Konsep tata ruang dan pembagian wilayah dalam peradaban Nusantara tidak pernah statis. Ia merupakan cerminan dari interaksi kompleks antara manusia, lingkungan, dan dimensi spiritual. Di antara berbagai terminologi agraria yang kaya, istilah juringan muncul sebagai salah satu pilar fundamental dalam memahami bagaimana masyarakat tradisional mengelola, mendistribusikan, dan memandang hak atas sumber daya alam, khususnya tanah. Juringan, lebih dari sekadar pembagian geometris, adalah sebuah sistem sosial-ekonomi yang memastikan keberlanjutan hidup komunal.
Artikel ini akan mengupas tuntas hakikat juringan, mengelaborasinya dari akar etimologis, konteks historis sebelum dan selama kolonialisme, hingga relevansinya dalam diskursus tata ruang modern. Pemahaman terhadap juringan memungkinkan kita untuk menghargai kedalaman filosofis di balik Hukum Adat yang mengatur agraria, yang sering kali bertolak belakang dengan pandangan kepemilikan individu ala Barat.
Untuk memahami kedalaman konsep juringan, kita harus memulainya dari definisinya yang multidimensi. Secara harfiah, kata dasar juring merujuk pada potongan, sektor, atau bagian yang terbagi dari keseluruhan. Dalam konteks matematis, juring adalah irisan dari sebuah lingkaran. Namun, dalam konteks agraria dan sosial Nusantara, juringan berevolusi menjadi sebuah sistem formal yang mengatur pembagian tanah komunal atau wilayah kekuasaan (ulayat).
Juringan bukanlah sekadar garis batas buatan. Ia adalah unit pembagian yang sering kali diikat oleh faktor ekologis—seperti batas sungai, punggung bukit, atau jenis tanah—dan faktor sosial—seperti garis keturunan atau hak waris turun-temurun. Dalam banyak tradisi, pembagian juringan juga memiliki dimensi spiritual. Lokasi juringan tertentu mungkin diperuntukkan bagi ritual adat, atau juringan yang dianggap sebagai sumber air suci dijaga dengan peraturan yang lebih ketat.
Sistem ini berfungsi sebagai mekanisme distribusi lahan pertanian (sawah atau ladang) kepada anggota komunitas. Distribusi ini bisa bersifat permanen, tetapi yang paling menarik adalah bentuk distribusi rotasi (gilir gembeng atau sejenisnya) di mana juringan dipindahkan secara berkala untuk memastikan keadilan akses terhadap lahan yang subur dan untuk mencegah stratifikasi sosial berbasis kepemilikan tanah yang eksesif.
Salah satu kesalahan terbesar dalam menganalisis juringan adalah menyamakannya dengan lot (kapling) modern atau kepemilikan pribadi (eigendom). Juringan hampir selalu beroperasi dalam kerangka Hak Ulayat, di mana tanah secara keseluruhan dimiliki oleh komunitas adat (bersama), dan hak individu yang diberikan hanyalah hak garap atau hak pakai (bezitsrecht), bukan hak kepemilikan mutlak. Anggota komunitas memiliki hak untuk memanfaatkan hasil dari juringan tersebut selama mereka mematuhi aturan adat, tetapi mereka tidak berhak menjual atau memindahtangankan tanah tersebut keluar dari komunitas tanpa persetujuan kolektif.
Konsepsi juringan mencerminkan filosofi egaliter masyarakat adat: sumber daya alam adalah anugerah komunal yang harus dikelola bersama, bukan objek spekulasi individu.
Sistem juringan sangat dinamis dan beradaptasi dengan kondisi geografis. Di wilayah dengan dominasi irigasi (sawah), juringan sangat terstruktur dan presisi, terikat pada sistem pengairan (subak atau sejenisnya). Sementara di wilayah ladang (huma) atau hutan, juringan lebih fleksibel, sering kali didefinisikan oleh batas alam yang lebih luas.
Di daerah agraris padat seperti Jawa, Bali, dan beberapa bagian Sumatera, juringan sawah adalah yang paling terperinci. Juringan ini diukur dengan presisi menggunakan satuan tradisional (seperti bau, patok, atau tumbak), dan batas-batasnya (galengan) sangat jelas. Pembagiannya meliputi:
Pada masyarakat peladang atau mereka yang berbasis pada eksploitasi hasil hutan (seperti di Kalimantan, Sulawesi, atau Sumatera pedalaman), konsep juringan mengambil bentuk pembagian wilayah perburuan, wilayah penanaman berpindah (ladang gogo), atau wilayah pengumpulan hasil hutan (rotan, damar, gaharu).
Dalam konteks ini, batas-batas juringan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan ekologis lokal. Contohnya, batas juringan ditentukan oleh jalur migrasi hewan, daerah tangkapan air, atau vegetasi khas. Sistem ini membutuhkan peran kuat dari pemangku adat (misalnya, Kepala Rimba atau Dukun Hutan) yang bertugas menafsirkan dan menegakkan batas-batas tersebut untuk menghindari eksploitasi berlebihan.
Skema Sederhana Juringan: Pembagian Sektoral Tanah Komunal dari Pusat Kekuasaan Adat.
Juringan tidak hanya menentukan siapa mendapat tanah di mana, tetapi juga membentuk struktur sosial, hierarki, dan mekanisme ekonomi desa. Ia adalah fondasi bagi kohesi sosial dan sekaligus potensi sumber konflik apabila pembagiannya dianggap tidak adil.
Meskipun juringan secara filosofis bersifat egaliter (semua anggota komunitas berhak atas hak garap), penerapannya seringkali mencerminkan stratifikasi sosial yang sudah ada. Di beberapa wilayah, terdapat perbedaan dalam kualitas juringan yang dibagikan:
Namun, mekanisme rotasi (jika diterapkan) bertujuan memitigasi ketidakadilan ini. Jika semua juringan dirotasi setiap 5, 7, atau 10 tahun, maka setiap keluarga akan merasakan menggarap tanah yang subur dan tanah yang kurang subur secara bergantian, yang mendorong semangat gotong royong dalam meningkatkan kualitas tanah secara keseluruhan.
Di daerah irigasi, pembagian juringan sangat terikat erat dengan sistem pengairan adat. Pengurus air (seperti Ulu-ulu di Jawa atau Pekaseh di Bali) memiliki kekuasaan besar karena mereka menentukan jatah air (giliran air) yang sangat penting untuk keberhasilan panen di setiap juringan. Batas-batas juringan diukur sedemikian rupa sehingga memudahkan pembagian air yang adil dari saluran irigasi utama ke saluran sekunder.
Konflik sering timbul ketika terjadi kekeringan. Sistem juringan menyediakan protokol penyelesaian konflik yang sangat rinci, seringkali melibatkan musyawarah desa atau sumpah adat di situs-situs suci. Pelanggaran batas juringan atau pencurian air dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap tatanan kosmik desa.
Masa kolonial Belanda membawa guncangan besar terhadap sistem agraria tradisional, termasuk konsep juringan. Pemerintahan kolonial memiliki pandangan yang sangat berbeda mengenai tanah dan kepemilikan, yang didasarkan pada hukum Barat (kontinental).
Pada abad ke-19, Pemerintah Kolonial mengeluarkan kebijakan Domeinverklaring (Pernyataan Domein), yang pada intinya menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh individu di bawah hukum kolonial adalah "tanah negara" (staatsdomein). Kebijakan ini secara langsung menihilkan konsep Hak Ulayat dan sistem juringan yang ada di bawahnya, karena tanah komunal tidak memiliki bukti kepemilikan individu formal ala Barat.
Meskipun masyarakat adat terus menjalankan juringan di tingkat mikro, secara legal, hak mereka dilemahkan. Kolonialisme melihat juringan sebagai sistem primitif yang menghambat produksi massal, dan mereka sering memaksakan perubahan dalam pembagian untuk kepentingan perkebunan besar (onderneming).
Implikasi dari guncangan ini sangat mendalam. Juringan yang dulunya berfungsi sebagai sistem pemerataan, kini terancam oleh:
Representasi Alat Ukur Juringan: Penggunaan Patok dan Garis Referensi untuk Menentukan Ukuran dan Arah Pembagian.
Dalam sistem Tanam Paksa, juringan mengalami distorsi parah. Pemerintah Kolonial sering memaksa desa untuk mengalokasikan juringan-juringan terbaik mereka (Juringan Kelas Satu) untuk menanam komoditas ekspor. Hal ini menyebabkan kelaparan karena sisa juringan yang diperuntukkan bagi tanaman pangan (padi) seringkali berada di lahan yang buruk atau tidak mendapatkan air yang cukup.
Sistem juringan yang seharusnya berfungsi sebagai alat pemerataan kini menjadi alat ekstraksi kekayaan. Kepala desa (Pamong) yang diangkat oleh Belanda diberi insentif (prosentase hasil panen) atas keberhasilan pengalihan fungsi juringan, yang semakin memperlebar jurang sosial antara elite desa dengan rakyat biasa.
Setelah kemerdekaan, Indonesia berupaya merekonstruksi sistem agrarianya melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. UUPA berlandaskan pada prinsip keadilan sosial dan pengakuan terhadap Hak Ulayat, yang secara filosofis kembali dekat dengan semangat juringan.
UUPA mengakui keberadaan Hak Ulayat sepanjang masih nyata ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Meskipun istilah 'juringan' tidak secara eksplisit disebut, semangatnya terinternalisasi dalam beberapa konsep:
Namun, implementasi UUPA seringkali terhambat. Modernisasi dan proyek-proyek pembangunan besar (seperti pembangunan waduk, jalan tol, dan industri) sering menempatkan kepentingan negara di atas pengakuan Hak Ulayat, yang secara struktural tetap menekan sistem pembagian tradisional seperti juringan.
Di era modern, di mana isu perubahan iklim dan keberlanjutan menjadi krusial, filosofi di balik juringan menawarkan pelajaran penting bagi perencanaan tata ruang kontemporer.
Pembagian juringan yang didasarkan pada ekologi (misalnya, memisahkan juringan untuk padi, juringan untuk kayu bakar, dan juringan konservasi air) adalah model zonasi yang telah teruji ratusan tahun. Konsep ini dapat diterapkan dalam penetapan zona lindung yang pengelolaannya diserahkan langsung kepada komunitas adat, yang notabene memiliki pengetahuan mendalam mengenai batas-batas ekologis yang telah diwariskan melalui sistem juringan.
Di beberapa daerah yang masih mempraktikkan sistem rotasi juringan, tingkat konflik agraria internal cenderung lebih rendah. Hal ini disebabkan tidak adanya kepemilikan mutlak yang menciptakan kesenjangan permanen. Konsep rotasi dapat dimodifikasi untuk program redistribusi tanah (reforma agraria) modern, memastikan bahwa hasil dari tanah yang direformasi memberikan manfaat yang lebih luas dan adil bagi seluruh petani, bukan hanya penerima hak tunggal.
Filosofi juringan menekankan bahwa nilai sejati tanah terletak pada fungsi produktifnya untuk komunitas, bukan pada nilai tukarnya sebagai komoditas di pasar bebas.
Meskipun istilah ‘juringan’ mungkin dominan di Jawa atau Sunda, konsep pembagian wilayah yang terstruktur dengan fungsi sosial dan ekonomi yang spesifik dapat ditemukan di seluruh Nusantara dengan istilah lokal yang berbeda, namun memiliki inti fungsi yang serupa.
Sistem Subak di Bali, yang diakui UNESCO, adalah manifestasi kompleks dari pembagian juringan. Meskipun Subak fokus pada manajemen air, pembagian lahan sawah di bawah naungan Subak (disebut *tempek* atau *karang*) diukur dan didistribusikan sesuai dengan hak keanggotaan. Tanah di Bali diatur secara ketat, memisahkan wilayah suci (Pura), wilayah tinggal (Karang Ayah), dan wilayah pertanian (Sawah). Pembagian ini adalah bentuk juringan yang terintegrasi dengan ajaran Tri Hita Karana.
Juringan-juringan tertentu di Bali bahkan memiliki jadwal tanam yang diatur berdasarkan kalender keagamaan (Pawukon). Pengaturan ini memastikan bahwa panen dan masa istirahat tanah (rotasi tanam) terjadi secara kolektif, yang merupakan esensi dari kontrol sosial agraria yang diatur melalui sistem juringan yang terlembaga.
Di Minangkabau, pembagian tanah (Harta Pusaka Tinggi dan Harta Pusaka Rendah) juga memiliki sistem juringan yang diatur oleh kaum (klan) dan dikelola oleh penghulu. Sawah yang dikelola oleh kaum adalah bentuk juringan komunal, di mana hak garap ditentukan oleh garis keturunan ibu (matrilineal). Meskipun kepemilikan bersifat kolektif, batas-batas garapan individu (juringan) sangat jelas dan diawasi ketat. Sistem ini memastikan bahwa sumber daya tidak lari dari kaum, menjaga keseimbangan ekonomi internal.
Pada masyarakat Dayak, terutama yang masih menjalankan pertanian berpindah (walaupun kini banyak yang menetap), pembagian juringan terlihat dalam sistem *tembawang* (kebun buah dan hutan adat permanen) dan wilayah ladang rotasi. Wilayah ladang dibagi berdasarkan juringan temporal, yaitu hak garap lahan hutan yang dibuka hanya untuk beberapa musim, setelah itu lahan tersebut dirotasi kembali menjadi hutan sekunder (belukar). Pembagian ini adalah juringan yang memaksimalkan fungsi ekologis, mencegah kelelahan tanah, dan menegaskan hak komunal atas siklus ekosistem.
Sebuah sistem pembagian yang begitu rinci dan penting bagi kelangsungan hidup komunitas memerlukan mekanisme pengawasan yang kuat. Hukum Adat menyediakan kerangka penegakan yang berlapis, seringkali memadukan hukuman sosial, denda materi, dan sanksi spiritual.
Penanda fisik juringan tidak selalu berupa patok kayu sederhana. Di banyak tempat, penanda batas adalah pohon besar (pohon keramat), batu alam (watu tapal), atau saluran irigasi buatan yang permanen. Penanda ini memiliki nilai historis dan spiritual. Merusak atau memindahkan penanda juringan tanpa izin dianggap sebagai pelanggaran berat yang dapat mendatangkan musibah bagi komunitas.
Proses penentuan batas juringan seringkali dilakukan dengan upacara adat, melibatkan saksi-saksi tua yang mengetahui sejarah tanah tersebut. Pengukuran dilakukan dengan alat-alat tradisional, seperti tali yang diukur dengan satuan tubuh (depa, jengkal, atau langkah kaki), yang meskipun tidak sepresisi GPS modern, memiliki akurasi sosial yang tinggi karena diakui oleh seluruh pihak.
Pelanggaran juringan terbagi menjadi beberapa kategori:
Dalam kasus yang paling serius, pelanggar mungkin dikenai sanksi spiritual (misalnya, dikucilkan dari upacara adat atau dikenai kutukan/sumpah). Kekuatan sanksi spiritual inilah yang membuat juringan dapat dipertahankan secara efektif selama berabad-abad tanpa memerlukan sistem pengadilan formal yang mahal.
Pada abad ke-21, sistem juringan menghadapi tantangan eksistensial, terutama akibat tekanan urbanisasi, industrialisasi, dan sistem pendaftaran tanah modern (Sertifikasi Hak Milik).
Generasi muda di pedesaan seringkali kurang memahami sejarah dan fungsi kompleks dari juringan. Ketika tanah diukur dan disertifikasi di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN), penekanan beralih dari Hak Ulayat (komunal) ke Hak Milik (individual). Proses sertifikasi ini, meskipun memberikan kepastian hukum modern, seringkali secara tidak sengaja menghapus jejak dan nilai-nilai sosial dari juringan komunal.
Misalnya, juringan yang tadinya merupakan tanah rotasi untuk seluruh warga, ketika disertifikasi atas nama individu, fungsi pemerataannya hilang. Individu pemilik sertifikat kini memiliki hak mutlak untuk menjual tanah tersebut ke pihak luar (investor), sebuah tindakan yang dilarang keras di bawah filosofi asli juringan.
Meskipun modernisasi mengancam, teknologi digital juga menawarkan peluang untuk merevitalisasi dan mendokumentasikan sistem juringan. Pemetaan partisipatif (participatory mapping) menggunakan teknologi GIS (Sistem Informasi Geografis) kini digunakan oleh banyak komunitas adat untuk memetakan batas-batas ulayat dan juringan mereka secara presisi. Dokumentasi ini berfungsi sebagai bukti kuat di mata hukum negara ketika mereka mengajukan pengakuan resmi atas Hak Ulayat mereka.
Dengan memvisualisasikan juringan tradisional, komunitas dapat:
Pada akhirnya, kajian mendalam mengenai juringan membawa kita kembali pada pertanyaan fundamental tentang keadilan agraria. Juringan adalah sistem yang dirancang untuk mengatasi ketimpangan dan memastikan kelangsungan hidup kolektif di tengah keterbatasan sumber daya.
Juringan beroperasi berdasarkan prinsip keadilan distributif, yaitu pembagian sumber daya yang memastikan setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk hidup layak. Ini sangat kontras dengan sistem pasar bebas, di mana tanah cenderung terakumulasi di tangan segelintir orang. Sistem rotasi, pengikatan hak garap pada status keanggotaan, dan pelarangan penjualan ke luar komunitas, adalah mekanisme yang menjaga sistem juringan tetap adil dan berkelanjutan.
Ketika sistem juringan dihancurkan atau dilemahkan, yang terjadi adalah pemiskinan struktural. Petani kehilangan akses terhadap juringan yang subur, terpaksa menjadi buruh tani di tanah mereka sendiri, atau harus berurbanisasi, yang menciptakan masalah sosial baru di perkotaan.
Para perencana wilayah dan pembuat kebijakan masa kini dapat mengambil beberapa pelajaran kunci dari keberhasilan dan kegagalan sistem juringan:
Penelitian lanjutan mengenai variasi juringan di berbagai suku dan wilayah di Nusantara sangat penting untuk memperkaya khazanah hukum agraria nasional. Juringan adalah warisan tak ternilai yang membuktikan bahwa masyarakat tradisional mampu menciptakan sistem tata ruang yang adil, efisien, dan selaras dengan alam, jauh sebelum istilah 'pembangunan berkelanjutan' dikenal secara global.
Penting untuk memasukkan pemahaman tentang juringan dalam kurikulum pendidikan lokal dan nasional. Dengan mengajarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sistem pembagian adat ini—yaitu gotong royong, keadilan, dan hubungan spiritual dengan tanah—kita dapat memastikan bahwa pengetahuan ini tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga panduan hidup bagi generasi mendatang. Revitalisasi juringan bukan berarti kembali ke masa lalu secara harfiah, melainkan mengambil inti filosofisnya dan mengintegrasikannya dalam tantangan abad ke-21.
Sistem juringan adalah penanda abadi tentang bagaimana peradaban agraris Nusantara mengelola kompleksitas kehidupan. Ia adalah jaring pengaman sosial, regulator ekonomi, dan sekaligus peta ekologis yang tersembunyi dalam lembaran sejarah agraria kita yang luas dan mendalam. Memahami juringan adalah memahami jiwa kolektif masyarakat yang mendiami ribuan pulau ini.
Kajian mendalam tentang struktur juringan yang berlapis memerlukan analisis yang tidak terburu-buru, melibatkan disiplin ilmu antropologi hukum, ekologi sosial, dan sejarah ekonomi. Setiap juringan, di setiap desa, menceritakan kisah yang unik tentang perjuangan, adaptasi, dan komitmen komunitas terhadap prinsip keadilan yang mereka junjung tinggi.
Juringan, dalam berbagai bentuk dan manifestasinya, tetap menjadi cetak biru bagi setiap upaya mewujudkan kedaulatan pangan sejati dan keadilan tata ruang di Indonesia. Keberlanjutan sistem pangan bangsa sangat bergantung pada pengakuan dan perlindungan terhadap warisan sistem pembagian lahan tradisional yang telah teruji zaman, menjadikannya relevan bukan hanya sebagai sejarah, tetapi sebagai solusi nyata di masa depan.
Langkah-langkah strategis untuk mengembalikan marwah juringan harus dimulai dari rekognisi formal oleh pemerintah daerah. Pengakuan ini harus diikuti dengan perlindungan hukum yang memungkinkan komunitas adat mengatur pembagian internal mereka tanpa intervensi komersial yang merusak. Hal ini memerlukan dialog berkelanjutan antara pemangku kepentingan adat, akademisi, dan pemerintah.
Pembahasan ini telah berusaha menyajikan kekayaan juringan dari berbagai sudut pandang—dari sekadar irisan tanah menjadi sebuah sistem tata kelola sosial yang komprehensif. Juringan adalah pelajaran tentang bagaimana Hak Ulayat, ketika dikelola dengan bijak, dapat menjadi benteng terakhir melawan ketidakadilan agraria dan kerusakan lingkungan. Masa depan Indonesia, yang adil dan berkelanjutan, sebagian besar bergantung pada kemampuan kita untuk menghormati dan mengintegrasikan kearifan yang terkandung dalam sistem pembagian kuno ini.
Setiap inci tanah yang diatur melalui juringan memiliki narasi historis dan tanggung jawab komunal. Juringan mengajarkan kita bahwa tanah bukanlah entitas mati, melainkan bagian integral dari identitas sosial dan spiritual. Oleh karena itu, perjuangan untuk mempertahankan juringan adalah perjuangan untuk mempertahankan identitas dan kedaulatan masyarakat adat di tengah arus globalisasi yang seragam.
Pendekatan komparatif antara juringan di Jawa (yang cenderung padat dan rotatif) dengan sistem pembagian di luar Jawa (yang lebih longgar namun sangat terikat pada ritual pembukaan hutan) menunjukkan betapa adaptifnya sistem ini terhadap kondisi geografis dan demografi yang berbeda. Fleksibilitas ini adalah kekuatan utama juringan yang memungkinkannya bertahan dari gempuran penjajahan dan modernisasi yang agresif.
Kita harus mengakui bahwa tekanan populasi dan kebutuhan ekonomi modern telah mengubah banyak aspek juringan. Di beberapa tempat, rotasi telah berhenti, dan juringan telah diwariskan secara permanen, menciptakan kesenjangan baru. Namun, inti dari kearifan—bahwa tanah adalah milik bersama dan harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan kolektif—tetap menjadi panduan moral yang tidak lekang oleh waktu dan layak untuk dipulihkan dalam hukum agraria masa kini. Juringan adalah simbol kedaulatan lokal yang menunggu untuk diangkat kembali sebagai model pembangunan yang adil.
Pemahaman yang mendalam tentang juringan juga relevan dalam konteks konflik agraria yang saat ini masih marak. Banyak sengketa lahan bermula dari ketidaksepahaman antara batas-batas tradisional (juringan) yang diakui komunitas dengan batas-batas legal formal yang dikeluarkan pemerintah atau perusahaan. Dengan mengakui dan memetakan juringan secara partisipatif, banyak sengketa dapat dicegah sejak dini, memulihkan harmoni antara masyarakat dan negara atas pengelolaan bumi pertiwi.