus selalu mencerminkan hubungan dramatis mereka. Seorang pahlawan yang berdiri tegak di tengah panggung (center stage) secara visual melambangkan dominasi, sementara karakter yang bersembunyi di sudut melambangkan ketidakberdayaan.
Pencahayaan modern memiliki kaidah ekspresif yang kompleks. Kaidah cahaya menuntut bahwa pencahayaan tidak hanya menerangi, tetapi juga berfungsi sebagai ekspresi tematik. Penggunaan warna (misalnya, merah untuk bahaya, biru untuk nostalgia) atau intensitas (pencahayaan yang tajam untuk suasana interogasi, pencahayaan lembut untuk adegan romantis) harus konsisten dan mendukung suasana dramatis naskah.
Dalam teater, suara dan musik mematuhi kaidah non-verbal. Musik harus mengintensifkan emosi tanpa mendominasi atau menjelaskan secara berlebihan apa yang sudah terlihat jelas. Kaidah efek suara menuntut bahwa suara (misalnya, pintu dibanting, jam berdetak) harus berfungsi baik untuk tujuan realistik (memperkuat ilusi) maupun simbolis (meningkatkan ketegangan psikologis).
Meskipun banyak kaidah, terutama Kesatuan Klasik, telah secara eksplisit dilanggar oleh teater pasca-modern, pemahaman mendalam tentang kaidah-kaidah ini tetap krusial. Drama kontemporer tidak muncul dalam kekosongan; ia berdialog dengan, atau memberontak melawan, struktur yang ditetapkan.
Penulis drama modern sering kali melanggar kaidah waktu (misalnya, adegan yang melompat-lompat), tetapi keberhasilan pelanggaran tersebut bergantung pada kesadaran penonton akan kaidah yang dilanggar. Ketika seorang penulis sengaja mengabaikan Kesatuan Aksi untuk menunjukkan fragmentasi kehidupan modern, ia menggunakan kaidah sebagai titik acuan untuk menghasilkan efek ironis atau disorientasi. Kaidah lama berfungsi sebagai jangkar estetika yang memberikan konteks pada eksperimen.
Bahkan teater paling eksperimental pun harus mematuhi kaidah internal yang diciptakannya sendiri. Jika sebuah lakon memutuskan untuk menggunakan bahasa yang tidak masuk akal, ia harus konsisten dalam ketidakmasukakalannya. Kaidah ini disebut koherensi estetik. Tanpa kaidah internal yang ketat, meskipun kaidah tersebut adalah kaidah non-logika, karya akan terasa acak dan tidak dapat dipahami, bukan secara sengaja membingungkan.
Terlepas dari inovasi dalam bentuk, kaidah plot dasar—konflik, kenaikan taruhan, dan resolusi—tetap menjadi pusat pengalaman manusia. Drama kontemporer mungkin menyamarkan struktur ini, tetapi kebutuhan manusia untuk menyaksikan kisah dengan ketegangan dan penyelesaian, bahkan jika penyelesaian itu adalah keheningan atau ketidakpastian, adalah kaidah psikologis yang tidak dapat dihindari.
Kaidah drama adalah cetak biru abadi yang memungkinkan seni panggung untuk terus berkembang dan relevan. Dari Poetika Aristoteles hingga panggung eksperimental masa kini, kaidah-kaidah ini adalah bahasa universal yang menghubungkan penulis, aktor, dan penonton, membentuk pemahaman kita tentang konflik, emosi, dan kondisi manusia.
***
Untuk memahami kaidah drama secara holistik, kita harus kembali membahas secara rinci kaidah struktural yang berlaku dalam tradisi drama yang berbeda. Struktur epik Yunani, meskipun bukan drama, memberikan model naratif yang mempengaruhi bagaimana kaidah plot dipahami. Perbedaan antara epik (narasi luas, waktu tidak terbatas) dan drama (aksi terbatas, waktu padat) adalah kunci untuk mengapresiasi mengapa Aristoteles menekankan Kesatuan.
Kaidah kepadatan dramatis adalah turunan langsung dari Kesatuan Waktu dan Tempat. Ketika plot dipadatkan dalam 24 jam dan satu lokasi, setiap momen menjadi sangat berbobot. Tidak ada ruang untuk adegan yang sia-sia atau pengalihan perhatian. Kaidah ini memaksa penulis untuk memilih momen krisis absolut dan membiarkan sejarah yang mendahului krisis tersebut terungkap melalui petunjuk dan dialog, sebuah teknik yang dikenal sebagai eksposisi tersembunyi.
Jika sebuah drama mengabaikan kaidah kepadatan ini, ia berisiko menjadi narasi yang terdistensi, lebih menyerupai novel yang dipentaskan daripada drama sejati. Kepadatan adalah apa yang membedakan pengalaman teater langsung dari membaca atau menonton narasi sinematik yang memiliki ruang lingkup geografis yang lebih longgar. Kaidah kepadatan menuntut urgensi yang selalu hadir dalam aksi panggung, suatu tekanan yang dirasakan baik oleh karakter maupun penonton.
Sebuah drama harus mematuhi kaidah keseimbangan konflik. Ini berarti bahwa kekuatan yang mendorong protagonis harus seimbang atau lebih besar daripada kekuatan yang menghalangi mereka (antagonis, hambatan lingkungan, atau cacat internal). Jika konflik terlalu mudah diselesaikan, drama kehilangan daya tariknya. Sebaliknya, jika hambatan terlalu besar sehingga pahlawan tidak memiliki peluang sama sekali, hasil yang tragis akan terasa kejam dan tidak adil, melanggar kaidah hamartia yang menuntut bahwa pahlawan harus bertanggung jawab sebagian atas kehancurannya.
Kaidah ini adalah jaminan bahwa lakon akan memiliki tegangan dan stakes yang tinggi. Dalam tragedi, kaidah keseimbangan ini terwujud dalam perjuangan pahlawan melawan nasib atau hukum ilahi; perjuangannya mungkin sia-sia, tetapi keberanian dan martabat yang ditunjukkannya selama perjuangan itulah yang memenuhi kaidah katarsis.
Kaidah drama juga melibatkan bagaimana seorang aktor harus mewujudkan teks. Dalam tradisi modern, kaidah ini sering disebut sebagai kaidah metodologi akting.
Dalam teater realis (Stanislavski), kaidah utama bagi aktor adalah pencarian kebenaran emosional. Aktor harus mematuhi kaidah "lingkaran perhatian" dan "keadaan yang diberikan" (given circumstances). Kaidah ini menuntut aktor untuk hidup dan bereaksi secara jujur dalam dunia fiksi yang diciptakan oleh penulis. Pelanggaran terjadi ketika aktor hanya 'berpura-pura' merasakan, bukan benar-benar memproyeksikan emosi yang berasal dari pemahaman psikologis karakter yang mendalam.
Kaidah ini memastikan bahwa interaksi di atas panggung terasa autentik, yang merupakan prasyarat untuk pencapaian verisimilitude. Aktor harus memahami dan menerapkan kaidah motivasi karakter yang telah ditetapkan oleh penulis naskah.
Dalam teater besar (non-realis), kaidah proyeksi (suara dan gerakan) menjadi vital. Meskipun teater modern menghargai kehalusan, kaidah tradisional menuntut bahwa setiap nuansa emosi dan setiap kata harus menjangkau penonton di barisan belakang. Kaidah ini adalah kaidah teknis yang memastikan penyampaian pesan dramatis tidak terganggu oleh keterbatasan fisik panggung atau akustik.
Pada pementasan opera atau teater Yunani kuno, kaidah ini disajikan melalui gerakan yang lebih besar dan penggunaan topeng atau kostum yang diperkuat, yang berfungsi sebagai alat visual untuk memproyeksikan makna ke audiens yang besar. Ini adalah kaidah teknis yang berinteraksi langsung dengan kaidah estetik. Gerakan yang kecil dan realistis mungkin melanggar kaidah proyeksi di panggung yang besar, namun sesuai dengan kaidah kehalusan di panggung yang intim.
Tema (dianoia) adalah ide atau pesan yang disampaikan oleh drama. Kaidah tema menuntut bahwa pesan ini harus terintegrasi secara organik ke dalam aksi dan karakter, bukan hanya disampaikan melalui monolog didaktik.
Sebuah drama harus memiliki kesatuan tematik. Semua sub-konflik, bahkan jika mereka ada, harus mendukung atau mengomentari tema sentral. Jika tema sentral adalah korupsi kekuasaan, maka setiap adegan, bahkan adegan romantis atau komedi, harus diwarnai oleh implikasi korupsi tersebut. Kaidah ini mencegah drama menjadi serangkaian ide yang terputus-putus.
Meskipun drama menyajikan tema, kaidah drama yang matang menuntut ambiguitas yang diperlukan. Drama yang hanya memiliki satu pesan moral yang hitam-putih cenderung menjadi propaganda atau melodrama sederhana. Kaidah ambiguitas menuntut bahwa tema harus dieksplorasi dari berbagai sudut pandang, memungkinkan penonton untuk bergumul dengan implikasi moral dan filosofis. Misalnya, tragedi yang baik tidak hanya menyatakan bahwa takdir itu kejam, tetapi juga mempertanyakan peran kebebasan memilih manusia dalam menghadapi kekejaman takdir tersebut.
Ambiguitas ini adalah prasyarat untuk katarsis intelektual, melengkapi kaidah katarsis emosional. Tanpa ambiguitas, drama gagal memicu pemikiran mendalam setelah tirai ditutup, mengurangi fungsinya menjadi sekadar tontonan.
Kaidah-kaidah yang dijelaskan di atas utamanya berasal dari tradisi Barat, namun kaidah-kaidah Timur juga menawarkan lensa yang berbeda dalam memandang struktur dramatis.
Teater Noh beroperasi di bawah kaidah keindahan yang sangat berbeda, yaitu Yugen (keindahan yang tersembunyi, halus, dan misterius) dan Kaidah Jo-Ha-Kyu (awal lambat, percepatan di tengah, penyelesaian cepat). Ini adalah kaidah struktural temporal yang menuntut penyebaran aksi secara non-linear dan ritmis. Sementara Kesatuan Aristotelian berfokus pada kepadatan, kaidah Noh berfokus pada penyebaran energi secara simbolis.
Dalam tradisi India, kaidah sentral adalah Rasa (rasa atau suasana hati). Teks India, Natyashastra, menetapkan kaidah yang rumit mengenai bagaimana berbagai elemen seni (musik, tari, akting) harus digabungkan untuk menghasilkan rasa spesifik pada penonton (misalnya, kemarahan, cinta, tawa). Kaidah plot di sini berfungsi untuk menghasilkan rangkaian emosi, bukan hanya untuk mencapai resolusi logis plot. Pelanggaran kaidah Rasa berarti kegagalan dalam menghubungkan pementasan dengan pengalaman sensorik dan emosional penonton.
Perbedaan antara kaidah global ini menunjukkan bahwa kaidah drama tidak universal dalam bentuknya, tetapi universal dalam fungsinya: yaitu, memberikan kerangka kerja yang terorganisir untuk menghasilkan efek emosional yang terukur dan disengaja pada penonton. Bahkan ketika kita berbicara tentang melanggar Tiga Kesatuan, kita masih harus mematuhi kaidah internal genre atau budaya baru yang kita ciptakan.
Terakhir, kaidah drama mencakup hubungan antara panggung dan penonton, mendefinisikan fungsi drama dalam masyarakat.
Pada tingkat paling dasar, kaidah drama menuntut keterlibatan penonton. Ini dicapai melalui berbagai cara, dari katarsis (tragedi) hingga distansiasi (epik). Drama yang gagal menarik penonton, baik secara emosional maupun intelektual, dianggap gagal secara fungsional. Bahkan teater eksperimental atau absurd, yang mungkin membingungkan, mematuhi kaidah keterlibatan dengan memprovokasi reaksi, alih-alih memberikan kenyamanan.
Sejak teater Yunani Kuno, kaidah drama mencakup relevansi sosial. Drama sering berfungsi sebagai cermin kritis masyarakatnya. Penulis drama mematuhi kaidah tidak tertulis untuk merefleksikan isu-isu moral, politik, atau filosofis saat ini. Pelanggaran kaidah ini, di mata kritikus sosial, adalah penciptaan karya yang steril atau apolitis, yang melepaskan seni panggung dari tanggung jawabnya untuk menyuarakan kebenaran yang sulit. Kaidah relevansi ini adalah yang mendorong evolusi teater dari drama istana ke teater jalanan dan teater dokumenter.
Intinya, kaidah drama, dalam semua bentuknya—dari yang paling kaku hingga yang paling longgar—adalah bahasa terstruktur yang memungkinkan dialog abadi antara pencipta dan publik. Kaidah-kaidah tersebut menyediakan kosakata dan tata bahasa bagi para seniman untuk menjelajahi kedalaman kondisi manusia.