Jingoisme: Nasionalisme Agresif, Bahaya & Dampaknya
Jingoisme adalah fenomena sosial dan politik yang kompleks, sering kali disalahartikan atau disamakan dengan patriotisme, namun esensinya jauh lebih agresif, eksklusif, dan berpotensi merusak. Ia mewakili bentuk nasionalisme yang berlebihan, yang tidak hanya bangga pada bangsa sendiri tetapi juga secara aktif memandang rendah atau bahkan memusuhi bangsa lain. Artikel ini akan mengupas tuntas jingoisme, mulai dari definisinya yang mendalam, akar sejarahnya, penyebab kemunculannya, berbagai manifestasinya, dampaknya yang merugikan, hingga perbedaannya dengan patriotisme dan nasionalisme yang lebih konstruktif. Kita juga akan membahas bagaimana jingoisme bertahan dan berevolusi di era modern, serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk menanggulanginya demi masyarakat yang lebih damai dan inklusif. Memahami jingoisme bukan hanya sekadar latihan akademis, melainkan sebuah keharusan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan polarisasi yang semakin intens di berbagai belahan dunia.
Dalam lanskap politik global yang terus berubah, di mana identitas nasional sering kali menjadi titik fokus perdebatan, konflik, dan bahkan kekerasan, jingoisme kembali menemukan relevansinya sebagai ideologi yang berbahaya. Ia bukan hanya sekadar jargon politik kosong, melainkan sebuah ideologi yang bisa mengakar dalam pikiran kolektif suatu bangsa, membentuk persepsi, dan memicu tindakan ekstrem, baik di tingkat individu maupun negara. Oleh karena itu, mengenali ciri-ciri jingoisme dan memahami implikasinya adalah langkah pertama yang fundamental untuk membangun ketahanan terhadapnya dan mempromosikan nilai-nilai kerja sama serta saling pengertian di tengah masyarakat dunia yang semakin terhubung.
Definisi Mendalam Jingoisme: Lebih dari Sekadar Cinta Tanah Air yang Murni
Jingoisme secara umum dapat didefinisikan sebagai bentuk nasionalisme ekstrem yang ditandai oleh agresi, chauvinisme, dan keyakinan mutlak akan superioritas bangsanya sendiri, disertai dengan kecenderungan kuat untuk memandang rendah, meremehkan, atau bahkan memusuhi bangsa lain. Ini adalah pandangan dunia di mana kepentingan nasional diyakini harus diutamakan di atas segalanya, sering kali tanpa mempertimbangkan implikasi etis, moral, atau hukum internasional terhadap komunitas global. Jingoisme tidak sekadar mencintai negara sendiri; ia menuntut pemujaan yang berlebihan dan penolakan keras terhadap siapa pun yang dianggap "bukan kita".
Etimologi dan Asal Usul Istilah
Istilah "jingoisme" memiliki akar historis yang menarik dalam bahasa Inggris dan mulai populer pada akhir abad ke-19, tepatnya pada tahun 1878. Asalnya dikaitkan dengan sebuah lagu populer di teater-teater musik (music halls) di Inggris pada masa itu, yang bertepatan dengan krisis Rusia-Turki. Lirik lagu tersebut mencakup frasa yang terkenal dan provokatif:
"We don't want to fight but, by Jingo, if we do,
We've got the ships, we've got the men, we've got the money too!"
Frasa "by Jingo" adalah eufemisme untuk "by Jesus" dan digunakan sebagai seruan kejutan, sumpah, atau penekanan yang kuat. Lagu ini menjadi sangat populer di kalangan mereka yang secara agresif mendukung intervensi militer Inggris melawan Rusia untuk membela kepentingan Kekaisaran Ottoman, yang mereka anggap krusial bagi dominasi Inggris di Mediterania. Para pendukung kebijakan luar negeri yang agresif ini kemudian dijuluki "Jingoes" oleh pers, dan ideologi mereka yang gemar perang disebut "jingoisme". Sejak saat itu, istilah ini telah digunakan secara luas untuk menggambarkan patriotisme yang agresif, ekspansionis, chauvinistik, dan bellicose (gemar perang), yang secara aktif mencari konfrontasi atau dominasi.
Perbedaan Kritis dengan Patriotisme dan Nasionalisme
Meskipun jingoisme memiliki elemen-elemen yang terkait dengan nasionalisme, sangat penting untuk membedakannya secara tegas dari patriotisme dan bahkan nasionalisme yang lebih moderat, karena perbedaan ini terletak pada inti dari bahayanya:
- Patriotisme: Ini adalah cinta dan pengabdian yang mendalam dan tulus kepada tanah air seseorang. Patriotisme yang sehat bersifat defensif, bangga akan budaya dan sejarah sendiri, serta ingin berkontribusi pada kesejahteraan dan kemajuan bangsa tanpa harus merugikan atau memusuhi bangsa lain. Patriotisme biasanya melibatkan rasa tanggung jawab sipil, solidaritas dalam komunitas, dan keinginan untuk melihat negaranya berkembang dalam harmoni dengan negara lain. Seorang patriot sejati akan mengkritik pemerintahnya jika ia merasa tindakannya tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsanya.
- Nasionalisme: Merupakan ideologi yang menekankan kesetiaan dan pengabdian kepada bangsa sebagai entitas politik utama, sering kali dengan keyakinan bahwa bangsa harus mengatur dirinya sendiri (kedaulatan). Nasionalisme bisa bersifat inklusif (merayakan identitas bersama) atau eksklusif (mendefinisikan siapa yang 'milik' dan siapa yang 'bukan'). Nasionalisme yang sehat dapat menjadi kekuatan pendorong untuk persatuan, pembangunan, dan perjuangan kemerdekaan. Namun, ketika nasionalisme melampaui batas yang rasional dan mulai mengklaim superioritas atas bangsa lain atau menuntut hak-hak eksklusif tanpa dasar yang kuat, ia bisa bergeser menjadi bentuk yang lebih berbahaya.
- Jingoisme: Inilah pergeseran berbahaya dari nasionalisme. Jingoisme menambahkan dimensi agresi, permusuhan terhadap pihak asing, dan keyakinan mutlak pada keunggulan militer, moral, atau budaya bangsanya sendiri. Jingoisme tidak hanya bangga pada bangsanya, tetapi juga secara aktif memandang rendah, merendahkan, atau bahkan membenci bangsa lain, melihat mereka sebagai ancaman, inferior, atau penghalang bagi kejayaan nasional. Ia sering kali mendorong intervensi militer, ekspansionisme, atau kebijakan luar negeri yang agresif, didasari oleh perasaan 'kita lawan mereka' yang kuat dan tidak kompromi. Jingoisme cenderung mengabaikan prinsip-prinsip hukum internasional, hak asasi manusia universal, dan kerja sama global demi keuntungan (yang dipersepsikan) bagi bangsa sendiri, bahkan jika keuntungan itu hanya ilusi atau berumur pendek.
Singkatnya, patriotisme adalah cinta yang konstruktif; nasionalisme adalah kesadaran identitas; dan jingoisme adalah agresi yang dimotivasi oleh identitas nasional yang berlebihan dan eksklusif. Jingoisme adalah manifestasi paling toksik dari kebanggaan nasional, yang mengarah pada konflik dan perpecahan, bukan persatuan dan kemajuan.
Jejak Sejarah Jingoisme: Dari Abad ke-19 hingga Era Kontemporer
Meskipun istilah "jingoisme" baru muncul pada akhir abad ke-19, fenomena yang digambarkannya memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, terwujud dalam berbagai bentuk di sepanjang peradaban manusia. Namun, periode modern, terutama setelah munculnya negara-bangsa (nation-state) dan ideologi nasionalisme, memberikan lahan subur bagi perkembangannya menjadi sebuah doktrin yang terorganisir dan berbahaya.
Awal Mula dan Konteks Eropa Abad ke-19
Seperti yang telah dijelaskan, istilah ini lahir di Inggris pada konteks ketegangan geopolitik dan persaingan kekaisaran. Pada masa itu, Kekaisaran Inggris berada di puncak kekuasaannya, dan sentimen superioritas serta hak untuk campur tangan dalam urusan negara lain sangat kuat. Perluasan kolonialisme sering dibenarkan dengan retorika jingoisme: bangsa Inggris diyakini memiliki "beban manusia kulit putih" (white man's burden) untuk "memperadabkan" dunia, atau bahwa dominasi Inggris adalah takdir yang tak terhindarkan, bahkan sebuah mandat ilahi. Sentimen serupa juga terlihat di negara-negara Eropa lainnya seperti Prancis, Jerman, Rusia, dan Italia, yang semuanya bersaing ketat untuk mendapatkan pengaruh dan wilayah di seluruh dunia. Perlombaan senjata dan pembentukan aliansi militer yang tegang di Eropa pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah cerminan langsung dari semangat jingois yang merasuki elite politik dan sebagian besar masyarakat.
Abad ke-20: Perang Dunia dan Ideologi Totaliter
Abad ke-20 menjadi saksi manifestasi jingoisme dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang berpuncak pada dua Perang Dunia yang menghancurkan. Ideologi totaliter seperti Nazisme di Jerman dan Fasisme di Italia adalah contoh jingoisme ekstrem yang paling brutal dan mematikan. Mereka mengagungkan bangsa "Arya" atau "Romawi" sebagai ras superior yang berhak mendominasi, membenarkan ekspansi militer yang agresif, dan melakukan genosida terhadap kelompok-kelompok minoritas yang dianggap inferior atau musuh bangsa. Kekaisaran Jepang juga menunjukkan bentuk jingoisme yang parah, yang percaya pada keilahian Kaisar dan superioritas bangsa Jepang, memimpin mereka pada agresi militer yang brutal di seluruh Asia Pasifik dan menyebabkan penderitaan yang tak terhingga.
Bahkan setelah Perang Dunia II, Perang Dingin, meskipun tidak selalu melibatkan perang terbuka langsung antarnegara adidaya, juga menampilkan bentuk jingoisme yang halus namun efektif. Kedua belah pihak—blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan blok Timur yang dipimpin Uni Soviet—masing-masing mempromosikan ideologi mereka sebagai yang terbaik dan memandang rendah sistem lawan. Ini memicu perlombaan senjata yang berbahaya, perang proksi di berbagai belahan dunia, dan propaganda yang menciptakan gambaran musuh yang absolut, menghambat dialog dan kerja sama.
Jingoisme Pasca-Perang Dingin dan Era Globalisasi
Setelah runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin, banyak yang berharap bahwa era jingoisme akan berakhir dan digantikan oleh tatanan global yang lebih damai. Namun, realitasnya berbeda. Jingoisme tidak menghilang, melainkan bermetamorfosis, beradaptasi, dan menemukan saluran baru untuk menyebarkan pengaruhnya. Kebangkitan nasionalisme etnis yang mematikan di Balkan, konflik-konflik berkepanjangan di Timur Tengah, dan munculnya gerakan-gerakan ekstremis nasionalis di berbagai negara menunjukkan bahwa benih-benih jingoisme tetap ada, menunggu kondisi yang tepat untuk tumbuh subur.
Globalisasi, alih-alih meredakan jingoisme, kadang-kadang justru memicunya. Perasaan kehilangan identitas akibat pengaruh budaya asing, persaingan ekonomi yang semakin ketat, dan ketidakpuasan terhadap sistem politik global dapat mendorong individu dan kelompok untuk kembali pada narasi nasionalis yang eksklusif dan agresif sebagai bentuk pertahanan diri atau pencarian makna. Media sosial dan internet juga berperan besar dalam mempercepat penyebaran sentimen jingoisme, memungkinkan kelompok-kelompok ekstremis untuk menemukan dan menggalang pengikut dengan cepat, seringkali melalui disinformasi dan narasi kebencian yang mudah menyebar.
Penyebab Muncul dan Bertahannya Jingoisme
Jingoisme bukanlah fenomena yang muncul begitu saja atau bersifat acak. Ia adalah hasil dari interaksi kompleks berbagai faktor, mulai dari dinamika politik, ekonomi, sosial-psikologis, hingga budaya. Memahami akar penyebab ini adalah kunci untuk merumuskan strategi penanggulangan yang efektif dan berjangka panjang. Tanpa memahami mengapa jingoisme muncul, upaya untuk melawannya akan seperti memangkas rumput liar tanpa mencabut akarnya.
1. Faktor Politik dan Kepentingan Elite
- Propaganda Politik yang Manipulatif: Para pemimpin politik atau elite yang haus kekuasaan sering menggunakan retorika nasionalis yang agresif untuk menggalang dukungan publik secara emosional. Mereka dapat mengalihkan perhatian dari masalah domestik yang mendesak dengan menciptakan atau membesar-besarkan ancaman eksternal. Dengan menunjuk "musuh bersama", elite dapat menyatukan rakyat di bawah bendera persatuan semu, mengesampingkan perbedaan internal demi tujuan yang dipersepsikan lebih besar. Ini adalah taktik klasik untuk mengalihkan kritik dan mempertahankan legitimasi.
- Konsolidasi Kekuasaan Otoriter: Jingoisme dapat digunakan sebagai alat yang ampuh untuk mengonsolidasikan dan mempertahankan kekuasaan. Dengan memicu sentimen "kita melawan mereka" yang kuat, elite yang berkuasa dapat membungkam oposisi internal yang dicap sebagai "tidak patriotik", "pengkhianat", atau "agen asing". Ini memberikan justifikasi untuk tindakan represif dan pembatasan kebebasan sipil atas nama "keamanan nasional".
- Krisis Nasional dan Ketidakpastian: Saat negara menghadapi krisis serius (baik itu krisis ekonomi, keamanan, kesehatan, atau identitas), kecenderungan untuk mencari kambing hitam eksternal dan mempromosikan narasi jingoisme dapat meningkat tajam. Jingoisme menawarkan ilusi kontrol dan kekuatan di tengah ketidakpastian, memberikan janji sederhana untuk mengembalikan "kejayaan" atau "stabilitas" yang hilang.
- Persaingan Geopolitik: Di arena internasional, persaingan antarnegara untuk dominasi wilayah, sumber daya, atau pengaruh dapat mendorong retorika jingoisme, di mana setiap negara berusaha menunjukkan kekuatan dan keunggulan untuk menakuti lawan atau meyakinkan sekutu.
2. Faktor Ekonomi
- Perebutan Sumber Daya dan Pasar: Persaingan yang ketat untuk mendapatkan akses ke sumber daya alam yang melimpah, pasar ekspor yang menguntungkan, atau dominasi ekonomi global dapat memicu sentimen jingoisme. Kebijakan proteksionisme ekonomi yang ekstrem, yang mengklaim superioritas produk atau tenaga kerja domestik, sering kali disertai retorika nasionalis yang agresif untuk membenarkan pembatasan perdagangan.
- Ketidakpuasan Ekonomi Rakyat: Ketidaksetaraan ekonomi yang merajalela, tingkat pengangguran yang tinggi, inflasi, atau kesulitan hidup yang dialami masyarakat luas dapat membuat mereka rentan terhadap narasi jingoisme. Dengan menyalahkan "pihak luar" (seperti imigran, negara pesaing, atau organisasi internasional) atas masalah ekonomi, jingoisme menawarkan penjelasan sederhana dan solusi yang tampaknya mudah (meskipun seringkali merusak dan tidak realistis). Ini memberikan target yang jelas untuk kemarahan publik.
- Perasaan Tersingkir oleh Globalisasi: Beberapa lapisan masyarakat merasa ditinggalkan atau dirugikan oleh globalisasi, yang mereka rasakan mengancam pekerjaan, nilai-nilai tradisional, atau kedaulatan nasional mereka. Sentimen ini menjadi lahan subur bagi narasi jingoisme yang menawarkan "solusi" dengan menutup diri dari dunia luar.
3. Faktor Sosial-Psikologis
- Kebutuhan Identitas dan Kepemilikan: Manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Bagi sebagian orang, identitas nasional yang kuat dan eksklusif memberikan rasa tujuan, kepemilikan, dan harga diri, terutama jika identitas lain dirasa terancam atau hilang dalam arus modernisasi.
- Rasa Takut dan Ketidakamanan Kolektif: Ancaman yang dirasakan—baik itu nyata, dibesar-besarkan oleh media, atau direkayasa oleh elite—dapat memicu rasa takut dan ketidakamanan yang mendalam dalam masyarakat. Jingoisme menawarkan perlindungan dengan memperkuat ikatan kelompok dan mengidentifikasi musuh bersama yang harus dihadapi dengan kekuatan.
- Efek Kerumunan dan Konformitas: Dalam kelompok yang terpolarisasi, individu cenderung meniru pandangan yang dominan untuk diterima dan menghindari dikucilkan. Media sosial memperkuat fenomena ini, menciptakan "gema kamar" (echo chambers) dan "gelembung filter" (filter bubbles) di mana sentimen jingoisme terus-menerus diperkuat tanpa adanya paparan terhadap pandangan alternatif, sehingga sulit untuk melakukan introspeksi atau kritik diri.
- Dehumanisasi Pihak Lain: Jingoisme sering kali melibatkan proses dehumanisasi, di mana kelompok lain digambarkan sebagai "kurang manusiawi", "biadab", "jahat", atau "berbahaya". Proses ini mengurangi hambatan psikologis untuk melakukan agresi, diskriminasi, atau bahkan kekerasan terhadap mereka, karena korban tidak lagi dipandang sebagai sesama manusia yang layak mendapatkan empati.
- Narsisisme Kolektif: Beberapa sosiolog dan psikolog melihat jingoisme sebagai bentuk narsisisme kolektif, di mana suatu kelompok memiliki keyakinan berlebihan pada keunikan dan kebesaran dirinya sendiri, dan bereaksi sangat agresif terhadap kritik atau ancaman yang dipersepsikan.
4. Faktor Budaya dan Sejarah
- Mitologi Nasional dan Glorifikasi Masa Lalu: Hampir setiap bangsa memiliki mitos pendirian dan narasi heroik tentang sejarahnya. Jingoisme mengeksploitasi dan melebih-lebihkan narasi ini, mengabaikan sisi gelap sejarah, dan menciptakan gambaran diri yang tak bercela dan superior. Ini dapat mencakup pengkultusan tokoh pahlawan atau peristiwa tertentu yang memicu kebanggaan berlebihan yang tidak sehat, serta penyangkalan atas kesalahan atau kejahatan yang pernah dilakukan bangsanya sendiri.
- Pendidikan dan Sosialisasi yang Bias: Sistem pendidikan yang bias, yang secara eksklusif menekankan keunggulan bangsa sendiri dan meremehkan budaya atau sejarah bangsa lain, dapat menanamkan benih jingoisme sejak dini. Media massa, seni, dan hiburan juga memainkan peran penting dalam sosialisasi nilai-nilai jingoisme melalui representasi yang stereotip atau propaganda.
- Bahasa dan Simbolisme yang Agresif: Penggunaan bahasa yang provokatif, simbol-simbol nasionalis yang dipersenjatai (seperti bendera yang diagitasi berlebihan), dan upacara-upacara yang mengagungkan kekuatan militer atau keunggulan rasial dapat memperkuat sentimen jingoisme, mengubah ekspresi kebanggaan menjadi pendorong konflik.
Kombinasi dari faktor-faktor ini menciptakan lingkungan yang subur bagi jingoisme untuk tumbuh dan berkembang, menantang upaya untuk membangun masyarakat global yang lebih harmonis dan saling menghargai. Ia adalah sebuah ideologi yang berbahaya karena ia meracuni pikiran kolektif dan membenarkan tindakan-tindakan yang paling kejam sekalipun.
Manifestasi Jingoisme dalam Berbagai Aspek Kehidupan
Jingoisme tidak hanya terbatas pada retorika politik atau keputusan militer di tingkat atas. Ia meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat, membentuk cara pandang, interaksi sosial, dan bahkan kebijakan publik. Mengenali manifestasinya yang beragam adalah langkah penting untuk mengidentifikasi dan menanganinya sebelum ia menyebabkan kerusakan yang lebih parah.
1. Retorika Politik dan Diplomatik
- Bahasa Provokatif dan Agresif: Para politisi dan diplomat yang jingoistik sering menggunakan bahasa yang merendahkan, mengancam, atau menghina terhadap negara lain, kelompok minoritas, atau lawan politik yang dicap sebagai "agen asing". Mereka mungkin menciptakan atau membesar-besarkan keberadaan "musuh bersama" untuk menggalang dukungan domestik yang fanatik dan membungkam kritik.
- Demonisasi Lawan: Menggambarkan negara, budaya, atau pemimpin lain sebagai ancaman mutlak, tidak rasional, jahat, atau bahkan tidak manusiawi adalah taktik umum jingoisme. Ini dilakukan untuk membenarkan tindakan agresif, sanksi ekonomi, atau intervensi militer, dengan mengklaim bahwa tindakan tersebut adalah "perlindungan diri" atau "tindakan moral yang benar".
- Klaim Superioritas Mutlak dan Kebenaran Tunggal: Penekanan berlebihan pada "kekuatan", "keunggulan", atau "moralitas" bangsa sendiri, baik secara militer, ekonomi, maupun budaya, sering kali disertai dengan implikasi bahwa bangsa lain adalah inferior, korup, atau tidak beradab. Retorika ini tidak hanya membanggakan, tetapi juga menuntut kepatuhan buta pada narasi tunggal yang diklaim sebagai kebenaran absolut.
2. Media Massa dan Informasi
- Pemberitaan Bias dan Sensasionalisme yang Memecah Belah: Media yang terpengaruh jingoisme cenderung menyajikan berita dengan bias yang kuat, melebih-lebihkan ancaman dari luar, atau hanya menyoroti aspek negatif dari negara atau kelompok lain. Sensasionalisme digunakan secara ekstensif untuk memicu emosi nasionalis yang kuat, ketakutan, dan kebencian.
- Propaganda Terselubung dan Terbuka: Artikel berita, program TV, film dokumenter, atau bahkan karya fiksi yang secara halus atau eksplisit mempromosikan pandangan jingoisme, mengagungkan kekuasaan militer, membenarkan kebijakan luar negeri yang agresif, atau merayakan "kemenangan" atas bangsa lain tanpa mempertimbangkan dampaknya.
- Penyebaran Disinformasi dan Berita Palsu (Hoaks): Dengan memanfaatkan kecepatan dan jangkauan internet serta media sosial, narasi jingoisme sering kali disebarkan melalui informasi yang salah, teori konspirasi, atau propaganda yang sengaja dibuat untuk memicu kebencian, ketakutan, atau kemarahan terhadap pihak lain, yang sulit dibantah oleh fakta.
3. Pendidikan dan Kurikulum
- Kurikulum Bias Nasionalis yang Tidak Kritis: Buku teks sejarah yang hanya menyajikan narasi tunggal yang mengagungkan pahlawan nasional secara berlebihan, mengabaikan atau meremehkan kontribusi bangsa lain, atau bahkan menyembunyikan sisi gelap dan kesalahan masa lalu bangsanya sendiri. Ini membentuk pandangan dunia yang sempit dan tidak kritis pada generasi muda.
- Indoktrinasi Ideologis: Sistem pendidikan yang secara aktif menanamkan ideologi superioritas nasional dan permusuhan terhadap pihak asing, bukannya mendorong pemikiran kritis, empati global, dan apresiasi terhadap keberagaman. Proses ini dapat mencakup pengajaran "kebenaran" tunggal tanpa ruang untuk pertanyaan atau diskusi.
- Perayaan Nasional yang Eksklusif: Hari-hari nasional atau upacara peringatan yang terlalu menekankan kemenangan militer atau mengabaikan perspektif korban dari konflik masa lalu, sehingga menciptakan narasi sepihak yang memperkuat sentimen jingois.
4. Olahraga dan Hiburan
- Rivalitas Berlebihan yang Toksik: Kompetisi olahraga internasional sering kali diwarnai dengan jingoisme, di mana kekalahan dianggap sebagai penghinaan nasional yang tak termaafkan dan kemenangan dibesar-besarkan sebagai bukti superioritas bangsa. Teriakan "us vs them" yang ekstrem, bendera yang berlebihan, dan nyanyian yang merendahkan tim lawan atau bangsa mereka menjadi hal yang lumrah.
- Slogan dan Simbol Agresif: Penggunaan slogan-slogan yang agresif atau simbol-simbol yang mengagungkan kekuatan militer dalam konteks hiburan atau acara publik, yang mendorong mentalitas konfrontatif dan bukan semangat sportivitas.
- Film dan Musik Propaganda: Karya seni yang secara eksplisit atau implisit menggemakan sentimen jingoisme, mengromantisasi perang dan konflik, atau secara terang-terangan mendemonisasi musuh, seringkali tanpa nuansa atau kritik terhadap dampak kekerasan.
5. Gerakan Sosial dan Politik
- Kelompok Supremasi Nasionalis: Munculnya kelompok-kelompok yang mengklaim superioritas etnis, ras, atau budaya bangsa mereka dan menyerukan kebijakan diskriminatif, segregasi, atau bahkan penghapusan kelompok lain yang dianggap ancaman.
- Xenofobia dan Sentimen Anti-Imigran: Gerakan sosial yang menolak imigran, pengungsi, atau kelompok minoritas lainnya, menyalahkan mereka atas masalah sosial atau ekonomi, dan menyerukan penutupan perbatasan atau deportasi massal. Ini sering dibungkus dalam narasi perlindungan identitas nasional yang terancam.
- Protes Agresif dan Kekerasan: Demonstrasi atau protes yang menggunakan kekerasan, intimidasi, atau vandalisme terhadap kelompok yang dianggap "asing" atau "tidak patriotik", seringkali memicu kekerasan fisik dan perpecahan sosial yang lebih luas.
Manifestasi-manifestasi ini menunjukkan bahwa jingoisme adalah ideologi yang meresap dan sangat adaptif, mampu menyesuaikan diri dengan konteks sosial, politik, dan teknologi yang berbeda. Kehadirannya tidak hanya mengancam perdamaian internasional, tetapi juga mengikis kohesi sosial, nilai-nilai kemanusiaan universal, dan prinsip-prinsip demokrasi di tingkat domestik. Ia menciptakan masyarakat yang terpecah belah dan curiga, alih-alih bersatu dan berempati.
Dampak Jingoisme: Ancaman Terhadap Perdamaian dan Kemanusiaan
Dampak jingoisme jauh melampaui retorika dan sentimen belaka. Ketika mengakar kuat dalam masyarakat dan diwujudkan dalam kebijakan nyata, jingoisme dapat menimbulkan konsekuensi yang menghancurkan dan berkepanjangan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Ia adalah kekuatan destruktif yang merusak fondasi masyarakat yang adil, stabil, dan damai.
1. Konflik Internasional dan Potensi Perang
- Peningkatan Ketegangan Diplomatik dan Agresi: Retorika jingoisme secara inheren bersifat konfrontatif dan memprovokasi, yang dapat memperkeruh hubungan antarnegara, memicu perang kata-kata, dan mempersulit resolusi damai atas sengketa. Hal ini seringkali mengarah pada perlombaan senjata yang berbahaya dan menciptakan siklus ketidakpercayaan yang sulit dipatahkan.
- Justifikasi Agresi Militer dan Invasi: Salah satu bahaya terbesar jingoisme adalah kemampuannya untuk membenarkan intervensi militer, invasi, atau perang berskala penuh dengan dalih melindungi "kepentingan nasional", "keamanan", atau "kehormatan bangsa" dari ancaman yang seringkali dilebih-lebihkan, direkayasa, atau bahkan sepenuhnya fiktif. Ini adalah penyebab utama banyak konflik bersenjata sepanjang sejarah.
- Perang Proksi dan Destabilisasi Regional: Negara-negara yang diilhami jingoisme mungkin tidak selalu terlibat dalam perang langsung, tetapi mereka dapat mendukung kelompok-kelompok bersenjata di negara lain, memprovokasi konflik internal, atau melemahkan pemerintahan yang berdaulat untuk memperluas pengaruh mereka atau merugikan musuh yang dipersepsikan. Ini menyebabkan destabilisasi regional yang meluas dan penderitaan tak bersalah.
- Pelanggaran Hukum Internasional: Dalam semangat jingoisme, hukum internasional dan perjanjian multilateral seringkali diabaikan atau ditafsirkan ulang demi kepentingan nasional. Ini mengikis tatanan global berbasis aturan dan memperlemah upaya untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia.
2. Konflik Domestik dan Polarisasi Sosial
- Diskriminasi, Marginalisasi, dan Kekerasan Terhadap Minoritas: Di dalam negeri, jingoisme sering kali mengarah pada diskriminasi sistematis, persekusi, dan marginalisasi kelompok minoritas etnis, agama, atau imigran yang dianggap "lain", "bukan bagian dari kita", atau "ancaman terhadap kemurnian bangsa". Ini dapat berujung pada kekerasan komunal, pembersihan etnis, atau bahkan genosida.
- Peningkatan Kebencian dan Intoleransi: Dengan demonisasi pihak lain, jingoisme memupuk iklim kebencian, intoleransi, dan prasangka yang mendalam. Ini dapat menyebabkan peningkatan kejahatan kebencian, persekusi, dan polarisasi sosial yang memecah belah masyarakat dari dalam.
- Pecahnya Kohesi Sosial: Jingoisme memecah belah masyarakat, menciptakan garis batas yang tajam antara "kita" dan "mereka", mengikis solidaritas sosial, dan mempersulit dialog serta kerja sama antar kelompok yang berbeda. Rasa persatuan yang semu di bawah bendera jingoisme seringkali mengorbankan persatuan yang sesungguhnya di antara warga negara.
- Otoritarianisme dan Penindasan Politik: Untuk menjaga "kesatuan nasional" yang semu dan menghadapi "ancaman eksternal", rezim yang diilhami jingoisme mungkin menekan perbedaan pendapat, membatasi kebebasan sipil, dan menciptakan negara polisi. Kritik terhadap pemerintah dapat dicap sebagai "tidak patriotik" atau "makar", mematikan demokrasi.
3. Penghambatan Pembangunan dan Kemajuan Global
- Isolasi dan Proteksionisme Ekonomi yang Merugikan: Kebijakan jingoisme sering mendorong isolasi ekonomi, seperti tarif tinggi, pembatasan impor yang ketat, atau penolakan kerja sama perdagangan internasional. Meskipun diklaim untuk melindungi industri domestik, kebijakan ini pada akhirnya dapat merugikan perekonomian domestik melalui kurangnya inovasi dan inefisiensi, serta menghambat pertumbuhan ekonomi global.
- Penolakan Kerja Sama Global Terhadap Tantangan Bersama: Isu-isu global krusial seperti perubahan iklim, pandemi, terorisme lintas batas, atau kemiskinan membutuhkan respons dan kerja sama internasional yang kuat. Jingoisme, dengan sifatnya yang egosentris, menghambat respons global yang efektif, karena setiap bangsa hanya fokus pada kepentingannya sendiri, mengabaikan fakta bahwa masalah ini tidak mengenal batas negara.
- Penghambatan Pertukaran Budaya dan Ilmiah: Rasa superioritas dan permusuhan terhadap pihak asing dapat menghambat pertukaran ide, pengetahuan, penelitian ilmiah, dan budaya yang krusial untuk inovasi, kemajuan peradaban, dan peningkatan pemahaman bersama. Ini membatasi potensi bangsa untuk belajar dan berkembang.
4. Degradasi Etika dan Nilai Kemanusiaan
- Dehumanisasi dan Kekerasan Tanpa Batas: Dengan melabeli kelompok lain sebagai inferior, musuh, atau ancaman eksistensial, jingoisme mempermudah tindakan kekerasan, kekejaman, dan bahkan genosida. Korban dianggap tidak layak mendapatkan perlakuan manusiawi, menghilangkan rasa bersalah atau empati dari para pelaku.
- Erosi Empati dan Moralitas Universal: Jingoisme menumpulkan empati terhadap penderitaan orang lain, terutama jika mereka berasal dari "pihak musuh" atau kelompok yang dibenci. Ini menghilangkan landasan moral untuk tindakan kemanusiaan dan solidaritas global, membuat orang acuh tak acuh terhadap penderitaan yang terjadi di luar lingkaran mereka sendiri.
- Penyimpangan Moral yang Dinormalisasi: Tindakan yang secara universal dianggap tidak etis—seperti kebohongan, penyiksaan, kekerasan, atau pelanggaran hak asasi manusia—dapat dibenarkan dan dinormalisasi dalam nama "kepentingan nasional" yang lebih tinggi atau "kebutuhan untuk bertahan hidup". Ini menciptakan masyarakat di mana moralitas menjadi relatif dan mudah dikorbankan.
Singkatnya, jingoisme adalah racun yang merusak fondasi masyarakat yang adil dan damai. Ia mengubah rasa cinta tanah air yang sehat menjadi kekuatan destruktif yang mengancam bukan hanya musuh yang dibayangkan, tetapi juga keutuhan bangsa itu sendiri dari dalam, serta tatanan global secara keseluruhan. Konsekuensinya bersifat multi-dimensi dan seringkali berlangsung dalam jangka panjang, meninggalkan luka yang dalam pada peradaban manusia.
Jingoisme di Era Modern: Tantangan Globalisasi dan Digital
Meskipun abad ke-19 dan ke-20 menjadi saksi bangkitnya jingoisme dalam konteks kolonialisme dan perang dunia, era modern dengan globalisasi yang intens dan revolusi digital yang tak terhindarkan menghadirkan tantangan baru serta platform yang lebih cepat dan efisien bagi penyebarannya. Jingoisme bukan lagi fenomena usang, melainkan ancaman kontemporer yang terus beradaptasi.
1. Kebangkitan Nasionalisme Ekstrem dan Proteksionisme
Di berbagai belahan dunia, kita menyaksikan kebangkitan kembali nasionalisme ekstrem yang memiliki banyak ciri-ciri jingoisme. Ini sering kali dipicu oleh faktor-faktor kompleks seperti:
- Gelombang Imigrasi dan Krisis Pengungsi: Kekhawatiran akan imigrasi besar-besaran atau krisis pengungsi, baik itu nyata maupun dipersepsikan, sering dimanfaatkan secara politis oleh kelompok jingois untuk menyoroti ancaman terhadap "identitas nasional", "budaya asli", atau "keamanan domestik". Narasi ini memicu xenofobia dan sentimen anti-imigran yang kuat.
- Ketidakpuasan terhadap Globalisasi dan Liberalisme: Beberapa sektor masyarakat merasa ditinggalkan, dirugikan, atau terpinggirkan oleh proses globalisasi dan ideologi liberalisme ekonomi. Mereka merasakan ancaman terhadap pekerjaan, nilai-nilai tradisional, atau kedaulatan nasional mereka. Sentimen ini menjadi lahan subur bagi narasi jingoisme yang menawarkan "solusi" proteksionis, isolasionis, dan anti-asing yang tampaknya sederhana.
- Kesenjangan Ekonomi dan Rasa Ketidakadilan: Peningkatan kesenjangan antara kaya dan miskin di banyak negara sering kali dialihkan dengan mengarahkan kemarahan publik kepada pihak asing, kelompok minoritas, atau "elit global" yang tidak berwajah. Jingoisme menawarkan musuh yang jelas untuk disalahkan atas ketidakadilan ini.
- Krisis Identitas di Dunia yang Berubah Cepat: Dalam dunia yang semakin terkoneksi namun juga penuh ketidakpastian, ada dorongan yang kuat bagi banyak individu dan kelompok untuk kembali pada identitas yang lebih sempit, eksklusif, dan terlihat "kuat" sebagai cara untuk merasa aman, memiliki tujuan, dan mengatasi disorientasi.
- Populisme Otoriter: Pemimpin populis sering memanfaatkan sentimen jingois dengan menuduh musuh eksternal dan internal atas masalah negara, menjanjikan kejayaan masa lalu, dan meremehkan lembaga-lembaga demokrasi, sehingga semakin memperkuat ideologi jingoisme di mata publik.
2. Peran Internet dan Media Sosial dalam Penyebaran Jingoisme
Revolusi digital telah mengubah cara jingoisme disebarkan dan diperkuat secara fundamental:
- Gema Kamar (Echo Chambers) dan Gelembung Filter (Filter Bubbles): Algoritma media sosial cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan pandangan pengguna, menciptakan "gema kamar" di mana pandangan jingoisme diperkuat tanpa paparan terhadap perspektif yang berbeda. Ini membuat individu semakin yakin pada keyakinan mereka sendiri dan meragukan pandangan lain.
- Penyebaran Disinformasi dan Propaganda yang Sangat Cepat: Berita palsu, meme yang provokatif, narasi kebencian, dan propaganda nasionalis yang agresif dapat menyebar dengan kecepatan kilat di media sosial. Ini memobilisasi sentimen publik dalam hitungan jam dan seringkali mendahului upaya verifikasi fakta.
- Anonimitas dan Deindividuasi Online: Anonimitas internet kadang-kadang mendorong individu untuk mengekspresikan pandangan yang lebih ekstrem dan agresif yang mungkin tidak mereka ungkapkan di dunia nyata. Ini juga mengurangi rasa tanggung jawab dan meningkatkan kemungkinan perilaku diskriminatif atau intimidatif.
- Mobilisasi Cepat Kelompok Ekstremis: Platform online memungkinkan kelompok-kelompok nasionalis ekstrem untuk mengorganisir diri, merekrut anggota baru dari seluruh dunia, menyebarkan ideologi mereka ke audiens yang lebih luas, dan merencanakan tindakan nyata dengan lebih efisien.
- Mikro-targeting dan Personalisasi Propaganda: Data pengguna memungkinkan aktor jahat untuk menargetkan individu dengan pesan-pesan jingois yang sangat personalisasi, memanfaatkan ketakutan, prasangka, atau ketidakpuasan tertentu untuk efektivitas maksimum.
3. Tantangan terhadap Tatanan Multilateral dan Kerja Sama Global
Jingoisme modern juga secara langsung menantang tatanan multilateral yang dibangun pasca-Perang Dunia II, yang bertujuan untuk mempromosikan kerja sama, diplomasi, dan mencegah konflik global:
- Penarikan Diri dari Perjanjian Internasional: Beberapa negara di bawah pengaruh jingoisme menarik diri dari perjanjian iklim, perdagangan, hak asasi manusia, atau badan-badan internasional, mengklaim bahwa perjanjian tersebut merugikan kedaulatan atau kepentingan nasional mereka, meskipun sebenarnya dapat merugikan semua pihak dalam jangka panjang.
- Meresahkan Organisasi Internasional: Kritik terhadap lembaga-lembaga seperti PBB, WTO, Uni Eropa, atau WHO sebagai organisasi yang "tidak demokratis", "mengganggu kedaulatan", atau "tidak efektif" sering kali didorong oleh narasi jingoisme yang ingin memisahkan diri dari tanggung jawab global.
- Slogan "Our Nation First" atau "Kami Dulu": Slogan-slogan seperti ini mencerminkan pendekatan jingois yang menempatkan kepentingan nasional di atas kerja sama global, bahkan jika itu berarti merusak hubungan dengan sekutu, meremehkan masalah universal, atau berkontribusi pada destabilisasi internasional.
- Perang Informasi dan Manipulasi Global: Negara-negara yang jingoistik terlibat dalam perang informasi untuk membentuk opini publik global demi kepentingan mereka, seringkali menggunakan disinformasi dan propaganda untuk merusak reputasi negara lain atau membenarkan tindakan mereka sendiri.
Dengan demikian, jingoisme di era modern bukan hanya warisan masa lalu, melainkan ancaman kontemporer yang terus berevolusi. Kemampuannya untuk beradaptasi dengan teknologi baru dan memanfaatkan ketidakpuasan sosial menjadikannya kekuatan yang perlu diwaspadai dan ditangani secara serius oleh semua pihak yang berkomitmen pada perdamaian dan kemajuan.
Mengatasi Jingoisme: Membangun Masyarakat Inklusif dan Kritis
Menanggulangi jingoisme adalah tugas yang sangat kompleks dan multidimensional, membutuhkan pendekatan holistik dan berkelanjutan yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, institusi pendidikan, media, dan individu. Ini adalah perjuangan jangka panjang untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif, kritis, berempati, dan tangguh terhadap narasi kebencian.
1. Pendidikan Kritis dan Sejarah yang Seimbang
- Kurikulum Multiperspektif: Mengajarkan sejarah dari berbagai perspektif, mengakui kesalahan masa lalu bangsanya sendiri, dan menyoroti kontribusi beragam budaya dan bangsa di seluruh dunia. Ini membantu siswa mengembangkan pemikiran kritis tentang narasi nasionalis yang tunggal dan seringkali bias.
- Pendidikan Kewarganegaraan Global: Mendorong pemahaman tentang saling ketergantungan global, hak asasi manusia universal yang melampaui batas negara, dan pentingnya kerja sama internasional untuk mengatasi tantangan bersama.
- Literasi Media dan Digital: Mengajarkan keterampilan untuk mengevaluasi informasi secara kritis, mengenali bias, dan membedakan antara fakta, opini, dan propaganda, terutama di era digital di mana disinformasi menyebar dengan sangat cepat. Ini memberdayakan individu untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas.
- Promosi Empati dan Kecerdasan Emosional: Mengembangkan program pendidikan yang secara aktif mempromosikan empati, pemahaman, dan penghargaan terhadap perbedaan, sejak usia dini.
2. Promosi Pluralisme, Multikulturalisme, dan Dialog
- Penghargaan Keberagaman: Mendorong pengakuan dan perayaan keberagaman budaya, etnis, agama, dan pandangan politik di dalam masyarakat. Mengembangkan kebijakan yang mendukung inklusi, nondiskriminasi, dan kesetaraan bagi semua warga negara.
- Pertukaran Budaya dan Antar-Pribadi: Memfasilitasi program pertukaran pelajar, seni, dan budaya antarnegara atau antarkelompok dalam masyarakat untuk membangun pemahaman, empati, dan mengurangi stereotip negatif melalui interaksi langsung.
- Dialog Antarbudaya dan Antarkelompok: Menciptakan ruang aman untuk dialog konstruktif antar kelompok yang berbeda, memungkinkan mereka untuk berbagi pengalaman, perspektif, dan kekhawatiran, sehingga mempromosikan empati dan mengurangi polarisasi.
- Kebijakan Inklusif: Menerapkan kebijakan pemerintah yang memastikan representasi dan partisipasi minoritas, serta melindungi hak-hak mereka dari diskriminasi.
3. Peran Media yang Bertanggung Jawab dan Etis
- Jurnalisme Etis dan Objektif: Media harus berkomitmen pada pelaporan yang objektif, akurat, dan tidak bias, menahan diri dari sensasionalisme, clickbait, dan propaganda yang memicu sentimen jingoisme. Mereka memiliki tanggung jawab besar sebagai penjaga informasi publik.
- Verifikasi Fakta yang Kuat: Mendukung inisiatif verifikasi fakta (fact-checking) yang independen untuk melawan penyebaran disinformasi dan berita palsu yang sering digunakan untuk memperkuat narasi jingois. Platform media sosial juga harus bertanggung jawab dalam memoderasi konten berbahaya.
- Platform Inklusif dan Beragam: Mendorong media untuk memberikan ruang bagi berbagai suara dan perspektif, termasuk kelompok minoritas dan pandangan alternatif, untuk menantang narasi dominan yang seringkali sepihak.
- Pendidikan Publik tentang Media: Meningkatkan kesadaran publik tentang cara kerja media, bahaya berita palsu, dan pentingnya mencari sumber informasi yang kredibel.
4. Diplomasi dan Kerja Sama Internasional yang Konstruktif
- Penguatan Lembaga Multilateral: Mendukung dan memperkuat organisasi internasional seperti PBB, ASEAN, atau Uni Afrika yang mempromosikan perdamaian, kerja sama, dan resolusi konflik secara damai melalui dialog dan negosiasi.
- Kebijakan Luar Negeri yang Inklusif: Mendorong negara-negara untuk mengadopsi kebijakan luar negeri yang didasarkan pada saling menghormati, keuntungan bersama, dan penyelesaian sengketa secara damai, daripada melalui konfrontasi atau agresi.
- Humanitarianisme Global: Berpartisipasi dalam upaya bantuan kemanusiaan global dan inisiatif pembangunan, menunjukkan bahwa solidaritas melampaui batas-batas nasional dan bahwa kita adalah bagian dari komunitas manusia yang lebih besar.
- Membangun Aliansi Berbasis Nilai: Membentuk dan memperkuat aliansi antarnegara yang memiliki komitmen bersama terhadap demokrasi, hak asasi manusia, dan hukum internasional, sebagai penyeimbang terhadap kekuatan jingois.
5. Kepemimpinan yang Inklusif dan Beretika
- Retorika yang Mempersatukan, Bukan Memecah Belah: Para pemimpin politik harus menghindari retorika yang memecah belah dan sebaliknya mempromosikan persatuan, empati, dan saling pengertian, baik di dalam maupun di luar negeri. Mereka harus menjadi suara yang menenangkan, bukan memprovokasi.
- Teladan Etika dan Moral: Para pemimpin harus menjadi teladan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal, hak asasi manusia, dan hukum internasional, serta mengakui bahwa tidak ada bangsa yang sempurna.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Memastikan transparansi dalam pengambilan keputusan pemerintah dan akuntabilitas bagi tindakan pemerintah untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan jingois atau pribadi.
- Mengakui Kompleksitas: Pemimpin harus berani mengakui bahwa masalah global itu kompleks dan tidak ada solusi sederhana yang bersifat "kita vs mereka".
Melawan jingoisme adalah proses yang berkelanjutan, menuntut kewaspadaan konstan, keberanian untuk berbicara melawan ketidakadilan, dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan. Ini adalah investasi dalam masa depan yang lebih damai, adil, dan berkelanjutan untuk semua penghuni planet ini.
Kesimpulan: Membangun Jembatan, Bukan Tembok, untuk Masa Depan Bersama
Jingoisme adalah kekuatan yang memecah belah dan menghancurkan, berakar pada ketakutan, ketidakamanan, dan kebanggaan nasional yang berlebihan dan buta. Dari asal-usulnya yang historis di abad ke-19 hingga manifestasinya yang adaptif dan semakin dipercepat di era digital saat ini, ia terus mengancam perdamaian internasional, merusak kohesi sosial di dalam negeri, dan menghambat kemajuan kemanusiaan secara keseluruhan. Dengan secara agresif mempromosikan superioritas bangsa sendiri dan secara sistematis mendemonisasi pihak lain, jingoisme mengikis fondasi empati, kerja sama, dan penghormatan universal yang esensial untuk masyarakat global yang berfungsi secara harmonis.
Membedakan jingoisme dari patriotisme yang sehat—yaitu cinta tanah air yang konstruktif dan bertanggung jawab—adalah langkah pertama yang krusial dan tak tergantikan. Patriotisme sejati adalah kekuatan untuk kebaikan, yang mendorong warga negara untuk berkontribusi pada kesejahteraan dan kemajuan bangsa mereka tanpa merugikan atau memusuhi bangsa lain. Patriotisme merangkul tanggung jawab, sedangkan jingoisme merangkul agresi. Jingoisme, sebaliknya, mengubah kebajikan ini menjadi alat agresi, isolasi, dan perpecahan, menjadikannya sebuah ideologi yang berbahaya dan merugikan.
Di tengah kebangkitan nasionalisme ekstrem di berbagai belahan dunia dan proliferasi disinformasi yang merajalela di media sosial, tantangan jingoisme semakin mendesak dan relevan daripada sebelumnya. Namun, kita tidak berdaya menghadapinya. Melalui pendidikan yang kritis dan inklusif, promosi pluralisme dan multikulturalisme, jurnalisme yang bertanggung jawab dan etis, diplomasi yang beretika, dan kepemimpinan yang mempersatukan, kita dapat secara kolektif membangun ketahanan yang kuat terhadap narasi-narasi yang memecah belah dan meracuni pikiran.
Tujuan akhirnya bukanlah untuk menghapus identitas nasional atau menekan cinta tanah air, melainkan untuk menumbuhkannya dalam konteks saling menghormati, pemahaman global, dan kesadaran akan tanggung jawab bersama terhadap planet ini. Ini adalah tentang membangun jembatan antarbudaya dan antarnegara, bukan justru mendirikan tembok yang semakin tinggi dan memisahkan kita. Dengan memilih empati di atas permusuhan, dialog di atas konfrontasi, dan kerja sama di atas isolasi, kita dapat menciptakan dunia di mana kebanggaan nasional adalah sumber kekuatan yang positif, bukan alasan untuk konflik, diskriminasi, dan kehancuran.
Waspada terhadap godaan jingoisme adalah tanggung jawab setiap warga negara global. Dengan menantang retorika yang memecah belah dan berbahaya, mendukung kebijakan yang inklusif dan adil, serta memupuk rasa kemanusiaan yang universal dalam interaksi sehari-hari kita, kita berkontribusi secara aktif pada pembangunan masa depan yang lebih aman, adil, damai, dan harmonis bagi semua makhluk hidup.