Menyelami Akar Terdalam Tata Kelola Masyarakat dari Tradisi hingga Modernitas
Hukum, dalam pemahaman modern, seringkali diidentikkan dengan teks yang terukir, pasal yang terperinci, dan kodifikasi yang kaku. Namun, jauh sebelum tinta mengering pada undang-undang pertama, tatanan sosial telah diatur oleh kekuatan yang lebih fundamental dan purba: Jus Non Scriptum. Frasa Latin ini, yang secara harfiah berarti "Hukum yang Tidak Tertulis," merujuk pada keseluruhan norma, tradisi, dan kebiasaan yang diakui sebagai mengikat secara legal oleh suatu komunitas, meskipun tidak pernah diformalkan dalam dokumen resmi negara.
Konsep Jus Non Scriptum bukan sekadar koleksi etika sopan santun. Ia adalah tulang punggung sistem yang sangat tua, yang mendefinisikan batas-batas benar dan salah, menetapkan mekanisme penyelesaian sengketa, dan menjamin kohesi sosial melalui pengulangan tindakan yang diterima secara kolektif. Hukum ini hidup dalam memori kolektif, dalam ritus-ritus seremonial, dalam pepatah para tetua, dan dalam praktik sehari-hari. Ia adalah hukum yang dihayati, bukan hanya yang dipatuhi.
Dalam konteks global, studi mengenai hukum tak tertulis membawa kita melintasi spektrum yang luas, mulai dari mos maiorum (tradisi leluhur) Romawi kuno, evolusi Common Law di Inggris yang berbasis pada preseden dan kebiasaan pengadilan, hingga yang paling relevan bagi Indonesia—Hukum Adat. Hukum Adat, sebagai manifestasi paling jelas dari Jus Non Scriptum di Nusantara, menawarkan sebuah lanskap hukum yang dinamis, pluralistik, dan sering kali berhadapan langsung dengan sistem hukum negara yang bersifat positif.
Artikel ini bertujuan untuk membongkar kekuatan, legitimasi, dan tantangan yang dihadapi oleh Jus Non Scriptum. Kita akan menjelajahi bagaimana hukum ini diwariskan, bagaimana ia beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi, dan mengapa, di tengah dominasi hukum statuta modern, norma-norma tak tertulis tetap menjadi sumber keadilan yang esensial, bahkan tak tergantikan, bagi jutaan orang.
Untuk memahami kedalaman Jus Non Scriptum, kita harus terlebih dahulu memisahkannya dari konsep-konsep non-hukum lainnya dan menempatkannya dalam kerangka filsafat hukum (yurisprudensi). Pertanyaan kuncinya adalah: Apa yang membuat kebiasaan menjadi hukum? Apa bedanya kebiasaan sehari-hari dengan norma yang mengikat secara yuridis?
Tidak semua tradisi adalah hukum. Filsafat hukum membedakan tiga tingkat norma yang mengatur perilaku manusia:
Agar suatu kebiasaan dapat diangkat menjadi Jus Non Scriptum, ia harus memenuhi dua kriteria utama, yang diwarisi dari tradisi Romawi dan dikembangkan oleh ahli hukum Eropa:
Perdebatan mengenai Jus Non Scriptum sering kali menjadi titik konflik antara dua mazhab besar filsafat hukum:
Positivisme Hukum: Positivis, seperti John Austin atau H.L.A. Hart, cenderung skeptis terhadap hukum tak tertulis. Mereka menekankan bahwa hukum sejati harus berasal dari otoritas yang berdaulat (seperti parlemen atau raja) melalui prosedur yang jelas (Hukum Tertulis/Statuta). Bagi positivis, kebiasaan hanya menjadi hukum ketika ia 'diambil alih' dan diakui secara eksplisit oleh hukum statuta atau keputusan pengadilan.
Mazhab Historis dan Hukum Alam: Mazhab Historis (Savigny) berpendapat bahwa hukum adalah manifestasi dari Volksgeist (jiwa bangsa) dan berkembang secara organik melalui sejarah dan kebiasaan, bukan diciptakan dari atas. Bagi mazhab ini, Jus Non Scriptum adalah sumber hukum yang paling autentik dan asli. Hukum alam juga sering mengaitkan tradisi dengan prinsip-prinsip keadilan universal yang sudah melekat dalam tatanan alam semesta.
Sejarah peradaban adalah sejarah bagaimana masyarakat beralih dari hukum lisan yang terikat pada ritual dan tetua, menuju kodifikasi yang terpusat. Namun, proses ini tidak pernah sepenuhnya selesai, menyisakan ruang permanen bagi hukum tak tertulis.
Roma kuno memberikan terminologi klasik bagi hukum tak tertulis, yaitu mos maiorum—cara-cara para leluhur. Sebelum munculnya Dua Belas Tabel (kodifikasi pertama), masyarakat Romawi diatur sepenuhnya oleh kebiasaan dan preseden lisan. Mos maiorum adalah sumber legitimasi bagi kekuasaan dan dasar bagi konsep pietas (kewajiban suci).
Meskipun Romawi kemudian dikenal sebagai arsitek kodifikasi hukum yang monumental (Corpus Juris Civilis), bahkan dalam sistem Ius Civile yang canggih, kebiasaan tetap diakui. Para ahli hukum Romawi mengakui bahwa kebiasaan baru dapat menghapus atau mengubah hukum tertulis (desuetudo), asalkan kebiasaan tersebut memiliki persetujuan diam-diam dari seluruh rakyat (consensus populi).
Sistem Common Law, yang berakar kuat di Inggris dan menyebar ke banyak negara bekas koloninya, adalah contoh paling menonjol di mana hukum tak tertulis diinkorporasikan ke dalam struktur yudisial. Common Law secara fundamental didasarkan pada preseden—keputusan pengadilan masa lalu. Meskipun keputusan pengadilan sekarang tertulis, asas yang mendasari (stare decisis, atau berpegang pada hal-hal yang telah diputuskan) berasal dari praktik tak tertulis para hakim yang menyatukan beragam kebiasaan lokal di seluruh kerajaan Inggris.
Dalam Common Law, kebiasaan masih memainkan peran sebagai sumber hukum sekunder, terutama untuk hal-hal yang sangat spesifik dan terlokalisasi, seperti hak-hak komunal atau praktik dagang tertentu. Namun, perannya yang paling penting adalah dalam membentuk dasar-dasar hukum Equity (keadilan), yang diciptakan untuk mengatasi kekakuan hukum tertulis dan preseden, sehingga kembali lagi pada prinsip keadilan dan kewajaran yang tidak tertulis.
Negara-negara yang menganut sistem Civil Law (seperti Prancis, Jerman, dan kebanyakan negara di Eropa Kontinental dan Amerika Latin) memberikan peran yang jauh lebih kecil bagi Jus Non Scriptum. Mereka mengagungkan kodifikasi, dan undang-undang adalah sumber hukum primer yang hampir eksklusif.
Namun, bahkan dalam sistem ini, kebiasaan tetap berfungsi dalam tiga peran terbatas:
Di Indonesia, Jus Non Scriptum menemukan wujudnya yang paling kompleks, paling hidup, dan paling menantang dalam Hukum Adat. Hukum Adat adalah sistem hukum asli masyarakat pribumi di Nusantara, yang secara turun-temurun dipraktikkan, dipertahankan, dan diwariskan secara lisan dan melalui tindakan nyata.
Hukum Adat pertama kali dipelopori studinya oleh C. van Vollenhoven, yang menganggapnya sebagai sistem yang utuh, setara dengan sistem hukum Barat. Karakteristik kunci Hukum Adat meliputi:
Hukum Adat bukanlah peninggalan masa lalu yang statis, melainkan sebuah realitas hukum yang terus beradaptasi. Di banyak daerah terpencil, ia jauh lebih efektif dalam menyelesaikan masalah pertanahan, warisan, dan perkawinan dibandingkan dengan pengadilan formal negara.
Van Vollenhoven mengklasifikasikan Hukum Adat ke dalam 19 Lingkaran Hukum Adat (Adatrechtskringen), menunjukkan pluralitas hukum di Indonesia. Meskipun banyak yang tumpang tindih, setiap lingkaran memiliki keunikan mendasar, terutama dalam hukum tanah dan warisan. Beberapa contoh ekstrem menunjukkan betapa beragamnya Jus Non Scriptum:
Setelah kemerdekaan, Indonesia memilih untuk menganut sistem hukum majemuk (pluralisme hukum) di mana Hukum Adat diakui, namun secara bersyarat. Pengakuan ini termaktub dalam beberapa regulasi, termasuk UUD 1945, yang mengakui kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional mereka, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun, implementasi pengakuan ini sarat konflik. Tantangan terbesar adalah mentransformasi norma lisan yang fleksibel menjadi kriteria yang dapat diuji oleh pengadilan modern. Seringkali, negara menuntut Hukum Adat untuk 'membuktikan' keberadaannya dan 'mendaftar' hak-haknya, sebuah proses yang secara inheren bertentangan dengan sifat Jus Non Scriptum yang organik dan lisan.
Penting untuk dicatat bahwa peran hakim di Indonesia menjadi sangat krusial. Dalam sistem Civil Law Indonesia, hakim secara teoretis tidak menciptakan hukum, tetapi dalam menghadapi kekosongan atau konflik antara hukum statuta dan realitas masyarakat, hakim seringkali harus menggali Hukum Adat sebagai sumber hukum (ius curia novit). Inilah yang membuat Jus Non Scriptum tetap relevan, sebagai "Hukum yang Mengalir" di bawah permukaan kodifikasi.
Bagaimana sebuah norma yang tidak memiliki kitab undang-undang dapat ditegakkan? Penegakan Jus Non Scriptum tidak bergantung pada polisi atau penjara negara, melainkan pada kekuatan sanksi sosial, ritual, dan supernatural.
Dalam komunitas yang terikat kuat, sanksi paling efektif bukanlah denda atau penjara, melainkan hilangnya kehormatan, pengucilan (ostracism), atau rasa malu kolektif. Hukum Adat di banyak tempat (misalnya di Suku Dayak atau Batak) menekankan prinsip pemulihan martabat dan keseimbangan, bukan pembalasan dendam. Prosedur penyelesaian sengketa seringkali berfokus pada musyawarah mufakat, di mana pelaku diwajibkan mengakui kesalahan di depan umum dan membayar ganti rugi yang bersifat simbolis atau material (misalnya, membayar seekor kerbau atau emas).
Kepatuhan terhadap Jus Non Scriptum sangat didorong oleh rasa takut terhadap malu (kehilangan muka) dan rasa tanggung jawab terhadap kelompok, sebuah konsep yang jauh lebih kuat di masyarakat komunal dibandingkan di masyarakat individualis.
Salah satu aspek unik dari banyak Jus Non Scriptum, terutama Hukum Adat di Asia Tenggara, adalah keterkaitannya dengan alam supranatural. Hukum dianggap suci. Pelanggaran terhadap norma adat (misalnya merusak hutan larangan atau melanggar sumpah) diyakini dapat mendatangkan hukuman dari roh leluhur atau dewa. Konsep ini dikenal sebagai sanksi supranatural.
Ritual, sumpah adat, dan upacara penyucian tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme peradilan, tetapi juga sebagai alat pencegahan. Misalnya, sumpah di bawah pohon keramat atau di depan makam leluhur dianggap jauh lebih mengikat dan menakutkan bagi pelanggar daripada sumpah di pengadilan negara. Ini menunjukkan bagaimana keberlangsungan Jus Non Scriptum didukung oleh pandangan dunia masyarakat yang bersangkutan.
Jus Non Scriptum menghadapi tekanan besar di era modern. Urbanisasi, migrasi, dan globalisasi melemahkan ikatan komunal, yang merupakan wadah utama tempat hukum ini hidup. Ketika anggota komunitas berpindah ke kota, sanksi sosial kehilangan giginya.
Selain itu, konflik terberat terjadi dalam bidang hak asasi manusia (HAM). Beberapa praktik adat, seperti kawin paksa atau sistem kasta yang diskriminatif, dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM universal dan hukum statuta. Dalam kasus ini, negara seringkali harus menolak kebiasaan yang 'tidak manusiawi' atau 'tidak sesuai dengan NKRI,' memaksa Hukum Adat untuk berevolusi atau menghilang. Dinamika ini memerlukan negosiasi terus-menerus antara tradisi lokal dan prinsip universal.
Meskipun kita hidup di dunia yang didominasi oleh internet, kontrak digital, dan regulasi yang meluas, Jus Non Scriptum tidaklah mati. Sebaliknya, ia bermigrasi dan bereinkarnasi dalam bentuk-bentuk baru, terutama dalam bidang-bidang yang bergerak lebih cepat daripada kecepatan legislasi.
Dalam ranah perdagangan global, ada sebuah sistem hukum tak tertulis yang sangat kuat yang dikenal sebagai Lex Mercatoria (Hukum Pedagang). Ini adalah serangkaian kebiasaan, praktik terbaik, dan standar yang dikembangkan oleh para pedagang, bankir, dan pelaku industri secara independen dari hukum nasional manapun. Meskipun tidak dikodifikasi oleh negara, Lex Mercatoria ditegakkan melalui arbitrase internasional dan kebutuhan untuk menjaga reputasi.
Contoh klasiknya adalah INCOTERMS (International Commercial Terms) yang meskipun diterbitkan oleh Kamar Dagang Internasional (ICC), basis legitimasinya adalah konsensus dan praktik yang diulang-ulang. Ini adalah contoh sempurna bagaimana Jus Non Scriptum dapat mengatur miliaran dolar transaksi tanpa perlu pasal undang-undang yang rumit.
Di dunia siber, kecepatan inovasi jauh melebihi kemampuan pembuat undang-undang. Akibatnya, banyak aspek tata kelola digital diatur oleh Jus Non Scriptum baru yang disebut 'Netiket' (Etiket Internet) atau 'Hukum Kode'.
Sebagai contoh, norma-norma yang mengatur hak cipta di komunitas sumber terbuka (open source), praktik moderasi konten di platform besar, atau 'aturan tak tertulis' tentang privasi dan pelecehan siber, semuanya muncul secara organik dari komunitas pengguna. Meskipun perusahaan teknologi besar mulai membuat 'Terms of Service' yang tertulis, interpretasi dan penegakan harian seringkali bergantung pada preseden komunitas dan kebiasaan yang berlaku, menunjukkan bahwa Opinio Juris kini terbentuk di ruang virtual.
Di banyak negara, terutama yang menganut sistem Westminster (seperti Inggris atau Kanada), bagian penting dari tata kelola negara diatur oleh konvensi konstitusional yang tidak tertulis. Ini adalah aturan-aturan politik yang mengikat, tetapi bukan hukum dalam arti statuta, melainkan kebiasaan yang harus ditaati demi menjaga stabilitas sistem.
Misalnya, di Inggris, kedaulatan Ratu/Raja harus dilaksanakan berdasarkan saran dari Perdana Menteri. Aturan ini tidak tertulis di dokumen mana pun, namun memiliki kekuatan yang setara dengan undang-undang. Jika dilanggar, konsekuensinya bukan hukuman pengadilan, melainkan krisis politik dan institusional yang mendalam.
Mengintegrasikan hukum tak tertulis ke dalam sistem hukum modern yang didominasi positivisme menghadirkan serangkaian tantangan yang mendasar, mulai dari isu pembuktian hingga konflik hierarki.
Kritik terbesar terhadap Jus Non Scriptum adalah ketidakpastiannya. Jika hukum itu tidak tertulis, bagaimana masyarakat tahu persis apa yang dilarang atau diwajibkan? Dalam hukum statuta, prinsip legalitas menuntut kejelasan (nulla poena sine lege scripta – tidak ada hukuman tanpa hukum tertulis).
Dalam Hukum Adat, kejelasan ini dicapai melalui memori kolektif dan otoritas tetua. Namun, ketika kasus dibawa ke pengadilan negara, hakim sering kesulitan mencari bukti material bahwa kebiasaan spesifik benar-benar memiliki status hukum yang mengikat. Hal ini menciptakan celah eksploitasi di mana pihak yang lebih kuat dapat menolak keberadaan hukum adat tersebut.
Indonesia adalah arena pertarungan klasik antara pluralisme hukum. Dalam banyak sengketa pertanahan, ada empat lapis hukum yang mungkin berlaku secara bersamaan: Hukum Adat (tak tertulis), Hukum Agraria Nasional (statuta), Hukum Islam (sebagian tertulis, sebagian tradisi), dan Hukum Internasional (HAM).
Menentukan hierarki di antara sumber-sumber ini adalah tantangan yang tiada akhir. Apakah kebiasaan dapat mengalahkan undang-undang? Secara positivis, jawabannya tegas: tidak. Namun, secara sosiologis dan antropologis, jika masyarakat menolak hukum tertulis dan bersikeras mematuhi adat, maka secara efektif adatlah yang memiliki otoritas riil. Masa depan hukum di Indonesia akan sangat bergantung pada kemampuan negara untuk menjembatani jurang antara legalitas formal dan legitimasi sosial.
Untuk memastikan Jus Non Scriptum tidak punah di hadapan modernisasi, upaya pelestarian menjadi vital. Ini tidak berarti kodifikasi penuh, karena kodifikasi dapat membekukan dan menghilangkan fleksibilitas inherent dari adat. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah dokumentasi yang cermat—baik melalui etnografi, pemetaan digital, maupun penyusunan buku pegangan kompilasi yang bersifat deskriptif, bukan preskriptif.
Tujuan dari dokumentasi ini bukan untuk mengubah Jus Non Scriptum menjadi Jus Scriptum, tetapi untuk memberikan bukti otentik bagi pengadilan negara dan menjamin transmisi pengetahuan ke generasi berikutnya, tanpa menghilangkan karakter lisan dan dinamisnya.
Interaksi antara hukum negara (positif) dan Jus Non Scriptum (Adat) tidak terjadi dalam ruang hampa teori. Ia terjadi di ruang sidang, di kantor notaris, dan di kantor pertanahan. Studi yurisprudensi di Indonesia menunjukkan pola yang fluktuatif dalam pengakuan Adat.
Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia memainkan peran vital sebagai filter akhir dalam menentukan apakah suatu kebiasaan lokal memiliki kekuatan hukum. MA seringkali merujuk pada prinsip ‘sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan ketertiban umum’. Prinsip ini adalah pedang bermata dua.
Di satu sisi, ia melindungi masyarakat adat dari intervensi sewenang-wenang. Sebagai contoh, dalam kasus-kasus sengketa warisan di luar Jawa, MA sering menggunakan Hukum Adat setempat, mengakui sistem pembagian harta yang unik (seperti pembagian harta pusaka tinggi Minangkabau) sebagai sah secara hukum, mengesampingkan Hukum Perdata Barat. Keputusan ini menunjukkan penghargaan terhadap pluralisme hukum dan pengakuan bahwa hukum yang paling adil adalah yang paling dekat dengan rasa keadilan masyarakat.
Di sisi lain, prinsip 'ketertiban umum' digunakan untuk membatasi praktik Adat yang dianggap regresif. Jika suatu kebiasaan dianggap melanggar hak asasi manusia, seperti praktik perbudakan tradisional atau diskriminasi gender yang parah dalam pembagian hak waris, MA atau Mahkamah Konstitusi (MK) dapat membatalkannya. Dinamika ini memperjelas bahwa Jus Non Scriptum harus terus bernegosiasi dan beradaptasi di bawah payung konstitusi negara.
Tidak ada bidang lain di mana konflik antara hukum tertulis dan tak tertulis lebih tajam selain Hukum Pertanahan. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 mengakui hak ulayat (hak komunal) sebagai hak yang sejenis dengan Jus Non Scriptum, namun pelaksanaannya selama puluhan tahun cenderung mengutamakan hak negara dan hak individu (hak milik, HGU).
Titik balik signifikan terjadi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Putusan ini menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, tetapi hutan yang berada di wilayah masyarakat adat. Keputusan ini adalah kemenangan monumental bagi Jus Non Scriptum, karena ia mengakui bahwa aturan-aturan tak tertulis masyarakat adat mengenai tata kelola hutan (misalnya, hutan larangan, sistem perladangan berpindah yang teratur) harus diakui sebagai hukum yang valid yang mendahului klaim negara.
Pengakuan ini bukan hanya tentang kepemilikan, tetapi tentang tata kelola. Jus Non Scriptum dalam konservasi adat seringkali menghasilkan praktik pengelolaan lingkungan yang lebih lestari dan berkelanjutan daripada regulasi pemerintah yang sentralistik. Masyarakat adat memelihara ekosistem bukan karena takut akan denda pemerintah, melainkan karena rasa kewajiban sakral yang tak tertulis kepada leluhur dan generasi mendatang.
Meskipun Jus Non Scriptum memiliki kekuatan luar biasa dalam menjaga kohesi sosial, ia tidak luput dari kritik, terutama dari lensa liberal modern.
Karena Jus Non Scriptum berbasis pada tradisi dan praktik masa lalu (mos maiorum), ada risiko inheren bahwa ia dapat menjadi konservatif berlebihan dan resisten terhadap perubahan yang diperlukan. Ketika norma-norma lama digunakan untuk menekan individu atau kelompok minoritas (misalnya, wanita atau pendatang), hukum tak tertulis dapat menjadi alat ketidakadilan. Inilah mengapa intervensi hukum positif, berdasarkan prinsip HAM, terkadang diperlukan untuk 'membersihkan' adat dari unsur-unsur yang tidak relevan atau menindas.
Dalam sistem yang tidak tertulis, penegakan dan interpretasi hukum sangat bergantung pada otoritas pelaksana—para tetua adat. Jika otoritas ini tidak transparan atau bersifat otoriter, Jus Non Scriptum dapat tergelincir menjadi aturan yang arbitrer. Keputusan mungkin lebih didasarkan pada kepentingan pribadi pemangku adat daripada pada prinsip keadilan yang universal. Ketiadaan dokumentasi formal mempersulit mekanisme banding dan akuntabilitas.
Oleh karena itu, para antropolog hukum berpendapat bahwa pengakuan Hukum Adat oleh negara harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan internal dan penguatan institusi adat yang demokratis, sehingga otoritas tidak dimonopoli oleh segelintir orang. Hukum Adat yang efektif adalah hukum yang hidup dan berdialog, bukan hukum yang kaku di bawah perintah tunggal.
Dalam konteks modern, Jus Non Scriptum menghadapi tantangan baru dalam bidang ekonomi global. Pengetahuan tradisional (Traditional Knowledge/TK), seperti resep obat herbal, pola tenun, atau ritual penyembuhan, seringkali diatur oleh Jus Non Scriptum komunitas adat. Namun, ketika pengetahuan ini dikomersialkan oleh pihak luar, komunitas adat sering tidak mendapatkan perlindungan karena mereka tidak memiliki dokumen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) formal (paten atau hak cipta).
Di sini, hukum positif global sedang berjuang mencari cara untuk mengakui Jus Non Scriptum komunitas. Upaya untuk menciptakan sistem sui generis (sistem perlindungan khusus) bagi pengetahuan tradisional adalah pengakuan bahwa sistem hukum tertulis yang ada saat ini gagal melindungi sumber daya hukum tak tertulis yang sangat berharga secara ekonomi dan budaya.
Kekuatan Jus Non Scriptum terletak pada retorika dan performa, sebuah dimensi yang hilang dalam hukum tertulis. Hukum tertulis menekankan ketelitian terminologi; hukum tak tertulis menekankan kekuatan narasi dan konsensus.
Dalam banyak masyarakat adat, hukum dienkapsulasi dalam bentuk adagium, pepatah, atau peribahasa (pameo). Contohnya, pepatah Minangkabau: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" (Adat bersendikan hukum agama, hukum agama bersendikan Al-Qur'an). Frasa singkat ini adalah konstitusi tak tertulis yang mendefinisikan batas-batas legitimasi hukum. Begitu pula dengan pepatah Batak Toba, di mana hukum-hukum tentang hubungan marga (Dalihan Na Tolu) diwariskan melalui silsilah lisan.
Dalam penyelesaian sengketa adat, para pemangku adat tidak sekadar mengutip pasal, tetapi mereka merangkai narasi, menceritakan kembali sejarah komunitas, dan mengutip pepatah yang relevan, yang secara emosional dan spiritual lebih mengikat para pihak yang bersengketa. Proses ini adalah manifestasi konkret dari Opinio Juris yang dihidupkan melalui bahasa.
Hukum tak tertulis sangat bergantung pada mediasi, yang merupakan proses yang sarat dengan komunikasi non-verbal. Dalam musyawarah adat, keberhasilan tidak hanya diukur dari kesepakatan tertulis, tetapi dari pemulihan hubungan sosial, ditandai dengan jabat tangan, makan bersama, atau ritual persatuan. Hukum Adat adalah hukum performatif; ia harus dilakukan, disaksikan, dan dirasakan untuk menjadi sah.
Sebaliknya, hukum positif seringkali bersifat dingin dan impersonal. Di ruang sidang formal, fokusnya adalah pada bukti material dan teks, meminggirkan emosi dan konteks sosial. Perbedaan metodologis inilah yang sering menyebabkan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat adat yang dipaksa memasuki sistem peradilan negara yang mengabaikan nilai-nilai tak tertulis mereka.
Masa depan sistem hukum global niscaya akan menjadi semakin pluralistik. Daripada mencoba untuk menghapus atau mengkodifikasi sepenuhnya Jus Non Scriptum, upaya harus difokuskan pada sinergi yang harmonis antara hukum yang diamanatkan negara dan hukum yang berasal dari kebiasaan.
Salah satu kunci utama adalah memperkuat kapasitas lembaga adat sendiri. Ini termasuk pelatihan bagi pemangku adat mengenai hak asasi manusia dan prosedur mediasi modern, sekaligus memberikan pengakuan formal yang memungkinkan mereka untuk bertindak sebagai mediator yang sah dalam sistem peradilan informal. Penguatan ini harus didanai dan diakui oleh negara, memberikan alat tanpa menghilangkan otonomi.
Pendidikan hukum harus diubah agar tidak lagi didominasi oleh tradisi positivisme Barat. Mahasiswa hukum harus diajarkan bahwa hukum adalah fenomena sosial yang lebih luas, dan bahwa Jus Non Scriptum (Hukum Adat, Lex Mercatoria, Konvensi Internasional yang tidak dikodifikasi) adalah sumber hukum yang sah. Pengakuan epistemologis ini sangat penting untuk menghasilkan generasi hakim dan pengacara yang mampu beroperasi secara efektif di sistem hukum majemuk Indonesia.
Teknologi digital, yang awalnya dilihat sebagai ancaman terhadap lisan dan tradisi, kini dapat menjadi alat pelestarian. Melalui basis data terstruktur, rekaman video ritual peradilan adat, dan pemetaan wilayah adat yang transparan, Jus Non Scriptum dapat didokumentasikan sedemikian rupa sehingga ia menjadi lebih mudah diakses oleh pihak luar tanpa kehilangan sifat alaminya. Keterbukaan ini dapat meningkatkan akuntabilitas tanpa menuntut kodifikasi yang kaku.
Pada akhirnya, Jus Non Scriptum mengingatkan kita bahwa hukum bukanlah sekadar perangkat teknis yang dikelola oleh negara. Hukum adalah cerminan dari jiwa kolektif, sebuah narasi yang terus ditulis ulang setiap hari melalui tindakan, kebiasaan, dan keyakinan masyarakat. Ia adalah jaring pengaman yang lembut namun kokoh, yang menjaga tatanan sosial di tempat-tempat di mana otoritas negara tidak dapat atau tidak ingin menjangkau. Kekuatan sejati Jus Non Scriptum terletak pada legitimasi yang diperoleh dari hati dan sejarah, bukan hanya dari stempel resmi.
Dari desa-desa terpencil di Nusantara hingga ruang arbitrase global, Jus Non Scriptum terus berdenyut sebagai sumber keadilan dan tatanan. Hukum tak tertulis mengajarkan kita bahwa kekuasaan legal tidak selalu berasal dari kekerasan atau birokrasi, tetapi seringkali dari pengulangan yang sabar, konsensus yang diam-diam, dan keyakinan bersama akan kewajiban.
Dalam konteks Indonesia, pelestarian dan pengakuan Hukum Adat sebagai bentuk Jus Non Scriptum adalah sebuah imperatif konstitusional, bukan sekadar pilihan budaya. Ia adalah pengakuan terhadap identitas bangsa yang majemuk. Tantangan ke depan bukan lagi menanyakan apakah hukum tak tertulis itu ada, melainkan bagaimana kita dapat menciptakan ruang di mana hukum statuta dan hukum kebiasaan dapat hidup berdampingan, saling menguatkan, demi mencapai keadilan sosial yang utuh bagi seluruh rakyat.
Hukum yang ditulis memberikan kejelasan; namun, hukum yang tidak tertulis memberikan kedalaman, fleksibilitas, dan legitimasi yang berakar pada bumi. Kedua sumber ini harus dihargai sebagai mitra setara dalam membangun tatanan hukum yang benar-benar adil dan berkelanjutan.