Jizyah: Pajak Perlindungan Non-Muslim dalam Sejarah Islam
Jizyah adalah salah satu konsep fundamental dalam sejarah Islam yang seringkali disalahpahami dan menjadi subjek perdebatan sengit, baik di masa lalu maupun di era modern. Secara harfiah, kata "jizyah" dalam bahasa Arab berarti "kompensasi" atau "hadiah", namun dalam konteks syariat Islam, ia merujuk pada pajak per kapita yang dikenakan oleh negara Islam kepada warga non-Muslim (sering disebut sebagai dhimmi) sebagai imbalan atas perlindungan dan hak-hak tertentu yang mereka terima, serta pembebasan dari kewajiban militer yang dibebankan kepada Muslim. Konsep ini bukan sekadar pungutan finansial, melainkan bagian dari kerangka hukum yang lebih luas yang mengatur hubungan antara komunitas Muslim yang berkuasa dengan komunitas non-Muslim di bawah pemerintahan mereka.
Memahami jizyah memerlukan peninjauan mendalam terhadap berbagai aspek: sejarah kemunculannya, dasar-dasar syariahnya dalam Al-Qur'an dan Hadis, interpretasi para fuqaha (ahli fikih), serta implementasinya dalam berbagai kekhalifahan dan kesultanan Islam. Lebih jauh lagi, penting untuk membedah persepsi modern tentang jizyah, yang seringkali diwarnai oleh bias historis, perbandingan yang tidak tepat dengan sistem pajak kontemporer, dan kecenderungan untuk menafsirkannya di luar konteks aslinya.
Artikel ini akan berusaha untuk menyajikan analisis komprehensif mengenai jizyah, mengeksplorasi nuansa-nuansanya yang kompleks dan menempatkannya dalam perspektif sejarah dan hukum Islam yang tepat. Dengan demikian, diharapkan dapat tercerahkan pemahaman yang lebih akurat dan berimbang mengenai salah satu aspek paling khas dari peradaban Islam.
Pengantar Sejarah dan Konteks Awal Jizyah
A. Kondisi Pra-Islam dan Sistem Pajak Kuno
Sebelum kemunculan Islam, sistem pajak atau upeti sudah menjadi praktik umum di berbagai kekaisaran dan peradaban di Timur Tengah, termasuk Kekaisaran Romawi (Bizantium) dan Persia (Sasanian). Kekaisaran-kekaisaran ini seringkali menaklukkan wilayah dan memberlakukan pajak atau upeti kepada penduduk taklukan, termasuk mereka yang memiliki agama berbeda. Sistem ini berfungsi sebagai tanda pengakuan kedaulatan, sumber pendapatan bagi penguasa, dan dalam beberapa kasus, sebagai syarat untuk mendapatkan perlindungan dari penguasa yang lebih kuat. Oleh karena itu, konsep pembayaran imbalan atas perlindungan atau sebagai pengakuan kekuasaan bukanlah hal yang asing di kawasan Arab pada saat Islam lahir.
Di jazirah Arab sendiri, suku-suku yang lebih lemah sering membayar upeti kepada suku-suku yang lebih kuat sebagai imbalan atas perlindungan dari serangan atau ancaman luar. Perdagangan dan perjalanan juga seringkali melibatkan pembayaran "tol" atau pungutan kepada suku-suku yang menguasai rute-rute penting. Dengan demikian, ketika Islam muncul, masyarakat Arab sudah terbiasa dengan gagasan bahwa hak-hak tertentu, termasuk perlindungan dan keamanan, dapat dipertukarkan dengan kontribusi finansial.
B. Kemunculan Jizyah di Era Nabi Muhammad
Konsep jizyah mulai muncul secara formal dalam sejarah Islam pada masa kenabian Muhammad. Setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad membangun negara Islam pertama dan berinteraksi dengan berbagai komunitas, termasuk Yahudi dan Kristen. Piagam Madinah, meskipun belum secara eksplisit menyebut jizyah, menetapkan hak dan kewajiban bagi komunitas Muslim dan non-Muslim, serta prinsip perlindungan timbal balik. Namun, ketika negara Islam meluas, kebutuhan akan kerangka hukum yang lebih jelas untuk mengelola hubungan dengan non-Muslim menjadi krusial.
Setelah penaklukan Khaibar, Nabi Muhammad menerapkan jizyah kepada penduduk Yahudi di sana. Mereka diizinkan untuk tetap tinggal di tanah mereka dan mengolahnya, dengan imbalan membayar sebagian hasil panen mereka sebagai jizyah. Ini menjadi preseden awal bagaimana jizyah diterapkan: sebagai bagian dari perjanjian yang memungkinkan non-Muslim untuk tetap mempraktikkan agama mereka, mempertahankan properti mereka, dan hidup di bawah perlindungan negara Islam, tanpa diwajibkan untuk bergabung dengan militer Muslim atau memeluk Islam.
Ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebut jizyah adalah Surah At-Tawbah (9:29):
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk."
Ayat ini sering menjadi pusat perdebatan. Beberapa menafsirkannya sebagai perintah perang tanpa kompromi, sementara yang lain menekankan bahwa "perangilah" dalam konteks ini adalah bagian dari peperangan defensif atau untuk menegakkan kedaulatan setelah upaya dakwah dan diplomasi gagal. Frasa "an yadin" (dengan tangan/patuh) dan "wahum saghirun" (sedang mereka dalam keadaan tunduk) juga memiliki berbagai interpretasi, mulai dari penekanan pada kerendahan hati dalam pembayaran hingga sekadar pengakuan kedaulatan negara Islam.
C. Perkembangan Jizyah di Era Khulafaur Rasyidin
Pada masa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), penaklukan Islam meluas dengan cepat ke wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya non-Muslim, seperti Syam (Suriah), Mesir, Persia, dan Irak. Jizyah menjadi instrumen kunci dalam mengelola wilayah-wilayah ini. Khalifah Umar bin Khattab, khususnya, memainkan peran penting dalam memformalkan dan menginstitusionalisasikan sistem jizyah.
Di bawah pemerintahan Umar, dhimmi (warga non-Muslim) diberi status khusus yang menjamin perlindungan nyawa, properti, dan kebebasan beragama mereka. Sebagai imbalannya, mereka diwajibkan membayar jizyah dan dibebaskan dari kewajiban militer serta zakat, yang merupakan kewajiban bagi Muslim. Umar juga menetapkan berbagai tarif jizyah berdasarkan kemampuan ekonomi seseorang, membedakan antara orang kaya, menengah, dan miskin, dan membebaskan wanita, anak-anak, orang tua, orang sakit, cacat, dan para biarawan atau rohaniwan yang tidak bekerja.
Contoh perjanjian terkenal adalah Perjanjian Aelia (Yerusalem), di mana Khalifah Umar menjamin keamanan penduduk Kristen dan gereja-gereja mereka dengan imbalan pembayaran jizyah. Ini menunjukkan bahwa jizyah bukan hanya sekadar pajak, tetapi juga merupakan bagian dari kontrak sosial yang lebih besar antara penguasa Muslim dan komunitas non-Muslim.
Perjanjian-perjanjian ini menekankan aspek perlindungan (dimmah) sebagai inti dari jizyah. Ketika negara Muslim tidak dapat memberikan perlindungan, seperti yang terjadi di Homs di bawah Abu Ubaidah bin Jarrah ketika pasukan Muslim harus mundur sementara dari kota itu, jizyah yang telah dikumpulkan dikembalikan kepada penduduk non-Muslim. Ini dengan jelas menunjukkan bahwa jizyah adalah pembayaran untuk layanan perlindungan, bukan hukuman atas perbedaan agama.
Dasar-Dasar Hukum dan Filosofi Jizyah
A. Dalil Al-Qur'an dan Tafsirnya
Ayat kunci mengenai jizyah adalah Surah At-Tawbah (9:29) yang telah disebutkan sebelumnya. Tafsir ayat ini sangat bervariasi di kalangan ulama. Beberapa poin utama dalam tafsirnya meliputi:
- "Perangilah..." (Qatilu): Sebagian ulama menganggap ini sebagai perintah umum untuk memerangi non-Muslim sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah. Namun, banyak penafsir modern dan bahkan klasik lainnya berpendapat bahwa perintah ini harus dibaca dalam konteks ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya yang berbicara tentang pelanggaran perjanjian dan ancaman perang. Ini lebih merupakan perintah untuk menghadapi mereka yang memusuhi Islam atau melanggar perjanjian, bukan deklarasi perang tanpa pandang bulu terhadap semua non-Muslim. Tujuan utamanya adalah untuk menegakkan kedaulatan negara Islam dan mengamankan stabilitas.
- "Sampai mereka membayar jizyah": Ini menunjukkan bahwa jizyah adalah alternatif dari peperangan, sebuah bentuk penyelesaian damai yang memungkinkan non-Muslim mempertahankan agama dan hak-hak mereka.
- "An yadin" (dengan tangan/patuh): Ungkapan ini juga memiliki beberapa interpretasi. Imam Syafi'i menafsirkannya sebagai pembayaran secara fisik dari tangan ke tangan, sebagai tanda pengakuan kedaulatan negara Islam. Imam Malik menafsirkannya sebagai pembayaran yang sesuai dengan kemampuan mereka. Tafsir lain mengartikannya sebagai "dari kemampuan" atau "sukarela," atau dalam konteks pengakuan status dhimmi yang lebih rendah dibandingkan Muslim, namun tetap memiliki hak dan perlindungan. Ini tidak selalu berarti penghinaan, melainkan pengakuan hierarki sosial-politik pada masa itu.
- "Wahum saghirun" (sedang mereka dalam keadaan tunduk): Kata "saghirun" dapat diartikan sebagai "rendah" atau "tunduk". Beberapa penafsir ekstrem mengartikannya sebagai penghinaan, namun mayoritas ulama menafsirkannya sebagai pengakuan atas kedaulatan negara Islam, bukan penguasa non-Muslim, dan bahwa mereka berada di bawah perlindungan dan hukum negara Islam. Ini adalah kondisi hukum, bukan status yang merendahkan martabat individu.
Penting untuk dicatat bahwa ayat ini diturunkan setelah serangkaian pengkhianatan dan permusuhan dari beberapa kelompok yang diberikan kitab, dan seringkali dikaitkan dengan konteks Perang Tabuk. Oleh karena itu, menafsirkannya sebagai kebijakan umum terhadap semua non-Muslim tanpa konteks akan menjadi generalisasi yang menyesatkan.
B. Hadis dan Sunnah Nabi
Banyak hadis yang menguatkan praktik jizyah dan menegaskan perlindungan terhadap dhimmi. Beberapa contoh:
- Nabi Muhammad bersabda: "Barangsiapa menyakiti seorang dhimmi, maka sungguh ia telah menyakitiku." (HR. Abu Dawud).
- Nabi juga mengeluarkan perintah kepada para pasukannya untuk tidak menganiaya wanita, anak-anak, orang tua, atau merusak rumah ibadah non-Muslim di wilayah yang ditaklukkan.
- Dalam perjanjian yang dibuat dengan penduduk Najran, Nabi Muhammad menulis: "Mereka memiliki hak atas perlindungan Allah dan Rasul-Nya atas jiwa, agama, tanah, harta, orang yang tidak hadir, dan kaum mereka, dan gereja-gereja mereka, dan semua yang ada di tangan mereka, baik sedikit maupun banyak." Sebagai imbalannya, mereka membayar jizyah.
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa jizyah tidak boleh dilihat terpisah dari keseluruhan kerangka perlindungan dan jaminan hak-hak non-Muslim. Ini bukan alat penindasan, melainkan bagian dari sistem yang bertujuan untuk menciptakan koeksistensi yang stabil di bawah kekuasaan Islam.
C. Fiqh (Yurisprudensi Islam) dan Perinciannya
Para fuqaha dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali) telah menguraikan rincian jizyah secara ekstensif. Meskipun ada perbedaan dalam beberapa detail, prinsip-prinsip dasarnya konsisten:
- Siapa yang Wajib Membayar Jizyah?
- Laki-laki dewasa yang merdeka dan mampu (sehat akal dan fisik).
- Non-Muslim (dari Ahli Kitab: Yahudi, Kristen, dan juga Majusi menurut sebagian besar ulama, serta kelompok lain yang menyerupainya menurut sebagian fuqaha).
- Berapa Besarnya Jizyah?
Besarnya jizyah tidak ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur'an atau Hadis, sehingga diserahkan kepada kebijakan penguasa berdasarkan ijtihad dan kondisi setempat. Namun, ada tradisi yang menunjukkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab menetapkan tarif berbeda berdasarkan status ekonomi:
- Orang kaya: 4 dinar emas per tahun.
- Orang menengah: 2 dinar emas per tahun.
- Orang miskin/pekerja: 1 dinar emas per tahun.
- Tujuan dan Manfaat Jizyah:
- Perlindungan (Dimmah): Ini adalah tujuan utama. Sebagai imbalan atas jizyah, negara Islam menjamin keamanan nyawa, harta, dan kehormatan dhimmi, serta kebebasan beragama mereka.
- Pengganti Kewajiban Militer: Non-Muslim dibebaskan dari kewajiban berperang untuk negara Islam. Jizyah adalah kontribusi mereka untuk keamanan yang dinikmati bersama.
- Pengakuan Status: Pembayaran jizyah adalah simbol pengakuan kedaulatan negara Islam dan status mereka sebagai warga negara yang dilindungi.
- Sumber Pendapatan Negara: Jizyah juga menjadi salah satu sumber pendapatan kas negara (baitul mal) yang digunakan untuk membiayai layanan publik dan pertahanan.
- Perbedaan dengan Zakat: Jizyah adalah pajak per kapita yang dikenakan pada non-Muslim, sedangkan zakat adalah kewajiban agama bagi Muslim yang berlandaskan ibadah dan pensucian harta. Keduanya memiliki tujuan dan dasar hukum yang berbeda.
- Konsekuensi Non-Pembayaran: Jika seorang dhimmi menolak membayar jizyah tanpa alasan yang sah, mereka bisa kehilangan status perlindungan mereka. Dalam kasus ekstrem, ini bisa berujung pada pengusiran atau dianggap sebagai pemberontak. Namun, dalam praktiknya, negara Islam biasanya menunjukkan toleransi dan keringanan bagi mereka yang benar-benar tidak mampu. Para fuqaha juga menegaskan bahwa tujuan jizyah adalah bukan untuk menekan atau menyiksa, melainkan untuk menegakkan perjanjian.
Jizyah adalah bagian integral dari sistem hukum Islam yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara berbagai komunitas agama dalam satu entitas politik, memberikan hak dan kewajiban yang berbeda namun saling melengkapi.
Implementasi Jizyah dalam Berbagai Periode Kekhalifahan
A. Era Umayyah dan Abbasiah
Pada masa kekhalifahan Umayyah (661-750 M), wilayah Islam meluas hingga ke Spanyol di barat dan India di timur. Jizyah terus menjadi bagian penting dari sistem fiskal. Namun, pada masa ini, terjadi beberapa masalah dalam implementasi jizyah.
Salah satu masalah utama adalah perbedaan perlakuan antara Muslim Arab dan Muslim non-Arab (mawali). Mawali yang baru masuk Islam seringkali masih dikenakan jizyah, meskipun seharusnya mereka dibebaskan. Ini memicu ketidakpuasan dan menjadi salah satu faktor kejatuhan Bani Umayyah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Umar II) mencoba memperbaiki praktik ini dengan menghapuskan jizyah bagi mawali yang masuk Islam, tetapi praktik yang salah ini sempat merajalela.
Pada masa Abbasiyah (750-1258 M), jizyah terus diberlakukan, namun dengan administrasi yang lebih terorganisir. Kekhalifahan Abbasiyah dikenal karena kemajuan ilmiah dan budaya, dan non-Muslim, khususnya Kristen dan Yahudi, memainkan peran penting dalam penerjemahan karya-karya Yunani dan kemajuan ilmu pengetahuan. Mereka umumnya menikmati perlindungan dan kebebasan beragama, meskipun kadang-kadang ada periode ketegangan atau pembatasan tertentu di bawah khalifah-khalifah yang lebih konservatif.
Sistem jizyah pada masa ini membantu memastikan koeksistensi berbagai komunitas agama di bawah satu pemerintahan. Para dhimmi seringkali menduduki posisi penting dalam pemerintahan, kedokteran, dan perdagangan, yang menunjukkan bahwa mereka bukan warga kelas dua dalam arti yang merendahkan, melainkan warga dengan hak dan kewajiban yang spesifik.
B. Era Ottoman dan Kekaisaran Muslim Lainnya
Kekaisaran Ottoman (sekitar 1299-1922 M), salah satu kekaisaran Islam terbesar dan terlama, juga menerapkan jizyah (yang dikenal sebagai cizye dalam bahasa Turki). Di bawah Ottoman, sistem jizyah sangat terorganisir. Ada catatan pajak yang terperinci yang mencatat pembayaran jizyah dari komunitas Kristen, Yahudi, dan agama lainnya di seluruh kekaisaran.
Sama seperti sebelumnya, jizyah berfungsi sebagai pajak perlindungan dan pembebasan dari dinas militer. Meskipun ada beberapa periode di mana non-Muslim menghadapi diskriminasi atau pembatasan sosial, secara umum, mereka diberi kebebasan beragama dan perlindungan. Faktanya, banyak komunitas minoritas agama, seperti Yahudi yang melarikan diri dari Inkuisisi di Eropa, menemukan perlindungan di Kekaisaran Ottoman. Gereja-gereja dan sinagog-sinagog diizinkan untuk beroperasi, dan komunitas memiliki otonomi dalam urusan internal mereka melalui sistem millet.
Namun, seiring berjalannya waktu dan munculnya nasionalisme serta pengaruh Barat, sistem jizyah mulai dipertanyakan. Pada abad ke-19, seiring dengan reformasi Tanzimat yang bertujuan untuk memodernisasi Kekaisaran Ottoman dan menyamakan hak-hak semua warganya tanpa memandang agama, cizye dihapuskan. Sebagai gantinya, semua warga, termasuk non-Muslim, diwajibkan untuk bergabung dengan militer atau membayar pajak pengganti dinas militer (bedel-i askeriye) yang berlaku untuk semua. Ini mencerminkan perubahan paradigma dari sistem komunitas yang berbeda (dhimmi) menjadi konsep kewarganegaraan modern yang setara.
Di kekaisaran Muslim lainnya, seperti Kekaisaran Mughal di India, jizyah juga diterapkan. Kaisar Akbar pernah menghapuskan jizyah sebagai bagian dari kebijakan toleransinya yang luas, namun kemudian dikembalikan oleh Kaisar Aurangzeb. Ini menunjukkan bahwa penerapan jizyah tidak selalu seragam dan dapat dipengaruhi oleh kebijakan penguasa serta kondisi politik dan sosial pada waktu itu.
C. Studi Kasus Penerapan dan Pengecualian
Sejarah mencatat banyak contoh perjanjian dan praktik yang menunjukkan bahwa jizyah jauh dari sekadar pajak penindas. Beberapa studi kasus penting:
- Perjanjian Najran: Nabi Muhammad membuat perjanjian dengan komunitas Kristen Najran. Mereka diizinkan untuk tetap mempraktikkan agama mereka dan memiliki hak otonomi internal dengan imbalan jizyah.
- Perjanjian dengan Muqauqis (Mesir): Setelah penaklukan Mesir, Amr bin Ash, dengan persetujuan Khalifah Umar, membuat perjanjian dengan Muqauqis, pemimpin Koptik Mesir, yang menjamin keamanan dan hak-hak umat Kristen Koptik dengan imbalan jizyah.
- Penarikan Jizyah di Homs: Ketika pasukan Muslim di bawah Abu Ubaidah harus mundur sementara dari Homs karena ancaman Bizantium, jizyah yang telah dikumpulkan dari penduduk Kristen dikembalikan sepenuhnya kepada mereka, dengan pernyataan bahwa "Kami tidak dapat melindungi kalian lagi, jadi ambillah kembali uang kalian." Ini adalah bukti kuat bahwa jizyah adalah pembayaran untuk perlindungan, bukan hukuman agama.
- Pembebasan dari Jizyah untuk Non-Muslim yang Berperang: Dalam beberapa kasus, non-Muslim yang secara sukarela bergabung dengan pasukan Muslim atau memberikan layanan militer untuk negara Islam dibebaskan dari pembayaran jizyah. Ini menguatkan argumen bahwa jizyah adalah pengganti dari kewajiban militer.
Kasus-kasus ini menyoroti bahwa implementasi jizyah sangat fleksibel dan seringkali didasarkan pada prinsip keadilan dan kemanfaatan bersama. Meskipun demikian, seperti halnya sistem pajak dan hukum lainnya, ada juga masa-masa penyalahgunaan atau implementasi yang tidak adil oleh penguasa tertentu, yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip Islam yang sebenarnya.
Jizyah dalam Perspektif Modern dan Debat Kontemporer
A. Mispersepsi dan Kritik terhadap Jizyah
Di era modern, jizyah seringkali menjadi sasaran kritik tajam dan disalahpahami, terutama di kalangan non-Muslim dan bahkan beberapa Muslim. Beberapa mispersepsi dan kritik umum meliputi:
- Sebagai Pajak Hukuman/Diskriminatif: Jizyah sering digambarkan sebagai pajak yang menindas dan diskriminatif yang dikenakan pada non-Muslim hanya karena perbedaan agama mereka, sebagai bentuk penghinaan atau paksaan tidak langsung untuk masuk Islam.
- Tidak Relevan di Era Negara Bangsa: Dalam konsep negara bangsa modern di mana semua warga negara seharusnya setara di hadapan hukum tanpa memandang agama, jizyah dianggap tidak sesuai dan melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia universal.
- Perbandingan dengan Apartheid: Beberapa kritikus bahkan membandingkan status dhimmi dan jizyah dengan sistem apartheid atau segregasi, mengklaim bahwa ini menciptakan kelas warga negara yang lebih rendah.
Mispersepsi ini sering kali timbul karena kurangnya pemahaman tentang konteks historis dan hukum jizyah. Konsep dhimmi dan jizyah harus dilihat dalam kerangka zaman ketika negara-negara diatur berdasarkan identitas agama dan etnis, dan di mana kewarganegaraan modern dengan hak-hak sipil universal belum ada. Pada saat itu, banyak kerajaan lain juga memberlakukan pajak serupa pada minoritas agama.
B. Argumentasi Pembelaan dan Konteks Historis
Para sarjana Muslim dan sejarawan yang membela jizyah berargumen bahwa kritik modern seringkali anakronistik dan gagal memahami konteksnya:
- Kontrak Sosial: Jizyah adalah bagian dari kontrak sosial di mana non-Muslim menerima perlindungan dan kebebasan beragama dari negara Islam, sebagai ganti kontribusi finansial dan pembebasan dari dinas militer. Ini adalah kesepakatan timbal balik, bukan penindasan sepihak.
- Bukan Hukuman: Jizyah bukanlah hukuman atas perbedaan agama, melainkan pembayaran untuk layanan tertentu (perlindungan) dan pembebasan dari kewajiban tertentu (militer). Orang Muslim memiliki kewajiban militer dan membayar zakat, yang seringkali lebih besar dari jizyah.
- Perlindungan Hak Minoritas: Dalam banyak kasus, sistem dhimmi dan jizyah justru memberikan perlindungan yang relatif baik bagi minoritas agama di bawah kekuasaan Islam, terutama dibandingkan dengan perlakuan minoritas di kekaisaran lain pada zaman yang sama. Mereka diberi otonomi dalam urusan hukum pribadi dan agama.
- Fleksibilitas: Penerapan jizyah tidak kaku. Ada banyak pengecualian (wanita, anak-anak, orang tua, miskin, cacat, rohaniwan) dan keringanan. Juga, jika negara tidak bisa melindungi, jizyah dikembalikan.
- Perbandingan dengan Pajak Modern: Jizyah dapat dilihat sebagai bentuk pajak layanan publik atau pajak pengganti wajib militer yang juga ada dalam berbagai bentuk di negara-negara modern.
Penting untuk diingat bahwa di zaman ketika jizyah diterapkan, gagasan tentang kesetaraan warga negara dalam pengertian modern belum ada. Setiap negara memiliki sistem pajak dan kewajiban yang berbeda berdasarkan identitas agama atau etnis. Dalam konteks tersebut, jizyah adalah mekanisme yang relatif adil untuk mengelola pluralitas agama.
C. Relevansi Jizyah di Abad ke-21
Pertanyaan terbesar saat ini adalah apakah jizyah masih relevan atau dapat diterapkan di abad ke-21. Mayoritas ulama dan intelektual Muslim modern berpendapat bahwa jizyah, dalam bentuk tradisionalnya, tidak lagi relevan dalam konteks negara bangsa modern.
- Prinsip Kewarganegaraan: Konsep negara modern didasarkan pada prinsip kewarganegaraan yang setara, di mana semua warga negara, tanpa memandang agama, memiliki hak dan kewajiban yang sama, termasuk membayar pajak dan berpartisipasi dalam pertahanan negara. Dalam sistem ini, pembedaan pajak berdasarkan agama dianggap melanggar prinsip kesetaraan.
- Tujuan Jizyah Telah Terpenuhi dengan Cara Lain: Tujuan perlindungan dan kontribusi terhadap negara dapat dicapai melalui sistem pajak umum yang berlaku untuk semua warga negara. Jika negara modern menjamin perlindungan bagi semua warganya, dan semua warganya berkontribusi melalui pajak umum, maka tidak perlu ada jizyah secara terpisah.
- Fokus pada Keadilan dan Toleransi: Islam menekankan keadilan, toleransi, dan perlindungan bagi semua. Dalam semangat ini, penegasan kembali prinsip-prinsip tersebut dalam kerangka hukum modern dianggap lebih sesuai.
- Fikih Minoritas (Fiqh al-Aqalliyat): Dalam konteks Muslim yang hidup sebagai minoritas di negara non-Muslim, para ulama telah mengembangkan fikih minoritas yang menekankan pentingnya mematuhi hukum negara tempat mereka tinggal dan bekerja untuk kebaikan bersama. Analogi ini juga dapat diterapkan pada non-Muslim yang hidup di negara Muslim, di mana mereka harus dianggap sebagai warga negara penuh dengan hak dan kewajiban yang sama.
Meskipun jizyah sebagai institusi historis mungkin tidak lagi diterapkan, semangat di baliknya—yaitu perlindungan bagi minoritas dan kontribusi mereka terhadap negara—tetap penting. Inti dari konsep jizyah adalah perjanjian yang menjamin keamanan dan kebebasan beragama bagi non-Muslim. Di dunia modern, prinsip-prinsip ini diwujudkan melalui konstitusi, undang-undang hak asasi manusia, dan sistem pajak umum yang berlaku adil bagi semua warga negara.
Sejarah jizyah adalah pengingat akan upaya peradaban Islam untuk menciptakan kerangka kerja yang adil dan stabil untuk masyarakat majemuk. Meskipun bentuk implementasinya telah berubah seiring waktu dan tidak lagi relevan dalam konteks hukum modern, pemahaman yang benar tentang sejarah dan filosofi di baliknya adalah kunci untuk menghargai warisan intelektual Islam dan menghindari penafsiran yang dangkal atau bias.
Perbandingan dengan Sistem Pajak Lainnya dan Konsep Dhimmah
A. Jizyah vs. Zakat
Sangat penting untuk membedakan jizyah dari zakat, karena keduanya adalah kewajiban finansial dalam Islam, tetapi dengan tujuan dan dasar hukum yang sangat berbeda:
- Zakat: Merupakan rukun Islam ketiga, wajib bagi Muslim yang telah memenuhi nishab (ambang batas kekayaan) dan haul (batas waktu kepemilikan harta). Zakat adalah ibadah sosial yang bertujuan untuk mensucikan harta dan mendistribusikan kekayaan kepada delapan golongan yang berhak, seperti fakir miskin, amil, mualaf, dll. Tarif zakat umumnya tetap (misalnya 2,5% untuk harta tertentu) dan dibayarkan dari kekayaan yang dimiliki. Zakat adalah kewajiban internal komunitas Muslim.
- Jizyah: Adalah pajak per kapita yang dikenakan pada non-Muslim yang produktif sebagai imbalan atas perlindungan, kebebasan beragama, dan pembebasan dari kewajiban militer. Jizyah bukan ibadah, melainkan perjanjian kontrak. Tarifnya bervariasi dan ditentukan oleh penguasa, seringkali berdasarkan kemampuan ekonomi. Jizyah adalah kewajiban yang mengatur hubungan antara negara Islam dan komunitas non-Muslim.
Perbedaan mendasar ini menunjukkan bahwa Muslim dan non-Muslim memiliki kewajiban finansial yang berbeda, yang mencerminkan peran dan status mereka yang berbeda dalam kerangka hukum Islam tradisional. Muslim memiliki kewajiban militer dan zakat, sementara non-Muslim membayar jizyah sebagai pengganti kewajiban tersebut dan sebagai imbalan perlindungan.
B. Jizyah vs. Pajak Tanah (Kharaj)
Selain jizyah, ada juga kharaj, yaitu pajak tanah. Kharaj adalah pajak yang dikenakan pada tanah pertanian di wilayah yang ditaklukkan oleh Muslim, terutama tanah yang awalnya dimiliki oleh non-Muslim dan dipertahankan kepemilikannya setelah penaklukan. Kharaj bisa dibayarkan oleh Muslim maupun non-Muslim yang memiliki tanah tersebut. Tujuannya adalah untuk mendanai negara dan berfungsi sebagai bagian dari sistem pertanian dan ekonomi.
Perbedaan utama adalah jizyah adalah pajak per kapita atas individu, sedangkan kharaj adalah pajak atas tanah. Keduanya merupakan sumber pendapatan negara yang penting di masa kekhalifahan.
C. Konsep Dhimmah dan Hak-hak Dhimmi
"Dhimmah" secara harfiah berarti "perlindungan", "perjanjian", atau "tanggung jawab". Konsep dhimmah adalah inti dari status non-Muslim di negara Islam. Seorang dhimmi adalah non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam, yang berjanji untuk melindungi jiwa, harta, dan kebebasan beragama mereka.
Hak-hak dhimmi meliputi:
- Kebebasan Beragama: Dhimmi diizinkan untuk mempraktikkan agama mereka, membangun dan merawat rumah ibadah mereka, dan hidup sesuai dengan hukum pribadi mereka (misalnya, hukum perkawinan, warisan).
- Perlindungan Fisik dan Harta: Negara Islam bertanggung jawab untuk melindungi dhimmi dari serangan eksternal dan kejahatan internal. Harta mereka dihormati dan tidak boleh dirampas.
- Keadilan di Pengadilan: Dhimmi memiliki hak untuk diadili secara adil di pengadilan Islam, atau diizinkan untuk menggunakan pengadilan komunitas mereka sendiri untuk urusan internal.
- Bebas dari Kewajiban Militer: Ini adalah imbalan utama untuk pembayaran jizyah.
Meskipun ada pembatasan tertentu yang kadang-kadang dikenakan pada dhimmi (misalnya, dalam pembangunan rumah ibadah baru yang mencolok, atau dalam kesaksian di pengadilan tertentu), secara umum, status dhimmah memberikan kerangka kerja yang stabil untuk koeksistensi. Pembatasan ini seringkali ditujukan untuk menjaga tatanan sosial dan menegaskan dominasi politik Muslim, bukan untuk menindas atau melenyapkan minoritas.
Konsep dhimmah adalah produk dari zamannya, yang memungkinkan pembentukan masyarakat multireligius di mana setiap komunitas memiliki tempat dan perlindungan yang dijamin. Namun, seperti yang dibahas sebelumnya, dalam konteks modern, gagasan kewarganegaraan universal telah menggantikan sistem dhimmah ini, dengan hak dan kewajiban yang sama untuk semua.
Kesimpulan
Jizyah adalah sebuah institusi kompleks dalam sejarah Islam yang mencerminkan upaya peradaban Muslim untuk mengatur hubungan antara penguasa Muslim dan penduduk non-Muslim di bawah kekuasaan mereka. Berakar pada ajaran Al-Qur'an dan Hadis, serta dikembangkan melalui yurisprudensi para fuqaha, jizyah bukan sekadar pajak, melainkan bagian dari kontrak sosial yang lebih luas yang dikenal sebagai dhimmah.
Secara historis, jizyah berfungsi sebagai imbalan atas perlindungan fisik dan kebebasan beragama yang diberikan oleh negara Islam kepada non-Muslim. Ia juga merupakan pengganti dari kewajiban militer yang dibebankan kepada Muslim, serta menjadi sumber pendapatan bagi baitul mal (kas negara). Pengecualian dan fleksibilitas dalam penerapannya, seperti pembebasan bagi wanita, anak-anak, orang tua, orang miskin, dan para rohaniwan, menunjukkan bahwa jizyah bukanlah beban yang tidak adil atau universal, melainkan disesuaikan dengan kemampuan individu.
Meskipun di masa lalu ada masa-masa penyalahgunaan atau implementasi yang kurang tepat oleh penguasa tertentu, prinsip dasar jizyah dalam Islam adalah untuk menciptakan koeksistensi yang stabil di mana minoritas agama dapat hidup dengan aman dan mempraktikkan keyakinan mereka. Contoh-contoh sejarah, seperti pengembalian jizyah ketika perlindungan tidak dapat diberikan, menggarisbawahi sifat kontrakual dan tujuan perlindungan dari jizyah.
Dalam konteks modern, di mana konsep negara bangsa dan kewarganegaraan yang setara telah menjadi norma global, mayoritas ulama dan pemikir Muslim berpandangan bahwa jizyah dalam bentuk tradisionalnya tidak lagi relevan. Prinsip-prinsip perlindungan, keadilan, dan kontribusi terhadap negara yang menjadi dasar jizyah kini diwujudkan melalui sistem pajak umum dan kerangka hukum yang menjamin hak dan kewajiban yang sama bagi semua warga negara, tanpa memandang afiliasi agama.
Memahami jizyah secara komprehensif memerlukan upaya untuk melihatnya dalam konteks sejarahnya yang kaya dan nuansa hukumnya. Ini membantu kita menjauh dari interpretasi yang dangkal atau bias, dan sebaliknya, mengapresiasi bagaimana peradaban Islam berusaha menyelesaikan tantangan koeksistensi multireligius di zamannya. Dengan demikian, meskipun jizyah mungkin adalah peninggalan masa lalu, pelajaran tentang perlindungan minoritas, toleransi, dan keadilan yang terkandung di dalamnya tetap relevan untuk membangun masyarakat yang harmonis di masa kini dan masa depan.