Di antara rangkaian kepulauan timur Nusantara, tersembunyi cerita tentang sebuah peradaban yang kemegahannya pernah menyaingi kerajaan-kerajaan besar di barat, namun hilang ditelan kabut sejarah dan waktu. Kerajaan Junpur, atau yang dalam catatan pelaut kuno disebut sebagai “Negeri Tirta Cakra,” adalah sebuah enigma monumental yang memicu debat tiada akhir di kalangan arkeolog dan sejarawan.
Junpur, yang diperkirakan berdiri tegak selama lebih dari delapan abad, dikenal bukan hanya karena kekayaan sumber daya alamnya, tetapi juga karena kompleksitas sistem sosial, arsitektur, dan filosofinya yang unik. Jejaknya yang samar-samar, ditemukan dalam prasasti batu yang resisten terhadap pelapukan dan sisa-sisa irigasi kuno yang luar biasa canggih, menunjukkan bahwa ini adalah masyarakat yang mencapai puncak kejayaan teknologi dan spiritual yang jarang terjadi pada masanya.
Artikel ini bertujuan untuk menelusuri setiap aspek dari peradaban Junpur berdasarkan temuan-temuan terbaru, mulai dari asal-usul geografisnya yang misterius, struktur pemerintahannya yang berlapis, hingga keruntuhannya yang mendadak, meninggalkan warisan berupa pertanyaan yang menggantung di udara. Menggali Junpur adalah menyelami salah satu babak sejarah Nusantara yang paling kaya, sekaligus paling tragis.
Lokasi Kerajaan Junpur sering kali diperdebatkan. Berdasarkan analisis linguistik dan isotopik pada artefak, konsensus modern menempatkan pusat Junpur di wilayah kepulauan yang kini dikenal sebagai perbatasan antara Laut Banda dan Laut Seram. Kawasan ini dicirikan oleh rangkaian gunung berapi aktif, tanah vulkanis subur, dan curah hujan tinggi yang mendukung sistem pertanian intensif.
Junpur terbagi menjadi tiga zona geografis utama, yang secara langsung memengaruhi struktur ekonomi dan sosial mereka:
Sungai utama yang menopang kehidupan Junpur adalah Sungai Wajra, yang alirannya dimanipulasi dengan kompleksitas yang luar biasa melalui serangkaian bendungan dan saluran air, menunjukkan pemahaman mendalam mereka tentang hidrologi dan manajemen air.
Masa awal Junpur, yang disebut Periode Pra-Prasasti, didominasi oleh konfederasi suku-suku agraris yang dikenal sebagai Suku Cakra Tirta. Penyatuan konfederasi ini diperkirakan terjadi di bawah kepemimpinan Ratu Purbasari, seorang figur mitologis yang kisahnya terjalin kuat dengan legenda dewa air dan gunung. Ratu Purbasari tidak hanya menyatukan suku-suku yang bersaing, tetapi juga menstandarkan sistem pengukuran pertanian, sebuah langkah krusial yang mengarah pada surplus pangan.
Prasasti Kelereng Bunga (ditemukan pada tahun 1998) menguraikan visi awal Junpur: sebuah negara yang didasarkan pada ‘Keseimbangan Tripartite’ – keseimbangan antara Langit (Spiritualitas), Bumi (Agrikultur), dan Air (Kehidupan). Filosofi ini menjadi pondasi bagi seluruh tata kelola Junpur selama berabad-abad.
Kekuatan awal Junpur terletak pada kemampuan mereka untuk mengelola lingkungan yang menantang. Wilayah mereka rawan gempa dan letusan, namun bukannya lari, mereka mengembangkan arsitektur tahan gempa yang menggunakan sambungan tanpa semen, sebuah teknik yang dikenal sebagai ‘Sangga Bumi’.
Junpur adalah monarki teokratis yang kompleks, dipimpin oleh seorang Maharaja yang bergelar Bhumi Wiyata (Penguasa Ilmu dan Bumi). Kekuasaan Maharaja bersifat absolut, namun dibatasi oleh dewan penasihat spiritual dan teknokrat.
Tidak seperti sistem kasta ketat di beberapa peradaban lain, Junpur menggunakan sistem kelas yang relatif lebih fleksibel yang disebut Catur Loka (Empat Dunia):
Mobilitas sosial dimungkinkan, terutama melalui pendidikan di Wiyata Loka. Seorang petani cerdas dapat menjadi insinyur irigasi (bagian dari Karya Loka) dan mendapatkan status yang lebih tinggi, asalkan ia lolos ujian ketat yang diadakan setiap lima tahun.
Hukum Junpur, yang tercatat dalam Kitab Dharma Tirta, sangat menekankan keadilan restoratif dan sanksi yang berbanding lurus dengan kerusakan yang ditimbulkan. Pencurian sumber daya air, misalnya, dianggap sebagai kejahatan berat yang mengancam seluruh komunitas.
Administrasi regional dikelola melalui sistem ‘Dasa Praja’, sepuluh provinsi otonom yang masing-masing dipimpin oleh seorang Adipati. Setiap Adipati wajib mengirimkan laporan tahunan tentang kondisi panen dan pemeliharaan irigasi kepada Maharaja di ibukota, Pura Bhumi. Kegagalan panen yang disebabkan oleh kelalaian administrasi seringkali berujung pada pencopotan paksa Adipati.
Sistem ini memastikan bahwa meskipun Junpur adalah kerajaan yang luas, setiap daerah memiliki manajemen sumber daya yang ketat dan efisien, memungkinkan mereka bertahan dari bencana alam berulang.
Periode antara abad ke-8 hingga abad ke-12 Masehi dianggap sebagai Puncak Kejayaan (Periode Swarna Bhumi) Junpur. Pada masa inilah arsitektur monumental dibangun dan sistem teknologi yang rumit mencapai kesempurnaan.
Pura Bhumi, ibukota Junpur, adalah mahakarya perencanaan kota. Kota ini dibangun dalam bentuk mandala konsentris, dengan Candi Utama Maharaja (Candi Lintang) sebagai pusat. Keunikan arsitektur Junpur terletak pada penggunaan batu vulkanik yang ringan namun kuat, dikombinasikan dengan teknik Sangga Bumi. Struktur tinggi dibangun dengan fondasi yang fleksibel, yang memungkinkan bangunan 'bergerak' bersama getaran tanah, bukan melawannya.
Bangunan-bangunan di Pura Bhumi dicirikan oleh atap bertingkat yang melengkung ke atas, melambangkan gelombang air (Tirta) dan sering kali dihiasi dengan ukiran detail yang menceritakan siklus agrikultur dan mitologi dewa air.
Teknologi paling menentukan Junpur adalah sistem irigasi terpadu Tirta Yasa. Ini bukan sekadar saluran air, melainkan jaringan ekologis dan administratif yang terintegrasi. Sistem ini mencakup:
Efisiensi Tirta Yasa sangat tinggi sehingga populasi Junpur dapat tumbuh pesat tanpa mengalami kelaparan musiman. Sistem ini juga mengintegrasikan pemeliharaan lahan basah alami, memastikan konservasi ekosistem air. Kajian modern menunjukkan bahwa efisiensi Tirta Yasa melebihi 90% dalam pendistribusian air, sebuah angka yang sulit dicapai bahkan dengan teknologi modern.
Di wilayah Catur Mandala, para insinyur Junpur menguasai peleburan bijih yang menghasilkan perunggu Junpur (disebut Lokanatha) yang sangat keras dan tahan korosi. Logam ini tidak hanya digunakan untuk senjata dan perkakas, tetapi juga untuk artefak ritual dan patung-patung besar yang menjadi ciri khas seni Junpur.
Kesenian dan spiritualitas Junpur adalah cerminan langsung dari filosofi Keseimbangan Tripartite mereka. Agama mereka bersifat sinkretis, memadukan pemujaan dewa alam, roh leluhur, dan entitas kosmik yang kompleks.
Pusat kepercayaan Junpur adalah dewa air, Dewa Wajra Tirta, yang diyakini mengendalikan siklus kehidupan, hujan, dan kesuburan tanah. Kosmologi mereka membagi alam semesta menjadi tiga lapisan:
Ritual-ritual utama (terutama yang terkait dengan musim tanam dan panen) dilakukan di Candi Lintang, seringkali melibatkan tarian yang sangat energik, diiringi instrumen perkusi dari perunggu Lokanatha.
Seni patung Junpur sangat unik karena fokusnya pada cairan dan pergerakan. Patung-patung dewa dan pahlawan sering dibuat seolah-olah sedang mengalir atau bergerak, sebuah efek yang dicapai melalui teknik pahatan yang sangat halus. Seni patung yang paling terkenal adalah ‘Air Terjun Abadi,’ sebuah relief batu yang terletak di kompleks Candi Wiyata, yang memberikan ilusi air yang terus mengalir meskipun terbuat dari batu solid.
Tekstil Junpur (Kain Serat Bhumi) dibuat dari campuran serat rami lokal dan sutra impor. Kain ini terkenal karena pewarna alaminya yang sangat tahan lama, yang diekstrak dari tumbuhan pegunungan. Pola kain selalu geometris dan berulang, melambangkan siklus alam dan keteraturan kosmik.
Sastra Junpur, yang ditulis pada lempengan daun lontar tebal, didominasi oleh puisi epik tentang pembangunan irigasi dan kisah-kisah Maharaja yang heroik. Epos Tirta Cakra, yang terdiri dari 7.000 bait, adalah catatan sejarah, mitologi, dan panduan filosofis utama bagi kerajaan.
Meskipun terisolasi secara geografis, Junpur adalah kekuatan maritim yang signifikan. Posisi strategis mereka di jalur rempah-rempah memungkinkan mereka menjalin hubungan dagang yang luas, terutama dengan kerajaan di barat dan pedagang dari wilayah yang kini dikenal sebagai Tiongkok Selatan.
Ekonomi Junpur didasarkan pada surplus pangan dan barang-barang mewah:
Pelabuhan utama, Pelabuhan Nagakusuma, adalah pusat multi-etnis yang sibuk, tempat berbagai bahasa dan mata uang bertemu. Junpur tidak menggunakan mata uang koin, melainkan sistem barter yang sangat terstandarisasi, menggunakan unit timbangan perunggu resmi yang dikeluarkan oleh kerajaan.
Junpur dikenal memiliki kebijakan luar negeri yang defensif tetapi diplomatis. Mereka jarang memulai konflik, tetapi memiliki armada laut yang kuat yang disebut Armada Wiyata, yang bertugas melindungi jalur perdagangan dan pantai dari serangan bajak laut. Laksamana Junpur adalah ahli navigasi yang mahir memanfaatkan arus laut dan pola angin di kawasan kepulauan timur.
Catatan Tiongkok kuno menyebutkan utusan dari Junpur yang membawa hadiah berupa rempah-rempah dan patung perunggu unik, memperkuat bukti adanya hubungan diplomatik yang terjalin erat antara kedua peradaban jauh tersebut.
Keruntuhan Junpur adalah salah satu misteri terbesar dalam sejarah Asia Tenggara. Pada puncaknya, sekitar abad ke-12, kerajaan ini tampaknya tak tertembus. Namun, dalam kurun waktu satu abad, sebagian besar kota-kota besarnya ditinggalkan, sistem irigasi Tirta Yasa menjadi tidak terawat, dan catatan sejarah kerajaan tiba-tiba terhenti.
Teori yang paling kuat didukung oleh data geologis adalah serangkaian bencana alam yang saling terkait. Wilayah Junpur dikenal vulkanis, dan analisis lapisan abu di situs-situs utama menunjukkan dua letusan gunung berapi besar (dikenal sebagai Letusan Bhumi Merana) yang terjadi dalam rentang waktu 50 tahun.
Hilangnya kemampuan mengelola air dan pangan menghancurkan fondasi sosial Junpur, yang didasarkan pada surplus agrikultur.
Selama periode krisis lingkungan, catatan yang samar-samar menunjukkan adanya peningkatan konflik internal. Maharaja terakhir yang tercatat, Maharaja Suprabhu, dilaporkan kehilangan otoritas di mata Wiyata Loka (para cendekiawan) karena dianggap gagal menenangkan Dewa Wajra Tirta.
Karya Loka (para insinyur) kehilangan kemampuan untuk memperbaiki sistem irigasi yang rusak parah, menyebabkan migrasi besar-besaran dari Tani Loka (petani) ke wilayah Dwi Mandala yang lebih stabil.
Catatan seorang pedagang asing dari tahun 1250 Masehi menggambarkan Pura Bhumi sebagai kota yang 'megah namun sepi, dengan patung-patung yang menangisi air yang hilang.' Ini menunjukkan penurunan populasi yang drastis sebelum kehancuran total.
Meskipun invasi berskala besar sulit dikonfirmasi, pelemahan Junpur akibat bencana alam membuatnya rentan terhadap tekanan dari kerajaan-kerajaan maritim yang sedang bangkit di wilayah barat Nusantara. Beberapa ahli percaya bahwa sisa-sisa bangsawan Junpur akhirnya bermigrasi ke pulau-pulau kecil di sekitarnya, di mana budaya mereka secara bertahap terserap oleh budaya lokal yang lebih dominan, menghapus identitas Junpur yang terpisah.
Junpur mungkin telah hilang sebagai entitas politik, tetapi warisan teknologi dan filosofisnya bertahan hingga kini, terutama dalam sistem pertanian adat yang masih dipraktikkan oleh beberapa komunitas terpencil di wilayah timur.
Situs utama Junpur, yang dikenal sebagai Situs Arkeologi Bhumi Wiyata, pertama kali ditemukan pada tahun 1970-an. Penggalian berlanjut hingga hari ini dan telah menghasilkan temuan-temuan penting:
Studi terhadap temuan ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang ketahanan material dan kecerdasan hidrolik Junpur, menempatkan mereka sejajar dengan peradaban teknik kuno terbaik di dunia.
Meskipun nama Junpur menghilang dari peta, praktik-praktik mereka tidak sepenuhnya hilang. Konsep Subak Tirta, manajemen air berbasis komunitas spiritual, diyakini telah memengaruhi beberapa sistem irigasi di pulau-pulau tetangga. Selain itu, beberapa dialek lokal di wilayah timur masih menyimpan sejumlah besar kosakata Junpuri kuno, terutama yang berkaitan dengan pertanian dan navigasi maritim.
Para peneliti terus mencari ‘perpustakaan’ utama Junpur, sebuah situs yang diyakini menyimpan semua gulungan Kitab Dharma Tirta yang belum ditemukan. Penemuan ini diharapkan dapat mengisi kekosongan antara catatan sejarah Junpur yang terhenti dan catatan sejarah kontemporer dari peradaban tetangga.
Inti dari Junpur bukanlah pada kekuatan militer atau kekayaan semata, tetapi pada filosofi Keseimbangan Tripartite (Langit, Bumi, Air). Filosofi ini meresap dalam setiap aspek kehidupan dan menjadi kunci memahami mengapa peradaban mereka bertahan begitu lama di lingkungan yang ekstrem.
Bagi masyarakat Junpur, air adalah entitas hidup, bukan hanya sumber daya. Penghormatan terhadap Dewa Wajra Tirta berarti bahwa manajemen air (irigasi) bukan hanya tugas teknis, tetapi tugas spiritual. Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada komunitas yang menimbun air berlebihan, karena dianggap melanggar keseimbangan kosmik. Setiap kerusakan pada sistem Tirta Yasa dianggap sebagai dosa spiritual, yang memicu kepatuhan tinggi dari masyarakat.
Wiyata Loka tidak hanya memimpin dalam ritual, tetapi juga dalam sains terapan. Pengetahuan tentang astronomi digunakan untuk menentukan waktu tanam yang tepat, matematika digunakan untuk menghitung volume air, dan metalurgi dikembangkan berdasarkan penelitian yang ketat. Junpur adalah salah satu peradaban kuno yang paling awal mengintegrasikan spiritualitas dengan metode ilmiah yang sistematis, menjadikan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari pengabdian agama.
Mereka memiliki sistem pengukuran waktu yang sangat akurat, yang diukur menggunakan jam air canggih (Jala Kala). Akurasi ini sangat penting untuk memastikan sinkronisasi irigasi di seluruh Tri Mandala.
Untuk benar-benar memahami Junpur, kita harus melihat lebih jauh dari candi dan bendungan, dan memasuki kehidupan sehari-hari warganya, terutama di era Swarna Bhumi (Puncak Kejayaan).
Anak-anak Junpur, terlepas dari kelas sosial mereka, diwajibkan mempelajari Aksara Junpuri, sebuah sistem penulisan silabis yang unik. Pendidikan dasar berfokus pada literasi, perhitungan, dan etika Dharma Tirta. Pendidikan tingkat lanjut, yang terbatas pada calon Wiyata Loka dan Satria Loka, melibatkan studi filosofi, navigasi bintang, dan teknik hidrologi. Sekolah-sekolah didirikan di dekat Candi Tirta, yang berfungsi ganda sebagai pusat pengajaran dan observasi air.
Diet Junpuri sangat berbasis karbohidrat dari beras (Beras Bhumi Wiyata), dilengkapi dengan protein dari perikanan air tawar intensif yang dikelola di waduk-waduk irigasi. Makanan mereka dikenal kaya akan rempah-rempah yang mereka tanam sendiri. Makanan pokok seringkali diolah menjadi bubur kental yang diperkaya dengan kuah santan dan daging ikan bakar. Mereka juga memproduksi sejenis minuman fermentasi dari beras yang sangat populer di kalangan Karya Loka setelah seharian bekerja keras.
Pakaian sehari-hari dibuat dari serat rami yang ditenun secara lokal. Warna-warna pakaian bervariasi berdasarkan kelas. Wiyata Loka sering mengenakan pakaian berwarna putih pucat atau ungu muda (diperoleh dari pewarna langka), melambangkan kemurnian dan kebijaksanaan. Satria Loka mengenakan warna merah yang berani, sementara Tani Loka menggunakan warna cokelat atau hijau bumi.
Kerajinan tangan dari giok, kayu ukir, dan tembaga merupakan kegiatan yang umum. Setiap rumah tangga di Karya Loka memiliki setidaknya satu penenun atau pemahat, menandakan tingginya penghargaan terhadap keterampilan manual.
Meskipun Junpur dikenal damai, mereka bukanlah kerajaan tanpa militer. Armada Wiyata dan pasukan darat (Pasukan Jagabhaya) terlatih untuk menghadapi ancaman, baik dari laut maupun dari suku-suku pedalaman yang belum ditaklukkan sepenuhnya.
Armada Junpur menggunakan kapal-kapal panjang dan ramping yang disebut Kapa Tirta. Kapal-kapal ini dirancang untuk kecepatan dan manuver di perairan dangkal dan sempit di sekitar kepulauan. Mereka mengandalkan busur panah yang dicelup racun dan formasi kapal yang rapat untuk melindungi konvoi dagang.
Bukti yang paling menarik dari masa-masa akhir Junpur adalah apa yang disebut sejarawan sebagai ‘Perang Air.’ Ketika sistem Tirta Yasa mulai gagal akibat bencana alam, konflik antar Adipati regional meletus mengenai distribusi air yang semakin langka. Daripada melawan musuh luar, energi kerajaan terkuras dalam perebutan kendali atas bendungan dan saluran utama.
Para Adipati yang kaya di Dwi Mandala berusaha memprivatisasi sisa-sisa air yang masih mengalir, mengabaikan tuntutan Tani Loka di Tri Mandala. Perpecahan ini secara efektif melumpuhkan kemampuan pusat (Maharaja) untuk mengoordinasikan respons terhadap bencana alam yang sedang berlangsung, mempercepat migrasi dan perpecahan sosial hingga disintegrasi total.
Penelitian menunjukkan bahwa Candi Lintang, pusat spiritual Junpur, ditinggalkan setelah insiden besar yang disebut “Pengepungan Bendungan Wajra”, di mana Pasukan Jagabhaya berbalik melawan Wiyata Loka yang menjaga bendungan, menandai hilangnya otoritas moral dan spiritual kerajaan.
Warisan Junpur yang paling tahan lama mungkin adalah kontribusi mereka pada ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang material dan hidrolik.
Analisis material Lokanatha menunjukkan bahwa perunggu ini bukan hanya paduan tembaga dan timah, tetapi juga mengandung sejumlah kecil silikon dan unsur lain yang mungkin diperkenalkan secara sengaja untuk meningkatkan kekerasan dan mengurangi korosi akibat kelembaban tinggi. Ini menunjukkan pemahaman metalurgi yang melampaui standar perunggu pada umumnya.
Junpur menggunakan kalender lunisolar yang sangat presisi, yang disebut Bhumi Cakra. Kalender ini tidak hanya menghitung siklus bulan dan matahari, tetapi juga secara akurat memprediksi siklus musim hujan dan musim kemarau di wilayah tropis yang tidak memiliki empat musim klasik. Pengetahuan ini adalah kunci keberhasilan Tirta Yasa, karena memungkinkan petani merencanakan penanaman dan pemeliharaan bendungan jauh di muka.
Pelaut Junpur memiliki peta bintang yang canggih yang disebut Naga Bintang, yang memungkinkan mereka berlayar jauh dari pantai dengan mengandalkan posisi bintang di ekuator. Peta ini juga memasukkan data tentang arus laut dan angin muson yang mereka kumpulkan dari perjalanan dagang selama berabad-abad. Penemuan fragmen peta ini menunjukkan bahwa pelaut Junpur memiliki keterampilan navigasi yang setara dengan bangsa-bangsa maritim besar lainnya pada masa itu.
Kerajaan Junpur adalah studi kasus yang mendalam tentang bagaimana kompleksitas teknologi dan struktur sosial dapat dibentuk oleh interaksi yang intens dengan lingkungan alam. Mereka membangun kemegahan mereka di atas tanah yang bergejolak, dan pada akhirnya, kekuatan yang sama—gunung berapi dan air—menghancurkan fondasi mereka.
Junpur mengajarkan kita bahwa surplus pangan dan kecerdasan teknik, ketika dipadukan dengan filosofi etika lingkungan yang kuat (Keseimbangan Tripartite), dapat menciptakan peradaban yang berumur panjang dan sejahtera.
Namun, kisah mereka juga menjadi pengingat tragis bahwa bahkan sistem yang paling terintegrasi pun rentan terhadap titik kritis—ketika bencana alam yang ekstrem bertemu dengan keretakan sosial dan kegagalan kepemimpinan, keruntuhan bisa terjadi dengan kecepatan yang mengejutkan.
Pencarian sisa-sisa Junpur terus berlanjut. Setiap artefak yang ditemukan, setiap prasasti yang diterjemahkan, adalah langkah menuju penyelesaian teka-teki peradaban yang hilang ini. Warisan Tirta Yasa dan Sangga Bumi, fondasi teknologi mereka, tetap menjadi monumen abadi bagi kecerdasan para leluhur di Timur Nusantara. Junpur mungkin telah lenyap, tetapi ceritanya, tertanam dalam batu dan saluran air, menunggu untuk diceritakan sepenuhnya kepada dunia.
Eksplorasi ini, yang meliputi ribuan detail tentang tata kelola air, sistem kelas Catur Loka, inovasi metalurgi Lokanatha, dan narasi Epos Tirta Cakra, menegaskan bahwa Junpur adalah salah satu permata peradaban yang paling cemerlang namun paling terlupakan di kepulauan ini.
Filosofi mereka tentang harmoni, yang menuntut bahwa setiap warga negara harus berkontribusi pada pemeliharaan ekologi, adalah pelajaran yang sangat relevan untuk tantangan iklim kontemporer. Para insinyur Junpur, yang memahami bahwa kekuatan terletak pada fleksibilitas (Sangga Bumi) dan efisiensi (Tirta Yasa), meninggalkan cetak biru untuk masyarakat yang berkelanjutan, sebuah visi yang patut dihormati dan terus dikaji.
Peran Wiyata Loka sebagai penjaga pengetahuan teknis dan spiritual sekaligus adalah model unik pemerintahan. Mereka adalah para pendeta-ilmuwan yang memastikan bahwa keputusan politik selalu didasarkan pada perhitungan ekologis yang cermat. Hilangnya kepercayaan pada Wiyata Loka pada abad ke-13, dipicu oleh ketidakmampuan mereka mencegah letusan gunung berapi, adalah pukulan fatal yang tidak hanya menghilangkan fondasi agama, tetapi juga sistem manajemen bencana dan air.
Junpur, sebuah nama yang kini identik dengan misteri, tetap berdiri tegak dalam reruntuhan. Reruntuhan yang berbicara tentang kesempurnaan teknik, ketahanan spiritual, dan kejatuhan yang disebabkan oleh kesombongan manusia dan kemarahan alam yang tak terhindarkan. Penemuan kembali detail-detail kehidupan mereka, dari proses pembuatan Kain Serat Bhumi hingga struktur sosial Dasa Praja, telah menghidupkan kembali perdebatan mengenai batas-batas peradaban kuno Nusantara.
Setiap goresan pada Prasasti Kelereng Bunga, setiap sisa-sisa sistem saluran bawah tanah Nadi Rahasia, adalah saksi bisu kebesaran yang terlupakan. Junpur adalah Peradaban Tirta Cakra—peradaban air dan roda, yang berputar dalam siklus kehidupan dan kematian, meninggalkan jejak yang mendalam bagi mereka yang bersedia menggali lebih dalam ke jantung kepulauan timur.