Proses awal pembuatan jeluang, di mana kulit direntangkan untuk memastikan ketegangan dan ketipisan yang seragam.
Jeluang, sebuah istilah yang merujuk pada material tulis kuno yang dibuat dari kulit hewan yang diproses secara khusus—sering disebut perkamen atau vellum—adalah salah satu fondasi terpenting dalam sejarah transmisi pengetahuan manusia. Material ini bukan sekadar media; ia adalah kapsul waktu yang memuat kode genetik peradaban, mulai dari hukum Romawi, naskah keagamaan Yahudi dan Kristen, hingga karya-karya sastra dan ilmiah Abad Pertengahan. Keberadaannya menandai transisi signifikan dari media tulis yang rapuh seperti papirus menuju sebuah substrat yang memiliki daya tahan luar biasa terhadap waktu, api, dan kerusakan fisik.
Berbeda dengan kulit yang disamak (seperti pada produk kulit biasa), jeluang diproses tanpa penyamakan, yang berarti serat kolagennya dipertahankan dalam kondisi alami yang kaku dan kuat. Proses unik ini—melibatkan pencucian, penghilangan rambut, pengapuran (liming), perentangan (stretching), dan pengeringan di bawah tegangan—menghasilkan permukaan yang tidak hanya halus dan tahan lama, tetapi juga sangat responsif terhadap tinta dan pigmen. Stabilitas kimianya, yang jauh melampaui kertas yang rentan terhadap keasaman, memastikan bahwa naskah yang ditulis di atasnya dapat bertahan selama ribuan tahun, menjadi saksi bisu berbagai era sejarah.
Dalam eksplorasi ini, kita akan menyelami setiap aspek dari fenomena jeluang. Kita akan menelusuri akar sejarahnya yang mitologis dan faktual di dunia kuno, memahami kerumitan ilmiah di balik proses pembuatannya, mengagumi perannya dalam seni iluminasi, dan yang paling krusial, menganalisis upaya konservasi modern yang gigih untuk melestarikan warisan berharga ini di tengah tantangan lingkungan dan biologis.
Meskipun dalam konteks bahasa Indonesia 'jeluang' sering digunakan untuk merujuk secara umum pada perkamen atau vellum, penting untuk membedakan istilah ini dalam studi manuskrip. Secara teknis, perkamen (dari kata Latin *pergamena*) adalah kulit yang disiapkan dari berbagai jenis hewan, sedangkan vellum (dari kata Latin *vitulinum*, berarti 'dari anak sapi') adalah istilah yang lebih spesifik, merujuk pada jeluang yang dibuat dari kulit anak sapi, sering kali yang belum lahir atau baru lahir (uterine vellum), yang menghasilkan bahan sangat halus, tipis, dan putih. Kehalusan dan kualitas permukaan inilah yang menentukan penggunaannya—vellum sering kali digunakan untuk naskah-naskah kerajaan, ritual, atau karya seni yang paling berharga karena kemampuannya menerima detail yang sangat halus.
Sejarah jeluang terkait erat dengan kebutuhan peradaban kuno akan media yang lebih andal daripada tanah liat atau papirus. Meskipun penggunaan kulit binatang sebagai media tulis telah ada sejak milenium ke-2 SM di Mesir Kuno dan Mesopotamia, momen krusial yang membawa jeluang ke puncak popularitasnya sering dikaitkan dengan kota Pergamon di Asia Kecil.
Menurut penulis Romawi Pliny the Elder, jeluang mendapatkan namanya (perkamen) dari Raja Eumenes II dari Pergamon (abad ke-2 SM). Legenda menyatakan bahwa Pergamon dan Mesir, di bawah Ptolemy, bersaing sengit dalam membangun perpustakaan terbesar. Ketika Ptolemy melarang ekspor papirus ke Pergamon untuk menghambat rivalnya, Eumenes II terpaksa mencari alternatif. Hasilnya adalah penyempurnaan proses pembuatan kulit yang menghasilkan bahan tulis unggul yang kita kenal sebagai jeluang. Meskipun penemuan ini mungkin merupakan penyempurnaan, bukan penemuan dari nol, kisah ini menyoroti Pergamon sebagai pusat inovasi penting dalam teknologi jeluang.
Popularitas jeluang melesat cepat setelah munculnya format buku modern, yang dikenal sebagai kodeks (codex). Sebelum kodeks, manuskrip disimpan dalam bentuk gulungan (scrolls), yang terbuat dari papirus. Gulungan memiliki kelemahan, yaitu sulit diakses (harus digulirkan dari awal), hanya bisa ditulis di satu sisi, dan rentan patah di lipatan.
Jeluang, karena kekuatannya, dapat dilipat dan dijahit tanpa robek. Dengan munculnya kodeks jeluang, sekitar abad ke-1 hingga abad ke-4 Masehi, revolusi informasi terjadi. Kodeks memungkinkan penulisan di kedua sisi (recto dan verso), penyimpanan yang lebih efisien, dan navigasi yang cepat. Inovasi ini sangat penting dalam penyebaran agama Kristen, karena Alkitab yang panjang lebih mudah dibawa dan dibaca dalam format kodeks daripada dalam tumpukan gulungan papirus yang besar.
Selama Abad Pertengahan, jeluang menjadi media tulis yang dominan di Eropa dan Timur Tengah. Ketersediaannya yang lokal (kulit hewan tersedia di mana-mana, tidak seperti papirus yang hanya tumbuh di Mesir) menjadikannya pilihan alami. Seluruh warisan filsafat, teologi, hukum, dan ilmu pengetahuan Abad Pertengahan diabadikan di atas jeluang, sering kali dengan hiasan seni iluminasi yang memukau.
Karena tingginya biaya produksi jeluang—diperkirakan membutuhkan kulit dari sekitar 25 ekor domba untuk menghasilkan satu volume Alkitab besar—jeluang menjadi komoditas yang sangat berharga. Kelangkaan ini pada gilirannya memunculkan praktik palimpsest. Palimpsest adalah naskah jeluang yang telah dikikis atau dicuci tulisannya untuk digunakan kembali. Para biarawan seringkali mengikis teks lama yang dianggap tidak penting (seperti teks-teks klasik Yunani kuno) untuk menulis teks keagamaan baru. Ironisnya, teknologi pencitraan modern telah memungkinkan para konservator untuk memulihkan tulisan di bawahnya, mengungkap karya-karya klasik yang hilang, seperti teks Archimedes, yang disembunyikan di bawah liturgi Kristen.
Proses pembuatan jeluang adalah seni yang membutuhkan kesabaran, keahlian, dan pemahaman mendalam tentang kimia kolagen. Kunci perbedaannya dengan kulit biasa adalah bahwa jeluang tidak mengalami penyamakan, yang akan menstabilkan kulit dengan bahan kimia (tannin). Sebaliknya, jeluang distabilkan secara fisik melalui pengeringan di bawah tegangan, mempertahankan struktur serabut kolagen yang asli.
Hewan yang umum digunakan adalah domba, kambing, dan anak sapi (untuk vellum). Kualitas jeluang sangat bergantung pada usia hewan dan cara penyembelihannya. Setelah disembelih, kulit harus segera dihilangkan bulunya dan dibersihkan dari sisa-sisa daging dan lemak. Tahap ini krusial karena jaringan lemak yang tersisa akan menghambat proses pengapuran.
Kulit direndam dalam larutan alkali, tradisionalnya kapur mati (kalsium hidroksida), selama beberapa hari hingga beberapa minggu. Tujuan proses ini sangat penting dan berlapis:
Setelah pengapuran, kulit dicuci bersih. Kemudian, kulit diletakkan di atas balok lengkung (beam) dan dikerok secara menyeluruh menggunakan pisau tumpul yang disebut *lunellum*. Pengerokan ini menghilangkan sisa-sisa epidermis, rambut, dan jaringan lemak yang masih menempel. Keahlian pengrajin sangat menentukan pada tahap ini, karena ketebalan jeluang harus seragam di seluruh permukaan.
Ini adalah tahap yang mendefinisikan jeluang. Kulit yang sudah bersih direntangkan ke bingkai kayu besar yang disebut *herse*. Tali dan pasak digunakan untuk menahan ketegangan tinggi. Saat kulit mengering di bawah tegangan, serabut kolagen yang membengkak merapat kembali dan membentuk matriks yang sangat padat dan kaku. Stabilisasi fisik ini adalah alasan mengapa jeluang begitu tahan lama.
Stabilitas jeluang bukan berasal dari perlindungan kimiawi, melainkan dari konfigurasi fisik serabut kolagen yang tersusun rapat dan terkunci dalam keadaan kering yang tegang. Ketika kering, struktur molekul kulit menjadi sangat kuat dan tidak dapat dengan mudah kembali ke keadaan semula.
Setelah kering sempurna, permukaan jeluang digosok untuk mencapai kehalusan yang optimal. Bahan abrasif, seperti batu apung (pumice stone) atau kapur tulis, digunakan untuk menghilangkan ketidaksempurnaan dan menciptakan 'gigi' (tooth) permukaan yang sempurna untuk menahan tinta. Proses ini juga bisa melibatkan pengaplikasian bedak kapur yang berfungsi ganda: sebagai agen pemutih dan sebagai persiapan untuk memastikan tinta tidak menyebar (bleeding).
Keabadian jeluang terletak pada struktur biokimiawinya. Jeluang sebagian besar terdiri dari kolagen, protein struktural utama dalam jaringan ikat. Dalam jeluang, kolagen ini hadir dalam bentuk yang stabil secara fisik, berbeda dengan kulit yang telah mengalami denaturasi kimia melalui penyamakan.
Serabut kolagen dalam jeluang memiliki sifat higroskopisitas yang tinggi, artinya ia sangat mudah menyerap dan melepaskan kelembapan dari lingkungannya. Sifat ini adalah pedang bermata dua: di satu sisi, ia menjaga fleksibilitas naskah; di sisi lain, ia membuat jeluang sangat rentan terhadap fluktuasi iklim. Perubahan kelembapan yang drastis dapat menyebabkan jeluang mengerut, melengkung (cockling), atau bahkan robek karena tegangan internal. Inilah tantangan utama dalam konservasi modern.
Setiap lembar jeluang memiliki dua permukaan yang berbeda: sisi rambut (hair side) dan sisi daging (flesh side). Sisi rambut adalah permukaan luar yang pernah ditumbuhi rambut, cenderung lebih gelap, memiliki tekstur yang lebih kasar, dan terkadang masih menunjukkan pori-pori rambut. Sisi daging adalah permukaan bagian dalam yang berhadapan dengan otot, biasanya lebih lembut, lebih putih, dan lebih halus. Para pembuat kodeks Abad Pertengahan sengaja mengatur lembaran-lembaran jeluang sehingga sisi rambut berhadapan dengan sisi rambut, dan sisi daging berhadapan dengan sisi daging, untuk menciptakan tampilan visual yang seragam saat buku dibuka.
Karena proses pengeringan di bawah tegangan, jeluang menghasilkan matriks serabut yang saling terkait erat, memberinya kekuatan tarik dan ketahanan terhadap robekan yang luar biasa. Ketahanan ini sangat penting karena jeluang seringkali harus digores atau dikikis (misalnya, jika seorang penulis melakukan kesalahan), dan material ini mampu menahan tindakan tersebut berulang kali tanpa rusak parah, suatu fitur yang hampir mustahil dilakukan pada papirus atau kertas awal.
Kodeks, format buku revolusioner, dimungkinkan oleh kekuatan dan fleksibilitas jeluang, memungkinkan penulisan di kedua sisi lembaran.
Jeluang mencapai ekspresi estetika tertingginya dalam bentuk manuskrip beriluminasi Abad Pertengahan. Permukaan jeluang yang halus dan non-absorben adalah kanvas ideal untuk pigmen mahal dan emas yang digunakan dalam seni iluminasi.
Keunggulan utama jeluang bagi seniman adalah permukaannya yang tidak berpori. Tidak seperti kertas awal yang cenderung menyerap tinta dan pigmen, jeluang memungkinkan pigmen untuk diletakkan di permukaan, memberikan warna yang lebih cerah dan intens. Emas, yang sering digunakan untuk memberikan efek "iluminasi" (penerangan) pada naskah, diterapkan dalam bentuk daun emas atau bubuk emas yang dicampur dengan perekat. Tekstur kaku jeluang memungkinkan pengrajin untuk menekan emas hingga berkilau tanpa merusak substrat.
Beberapa naskah paling ikonik dalam sejarah dibuat di atas jeluang berkualitas tinggi:
Penggunaan jeluang menunjukkan status. Semakin halus, semakin putih, dan semakin tipis jeluang (vellum anak sapi atau vellum rahim), semakin tinggi nilainya, dan semakin mungkin naskah tersebut ditujukan untuk bangsawan atau tujuan liturgi paling suci. Bahkan kesalahan tata bahasa atau penulisan jarang terjadi pada naskah-naskah ini, karena nilai materialnya menuntut kesempurnaan mutlak.
Sebelum penulisan dapat dimulai, juru tulis (scribes) harus mengatur tata letak halaman dengan hati-hati. Pada jeluang, ini dilakukan dengan teknik penggarisan (ruling). Pada masa awal, garis dibuat dengan menusuk pinggiran halaman dan menarik garis buta (tanpa tinta) menggunakan alat tumpul, sehingga meninggalkan lekukan permanen pada kulit. Lekukan ini tidak hanya berfungsi sebagai panduan horizontal untuk teks, tetapi juga membantu menjaga struktur jeluang agar tetap datar.
Meskipun jeluang dikenal karena daya tahannya, ia tidak kebal terhadap kerusakan. Material ini menghadapi serangkaian tantangan konservasi yang kompleks, berbeda dengan kertas atau papirus, terutama karena sifatnya yang biologis dan higroskopis.
Musuh terbesar jeluang adalah fluktuasi iklim, khususnya kelembaban relatif (RH). Jeluang adalah bahan yang sangat reaktif. Jika RH terlalu rendah, ia kehilangan kelembapan dan menjadi rapuh, kaku, dan mudah pecah. Jika RH terlalu tinggi (di atas 65%), ia menyerap air, serat kolagen membengkak, dan naskah menjadi rentan terhadap serangan jamur dan bakteri.
Jamur (*mold*) adalah ancaman biologis yang parah. Jamur tidak hanya meninggalkan noda permanen; mereka secara harfiah mencerna serabut kolagen, merusak struktur jeluang secara ireversibel. Oleh karena itu, penyimpanan jeluang dalam kondisi iklim terkontrol (biasanya sekitar 50% RH dan suhu 18-20°C) adalah wajib di setiap arsip dan perpustakaan besar.
Jeluang juga rentan terhadap kerusakan mekanis, seperti robekan dan lipatan permanen. Selain itu, tinta purba tertentu dapat menjadi masalah. Banyak tinta yang digunakan di Abad Pertengahan adalah tinta besi empedu (iron gall ink), yang dibuat dari garam besi dan asam tanat. Meskipun tinta ini sangat permanen, seiring waktu, ia melepaskan asam dan ion besi yang kuat. Proses ini dikenal sebagai 'korosi tinta'. Di jeluang yang tebal, korosi ini bisa menggerogoti struktur kolagen hingga membentuk lubang di halaman, bahkan tanpa adanya sentuhan fisik.
Restorasi jeluang adalah proses yang sangat hati-hati. Konservator modern sebisa mungkin menghindari penggunaan air, yang dapat menyebabkan distorsi parah. Perbaikan robekan biasanya dilakukan dengan menempelkan tambalan kecil dari jeluang yang lebih baru, yang memiliki sifat kimia serupa, menggunakan perekat protein alami seperti lem tulang atau sturgeon glue. Keputusan untuk melakukan intervensi—misalnya, meratakan lembaran jeluang yang keriting—harus diseimbangkan dengan risiko kerusakan pada pigmen atau tulisan yang mungkin rapuh.
Tujuan utama konservasi modern adalah stabilisasi, bukan restorasi total. Konservator bertujuan untuk memperlambat laju kerusakan dan memastikan bahwa naskah dapat dibaca dan dipelajari tanpa mengalami kerugian lebih lanjut, menjadikannya warisan yang dapat diakses oleh generasi mendatang.
Untuk memahami nilai sejati jeluang, perlu menempatkannya dalam konteks media tulis lainnya yang dominan sepanjang sejarah. Jeluang berhasil mengisi kekosongan antara papirus dan kertas, menawarkan keunggulan yang tidak dimiliki keduanya.
Papirus, terbuat dari batang tanaman *Cyperus papyrus*, adalah media tulis utama di Mesir dan Mediterania Timur hingga sekitar abad ke-3 Masehi. Papirus relatif murah dan mudah dibuat. Namun, kelemahannya fatal:
Jeluang mengatasi semua keterbatasan ini, menawarkan kekuatan, kemampuan dilipat (untuk kodeks), dan permukaan yang dapat diedit (palimpsest).
Kertas, yang ditemukan di Tiongkok dan diperkenalkan ke dunia Arab melalui Jalur Sutra, mencapai Eropa pada Abad Pertengahan Akhir. Awalnya, kertas berkualitas tinggi (linen atau rami) adalah pesaing serius bagi jeluang. Setelah penemuan mesin cetak, kertas menjadi media dominan karena alasan ekonomi:
Meskipun demikian, kertas abad ke-19, yang dibuat dari bubur kayu dan menggunakan asam untuk pemrosesan, menderita degradasi kimia yang parah. Jeluang berkualitas tinggi, yang dibuat tanpa asam, secara ironis, membuktikan dirinya jauh lebih stabil dalam jangka waktu ribuan tahun dibandingkan kertas modern yang dibuat dengan terburu-buru.
Transisi jeluang ke kertas terjadi bertahap, namun jeluang terus digunakan untuk dokumen hukum dan kerajaan yang membutuhkan keabadian dan otoritas visual hingga abad ke-20 (misalnya, Undang-Undang Parlemen Inggris). Penggunaan simbolis ini menekankan bahwa, meskipun kertas efisien, jeluang memiliki dimensi ritual dan keagungan yang tidak dapat ditiru oleh media berbasis serat kayu.
Meskipun cetak digital mendominasi komunikasi, jeluang belum sepenuhnya hilang. Ia tetap menjadi material penting dalam konteks tertentu, mulai dari seni rupa hingga dokumentasi negara.
Saat ini, jeluang masih diproduksi oleh segelintir perusahaan di dunia, terutama untuk:
Ironisnya, teknologi digital telah menjadi penyelamat terbesar jeluang di abad modern. Proyek-proyek digitalisasi besar-besaran, seperti yang dilakukan oleh British Library, Vatikan, dan berbagai institusi akademik, kini mengubah naskah-naskah jeluang yang rapuh menjadi citra digital resolusi ultra-tinggi. Digitalisasi ini memungkinkan akses global tanpa risiko kerusakan akibat penanganan fisik.
Inovasi terbaru bahkan menggunakan spektroskopi multi-spektral untuk membaca palimpsest yang sulit diuraikan. Dengan menganalisis berbagai panjang gelombang cahaya, para ilmuwan dapat membedakan tinta lama yang memudar dari tinta baru yang menimpanya, sebuah proses yang telah membawa kembali teks-teks klasik yang diyakini hilang selamanya, seperti yang terdapat dalam Kodeks Archimedes.
Di era modern, diskusi tentang jeluang tidak bisa lepas dari aspek etika. Produksi jeluang memerlukan kulit hewan. Produsen jeluang modern menekankan bahwa mereka hanya menggunakan kulit yang merupakan produk sampingan dari industri daging dan tidak ada hewan yang disembelih semata-mata untuk tujuan pembuatan jeluang. Namun, aspek ini tetap menjadi pertimbangan etis dalam penggunaannya di dunia kontemporer.
Ilmu pengetahuan modern terus berupaya mengungkap rahasia jeluang. Studi tentang material ini telah berkembang menjadi bidang multidisiplin yang melibatkan kimia forensik, biologi molekuler, dan konservasi seni.
Salah satu terobosan terbesar adalah kemampuan untuk mengekstraksi dan menganalisis DNA purba (aDNA) dari jeluang itu sendiri. Kulit yang digunakan mengandung DNA dari hewan pembuatnya. Teknik ini, dikenal sebagai *Zooarchaeology by Mass Spectrometry* (ZooMS), memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi spesies hewan yang digunakan dalam setiap lembar jeluang, bahkan hingga tingkat individu dan populasi geografis.
Informasi ini membuka jendela baru ke dalam sejarah ekonomi Abad Pertengahan. Misalnya, jika sebuah perpustakaan di Inggris berisi jeluang yang terbuat dari domba Skotlandia, hal itu dapat memberikan petunjuk tentang rute perdagangan atau sumbangan kepada biara pada masa itu. Studi DNA juga dapat membantu memverifikasi keaslian naskah yang diragukan.
Penelitian terus berfokus pada bagaimana kolagen jeluang terdegradasi seiring waktu, terutama di bawah kondisi lingkungan yang tidak ideal. Para peneliti menggunakan teknik seperti Differential Scanning Calorimetry (DSC) untuk mengukur titik denaturasi termal (suhu di mana kolagen mulai rusak) jeluang. Dengan memahami titik kritis ini, konservator dapat menetapkan batasan suhu dan kelembaban yang paling aman untuk penyimpanan jangka panjang.
Perhatian besar diberikan pada interaksi antara tinta besi empedu dan jeluang. Saat tinta mengkorosi, ia menyerang kolagen. Solusi konservasi potensial melibatkan penggunaan zat kelat (chelating agents) yang dapat mengikat ion besi yang merusak tanpa merusak struktur jeluang itu sendiri. Namun, proses ini masih dalam tahap eksperimental, karena risiko intervensi kimiawi yang tidak terduga pada artefak kuno sangat tinggi.
Masa depan penelitian jeluang menjanjikan. Melalui kolaborasi antara konservator, sejarawan, dan ilmuwan, kita tidak hanya melestarikan teks yang terkandung di dalamnya, tetapi juga belajar banyak tentang teknologi, ekologi, dan ekonomi masyarakat purba hanya dari satu lembar kulit yang telah diproses secara artistik dan ilmiah.
Kisah jeluang adalah kisah yang menakjubkan tentang bagaimana peradaban memanfaatkan sumber daya alam dengan kecerdasan dan ketekunan untuk melestarikan pemikiran, hukum, dan keyakinan mereka. Dari bingkai perentang di Pergamon hingga lemari besi berteknologi tinggi di perpustakaan modern, jeluang telah memainkan peran ganda sebagai media yang tak tertandingi dan sebagai objek seni yang luar biasa.
Keunggulannya terletak pada keseimbangan yang rapuh antara sifat biologis (kolagen yang kuat) dan proses manufaktur yang presisi (pengeringan di bawah tegangan). Jeluang menuntut rasa hormat, baik dari juru tulis yang menggunakannya di masa lalu maupun dari konservator yang merawatnya hari ini. Setiap lembaran menyimpan lebih dari sekadar teks; ia menyimpan jejak proses kerja keras, perdagangan kuno, teknik biokimia, dan sejarah kehidupan hewan yang menyumbangkan kulitnya.
Di era digital, di mana informasi dapat dihapus dengan sekali klik, materialitas jeluang mengingatkan kita akan kekuatan keabadian. Ia adalah penolak terhadap kefanaan, sebuah janji yang terukir di atas kulit bahwa kata-kata tertentu layak bertahan melintasi milenium. Jeluang, dalam segala bentuknya, adalah permata abadi dalam mahkota sejarah tulis-menulis manusia.