Doktrin Joint Enterprise: Kompleksitas dan Transformasi Keadilan Pidana

Menjelajahi tanggung jawab bersama dalam kejahatan terencana dan evolusi hukum setelah R v Jogee.

I. Pengantar Doktrin Joint Enterprise

Doktrin joint enterprise (usaha bersama) merupakan salah satu konsep hukum pidana yang paling kontroversial dan kompleks di negara-negara yang menganut sistem hukum umum (Common Law), seperti Inggris, Wales, Australia, dan Kanada. Doktrin ini bertujuan untuk menjerat individu-individu yang, meskipun tidak melakukan tindakan kriminal utama (actus reus), dianggap bertanggung jawab penuh atas kejahatan tersebut karena keterlibatan mereka dalam suatu rencana atau usaha bersama.

Pada intinya, joint enterprise memungkinkan pengadilan untuk memperluas jaring tanggung jawab pidana dari pelaku utama (*principal offender*) kepada partisipan sekunder (*secondary participants* atau *accessories*). Konsep ini sangat vital dalam penanganan kejahatan terorganisir, kejahatan geng, atau situasi di mana beberapa individu berkolaborasi dalam mencapai tujuan kriminal, namun salah satu dari mereka melakukan kejahatan yang lebih serius yang tidak secara eksplisit direncanakan.

Kontroversi utama yang menyelimuti doktrin joint enterprise, terutama sebelum reformasi hukum yang signifikan, terletak pada standar mental yang digunakan untuk membuktikan tanggung jawab. Selama beberapa dekade, doktrin ini dikritik keras karena berpotensi menjerat partisipan sekunder atas kejahatan yang mereka "perkirakan" (foresaw) mungkin terjadi, alih-alih kejahatan yang mereka "niatkan" (intended) untuk terjadi. Hal ini menimbulkan isu besar terkait keadilan dan proporsionalitas hukuman, terutama dalam kasus pembunuhan atau penyerangan berat.

Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk joint enterprise, mulai dari definisi fundamental, perkembangan historis yang penuh gejolak, kasus-kasus yurisprudensi penting, kritik yang mendorong reformasi hukum, hingga perbandingan konseptual dengan asas penyertaan (deelneming) dalam sistem hukum pidana Indonesia (KUHP).

1.1. Definisi dan Lingkup Dasar Joint Enterprise

Secara umum, joint enterprise merujuk pada situasi di mana dua orang atau lebih berpartisipasi dalam pelaksanaan tujuan kriminal yang sama. Dalam konteks doktrin ini, ada pemisahan antara dua kategori utama tanggung jawab:

  1. Common Purpose Crime (Kejahatan Tujuan Bersama): Di mana kejahatan yang dilakukan adalah persis kejahatan yang direncanakan dan disepakati oleh semua pihak. Ini adalah bentuk paling langsung dari usaha bersama.
  2. Parasitic Accessorial Liability (PAL) atau Secondary Liability (Tanggung Jawab Aksesori Parasitik): Ini adalah bagian yang paling bermasalah. Terjadi ketika para pihak merencanakan Kejahatan A (misalnya, perampokan), tetapi salah satu dari mereka melakukan Kejahatan B yang lebih serius (misalnya, pembunuhan) di luar rencana awal. Dalam konteks PAL, partisipan sekunder dapat dimintai pertanggungjawaban atas Kejahatan B jika mereka memiliki prediksi atau perkiraan bahwa Kejahatan B mungkin terjadi.

Fokus utama perdebatan hukum dan yurisprudensi mengenai joint enterprise selalu berkisar pada batas-batas PAL. Bagaimana hukum dapat menentukan bahwa seseorang bertanggung jawab atas tindakan yang sebenarnya dilakukan oleh orang lain, tindakan yang mungkin hanya merupakan risiko potensial dan bukan tujuan utama mereka?

Visualisasi Tiga Pihak dalam Usaha Bersama dan Keterikatan Kewajiban Tiga figur manusia yang terhubung oleh garis, menunjukkan tanggung jawab bersama (joint enterprise). Pihak A Pihak B Pihak C Joint Enterprise

Seiring berjalannya waktu, kritik terhadap penerapan doktrin joint enterprise semakin meningkat, terutama karena dampaknya yang tidak proporsional terhadap kaum muda dan minoritas. Pengadilan kerap kali menggunakan doktrin ini untuk menanggulangi kekerasan geng, namun seringkali mengabaikan perbedaan tingkat partisipasi dan niat antarindividu yang terlibat. Inilah yang pada akhirnya memicu intervensi Mahkamah Agung Inggris dalam kasus *R v Jogee* yang monumental.

II. Evolusi Historis Doktrin dan Titik Balik Hukum

Doktrin joint enterprise tidak muncul tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari evolusi yurisprudensi yang panjang mengenai tanggung jawab aksesori. Awalnya, hukum mengharuskan adanya 'niat' bagi partisipan sekunder untuk membantu atau mendorong kejahatan yang dilakukan oleh pelaku utama.

2.1. Era Kedekatan Niat (Pre-1980s)

Pada masa awal, untuk menjerat seseorang sebagai partisipan sekunder, penuntut harus membuktikan bahwa partisipan tersebut memiliki niat untuk membantu atau mendorong kejahatan spesifik yang dilakukan. Jika kejahatan yang dilakukan oleh pelaku utama berbeda secara fundamental dari yang disepakati dalam usaha bersama, pertanggungjawaban aksesori tidak mudah ditegakkan.

2.2. Era Foresight: Kasus Chan Wing-Siu (1985)

Titik balik dramatis terjadi pada tahun 1985 dengan keputusan Dewan Penasihat (Privy Council) dalam kasus *R v Chan Wing-Siu*. Keputusan ini secara efektif mengubah persyaratan mental (*mens rea*) untuk Tanggung Jawab Aksesori Parasitik (PAL). Dalam kasus ini, diputuskan bahwa jika dua orang memulai suatu usaha bersama untuk melakukan kejahatan (misalnya, pencurian), dan salah satu dari mereka melakukan kejahatan lain (misalnya, pembunuhan) sebagai bagian dari upaya tersebut, maka partisipan sekunder bertanggung jawab jika mereka memperkirakan (foresaw) bahwa pelaku utama mungkin saja melakukan tindakan tersebut.

Prinsip Chan Wing-Siu: Pertanggungjawaban pidana sekunder dalam joint enterprise dapat timbul hanya dengan pembuktian perkiraan (foresight) oleh partisipan sekunder bahwa pelaku utama mungkin melakukan tindakan tersebut, bahkan jika tindakan itu tidak diniatkan oleh partisipan sekunder.

Doktrin "perkiraan" ini diperkuat oleh *House of Lords* dalam kasus *R v Powell; R v English* (1997). Prinsip yang diletakkan adalah bahwa perkiraan risiko bahwa pelaku utama akan melakukan pembunuhan dengan niat yang diperlukan sudah cukup untuk menjerat partisipan sekunder dengan tuduhan pembunuhan. Selama partisipan sekunder memperkirakan bahwa pelaku utama mungkin menggunakan kekerasan yang berlebihan atau senjata mematikan, ia bertanggung jawab penuh atas hasil yang terjadi.

Efek dari prinsip Chan Wing-Siu dan Powell/English sangat luas: ribuan orang dihukum atas pembunuhan (yang membawa hukuman wajib seumur hidup) meskipun mereka tidak pernah memegang senjata, tidak berniat membunuh, dan mungkin hanya terlibat dalam kejahatan ringan yang berbeda. Kritik utama adalah bahwa doktrin ini menciptakan standar pertanggungjawaban pidana yang terlalu rendah, menyamakan 'perkiraan' dengan 'niat', sehingga melanggar asas fundamental keadilan pidana (*mens rea*).

2.3. Gelombang Kritisisme dan Organisasi JENGbA

Kritik terhadap joint enterprise tidak hanya datang dari akademisi, tetapi juga dari kelompok-kelompok kampanye seperti JENGbA (Joint Enterprise Not Guilty by Association). Mereka menyoroti bahwa doktrin tersebut digunakan secara tidak proporsional terhadap kejahatan jalanan, sering kali mengarah pada hukuman yang tidak adil bagi individu yang berada di tempat kejadian tanpa memiliki niat langsung untuk melakukan kekerasan fatal. Kasus-kasus yang melibatkan pembunuhan dalam konteks perkelahian geng menjadi perhatian utama, di mana beberapa anggota geng dihukum atas pembunuhan, meskipun mereka hanya menyaksikan atau terlibat dalam perkelahian kecil tanpa mengetahui adanya senjata mematikan.

2.4. Reformasi Revolusioner: Kasus R v Jogee (2016)

Tekanan dari kritik dan ketidakadilan yang dirasakan memuncak pada keputusan Mahkamah Agung Inggris (Supreme Court) dan Dewan Penasihat (Privy Council) pada tahun 2016 dalam kasus gabungan *R v Jogee* dan *R v Ruddock*. Keputusan ini merupakan titik balik paling signifikan dalam sejarah doktrin joint enterprise.

Mahkamah Agung dalam kasus Jogee menyatakan bahwa yurisprudensi selama tiga dekade terakhir, dimulai dari Chan Wing-Siu, telah keliru menerapkan hukum. Perkiraan (foresight) bahwa pelaku utama mungkin melakukan Kejahatan B tidak sama dengan niat (intention) untuk mendorong atau membantu Kejahatan B.

Pengadilan memutuskan bahwa foresight hanyalah bukti, dan bukan merupakan elemen mental (*mens rea*) dari tanggung jawab aksesori. Untuk menghukum partisipan sekunder atas Kejahatan B (yang menyimpang dari rencana awal), penuntut harus membuktikan bahwa partisipan sekunder tersebut berniat untuk mendorong atau membantu pelaku utama dalam melakukan Kejahatan B, dengan mengambil risiko bahwa pelaku utama akan bertindak dengan *mens rea* yang diperlukan (misalnya, niat membunuh).

Dampak dari *R v Jogee* adalah menghapuskan standar "perkiraan" dan mengembalikan persyaratan hukum pidana aksesori ke standar niat yang lebih tinggi. Ini secara efektif meruntuhkan landasan hukum dari Tanggung Jawab Aksesori Parasitik (PAL) yang telah ada sejak tahun 1985, menggantinya dengan pendekatan yang lebih terfokus pada kesengajaan dan niat untuk mendorong kejahatan yang lebih serius.

Meskipun demikian, Jogee tidak menghapuskan doktrin joint enterprise sepenuhnya; ia hanya mengklarifikasi dan mengoreksi standar mental yang diperlukan, menjadikannya lebih selaras dengan prinsip-prinsip umum hukum pidana.

III. Elemen Kunci Joint Enterprise Setelah Reformasi Jogee

Pasca-Jogee, doktrin joint enterprise kini memerlukan analisis yang jauh lebih ketat, terutama mengenai elemen niat. Ada tiga elemen utama yang harus dipenuhi untuk menetapkan pertanggungjawaban aksesori dalam konteks usaha bersama.

3.1. Adanya Kejahatan Utama (Principal Offence)

Harus dibuktikan bahwa kejahatan pidana telah dilakukan oleh pelaku utama (P). Tanpa *actus reus* dari P, tidak ada tanggung jawab aksesori yang dapat dibebankan kepada pihak sekunder (A).

3.2. Tindakan Membantu atau Mendorong (Assistance or Encouragement)

Partisipan sekunder (A) harus telah melakukan tindakan yang membantu atau mendorong pelaku utama (P) dalam melakukan kejahatan, baik sebelum atau saat kejahatan itu terjadi. Ini bisa berupa perencanaan, penyediaan alat, atau sekadar kehadiran di tempat kejadian untuk memberikan dukungan moral. Tindakan ini harus dihubungkan secara kausal, meskipun kaitan kausal yang longgar seringkali sudah cukup.

3.3. Mens Rea yang Direvisi: Niat untuk Mendorong

Ini adalah elemen paling krusial pasca-Jogee. Penuntut harus membuktikan bahwa partisipan sekunder (A) memiliki dua tingkatan niat:

A. Niat untuk Melakukan Tindakan Bantu/Dorongan

A harus berniat untuk melakukan tindakan yang membantu P (misalnya, niat untuk memberikan senjata atau niat untuk hadir di lokasi).

B. Niat untuk Membantu/Mendorong Kejahatan P

A harus berniat bahwa tindakan bantuannya akan membantu P melakukan kejahatan (Kejahatan A, atau, jika terjadi penyimpangan, Kejahatan B yang lebih serius). Niat ini mensyaratkan bahwa A harus memiliki pengetahuan atau keyakinan mengenai sifat kejahatan yang akan dilakukan P.

Jika kejahatan yang dilakukan P menyimpang dari rencana awal (Kejahatan B), maka A harus membuktikan bahwa ia tidak hanya memperkirakan kemungkinan Kejahatan B, tetapi ia berniat untuk mendorong P untuk melakukan Kejahatan B, atau setidaknya mendorong P melakukan tindakan yang mengarah pada Kejahatan B dengan niat yang diperlukan oleh P.

Penting untuk dipahami bahwa, meskipun perkiraan (foresight) tidak lagi menjadi elemen mental itu sendiri, perkiraan mengenai apa yang mungkin dilakukan oleh pelaku utama tetap menjadi bukti kuat dari niat. Jika A memperkirakan bahwa P kemungkinan besar akan menggunakan kekerasan mematikan, ini adalah bukti yang dapat digunakan juri untuk menyimpulkan bahwa A berniat mendorong P untuk melakukan tindakan mematikan tersebut, asalkan niat tersebut dibuktikan secara positif.

3.4. Konsep Penarikan Diri (Withdrawal)

Dalam konteks joint enterprise, jika seorang partisipan sekunder ingin menghindari tanggung jawab, ia harus menunjukkan penarikan diri yang efektif (*effective withdrawal*) dari usaha bersama sebelum kejahatan utama dilakukan. Penarikan diri harus tepat waktu, jelas, dan jika diperlukan, harus mengambil langkah-langkah yang wajar untuk menetralkan atau membatalkan dampak dari bantuan atau dorongan yang telah diberikan sebelumnya. Sekadar meninggalkan lokasi tanpa peringatan atau upaya pencegahan mungkin tidak dianggap sebagai penarikan diri yang efektif, terutama jika bantuan yang diberikan (misalnya, penyediaan senjata) masih berperan dalam pelaksanaan kejahatan.

IV. Analisis Mendalam: Penerapan Sebelum dan Sesudah Jogee

Untuk memahami kedalaman perubahan yang dibawa oleh *R v Jogee*, perlu dilakukan perbandingan skenario di bawah kedua rezim hukum tersebut, terutama terkait Tanggung Jawab Aksesori Parasitik (PAL) yang merupakan akar masalah ketidakadilan joint enterprise.

4.1. Skenario Klasik Pra-Jogee (Rezim Foresight)

Misalnya: A dan B berencana merampok toko. A tahu bahwa B cenderung membawa pisau, meskipun A berharap B tidak menggunakannya. Selama perampokan, B panik dan menusuk korban hingga meninggal. A tidak memegang pisau, tidak pernah menyentuh korban, dan tidak pernah berniat agar korban terluka parah atau terbunuh.

Putusan Pra-Jogee: Berdasarkan prinsip Chan Wing-Siu/Powell, A akan dihukum atas pembunuhan (murder) karena: A berpartisipasi dalam usaha bersama (perampokan), dan A memperkirakan kemungkinan bahwa B, dalam pelaksanaan perampokan, mungkin akan menggunakan kekerasan yang menghasilkan cedera fatal.

Dalam rezim ini, standar perkiraan yang rendah memungkinkan hukuman wajib seumur hidup atas pembunuhan, meskipun niat A hanya sebatas pada pencurian. Hukum menganggap perkiraan risiko sebagai bukti mental yang cukup untuk menyamakan tanggung jawabnya dengan pelaku utama.

4.2. Skenario Kontemporer Pasca-Jogee (Rezim Niat)

Menggunakan skenario yang sama (A dan B merampok, B membunuh korban dengan pisau). A tahu B membawa pisau.

Putusan Pasca-Jogee: Untuk menghukum A atas pembunuhan, penuntut harus membuktikan bahwa A berniat untuk membantu B melakukan pembunuhan, atau setidaknya berniat membantu B menggunakan pisau untuk menyebabkan cedera tubuh yang serius, dengan mengetahui atau menyadari bahwa B akan melakukannya dengan niat yang diperlukan untuk pembunuhan.

  • Jika A hanya memperkirakan risiko, ini tidak cukup. A harus memiliki niat positif untuk mendorong B melakukan kekerasan fatal.
  • Jika bukti menunjukkan bahwa A hanya berniat merampok dan secara aktif menentang penggunaan pisau, maka A mungkin hanya dihukum atas perampokan, atau pembunuhan yang lebih ringan jika ada pembuktian niat yang lebih rendah (*manslaughter*) berdasarkan konteks persetujuan.

Perbedaan mendasar adalah pergeseran dari tanggung jawab berbasis risiko ('perkiraan') menjadi tanggung jawab berbasis kehendak ('niat'). Jogee mengembalikan keadilan dengan mensyaratkan adanya korelasi yang lebih kuat antara kehendak mental individu dan hasil kriminal yang terjadi. Ini memastikan bahwa mereka yang dihukum atas kejahatan serius seperti pembunuhan memang harus terbukti memiliki niat yang relevan.

4.3. Tantangan Pembuktian Niat Pasca-Jogee

Meskipun Jogee membawa keadilan yang lebih besar, ia menimbulkan tantangan pembuktian yang signifikan. Bagaimana jaksa membuktikan niat partisipan sekunder untuk mendorong kejahatan yang tidak mereka rencanakan secara eksplisit? Pengadilan kini harus mengandalkan bukti kontekstual dan inferensial yang kuat, termasuk:

  1. Sifat Usaha Bersama: Apakah sifat dasar usaha bersama (misalnya, penyerangan yang terorganisir) menunjukkan bahwa kekerasan parah adalah bagian yang tidak terpisahkan?
  2. Senjata yang Digunakan: Apakah partisipan sekunder mengetahui dan menyetujui keberadaan senjata yang digunakan dalam kejahatan? Pengetahuan ini kini digunakan sebagai bukti inferensial niat, bukan lagi sebagai elemen hukum itu sendiri.
  3. Tindakan Setelah Kejahatan: Apakah A melarikan diri bersama P atau mencoba menutupi kejahatan, menunjukkan dukungan terus-menerus?

Pendekatan pasca-Jogee secara efektif memperketat kriteria, tetapi tetap mempertahankan kemampuan hukum untuk menjerat mereka yang bersalah. Hukuman yang dijatuhkan kini harus mencerminkan niat dan peran sebenarnya dari partisipan, bukan sekadar fakta bahwa mereka ada di tempat kejadian dan memperkirakan risiko.

Timbangan Keadilan Miring Menggambarkan Perubahan Hukum di Joint Enterprise Sebuah timbangan keadilan yang miring, menunjukkan perpindahan fokus dari perkiraan ke niat setelah R v Jogee. Foresight Niat

Melalui Jogee, hukum mengakui bahwa prinsip pertanggungjawaban pidana yang sehat harus didasarkan pada otonomi kehendak individu. Menghukum seseorang atas kejahatan yang tidak mereka niatkan hanya karena mereka memperkirakan kemungkinan hasilnya adalah bentuk tanggung jawab objektif yang tidak dapat diterima dalam hukum pidana modern, terutama untuk kejahatan serius.

V. Joint Enterprise vs. Penyertaan (Deelneming) di Indonesia

Meskipun doktrin joint enterprise berakar kuat dalam sistem hukum umum, konsep tanggung jawab bersama dalam kejahatan memiliki paralel dalam sistem hukum sipil seperti Indonesia, melalui konsep "Penyertaan" atau *Deelneming* yang diatur dalam Bab V Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 55 dan Pasal 56.

5.1. Dasar Hukum Penyertaan (Deelneming)

Penyertaan adalah keadaan di mana lebih dari satu orang terlibat dalam suatu tindak pidana. Pasal 55 KUHP mengatur bentuk-bentuk penyertaan sebagai pelaku (dader) dan penganjur (*uitlokker*), sementara Pasal 56 mengatur pembantu (*medeplichtige*).

Dalam konteks joint enterprise, fokus kita adalah membandingkan tanggung jawab partisipan sekunder (yang di Common Law dikenal sebagai *accessory*) dengan konsep pelaku bersama (*medepleger*) dan pembantu (*medeplichtige*) dalam KUHP.

5.2. Pelaku Bersama (Medepleger) dan Joint Enterprise

Konsep pelaku bersama (*medepleger*) di Indonesia paling mendekati konsep *joint enterprise* yang paling dasar (Common Purpose Crime). *Medepleger* terjadi ketika beberapa orang bersama-sama melaksanakan suatu tindak pidana. Syaratnya adalah adanya pelaksanaan bersama (*gezamenlijk uitvoeren*) dan adanya kesadaran atau kesepakatan kehendak (*opzet* atau niat) di antara para pelaku.

  • Kesamaan Kunci: Baik *medepleger* maupun *joint enterprise* (dalam bentuknya yang murni) mensyaratkan adanya kesepakatan kehendak atau tujuan yang sama (common purpose) di antara para partisipan.
  • Perbedaan Kunci: KUHP Indonesia tidak memiliki doktrin yang setara dengan Tanggung Jawab Aksesori Parasitik (PAL) pra-Jogee. Hukum Indonesia menuntut adanya niat yang terkait langsung dengan kejahatan yang terjadi. Jika kejahatan menyimpang dari niat awal (misalnya, dalam perampokan yang berakhir pembunuhan), pertanggungjawaban pidana atas pembunuhan kepada pihak sekunder akan sulit dibuktikan tanpa adanya pembuktian niat untuk membunuh atau setidaknya niat untuk menyebabkan luka berat yang mengakibatkan kematian.

5.3. Tanggung Jawab Pembantu (Medeplichtige)

Pembantu (*medeplichtige*) dalam Pasal 56 KUHP adalah mereka yang sengaja memberikan bantuan saat atau sebelum kejahatan dilakukan. Pembantu hanya dihukum lebih ringan dari pelaku utama.

Dalam sistem Indonesia, jika A dan B merampok, dan B membunuh: A hanya dapat dihukum sebagai *medepleger* atas pembunuhan jika A juga memiliki niat untuk melakukan pembunuhan. Jika niat A terbatas pada perampokan, A dapat dihukum atas perampokan dan mungkin sebagai pembantu pembunuhan, tetapi tanggung jawab atas pembunuhan itu sendiri akan sangat bergantung pada sejauh mana niat A dapat diperluas untuk mencakup hasil fatal tersebut. Secara umum, sistem hukum Indonesia lebih ketat dalam mensyaratkan mens rea yang spesifik, menghindari perluasan tanggung jawab hanya berdasarkan 'perkiraan' risiko.

Kesimpulannya, reformasi *R v Jogee* yang menekankan pada niat, mendekatkan doktrin joint enterprise dengan persyaratan mental yang lebih ketat yang sudah lama menjadi ciri khas sistem hukum pidana kontinental (termasuk Indonesia). Di Indonesia, perluasan tanggung jawab pidana atas hasil yang tidak diniatkan akan cenderung dianalisis melalui konsep kelalaian atau *culpa* (jika memungkinkan) atau dipertanggungjawabkan hanya sebatas tindak pidana yang diniatkan bersama, bukan melalui standar perkiraan yang sangat luas seperti yang pernah diterapkan di Common Law.

VI. Kritik Sosial dan Implikasi Keadilan Restoratif

Kritik terhadap doktrin joint enterprise, khususnya rezim pra-Jogee, tidak hanya bersifat teknis hukum, tetapi juga bersifat mendalam mengenai keadilan sosial dan ras. Implementasi yang luas dari doktrin ini sering kali menimbulkan implikasi sosiologis yang serius.

6.1. Diskriminasi dan Ketidakseimbangan Rasial

Banyak penelitian di Inggris menunjukkan bahwa doktrin joint enterprise diterapkan secara tidak proporsional terhadap kaum muda minoritas, terutama dalam kasus yang melibatkan kekerasan geng. Doktrin ini memungkinkan polisi dan jaksa untuk menuntut sekelompok besar individu atas kejahatan serius hanya berdasarkan asosiasi mereka, bahkan jika peran mereka dalam kejahatan fatal tersebut sangat kecil atau pasif.

Penggunaan istilah "geng" sering kali menjadi faktor pemberat yang memungkinkan juri menyimpulkan adanya "usaha bersama" dan "perkiraan" risiko kekerasan. Hal ini menimbulkan tuduhan bahwa joint enterprise menjadi alat untuk menindak tegas komunitas tertentu, melanggengkan ketidaksetaraan dalam sistem peradilan pidana.

6.2. Hukuman yang Tidak Proporsional

Konsekuensi utama dari doktrin pra-Jogee adalah hukuman wajib seumur hidup atas pembunuhan. Seseorang yang perannya terbatas pada mengemudi mobil atau menjadi pengintai, tanpa niat membunuh, dapat menerima hukuman yang sama persis dengan pelaku yang menikam korban. Ketidakproporsionalan hukuman ini melanggar prinsip keadilan dasar yang mengharuskan hukuman mencerminkan kesalahan moral (*moral culpability*) individu.

"Hukuman seumur hidup wajib bagi seseorang yang hanya memperkirakan bahwa orang lain mungkin melakukan kejahatan fatal menciptakan ketidaksesuaian yang parah antara kesalahan moral dan konsekuensi hukum." - Kritik JENGbA

Reformasi Jogee, dengan mengharuskan niat, bertujuan untuk mengurangi hukuman yang tidak proporsional ini, memungkinkan pengadilan untuk membedakan antara mereka yang memiliki niat membunuh dan mereka yang hanya terlibat dalam kejahatan yang lebih ringan.

6.3. Joint Enterprise dan Keadilan Restoratif

Dalam konteks keadilan restoratif, doktrin joint enterprise menimbulkan dilema. Keadilan restoratif berfokus pada akuntabilitas individu dan pemulihan bagi korban. Ketika tanggung jawab dibebankan secara kolektif berdasarkan perkiraan yang samar, fokus pada kesalahan individu menjadi kabur.

Pendekatan pasca-Jogee, yang menuntut pembuktian niat, lebih selaras dengan prinsip akuntabilitas restoratif. Dengan mengidentifikasi peran dan niat spesifik setiap individu, sistem peradilan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas kepada korban tentang siapa yang melakukan apa dan mengapa, yang merupakan langkah penting dalam proses pemulihan.

VII. Tinjauan Mendalam Dampak Pasca-Jogee dan Masa Depan Hukum Joint Enterprise

Keputusan *R v Jogee* pada tahun 2016 menandai akhir dari satu era dan awal dari era baru. Namun, perubahan ini tidak berarti semua terpidana lama dibebaskan, dan penerapannya di lapangan masih memunculkan kompleksitas baru.

7.1. Uji Banding (Appeals) dan Retrospektivitas

Salah satu dampak terbesar pasca-Jogee adalah pertanyaan mengenai nasib ribuan orang yang dihukum di bawah standar *foresight* (perkiraan) yang kini dinyatakan keliru oleh Mahkamah Agung. Dalam kasus *Jogee*, Mahkamah Agung menetapkan bahwa hukum yang keliru tersebut tidak serta merta membuat semua vonis terdahulu menjadi tidak aman.

Terdakwa yang ingin mengajukan banding harus membuktikan bahwa vonis mereka merupakan ketidakadilan substansial (*substantial injustice*) karena adanya perubahan hukum. Ini adalah ambang batas yang sangat tinggi dan sulit dicapai, terutama dalam kasus di mana bukti keterlibatan dalam usaha bersama sangat kuat. Pengadilan Banding harus menilai apakah hasil persidangan akan berbeda seandainya standar niat pasca-Jogee diterapkan. Seringkali, jika bukti perkiraan sangat kuat, pengadilan dapat menyimpulkan bahwa juri tetap akan menyimpulkan niat yang diperlukan.

7.2. Interpretasi Konsep "Niat untuk Mendorong"

Meskipun Jogee mengembalikan fokus pada niat, konsep "niat untuk mendorong" kejahatan yang menyimpang masih memerlukan interpretasi cermat. Bagaimana hukum membedakan antara:

  1. Niat untuk membantu Kejahatan A (perampokan).
  2. Perkiraan bahwa Kejahatan B (pembunuhan) mungkin terjadi.
  3. Niat untuk mendorong Kejahatan B.

Dalam banyak kasus, garis antara perkiraan dan niat sangat tipis. Contohnya, jika A memberikan pistol kepada B untuk perampokan, A mungkin bersikeras niatnya hanya untuk mengancam, tetapi jika A mengetahui sifat B yang temperamental, niat A untuk mendorong perampokan dengan senjata secara inferensial dapat dianggap sebagai niat untuk mendorong segala bentuk kekerasan mematikan yang mungkin timbul dari situasi tersebut. Pengadilan pasca-Jogee harus memastikan bahwa kesimpulan niat tidak hanya merupakan pelabelan ulang dari perkiraan.

7.3. Peran Kontemporer Joint Enterprise

Saat ini, doktrin joint enterprise tetap menjadi alat penting untuk melawan kejahatan terorganisir, tetapi dengan batasan yang lebih jelas dan adil. Hukum kini mewajibkan adanya pemeriksaan yang lebih teliti terhadap keadaan pikiran setiap individu yang terlibat, dan bukan sekadar keterlibatan fisik dalam suatu kelompok.

Doktrin ini memaksa penuntut untuk membangun kasus yang lebih kuat mengenai kesepakatan dan pengetahuan bersama. Jika ada bukti bahwa partisipan sekunder secara aktif dan tegas menentang penggunaan kekerasan fatal, atau tidak mengetahui adanya senjata, maka sangat sulit untuk membuktikan niat yang diperlukan di bawah rezim Jogee.

Perluasan analisis ini membawa kita pada detail yang lebih teknis mengenai perbedaan antara jenis-jenis *mens rea* yang diatur dalam hukum pidana.

7.4. Hubungan Antara Niat, Pengetahuan, dan Perkiraan

Dalam konteks hukum, niat (*intention*) adalah elemen terberat dari mens rea. Ini berarti A ingin hasil tertentu terjadi. Pengetahuan (*knowledge*) berarti A tahu bahwa tindakan P akan melibatkan kejahatan tertentu. Perkiraan (*foresight*) berarti A berpikir bahwa hasil tertentu mungkin terjadi.

Jogee tidak menghapuskan pentingnya pengetahuan dan perkiraan, melainkan menempatkannya kembali sebagai bukti inferensial niat. Misalnya:

  • Jika A tahu B membawa kapak dan A membantu B masuk ke rumah korban, pengetahuan A tentang kapak adalah bukti kuat bahwa A berniat membantu B melakukan kekerasan dengan menggunakan kapak tersebut.
  • Jika A hanya memperkirakan B mungkin membawa kapak, ini adalah bukti yang lebih lemah, tetapi tetap relevan. Namun, perkiraan itu sendiri tidak lagi menjadi dasar hukum untuk menghukum.

Juri kini diarahkan untuk menanyakan: "Apakah, berdasarkan semua bukti, Anda yakin bahwa partisipan sekunder (A) berniat untuk mendorong pelaku utama (P) dalam melakukan kejahatan yang fatal, atau tindakan fatal itu sendiri, bahkan jika itu adalah penyimpangan dari rencana awal?" Hal ini menegaskan kembali prinsip fundamental bahwa kejahatan serius seperti pembunuhan harus disengaja.

Keputusan Jogee, pada intinya, adalah kemenangan bagi prinsip moralitas pidana: hukuman harus didasarkan pada apa yang seseorang pilih untuk lakukan dan kehendak mereka, bukan pada risiko yang mereka ambil secara tidak sengaja.

VIII. Kontroversi yang Berkelanjutan: Kekuatan Hukum Joint Enterprise

Meskipun reformasi Jogee telah mengatasi masalah utama mengenai standar perkiraan, doktrin joint enterprise tetap menjadi medan pertempuran hukum. Kontroversi kini bergeser dari standar mental ke pertanyaan prosedural dan filosofis lainnya.

8.1. Masalah Kewajiban Khusus (The Special Case of Withdrawal)

Konsep penarikan diri yang efektif (*effective withdrawal*) dalam joint enterprise seringkali menciptakan garis batas yang tidak jelas. Seberapa jauh seseorang harus pergi untuk membatalkan niat kriminalnya yang telah diberikan? Jika A menyediakan senjata, apakah cukup hanya dengan mengatakan "Saya tidak ingin Anda menggunakannya"? Hukum mensyaratkan tindakan positif yang wajar untuk menetralkan bantuan yang telah diberikan.

Kompleksitas ini menempatkan beban yang sangat berat pada partisipan sekunder di detik-detik akhir sebelum kejahatan. Kegagalan untuk menetralkan bantuan (terutama dalam situasi yang cepat dan penuh adrenalin) dapat menyebabkan hukuman serius, bahkan jika niat individu tersebut sudah berubah.

8.2. Dualitas Kejahatan: Common Purpose dan Penyimpangan

Doktrin joint enterprise membedakan antara:

  1. Kejahatan yang disepakati (misalnya, A dan B sepakat merampok dan menembak penjaga).
  2. Kejahatan yang menyimpang (misalnya, A dan B sepakat merampok, tetapi B, secara tidak terduga, menembak penjaga).

Dalam kasus (1), A adalah pelaku bersama karena niatnya jelas mencakup pembunuhan. Dalam kasus (2), masalah muncul. Jogee menangani kasus (2) dengan menuntut niat untuk mendorong penyimpangan tersebut. Namun, kritikus berpendapat bahwa doktrin ini masih terlalu luas, karena ia memungkinkan pengadilan untuk menyimpulkan niat untuk mendorong penyimpangan berdasarkan bukti yang mungkin hanya menunjukkan perkiraan risiko yang wajar.

Hukum harus terus berjuang untuk menyeimbangkan kebutuhan untuk menghukum kolaborator kejahatan dengan prinsip fundamental bahwa hukuman harus setara dengan kesalahan moral individu.

8.3. Joint Enterprise dan Hukum Indonesia: Fleksibilitas KUHP

Perbandingan dengan KUHP Indonesia menunjukkan keunggulan kerangka hukum yang lebih terstruktur mengenai penyertaan. Pasal 55 dan 56 KUHP memungkinkan hakim untuk membedakan secara eksplisit peran dan tanggung jawab, membedakan antara pelaku (pelaku utama, pelaku bersama, penganjur) dan pembantu. Konsekuensinya, hukuman pembantu secara inheren lebih ringan (Pasal 57 ayat 1 dan 2), menghilangkan risiko hukuman yang sama persis bagi partisipan yang peran dan niatnya berbeda, seperti yang menjadi kritik utama joint enterprise pra-Jogee.

Sistem hukum Indonesia, dengan fokus pada *opzet* (niat) sebagai syarat mutlak untuk pertanggungjawaban pidana serius, secara filosofis telah menghindari jebakan 'perkiraan' yang mengganggu Common Law selama puluhan tahun. Di Indonesia, untuk kejahatan berat, ketiadaan niat berarti ketiadaan pertanggungjawaban sebagai pelaku atau pelaku bersama.

IX. Mendalami Aplikasi: Skenario Kompleks Joint Enterprise

Untuk mengilustrasikan kompleksitas joint enterprise pasca-Jogee, mari kita analisis skenario kejahatan yang lebih rumit, di mana peran dan niat antar-partisipan sangat berbeda.

9.1. Skenario Kekerasan Geng dan Penyimpangan Senjata

Empat pemuda (W, X, Y, Z) dari sebuah geng sepakat untuk menyerang anggota geng lawan (Korban V). Rencana awalnya adalah memukul dan mempermalukan V. X membawa pemukul bisbol (yang diketahui oleh W, Y, Z). Namun, tanpa sepengetahuan yang lain, W juga menyembunyikan pisau.

Saat perkelahian, X, Y, dan Z memukul V. Tiba-tiba, W, di luar kendali dan tanpa disepakati, mengeluarkan pisau dan menusuk V hingga meninggal. X, Y, dan Z sangat terkejut dan langsung melarikan diri.

Analisis Pertanggungjawaban Pasca-Jogee:

W (Pelaku Utama): Jelas bertanggung jawab atas pembunuhan (murder) karena ia melakukan *actus reus* (penusukan) dengan *mens rea* yang diperlukan (niat untuk menyebabkan cedera tubuh serius atau niat membunuh).

X, Y, Z (Partisipan Sekunder): Mereka pasti bertanggung jawab atas kejahatan yang direncanakan (penyerangan atau penganiayaan berat). Untuk menjerat mereka atas pembunuhan (Kejahatan B), penuntut harus membuktikan niat mereka untuk mendorong W melakukan penusukan fatal:

  1. Niat untuk Mendorong Kekerasan (Kejahatan A): Niat untuk mendorong X, Y, dan Z memukul V sudah jelas.
  2. Niat untuk Mendorong Penyimpangan Fatal (Kejahatan B): Penuntut harus membuktikan bahwa X, Y, atau Z berniat untuk mendorong W menggunakan pisau, atau kekerasan fatal sejenis.

Poin Kritis: Jika terbukti bahwa W menyembunyikan pisau dan X, Y, Z tidak tahu W membawa pisau, maka tidak mungkin membuktikan niat X, Y, Z untuk mendorong W melakukan pembunuhan dengan pisau. Niat mereka hanya sebatas pada pemukulan. Mereka tidak bertanggung jawab atas pembunuhan W; mereka hanya dihukum atas penganiayaan berat.

Kasus Komplikasi: Namun, jika terbukti bahwa X, Y, dan Z tahu W membawa pisau, pengetahuan ini menjadi bukti inferensial niat. Juri harus memutuskan apakah pengetahuan tentang adanya pisau, dalam konteks kekerasan geng, membuktikan bahwa X, Y, Z berniat mendorong W untuk menggunakan pisau jika diperlukan untuk mencapai tujuan kriminal, sehingga memenuhi niat pasca-Jogee.

Skenario ini menunjukkan bahwa di bawah Jogee, pertanggungjawaban pidana yang serius atas kejahatan yang menyimpang harus didasarkan pada pengetahuan spesifik tentang alat mematikan dan adanya niat untuk mendukung atau mendorong penggunaannya, bukan hanya sekadar perkiraan umum bahwa hal-hal mungkin menjadi kacau.

9.2. Joint Enterprise dalam Kejahatan Ekonomi

Doktrin joint enterprise juga berlaku di luar konteks kekerasan, misalnya dalam konspirasi atau penipuan finansial. Tiga direktur (D, E, F) bersepakat untuk memalsukan laporan keuangan (Kejahatan A). Selama pelaksanaan, D, secara diam-diam, juga melakukan penipuan pasar gelap besar-besaran yang terpisah (Kejahatan B) menggunakan infrastruktur perusahaan palsu tersebut. E dan F tidak mengetahui penipuan pasar gelap itu.

Pertanggungjawaban E dan F: E dan F bertanggung jawab penuh atas pemalsuan laporan keuangan (Kejahatan A) sebagai pelaku bersama (*medepleger*). Namun, mereka tidak bertanggung jawab atas penipuan pasar gelap (Kejahatan B) karena tidak ada niat bersama (common purpose) dan tidak ada niat untuk mendorong atau membantu D melakukan Kejahatan B. Pengetahuan atau perkiraan umum bahwa D mungkin melakukan hal ilegal lain tidak cukup di bawah standar niat pasca-Jogee.

Prinsip joint enterprise menekankan bahwa batas tanggung jawab harus berhenti pada batas niat yang dibagi di antara para partisipan.

X. Kesimpulan: Masa Depan Keadilan dan Joint Enterprise

Doktrin joint enterprise merefleksikan upaya hukum untuk menyeimbangkan kebutuhan masyarakat akan penanganan kejahatan kelompok secara efektif dengan perlindungan hak-hak individu. Perjalanan doktrin ini, dari konsep niat awal ke standar perkiraan yang kontroversial, dan akhirnya kembali ke standar niat yang diperkuat pasca-Jogee, merupakan studi kasus klasik dalam evolusi keadilan pidana.

Keputusan *R v Jogee* pada tahun 2016 tidak hanya mengoreksi kesalahan yurisprudensi selama tiga puluh tahun, tetapi juga menegaskan kembali prinsip fundamental hukum pidana: pertanggungjawaban atas kejahatan serius, terutama pembunuhan, harus didasarkan pada mens rea yang tinggi, yaitu niat yang disengaja.

Meskipun tantangan pembuktian tetap ada, standar hukum yang baru memastikan bahwa partisipan sekunder hanya dapat dihukum atas kejahatan penyimpangan jika mereka terbukti memiliki niat positif untuk mendorong atau membantu pelaku utama melakukan tindakan yang berisiko fatal tersebut. Hal ini secara signifikan mengurangi risiko hukuman yang tidak proporsional dan tidak adil yang telah menjadi ciri khas doktrin joint enterprise sebelumnya.

Dalam konteks perbandingan dengan sistem hukum sipil seperti Indonesia, reformasi joint enterprise menegaskan pentingnya klasifikasi peran yang ketat (pelaku, pembantu, penganjur) dan penghormatan terhadap prinsip niat sebagai batu penjuru keadilan pidana. Walaupun memiliki terminologi yang berbeda—joint enterprise versus Penyertaan (*Deelneming*)—tujuan akhirnya sama: untuk memastikan bahwa pertanggungjawaban pidana dibagikan secara adil di antara mereka yang berkolaborasi dalam kejahatan, tanpa mengorbankan prinsip kesalahan moral individu.

Masa depan doktrin joint enterprise kini lebih terikat pada analisis faktual mendalam mengenai keadaan pikiran para terdakwa, menjauh dari asumsi luas yang sebelumnya didasarkan pada perkiraan risiko. Doktrin ini kini menjadi instrumen hukum yang lebih tajam, yang berfokus pada apa yang sebenarnya disepakati, diketahui, dan diniatkan oleh setiap individu yang berpartisipasi dalam usaha bersama.

Keadilan, dalam konteks joint enterprise, harus selalu didasarkan pada niat yang terbukti, memastikan bahwa hukuman sejalan dengan tingkat kesalahan moral.