Ilustrasi Waktu Juhur dan Ketenangan Ibadah.
Shalat Juhur, atau yang dikenal pula dengan sebutan Dzuhur, adalah shalat fardhu yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mukallaf. Kedudukannya sangat fundamental, berada tepat di tengah hari, membagi waktu kerja dan istirahat, serta berfungsi sebagai pengingat spiritual di saat kesibukan duniawi memuncak. Secara etimologi, kata ‘Juhur’ berasal dari bahasa Arab yang mengandung makna terang benderang atau munculnya sesuatu secara jelas, merujuk pada waktu ketika matahari mulai bergeser dari titik tertinggi (zenith) setelah melewati puncaknya.
Ibadah ini terdiri dari empat (4) raka’at dan dilakukan secara sirr (suara pelan) pada setiap bacaan Al-Fatihah dan surah pendek setelahnya. Perintah mendirikan Shalat Juhur merupakan bagian tak terpisahkan dari rukun Islam kedua, menjadikannya tonggak utama yang menentukan kualitas ketaatan harian seseorang. Ia adalah shalat pertama yang dilaksanakan oleh Rasulullah ﷺ setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, menjadikannya memiliki makna historis dan spiritual yang sangat mendalam.
Dalam siklus harian, Juhur berfungsi sebagai jembatan. Setelah seorang Muslim menjalani setengah hari penuh dengan aktivitas, baik bekerja, belajar, atau mengurus rumah tangga, Juhur hadir sebagai jeda paksa yang suci. Jeda ini bukan sekadar istirahat fisik, melainkan penarikan diri sejenak dari hiruk pikuk dunia untuk kembali berinteraksi dengan Sang Pencipta. Ini memastikan bahwa separuh kedua hari yang akan dijalani tetap berorientasi pada tujuan akhir kehidupan: ibadah dan ketaatan.
Tanpa adanya jeda Juhur, potensi manusia untuk tenggelam dalam kelalaian dan materialisme sangat besar. Oleh karena itu, Shalat Juhur diletakkan pada waktu kritis. Keberhasilan seseorang dalam menjaga kekhusyu'an Juhur seringkali menjadi indikator seberapa baik ia mampu mengendalikan dirinya di tengah tekanan dan godaan duniawi. Konsep ini menuntut adanya disiplin waktu dan prioritas yang ketat, menempatkan kewajiban kepada Allah di atas semua kepentingan duniawi yang mendesak.
Memahami waktu yang tepat untuk Shalat Juhur adalah krusial karena sah atau tidaknya shalat sangat bergantung pada ketepatan waktu. Waktu Juhur dimulai segera setelah matahari melewati titik kulminasi atau zenit (titik tertinggi di langit), yang dalam istilah fikih disebut *Zawwal*. Sebelum Zawwal, shalat belum boleh dimulai. Waktu Juhur berakhir ketika masuknya waktu Ashar.
Pada saat matahari mencapai zenit, bayangan suatu benda akan menjadi sangat pendek atau bahkan hilang sama sekali (tergantung posisi geografis). Ketika matahari mulai bergerak ke arah barat, sedikit demi sedikit bayangan mulai muncul dan memanjang. Pergeseran awal ini, dari titik diam ke arah barat, inilah yang menandai masuknya waktu Juhur. Proses ini memerlukan perhitungan astronomi yang sangat akurat, yang kini telah disederhanakan dalam bentuk jadwal shalat digital, namun prinsip dasarnya tetap berdasarkan pergerakan benda langit.
Untuk memastikan kehati-hatian, para ulama sering membagi akhir waktu Juhur menjadi dua pendapat utama yang menentukan batas awal waktu Ashar:
Ketelitian dalam menetapkan waktu Juhur mengajarkan umat Islam tentang pentingnya sains dan observasi alam dalam pelaksanaan ibadah. Di masa lalu, penentuan ini dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti gnomon (tongkat penanda bayangan) dan mengamati secara langsung pergerakan bayangan. Saat ini, perhitungan matematis dan jam atom telah menggantikan metode observasi langsung, namun semangat untuk memulai ibadah tepat waktu tetap menjadi inti ajarannya.
Meskipun waktu Juhur memiliki rentang yang panjang, terdapat waktu-waktu yang lebih utama (mustahab) dan waktu-waktu yang mendekati makruh (terlarang tanpa alasan mendesak) untuk melaksanakan shalat:
Kajian mendalam tentang jadwal Shalat Juhur juga mencakup variasi musiman. Di musim panas, Juhur bisa terasa sangat panjang di beberapa wilayah, sementara di musim dingin, rentang waktunya mungkin lebih pendek. Pengetahuan ini wajib dimiliki agar seorang Muslim dapat merencanakan hari kerjanya dengan efektif tanpa mengabaikan kewajiban fardhu yang menjadi prioritas utama hidupnya. Ini menunjukkan bahwa Islam mengintegrasikan spiritualitas dengan manajemen waktu yang praktis.
Shalat Juhur adalah shalat empat raka’at. Pelaksanaannya mengikuti rukun shalat secara umum, namun karena posisinya di tengah hari, konsentrasi yang mendalam (khushu’) sangat ditekankan untuk mengimbangi gangguan dari aktivitas harian yang baru saja ditinggalkan dan yang akan dilanjutkan. Berikut adalah rincian tata cara, raka’at per raka’at, yang harus dipatuhi dengan sempurna.
Sebelum memulai, seorang Muslim harus memastikan tiga hal dasar terpenuhi: suci dari hadas kecil dan besar (dengan wudhu atau mandi janabah), suci badan, pakaian, dan tempat dari najis, serta menutup aurat.
Wudhu adalah kunci masuk shalat. Setiap anggota wudhu harus dibasuh secara merata. Kesempurnaan wudhu, termasuk menjaga adab-adabnya seperti membaca doa, adalah pondasi bagi shalat yang diterima. Kekhusyu’an dimulai sejak proses penyucian diri, membersihkan tidak hanya fisik tetapi juga mempersiapkan mental dan jiwa.
Berdiri tegak menghadap kiblat (Ka’bah di Mekkah). Niat adalah penentu sah atau tidaknya shalat, dan letaknya di dalam hati. Niat harus spesifik, misalnya: “Aku niat melaksanakan Shalat Fardhu Juhur empat raka’at, menghadap kiblat, karena Allah Ta’ala.” Niat tidak perlu diucapkan secara lisan, namun memastikan hati telah menetapkan tujuan ibadah tersebut adalah wajib.
Takbiratul Ihram: Mengangkat kedua tangan sejajar telinga (atau bahu) sambil mengucapkan *“Allahu Akbar”*. Ini adalah awal mutlak shalat. Tindakan ini secara simbolis meninggalkan semua urusan duniawi di belakang. Setelah takbir, tangan diletakkan di dada (sedekap), tangan kanan di atas tangan kiri. Ini adalah postur ketenangan dan penghormatan.
Doa Iftitah: Dibaca setelah Takbiratul Ihram (Sunnah). Doa ini berisi pujian dan pengakuan tauhid kepada Allah, berfungsi membersihkan hati dari keraguan sebelum memulai inti bacaan.
Bacaan Al-Fatihah: Wajib dibaca pada setiap raka’at. Harus dibaca dengan tartil dan tajwid yang benar. Al-Fatihah adalah rukun, dan shalat tidak sah tanpa membacanya. Setelah selesai, disunnahkan mengucapkan “Amiin” secara pelan (sirr).
Surah Pendek: Setelah Al-Fatihah, dibaca surah pendek Al-Qur’an atau beberapa ayat. Karena Juhur adalah shalat sirriyah, bacaan ini dilakukan dengan suara yang hanya terdengar oleh diri sendiri.
Rukuk: Membungkuk 90 derajat, punggung lurus, tangan memegang lutut. Tumakninah (berhenti sejenak) adalah wajib. Bacaan tasbih rukuk minimal tiga kali: *“Subhana Rabbiyal Azhim wa bihamdih.”* Rukuk melambangkan kerendahan diri total di hadapan kekuasaan Allah.
I’tidal: Bangkit dari rukuk sambil mengucapkan *“Sami’allahu liman hamidah,”* dan ketika berdiri tegak, membaca *“Rabbana walakal hamdu…”* Tumakninah wajib di sini. I’tidal adalah momen refleksi antara kerendahan dan sujud.
Sujud Pertama: Turun ke posisi sujud, meletakkan tujuh anggota badan di lantai: dahi dan hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan ujung-ujung jari kaki. Dahi harus menyentuh tempat shalat secara langsung. Bacaan tasbih sujud: *“Subhana Rabbiyal A’la wa bihamdih.”*
Duduk di Antara Dua Sujud: Duduk *iftirash* (telapak kaki kiri diduduki, kaki kanan ditegakkan). Tumakninah wajib. Bacaan doa: *“Rabbighfirli warhamni wajburni warfa’ni warzuqni wahdini wa ‘afini wa’fu ‘anni.”*
Sujud Kedua: Mengulangi gerakan sujud pertama, termasuk tumakninah dan bacaan tasbih yang sama.
Bangkit ke Raka’at Kedua: Bangkit setelah sujud kedua, disunnahkan duduk sejenak (duduk istirahat) sebelum berdiri tegak untuk memulai raka’at kedua.
Raka’at kedua dimulai sama seperti raka’at pertama, namun tanpa Doa Iftitah. Bacaan Al-Fatihah dan Surah Pendek tetap dilakukan secara sirr.
Prosedur: Al-Fatihah & Surah Pendek → Rukuk → I’tidal → Sujud Pertama → Duduk di antara Sujud → Sujud Kedua.
Tasyahud Awal (Duduk Tahiyat Awal): Setelah sujud kedua, duduk kembali dalam posisi *iftirash*. Membaca bacaan Tasyahud (Tahiyat) awal: *“Attahiyyatu lillah… Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Allahumma shalli ‘ala Muhammad.”* Pada kalimat syahadat, jari telunjuk diangkat sebagai isyarat tauhid (sunnah).
Bangkit ke Raka’at Ketiga: Setelah Tasyahud Awal, berdiri tegak untuk melanjutkan raka’at ketiga.
Raka’at ketiga dan keempat memiliki perbedaan signifikan dalam bacaan inti (setelah Al-Fatihah). Dalam Shalat Juhur, hanya Al-Fatihah yang wajib dibaca pada raka’at ketiga dan keempat. Tidak disunnahkan membaca surah pendek lagi setelah Al-Fatihah. Namun, seluruh gerakan (Rukuk, I'tidal, Sujud, Tumakninah) harus tetap dilakukan dengan sempurna.
Bacaan: Al-Fatihah (Sirr) → Rukuk → I’tidal → Sujud 1 → Duduk → Sujud 2 → Bangkit ke Raka’at Keempat.
Bacaan: Al-Fatihah (Sirr) → Rukuk → I’tidal → Sujud 1 → Duduk → Sujud 2.
Setelah sujud kedua di raka’at keempat, duduk kembali untuk Tasyahud Akhir.
Tasyahud Akhir: Duduk *tawarruk* (telapak kaki kiri diletakkan di bawah betis kanan, pantat menyentuh lantai). Bacaan Tasyahud Akhir lebih lengkap, mencakup Shalawat Ibrahimiyah: *“Attahiyyatu lillah… Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad, kamaa shallaita ‘ala Ibrahiima…”* Doa perlindungan dari empat perkara (azab neraka, azab kubur, fitnah hidup dan mati, fitnah Dajjal) juga dibaca.
Salam: Mengakhiri shalat dengan menoleh ke kanan lalu ke kiri, mengucapkan: *“Assalamu’alaikum warahmatullah.”* Salam adalah isyarat kembali ke dunia nyata, membawa ketenangan ibadah ke dalam interaksi sosial.
Shalat Juhur memiliki Shalat Sunnah Rawatib yang sangat ditekankan (Muakkadah). Sunnah Rawatib adalah shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu, berfungsi sebagai penyempurna kekurangan yang mungkin terjadi selama shalat fardhu dan sebagai penambah pahala yang besar. Khusus untuk Juhur, sunnah rawatibnya adalah 4 raka’at sebelum (qabliyah) dan 2 raka’at setelah (ba’diyah).
Sunnah Qabliyah Juhur terdiri dari empat raka’at yang dilakukan setelah masuk waktu Juhur dan sebelum shalat fardhu. Ini dapat dilakukan dalam dua cara:
Pahala dari Sunnah Qabliyah Juhur sangat besar. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa siapa pun yang menjaga empat raka’at sebelum Juhur, Allah akan mengharamkan api neraka atasnya. Ini menunjukkan betapa kuatnya peran sunnah ini sebagai benteng spiritual harian.
Sunnah Ba’diyah Juhur terdiri dari dua raka’at yang dilakukan segera setelah selesai shalat fardhu Juhur dan ditutup dengan salam. Shalat ini berfungsi sebagai penutup dan pengukuhan atas ibadah yang baru saja dilaksanakan. Jika seseorang memiliki uzur atau kendala waktu, sunnah ba’diyah lebih utama diutamakan daripada qabliyah, meskipun idealnya keduanya dijaga.
Menjaga enam raka’at sunnah rawatib ini (4 qabliyah + 2 ba’diyah) adalah ciri khas Muslim yang serius dalam menjaga kualitas ibadahnya. Ini adalah investasi spiritual jangka panjang yang menjamin keberkahan dan perlindungan dalam kehidupan sehari-hari. Kesinambungan dan konsistensi dalam menjaga sunnah ini menunjukkan kedisiplinan dan kecintaan pada ajaran Nabi.
Hukum-hukum fikih mengatur bagaimana Shalat Juhur dilaksanakan dalam kondisi-kondisi khusus, seperti saat bepergian, sakit, atau dalam situasi darurat. Syariat Islam menunjukkan fleksibilitas luar biasa, memastikan bahwa kewajiban tidak memberatkan hingga menghilangkan tujuan utamanya.
Bagi musafir (orang yang bepergian jauh, biasanya lebih dari 80-90 km), terdapat dua keringanan (rukhsah) yang dapat diterapkan pada Shalat Juhur:
Shalat Juhur yang asalnya empat raka’at dapat diringkas menjadi dua raka’at. Qashar hanya berlaku untuk shalat yang berjumlah empat raka’at (Juhur, Ashar, Isya). Niat untuk qashar harus ditetapkan sejak Takbiratul Ihram, dan ini adalah keringanan yang sangat ditekankan untuk menghilangkan kesulitan perjalanan.
Musafir dapat menggabungkan Shalat Juhur dengan Shalat Ashar, menjadikannya satu waktu pelaksanaan.
Dispensasi jama’ dan qashar menunjukkan betapa praktisnya ajaran Islam. Ia mengakui realitas kesulitan dan kelelahan dalam perjalanan, sehingga ibadah tetap dapat dilaksanakan dengan kualitas spiritual yang baik tanpa menambah beban fisik yang berlebihan.
Kewajiban shalat tidak gugur meski seseorang dalam keadaan sakit parah, selama akalnya masih berfungsi. Tata cara Juhur disesuaikan dengan kemampuan fisik:
Pengecualian ini menegaskan bahwa koneksi hati dan niat kepada Allah adalah inti dari ibadah, sementara bentuk fisik hanyalah manifestasi yang diusahakan semaksimal mungkin sesuai kemampuan. Ini adalah prinsip *“laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha”* (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya).
Lebih dari sekadar serangkaian gerakan dan bacaan, Shalat Juhur membawa makna filosofis dan spiritual yang mendalam, dirancang untuk membentuk karakter dan meningkatkan kualitas hidup seorang Muslim.
Juhur datang pada puncak kesibukan. Seringkali, saat Juhur tiba, seseorang sedang berada di tengah-tengah rapat penting, pekerjaan yang mendesak, atau transaksi finansial. Kewajiban untuk berhenti sejenak, meninggalkan semua itu, dan fokus pada ibadah adalah ujian disiplin yang sesungguhnya. Keberhasilan dalam melaksanakan Juhur tepat waktu mencerminkan kemampuan seorang Muslim untuk memprioritaskan akhirat di atas dunia.
Penundaan Juhur, meskipun hanya sedikit, dapat membuka pintu bagi penundaan kewajiban lainnya. Dengan menjaga Juhur, seorang Muslim melatih diri untuk tidak menjadi budak waktu atau pekerjaan, melainkan menjadi hamba yang berdaulat atas pilihannya, selalu mengarahkan komitmennya kepada Sang Pencipta.
Karena Juhur dilakukan di tengah hari yang penuh tekanan, pencapaian *khushu’* (kekhusyu’an) menjadi tantangan terbesar. Kekhusyu’an dalam Juhur adalah indikator sejati dari kedalaman iman seseorang, karena ia harus mampu membersihkan pikiran dari daftar tugas, tagihan yang harus dibayar, atau konflik yang baru saja terjadi, dan sepenuhnya hadir di hadapan Allah.
Untuk mencapai kekhusyu’an dalam Juhur, diperlukan persiapan mental yang matang saat wudhu, mengingat makna setiap kata yang diucapkan (terutama Al-Fatihah), dan menghayati arti dari setiap gerakan, dari ketenangan berdiri hingga kerendahan sujud. Shalat Juhur adalah latihan harian untuk mencapai *ihsan* (beribadah seolah-olah melihat Allah, atau setidaknya menyadari bahwa Dia melihat kita) dalam kondisi paling menantang.
Para sufi dan ahli tafsir sering melihat Shalat Juhur sebagai cerminan kehidupan di dunia. Waktu Juhur, saat matahari berada di puncaknya dan mulai bergeser turun, melambangkan puncak pencapaian materi dan duniawi yang akan segera meredup. Kita diingatkan bahwa segala kemuliaan dunia ini bersifat fana dan akan segera menuju senja. Juhur mengajak kita untuk mengevaluasi, apakah puncak kehidupan kita telah kita gunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau justru menjauhkan diri.
Keempat raka’at Juhur dapat diinterpretasikan sebagai empat tahap kehidupan: masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan usia senja. Dengan melaksanakan setiap raka’at dengan sempurna, kita memohon agar setiap fase kehidupan kita diberkahi dan dipenuhi dengan ketaatan. Ini adalah ibadah yang mengajarkan perspektif jangka panjang, melihat setiap hari sebagai miniatur perjalanan menuju akhirat.
Meskipun rukun shalat adalah universal, terdapat perbedaan kecil dalam sunnah dan tata cara antar mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali). Memahami variasi ini memperkaya pemahaman kita tentang fleksibilitas fikih Islam, asalkan rukun-rukun utama tetap terpenuhi.
Dalam Shalat Juhur, posisi sedekap (meletakkan tangan) berbeda: Mazhab Syafi'i dan Hanbali cenderung meletakkan tangan di dada, sementara Mazhab Hanafi cenderung di bawah pusar. Selain itu, dalam isyarat jari saat tasyahud:
Perbedaan-perbedaan ini, meski terlihat kecil, merupakan hasil dari interpretasi hadis yang berbeda mengenai sunnah Nabi ﷺ dan tidak membatalkan shalat, menunjukkan keluasan rahmat dalam syariat.
Dalam kondisi normal, Shalat Juhur tidak disertai dengan Doa Qunut. Namun, dalam kasus-kasus tertentu seperti *Qunut Nazilah* (doa yang dibaca saat umat Muslim ditimpa bencana atau kesulitan besar), Juhur termasuk salah satu shalat fardhu yang disunnahkan untuk ditambahkan doa Qunut setelah I’tidal di raka’at terakhir. Doa ini dibaca secara jahr (terdengar) oleh imam, meskipun Juhur pada dasarnya adalah shalat sirr.
Qunut Nazilah menunjukkan peran Shalat Juhur sebagai alat komunikasi sosial dan spiritual. Pada saat kesulitan memuncak di tengah hari, umat Islam bersatu dalam doa memohon pertolongan dan perlindungan Ilahi, mengubah ritual pribadi menjadi seruan kolektif.
Mengqadha (mengganti) Shalat Juhur yang terlewat adalah wajib, kecuali jika terlewat karena ketidaksadaran total atau hilang akal (misalnya koma). Jika terlewat karena tertidur atau lupa, wajib segera diqadha saat terbangun atau teringat. Urutan qadha harus didahulukan dari shalat fardhu yang sedang dilaksanakan, kecuali jika waktu shalat yang sedang berjalan sangat mendesak.
Misalnya, jika seseorang baru teringat Juhur pada waktu Maghrib, ia harus mengqadha Juhur dan Ashar terlebih dahulu sebelum melaksanakan Maghrib. Kewajiban qadha ini adalah bukti bahwa shalat adalah utang yang harus dibayar kepada Allah, dan ia tidak akan gugur hanya karena kelalaian waktu.
Studi mendalam tentang Juhur, mencakup seluruh detail fikih, prosedur, dan makna spiritualnya, memastikan bahwa setiap Muslim dapat melaksanakan ibadah ini dengan keyakinan penuh dan kekhusyu'an yang mendalam. Ia adalah fondasi spiritual yang harus kokoh di tengah badai kehidupan duniawi, menjaga hati tetap terhubung dengan sumber ketenangan hakiki.
Kesempurnaan Juhur melibatkan bukan hanya gerakan fisik yang benar, tetapi juga kehadiran hati yang total. Ini adalah momen untuk mengukur kembali tujuan hidup, membersihkan diri dari kotoran hari yang telah berlalu, dan mengisi ulang energi spiritual untuk menghadapi tantangan yang tersisa hingga senja tiba.